"Ayo di makan Nez, di nikmati makanannya," ucap Mama Ratih, duduk di meja makan di seberang Inez bersebelahan dengan putrinya Andien.
Tanpa Agam, karena Agam yang belum juga keluar dari kamarnya untuk ikut bergabung di meja makan.
"Iya Tante terimakasih," jawab Inez, dengan senyum termanisnya segera menyendok nasi dan lauk yang ada di depannya, di ikuti dengan Andien setelahnya.
"Tante nggak makan?" tanya Inez, karena Mama Ratih yang terdiam, hanya menatapnya dalam tak menyentuh makanan yang di sajikan.
"Nanti Tante nunggu Agam,"
"Saya makan dulu nggak papa ya Tante? perut saya sudah meronta ingin minta makan," ucap Inez terkekeh yang di ikuti dengan senyum Andien dan Mama Ratih.
"Ayo silahkan jangan sungkan-sungkan, habisin semuanya juga nggak papa Nez," jawab Mama Ratih mempersilahkan.
"Ngomong-ngomong tadi kamu nggak di kasih makan ya sama Agam? kok sampai meronta begitu perutnya?" lirih Mama Ratih mencondongkan kepalanya ke depan Inez.
"Dikasih makan kok Tante," jawab Inez, setelah menelan kunyahan makanan di mulutnya mengulaskan senyumnya.
"Dikasih tambahan darah juga Tante, sampai darah tinggi terus sama dia!" batin Inez.
"Kok lama ya Kakakmu Ndien?" tanya Mama Ratih, mengalihkan pandangan Andien yang sedang menikmati makanan menatapnya.
"Masih mandi mungkin Ma," jawab Andien sesaat sebelum menelan makanannya.
"Mama makan dulu aja," lanjut Andien.
"Ya jangan, nanti kalau Mama sudah selesai makan kakak kamu baru keluar gimana? kasihan kan kakak kamu jadi makan sendirian?" jawab Mama Ratih, segera berdiri dari duduknya.
Hendak mengayunkan langkahnya menuju kamar Agam, sebelum terdiam karena kedatangan putra laki-lakinya.
"Kemana Ma?" tanya Agam mengayunkan langkahnya mendekati meja makan.
"Mau manggil kamu Gam! lama sekali sih?" protes Mama Ratih kembali duduk di tempatnya.
Beradu pandang dengan Agam yang melangkahkan kaki hendak duduk di sebelahnya.
"Ngapain kamu?" tanya Mama Ratih menahan gerak tubuh anaknya.
"Duduk lah Ma,"
"Duduk di sana saja kamu, itu kan ada kursi kosong di sebelah Inez," perintah Mama Ratih menunjuk kursi kosong yang ada di seberangnya.
"Nggak!," jawab Agam cepat, segera duduk di kursi pilihannya, mengalihkan pandangan Inez yang masih mengunyah makanan menatapnya.
Plak
"Ya Allah..., sakit Mah!" protes Agam menyentuh lengannya yang di pukul oleh Mamahnya.
"Ada tamu nggak sopan Gam! masak ya di biarin duduk sendiri di sana dan kita bertiga disini?" lirih Mama Ratih di telinga putranya.
Mengalihkan pandangan Agam menatap adiknya.
"Ndien, pindah ke sana gih! temenin duduk teman kamu!" ucap Agam, dengan lirikan malasnya ke arah Inez.
"Kok aku? aku kan sudah dari tadi duduk disini?" protes Andien.
"Nggak papa Tante, saya disini sendiri juga nggak Papa kok," timpal Inez mengalihkan pandangan semua orang menatapnya.
Sebelum meggerakkan bola matanya untuk melirik Agam. "Selera makan saya malah hilang kalau duduk sebelah dia Tante!"
"Tuh kan Ma, dia aja nggak papa kok! lagian dia juga bukan tamu yang harus di hormati kan!" gumam Agam, seraya menyendok nasi untuk di letakkannya di atas piring mamanya yang masih kosong.
