"Inez!!!" pekik Papa Raimon Akhirnya, menyentakkan hati Inez, segera mengangkat kepalanya cepat beradu pandang.
Dengan matanya yang memerah, menahan tangis yang tak ingin di keluarkannya, berusaha membuka mulutnya untuk menjawab pertanyaan Papanya.
Sebuah jawaban yang dia sendiri pun tak mengetahuinya, karena kebohongan yang di buatnya, hanya untuk harapannya agar bisa membatalkan rencana pertunangannya dengan Andre laki-laki yang tak pernah ada di hatinya.
"Buka mulut kamu! jawab pertanyaan Papa!" lanjut Papa Raimon dengan sorot mata tajamnya mengintimidasi putri bungsunya.
"Aku nggak mau bertunangan dengan Andre Pa," jawab Inez akhirnya.
Menciptakan senyum getir di bibir Papa Raimon membuang pandangannya ke sembarang arah.
"Kenapa? karena kamu nggak mencintainya?" tanya Papa Raimon dengan detak jantungnya yang berpacu sangat cepat kembali mengalihkan pandangannya menatap putrinya.
"Iya, sering sudah aku mengatakannya," lirih Inez dengan matanya yang semakin memerah beradu pandang.
"Kamu harus tetap menikah sama Andre! ada cinta ataupun nggak ada cinta jodoh kamu tetap sama Andre!"
"Papa bukan Tuhan yang bisa menentukan jodohku Pa!" debat Inez.
"Tapi Papa orang tua kamu yang bisa menjodohkan kamu dengan siapapun yang Papa anggap baik untuk kamu Inez!" jawab Papa Raimon menekankan, semakin menyakiti hati Inez menitikan air mata putrinya.
Merobohkan pertahanan Inez yang tak ingin menangis, dengan bibirnya yang bergetar menatap Papanya dalam.
"Baik untuk siapa Pa? baik untuk ku apa baik untuk perusahaan Papa?" protes Inez dengan detak jantungnya yang berdetak sangat cepat tak membuang pandangannya dari Papa Raimon yang membulatkan mata menahan amarah.
"Kenapa sih Pa? kenapa harus menjualku? kenapa Papa tega menjual masa depan dan kebahagiaanku Pa? hanya untuk kepentingan perusahaan Papa? kenapa Papa lebih menyayangi perusahaan Papa ketimbang menyayangiku anak kandung Papa sendiri?" ucap Inez, dengan bibirnya yang semakin bergetar menahan rasa sesak yang menyeruak.
Menyakiti perasaannya, karena rasa kecewanya sebagai seorang anak kepada Papanya sendiri, yang terlalu mendikte dan memaksakan kehendak di balik alasan kebahagiaannya, tanpa ingin tahu bahkan tak mau tahu bagaimana perasaannya yang sebenarnya.
"Jangan bicara seperti itu Nez! Papa sangat menyayangi kamu...," timpal Mama Desi yang di sambut dengan gelengan pelan kepala putrinya.
"Nggak Ma! Papa nggak pernah menyayangiku! Papa hanya menyayangi perusahaannya! Papa hanya memikirkan cara untuk mengembangkan perusahaannya agar lebih besar dan semakin besar lagi!"
"Hingga... hingga membuat Papa rela menjual anak gadisnya sendiri dengan perjodohan bisnis yang akan menguntungkan perusahan Papa!"
"Jaga ucapan kamu Nez!" sentak Papa Raimon mengepalkan kedua tangannya menahan amarahnya yang membuncah tak bisa menerima kalimat putrinya.
"Apanya yang harus di jaga Pa? memang seperti itu bukan kenyataannya? karena Andre putra tunggal, calon pewaris Sukmajaya Group? berapa nilai uang yang akan Papa dapatkan untuk satu anak kandung Papa? Satu milyar? dua milyar? atau sepuluh mil...
PLAKKKKK
"Papa....!" teriak Mama Desi yang tersentak, reflek menyentuh lengan suaminya yang terlanjur melayang bersamaan dengan air matanya yang tumpah menyaksikan kekasaran suaminya kepada putrinya.