"Kalau kamu nggak bisa mengormatinya kamu harus tetap bisa menghargainya Gam! dia wanita, sama seperti Mama dan adik kamu!" protes Mama Ratih yang di sambut dengan helaan nafas Agam, masih menyendokkan lauk untuk di masukkan ke dalam piring mamanya.
"Iya iya! Mama makan saja oke? jangan sampai telat makan hanya karena masalah sepele ini," lanjut Agam beradu pandang dengan Mama Ratih yang terdiam menatapnya.
"Mau sekalian aku suapin?" goda Agam kepada mamanya, mengalihkan pandangan Inez menatapnya.
"Nggak perlu! sudah makan sana!" jawab Mama Ratih terkekeh, menciptakan desiran aneh di hati Inez.
Karena Agam yang dikenalnya Br*ngsek, dingin, cuek dan seenaknya sendiri ternyata mempunyai sisi manis dan hangat, dengan perasaan sayang yang terlihat jelas dari sikapnya.
Mengingatkannya kepada Abian, Kakak laki-laki yang sangat di sayangi dan di kaguminya.
Yang tak segan menunjukkan rasa sayangnya kepada Mamanya dan dirinya, dengan sikap manis dan hangat namun tetap tegas sesuai dengan kondisinya.
"Kenapa Nez?" tanya Andien menyadari keterdiaman Inez yang menatap dalam kakak dan Mamanya.
Menyentakan hati Inez, membuatnya terkejut segera membuang pandangannya ke sembarang arah.
Berbarengan dengan mengalihnya pandangan Agam dan Mama Ratih menatapnya.
"Ng... nggak papa Ndien," Jawab Inez, berusaha menutupi sikap kikuknya kembali menyuapkan sesendok nasi ke dalam mulutnya.
Lima belas menitpun berlalu semua orang telah menyelesaikan makan malamnya, terlihat Inez dengan senyum termanisnya menanggapi obrolan Mama Ratih dan temannya Andien.
Terkecuali Agam yang terlihat tak senang, hanya menekuk wajahnya memainkan ponselnya.
Ingin sekali meninggalkan meja makan, kalau saja tak di larang oleh Mama Ratih yang menyuruhnya untuk tetap duduk di tempatnya.
Bukan karena dirinya yang tak mau berkumpul bersama adik dan Mamanya, tapi karena rasa kesal yang masih tersimpan di hatinya, untuk Inez gadis yang dianggapnya bau kencur yang terus saja menguji kesabarannya yang gak seberapa.
"Assalamualaikum...," ucap Fahmi, mengayunkan langkahnya mendekati meja makan mengalihkan pandangan semua orang menatapnya.
"Waalaikum salam...," jawab semua orang kompak.
"Kok malam kesininya Fa? ayo duduk, sudah makan malam belum kamu?" tanya Mama Ratih.
"Sudah Tante, ini mau minta izin sama Agam," jawab Fahmi.
"Izin apa?" tanya Agam, beradu pandang dengan Fahmi yang telah duduk di sebelah Inez.
"Aku izin cuti seminggu ya Gam?" jawab Fahmi, menyentakkan hati Agam yang reflek menegakkan duduk menatapnya dalam.
"Gila kamu ya? nggak ada angin nggak ada hujan tiba-tiba izin seminggu!" protes Agam, tak mengetahui Mama dan adiknya yang saling lirik merasa senang.
"Adik iparku yang ada di luar kota nikah Gam! jadi aku sama istriku harus kesana,"
"Ya nggak harus seminggu kali Fa! kan bukan kamu yang kawin?" protes Agam masih tak bisa terima dengan alasan Fahmi.
"Kamu sendiri tahu Minggu ini kita lagi sibuk-sibuknya!" lanjut Agam.
"Kamu minta bantuan Inez aja, sama seperti tadi, hanya untuk sementara sampai aku kembali," ide Fahmi membulatkan mata Agam, merasa tak percaya dengan kalimat sahabatnya.
"Lha benar itu Kak...Inez kan juga butuh penelitian buat skripsinya, sekalian saja terjun langsung ke perusahaan kamu Kak, gimana Nez? kamu setuju kan?" timpal Andien beradu pandang dengan temannya yang terdiam.
"Nggak! aku nggak setuju!" sewot Agam.
"Hanya seminggu Gam dari pada kamu keteteran!" ucap Fahmi.
"Aku masih bisa mengatasi semuanya!"
"Setidaknya ada yang menemani kamu Gam! terutama ada yang menolong kamu saat kamu....," ucap Fahmi terpotong karena kode dari tatapan Agam yang menyuruhnya untuk diam.
"Saat apa Fa?" tanya Mama Ratih bingung, menatap Agam dan Fahmi secara bergantian.
"Oh itu Tante...," jawan Fahmi menggantung, karena dirinya yang bingung hampir saja keceplosan.
"Saat aku kerepotan Ma," timpal Agam.
"Lha itu maksud saya Tante, saat Agam kerepotan," lanjut Fahmi dengan perasaan leganya.
"Beneran hanya itu? nggak ada yang kalian sembunyikan dari Mama kan?" selidik Mama Ratih, menolehkan kepalanya menatap Agam yang tengah minum segelas air di sebelahnya.
"Nggak ada Ma," jawab Agam melegakan hati Mama Ratih segera mengalihkan pandangannya menatap Inez.
Ingin memanfaatkan kesempatan untuk bisa mendekatkan gadis cantik di depannya ini untuk bisa bersama dengan anak laki-lakinya.
"Gimana Nez? apa kamu mau menjadi Sekretaris sementara anak Tante? hanya untuk seminggu,"
"Ma...!" protes Agam, mengalihkan pandangan Mama Ratih menatapnya.
"Mama nggak ingin kamu kerepotan Gam, harus ada orang yang membantu kamu!"
"Aku nggak kerepotan Ma!" melas Agam.
"Lha tadi Fahmi bilang harus ada yang nolong kamu saat kerepotan!" jawab Mama Ratih, beradu pandang dengan Agam yang terdiam, menghela nafas kasar kembali menenggak sisa air yang ada di gelasnya.
"Gimana Nez?" tanya Mama Ratih lagi kepada Inez.
"Saya harus menyelesaikan skripsi saya Tante,"
"Kamu tenang saja Nez! Kak Agam bisa membantu skripsi kamu, dan kamu bisa membantu Kak Agam, kan jadi simbiosis mutualisme, saling menguntungkan buat kamu dan Kak Agam," timpal Andien dengan wajah semringahnya, membulatkan mata Agam menatapnya.
"Apa kakakmu ini kekurangan pekerjaan sampai harus bantuin skripsinya dia?" sewot Agam.
"Ya nggak Papa kan Gam? kamu kan pinter, anak Sholehnya Mama, biar ilmu yang ada di otak kamu itu bermanfaat buat membantu orang!" timpal Mama Ratih tak ingin kehilangan kesempatan.
"Gimana Nez?" tanya Mama Ratih lagi, beradu pandang dengan Inez yang terdiam menatapnya.
Karena pikiran Inez yang melayang, menimbang-nimbang antara keuntungan dan kerugian yang akan di dapatkannya saat menjadi Sekretaris sementara Agam.
"Boleh Tante," jawab Inez akhirnya, dengan senyum miringnya menatap Agam yang berdecak kesal menatapnya tajam.
Karena keuntungan yang akan di dapatkannya, bisa membuat skripsi dengan di bantu oleh ahlinya langsung.
Hanya saja dia harus menyiapkan kesabaran yang lebih untuk menyambut sikap Agam yang terus saja membuatnya darah tinggi.
***
Langit menggelap karena malam yang semakin larut, dengan taburan bintang yang tampak Indah menemani sang rembulan yang bersinar terang dengan bentuk sabitnya.
Terlihat Inez, sudah turun dari mobil yang di kendarai supir pribadi Agam, mengayunkan langkahnya hendak masuk ke dalam rumah sesaat setelah menyapa security yang bertugas di depan rumahnya.
Kembali mengayunkan langkahnya, sebelum terdiam karena tatapan tajam Papa Raimon yang menyambut kedatangannya.
Dengan wajah datar tanpa ekpresi, berdiri tegak di pintu pembatas antara ruang tamu dan ruang tengah menatapnya tajam.
"Assalamualaikum Pa...," lirih Inez, dengan detak jantungnya yang berdetak sangat cepat, kembali mengayunkan langkahnya pelan mendekati Papanya.
"Waalaikum salam, dari mana kamu?" jawab Papa Raimon, dengan wajah datarnya menyelidik putri bungsunya.
"Makan malam di rumah Andien, tadi aku sudah bilang sama Mama," lirih Inez, karena rasa takutnya melihat kemarahan di wajah papanya.
"Sudah kenyang sekarang?" lanjut Papa Raimon yang di jawab dengan anggukan pelan kepala Inez.
"Bisa jawab pertanyaan Papa?"
Lagi-lagi Inez hanya mengangguk pelan untuk menjawab kalimat Papanya.
"Siapa pacar kamu?" tanya tegas Papa Raimon, menatap tajam Inez yang memejamkan matanya dalam menundukkan kepalanya.
"Angkat kepala kamu Nez! jawab pertanyaan Papa!" sentak Papa Raimon, berbarengan dengan panggilan Mama Desi yang mengayunkan langkah mendekatinya bersama dengan Abian putra sulungnya.
"Biarkan Inez masuk dulu Pa, dia baru datang," ucap Mama Desi, tak menegakkan kepala Inez, masih menundukkan kepala memikirkan jawaban yang harus di berikannya.
"Tegakkan kepala kamu Nez! lihat Papa!" sentak Papa Raimon, dengan deru nafasnya yang sedikit memburu mengacuhkan kalimat istrinya.
Karena anaknya yang terdiam, menundukkan kepala tak kunjung memberikan jawaban yang di butuhkannya.
"Inez!!!" pekik Papa Raimon Akhirnya, menyentakkan hati Inez, segera mengangkat kepalanya cepat beradu pandang.
Dengan matanya yang memerah, menahan tangis yang tak ingin di keluarkannya, berusaha membuka mulutnya untuk menjawab pertanyaan Papanya.
Sebuah jawaban yang dia sendiri pun tak mengetahuinya, karena kebohongan yang di buatnya, hanya untuk harapannya agar bisa membatalkan rencana pertunangannya dengan Andre laki-laki yang tak pernah ada di hatinya.
Bersambung.
"Inez!!!" pekik Papa Raimon Akhirnya, menyentakkan hati Inez, segera mengangkat kepalanya cepat beradu pandang.Dengan matanya yang memerah, menahan tangis yang tak ingin di keluarkannya, berusaha membuka mulutnya untuk menjawab pertanyaan Papanya.Sebuah jawaban yang dia sendiri pun tak mengetahuinya, karena kebohongan yang di buatnya, hanya untuk harapannya agar bisa membatalkan rencana pertunangannya dengan Andre laki-laki yang tak pernah ada di hatinya."Buka mulut kamu! jawab pertanyaan Papa!" lanjut Papa Raimon dengan sorot mata tajamnya mengintimidasi putri bungsunya."Aku nggak mau bertunangan dengan Andre Pa," jawab Inez akhirnya.Menciptakan senyum getir di bibir Papa Raimon membuang pandangannya ke sembarang arah."Kenapa? karena kamu nggak mencintainya?" tanya Papa Raimon dengan detak jantungnya yang berpacu sangat cepat kembali mengalihkan pandangannya menatap
Waktu telah beranjak siang, di saat jam tangan yang di kenakan Inez telah menunjuk ke pukul sembilan lebih lima belas menit.Terlihat Inez, baru turun dari motor sport hitamnya, sudah memarkirkan motornya dengan baik segera mengayunkan langkahnya cepat, setengah berlari masuk ke dalam loby Dirgantara property.Ingin memulai tugas sementaranya sebagai Sekretaris Agam, laki-laki dingin yang emosional.Hanya untuk memanfaatkan otak pemilik perusahaan property itu sebagai bala bantuan skripsi yang harus di kerjakannya.Masih setengah berlari, dengan pandangannya lurus ke depan menuju pintu lift yang di peruntukkan untuk semua pegawai.Dengan sikapnya yang terlihat tak sabar, menunggu dengan gelisah tepat di depan pintu lift yang masih menutup tak kunjung terbuka."Besok datang jam delapan! jangan sampai telat!" Kalimat Agam yang terngiang di kepalany
Satu jam sudah waktu yang Inez habiskan, hanya duduk diam di atas sofa tanpa melakukan apa-apa di ruangan Agam.Menunggu bos sementaranya yang masih tidur, tampak tenang dengan wajah yang tak lagi pucat."Sampai kapan dia akan tidur?" gumam Inez, menghela nafasnya panjang menatap Agam.Sebelum mengerutkan keningnya, karena tidur Agam yang tak nyenyak, menggerakkan kepalanya cepat ke kanan dan ke kiri terlihat tertekan."Jangan Cin! jangan kesana! jangan pergi Cintia! jangan pergi..!" gumam Agam, masih memejamkan matanya, menggerakkan kepalanya cepat.Karena mimpi buruknya, sebuah kilas balik mengenai kisah cintanya yang terpisah, akibat kecelakaan maut yang merenggut wanita nya di depan matanya sendiri.Menciptakan banyaknya peluh yang keluar, membasahi dahinya, masih dengan gerakan kepalanya terlihat semakin tertekan."Pak... Pak Agam!" panggil Inez, sesa
"Nez?" panggil Andre, mengalihkan pandangan Agam menatapnya.Berusaha bersikap tenang, Inez hanya mengulaskan senyum tipisnya segera menenggak air yang ada di dekatnya.Kembali beradu pandang dengan Andre, calon suami pilihan orang tuanya, masih berdiri di dekatnya, menatapnya penuh tanya."Ada apa?" tanya Inez, dengan wajah tak berdosanya beradu pandang."Ngapain kamu disini?" tanya Andre, sebelum mengalihkan pandangannya menatap Agam."Dia siapa?" lanjut Andre, melirik Agam yang terdiam, tak mengerti dengan suasana yang ada di depannya."Siapapun dia nggak ada hubungannya sama kamu," jawab Inez, menyakiti hati Andre yang tersenyum getir menatapnya cemburu."Aku ingin bicara sama kamu! kamu harus menjelaskan semuanya Nez!" ucap Andre, mencoba untuk bersabar, dengan tatapan tajamnya, merasa tak suka dengan kebersamaan Inez bersama dengan lelaki lain yang t
BRAKKKKKKSuara dentuman keras, beberapa menit setelah kepergian Agam, mengejutkan Inez yang sedang makan.Dengan detak jantungnya yang berdetak sangat cepat, akibat rasa kagetnya yang terlalu tinggi, membuat jiwa keingintahuannya pun meninggi."Ada kecelakaan di depan..." teriak salah satu orang yang ada di dalam restoran, kompak berlari, bersamaan dengan pengunjung yang lainnya, berhambur keluar ingin melihat kejadian.Tak terkecuali Inez, sudah mengayunkan langkahnya cepat, setengah berlari keluar dari dalam restoran.Sementara itu di luar restoran, Agam terlihat berdiri, tepat di halaman restoran yang ada di nol jalan.Dengan tubuhnya yang bergetar hebat tak mampu mengalihkan pandangannya dari kecelakaan yang ada di depannya.Membuat matanya memerah, dengan linangan air mata yang hampir menitik, seolah terpaku di tempatnya.
Jalanan kota yang terlihat lenggang, dengan sinar mentari yang masih terang di siang hari.Inez, sudah duduk bersebelahan dengan Agam di kursi belakang mobil yang di kendarai supir pribadi Bos sementaranya.Hanya duduk bersandar dengan bahunya yang mulai terasa pegal, karena kepala Agam, yang tertidur bersandar di bahunya.Sementara itu di tempat lainnya, terlihat Andre, mengendarai mobil sport merahnya dengan kecepatan tinggi.Menembus jalanan kota yang terlihat sepi, sebelum membelokkan mobilnya memasuki sebuah gerbang gedung perusahan tempatnya bekerja.Sebagai wakil direktur di perusahaan Papanya sendiri, Sukmajaya Group.Dengan hatinya yang teramat kesal, berusaha keras untuk menaha
Waktu belum terlalu sore, tepat di saat jam dinding di setiap ruangan yang ada di gedung Dirgantara property sudah menunjuk ke angka tiga.Terlihat Agam, mengayunkan langkah keluar dari ruang meeting bersama dengan Inez di belakangnya.Baru menyelesaikan meeting bersama dengan para manager di setiap departement yang di bawahinya."Siapkan bahan skripsi kamu, aku bantu kamu sekarang," ucap Agam, masih mengayunkan langkah membulatkan mata Inez.Menciptakan binar bahagia di wajahnya, bagaikan mendapat angin segar yang menerpa wajah cantiknya, segera melangkahkan kakinya cepat untuk berjalan sejajar dengan bos sementaranya."Serius?" tanya Inez, dengan senyum semringah yang tersungging di bibirnya, masih mengayunkan langkah mencoba untu
"Ha? jam segini mau ke mall? aku juga belum mandi! masih berantakan begini!" ucap Inez, melihat penampilannya sendiri."Nggak papa, kita kerumah ku dulu, jadi kamu bisa mandi dan siap-siap di rumahku! " jawab Andien."Aku nggak bawa baju!""Pakai bajuku," jawab Andien, sebelum melambaikan tangannya ke arah Agam yang berjalan, hendak keluar melewati pintu loby menatapnya diam.Bersamaan dengan gerak kepala Inez yang menoleh, ikut mengalihkan pandangannya menatap Agam."Ngapain kamu di sini?" tanya Agam, sudah berdiri di depan adiknya beradu pandang."Mau jemput Inez, sekalian mau bilang sama kamu Kak, tolong anterin kita ke mall ya? tapi kita pulang dulu biar Inez bisa ganti baju." Jawab
Gerimis mulai menyapa, tepat di saat selesainya acara makan malam untuk merayakan hari jadi pernikahan Inez dan juga Agam yang kedua. Kini sepasang suami istri yang sedang berbahagia telah berada di dalam mobil yang di kendarai oleh Agam.Saling melempar senyuman, tak lagi bisa menyembunyikan binar kebahagiaan yang terlihat begitu jelas kentara dari binar di sorot mata keduanya, saling bergenggaman tangan, dan berkali kali, hampir tak berhenti Agam mencium punggung tangan Inez melampiaskan rasa beryukurnya."Terimakasih Yang, Ya Allah... apa kamu nggak tahu gimana bahagianya aku sekarang?" ucap Agam, kembali mencium punggung tangan istrinya yang telah merona tersenyum senang.Membagi fokusnya antara jalanan dan juga istrinya, akibat berita bahagia yang baru di sampaikan Inez kepadanya beberapa jam yang lalu, sewaktu masih menikmati makan malam sungguh berhasil membuncahkan rasa haru dan juga bahagia di dada Agam, bersora
"Halo Yang," suara Agam, sesaat setelah menggeser layar ponsenya. Merasa begitu bersalah, "Gagal lagi gagal lagi! gagal terus!" batin Agam berteriak, merasa kesal dengan kejutannya yang selalu saja gagal tak pernah bisa berhasil.Dan terdiam, mendengar suara isakan tangis istrinya yang terdengar khawatir menanyakan keadannya. "Kamu nggak papa kan Yang? masak ada orang kesini ngaku karyawan kamu dan bilang kamu pingsan Yang,"Entah kenapa, terdengar begitu melow, semakin mengembangkan rasa bersalah di hati Agam, meraup wajah tampannya frustasi."Aku...,""Kamu dimana? kamu baik baik saja kan Yang?"Semakin membuat Agam dilema, harus meneruskan sandiwaranya atau mengh
Minggu telah bergulir, bertemu dengan Minggu Minggu setelahnya menambahkan jumlah bulan yang telah di lewati oleh Agam dan juga Inez.Yang kini telah meneguk manisnya kesembuhan total, tanpa rasa sakit ataupun ketakutan yang menguasai sebelum melakukan hubungan intim.Sudah berganti menjadi gairah yang membahagiakan, yang harus segera di tuntaskan hampir setiap harinya dengan perasaan yang begitu bahagia sebelum di terbangkan ke awan oleh permainan Agam yang selalu saja luar biasa.Tepat di usia pernikahan keduanya yang sudah menginjak usia dua tahun, tepatnya sehari sebelum merayakan aniversary pernikahan yang ke dua, terlihat Inez, sedang mengayunkan langkahnya keluar dari kamar mandi.Terus saja memasang senyum di bi
Pagi mulai menyapa, di tandai dengan hangatya sinar mentari yang kembali bersinar, baru datang dari peraduan tepat di pukul tujuh pagi.Terlihat Agam, sedang tidur berbaring di atas ranjangnya, memeluk sayang istrinya yang masih memejamkan mata di dalam pelukan. Akhirnya bisa meneguk manisnya rasa klimaks yang sempat tertunda akibat gangguan dari Aga.Melakukan pertempuran yang begitu luar biasa nikmatnya, selepas shubuh setelah sempat ketiduran di kamar tamu bersama dengan Aga, berhasil membuat istrinya itu kelelahan."Selamat pagi Yang," goda Agam, memainkan bulu mata lentik Inez, mengecup dahi istrinya yang menggeliat merasa terganggu dengan sentuhannya."Apa sih Yang, aku capek," lirih Inez, masih memejamkan matanya
Hasrat yang menguasai, seolah tak mampu lagi di bendung oleh Agam yang kini sedang mempermainkan buah dada istrinya yang begitu kenyal dan menantang.Tak lagi menggunakan jemari tangannya yang sekarang sudah bergerilya menelusup dan membelai punggung putih Inez yang masih tertutup baju, namun sudah menggunakan bibir tebalnya untuk menghisap dan menggigit ujung buah dada yang kian menegang.Hampir berhasil memporak porandakan konsentrasi Inez yang masih melakukan panggilan telepon, berusaha keras untuk tetap sadar tak mengeluarkan desahan, mendorong kepala suaminya pelan. "Yang!" lirih Inez, dengan deru nafasnya yang hampir memburu menekankan. Harus bisa mengatasi gairah yang kini telah bersemayam, menjauhkan kembali ponselnya dari telinga.Namun Sayang, Agam yang tak lagi terkontrol, sama sekali tak menggubrisnya, mengacuhkan dirinya yang masih melakukan panggilan telepon tetap melakukan aktifitas yang membuatnya kian melayang."Ha
Suasana hening yang menyelimuti ruang tamu di unit apartemen Agam dan juga Inez, akibat rasa bingung yang melanda hati melihat gurat sendu di wajah tampan Aga. Membuat keduanya saling diam, hanya memperhatikan Aga yang terdiam masih menundukkan kepala."Jadi boleh nggak Kak?" tanya Aga, setelah beberapa menit membisu, kembali memandang Inez yang tersenyum mengangguk palan."Yang!" lirih Agam.Mengalihkan pandangan Aga, "Nggak boleh ya Om?""Bukannya begitu, tapi kami nggak mau di sangka menyembunyikan anak orang karena kamu yang nggak izin sama Papa kamu," sahut Agam.Menganggukkan kepala Inez membenarkan. "Benar kata Om Agam, Pak Dafa pasti khawatir,"Papa nggak mungkin khawatir Kak, harus berapa kali aku bilang, kalau Papa nggak mungkin khawatir," sahut Aga emosional, menampakkan kesenduhan di netra matanya yang berkaca kaca."Aga sudah makan malam?" tanya Inez, lebih memilih untuk mengalihk
Suasana yang sunyi, menyelimuti kamar presidential suite tempat Papa Raimon menginap, terlihat si empunya, sedang duduk di atas sofa menikmati secangkir kopi menunggu kedatangan menantunya, Agam."Duduk," dingin Papa Raimon, mengarahkan pandangannya ke aras sofa kosong di dekatnya, mempersilahkan Agam yang baru masuk ke dalam kamarnya memenuhi perintahnya. "Kopi buat kamu, minum kopi kan?"Baru pertama kalinya duduk dan ngobrol berdua dengan menantunya, setelah pernikahan Agam dan juga Inez. Selain karena dirinya yang lebih senang menyendiri, juga karena kepindahan Agam dan juga Inez ke Apartemen, semakin memperlebar jarak di antara keduanya."Terimakasih Pa," jawab Agam, menganggukkan kepalanya pelan, segera meraih kopi untuk di seruputnya perlahan, "kopi hitam kesukaan saya,"Dan tak membuat Papa Raimon bersuara, hanya membuang pandangan, kembali menikmati kopi di tangan."Terimakasih," suara Papa Raimon, setelah mem
Sang Surya kembali menyapa, membawa hangat sinarnya yang masih bersahabat, tak menyengat kulit.Tepat di pukul sembilan pagi, mobil Agam melaju dengan kecepatan sedang, menembus jalanan kota yang terlihat lenggang.Membawa Istrinya yang terlihat tegang, bersama dengan Mama dan juga Mama Mertuanya yang sedang duduk di kursi belakang.Di ikuti oleh mobil Abian yang melaju di belakangnya, ingin menemani Inez menjalani pengobatan."Meeting hari ini di pimpin sama Pak Raimon, kamu siapkan semua berkas dan materinya ya, berikan ke Pak Raimon sebelum jam setengah sepuluh," suara Abian, yang sedang melakukan panggilan telepon bersama dengan Sekretarisnya.Sesaat sebelum mematikan sambungan teleponnya, mendengar jawaban iya dari Sekretarisnya.Merasa begitu berdebar, di sela hatinya yang terus saja berdoa, meminta kelancaran di setiap proses pengobatan Adik kesayangannya.Pukul Sebelas siang, Inez suda
Sang Surya kembali menyapa, membawa hangat sinarnya yang masih bersahabat, tak menyengat kulit.Tepat di pukul sembilan pagi, mobil Agam melaju dengan kecepatan sedang, menembus jalanan kota yang terlihat lenggang.Membawa Istrinya yang terlihat tegang, bersama dengan Mama dan juga Mama Mertuanya yang sedang duduk di kursi belakang.Di ikuti oleh mobil Abian yang melaju di belakangnya, ingin menemani Inez menjalani pengobatan."Meeting hari ini di pimpin sama Pak Raimon, kamu siapkan semua berkas dan materinya ya, berikan ke Pak Raimon sebelum jam setengah sepuluh," suara Abian, yang sedang melakukan panggilan telepon bersama dengan Sekretarisnya.Sesaat sebelum mematikan sambungan teleponnya, mendengar jawaban iya dari Sekretarisnya.Merasa begitu berdebar, di sela hatinya yang terus saja berdoa, meminta kelancaran di setiap proses pengobatan Adik kesayangannya.Pukul Sebelas siang, Inez suda