Menampar pipi putih Inez, membuat Inez terdiam, dengan deru nafasnya yang memburu memejamkan matanya dalam.
Tak terkecuali Abian yang sedari tadi terdiam, reflek mengayunkan langkahnya cepat mendekati adiknya.
"Jangan main tangan Pa!" ucap Abian, setelah merangkul pundak adiknya yang masih diam, menundukkan kepala menahan denyutan rasa di pipi yang memerah.
Terlebih denyutan di hati Inez yang semakin sakit, melebihi rasa sakit di bekas tamparan Papanya.
"Inez...lihat Kakak Nez...." Ucap Abian, mencakup kedua pipi adiknya yang menunduk,.
Tak membuat Inez bergerak, hanya bergeming dengan kepalanya yang menunduk tak ingin mengalihkan pandangannya.
Karena tangisannya yang semakin pecah, membuatnya terisak dengan air matanya yang terjatuh membasahi lantai.
Tempat kakinya yang gemetar berdiri, karena rasa sakit di hatinya yang telah membumbung tinggi menguasainya.
"Lihat Kakak Nez...," lirih Abian lagi, sebelum beradu pandang dengan sorot pilu mata adiknya, dengan bibirnya yang semakin bergetar menatapnya dalam.
"Apa aku harus menikah sama Andre Kak? tolong katakan... jika kamu bilang Andre itu baik buat aku, aku akan melakukan apapun yang kamu katakan Kak...," ucap Inez, semakin memecahkan tangisannya beradu pandang.
Semakin menyakiti perasaan Abian yang sangat menyayangi adik perempuannya, menjadikan Inez ratu ke dua di hatinya setelah Mamanya segera mendekap tubuh Inez untuk di bawanya ke dalam pelukan.
"Bilang sama aku Kak..., apa yang harus aku lakukan sekarang Kak?" lirih Inez, membenamkan wajah cantiknya ke dalam dada Abian semakin mengeratkan pelukannya.
"Sudah dua tahun bukan kamu mengetahui rencana perjodohan Ini? kenapa selama itu juga kamu belum bisa mencintai Andre Nez?" tanya Abian, dengan suara lembutnya mengalihkan pandangannya dari Papanya yang terdiam membuang pandangan tak menatapnya.
"Karena aku nggak bisa melihat sosok kamu di diri Andre Kak! aku hanya ingin menikah sama laki-laki yang sama seperti kamu! bukan laki-laki yang seperti Papa...," tangis Inez, mengalihkan pandangan Papa Raimon menatapnya.
Berbarengan dengan Mama Desi yang semakin menangis, menyandarkan punggungnya Kedinding tak mengalihkan pandangannya dari Inez.
"Karena kamu cinta pertamaku Kak! kamu satu-satunya laki-laki di dunia ini yang selalu berusaha untuk membahagiakanku, yang selalu ada di setiap tangis dan tawaku! yang selalu setia mendengarkan ceritaku..., yang selalu memelukku dan tak pernah menamparku...." lanjut Inez, menyakiti hati Papa Raimon yang terdiam menatapnya dalam.
Hanya berdiri tegak, masih bergeming di tempatnya meremas tangan kanannya menyesali tamparannya.
Karena dirinya yang terlalu emosional, hingga membuatnya hilang kendali tak mampu mengontrol amarahnya yang menguasai.
"Papa menyayangimu..., dari Papa membuka mata hingga sampai Papa menutup mata kembali, Papa tak pernah berhenti memikirkan kebahagiaan kamu, Kakak kamu dan Mama kamu," lirih Papa Raimon, menatap dalam Inez yang masih bergeming di pelukan Abian.
Masih dengan perasan menyesalnya menatap sendu putri bungsunya yang tak pernah menangis di pelukannya.
Karena sikap kakunya, karakternya yang tak bisa bersikap lembut untuk menunjukkan rasa cintanya.
Segera mengalihkan pandangannya, beradu pandang dengan Mama Desi yang menangis menatapnya kesal.
Sebelum membalikkan badannya, mengayunkan langkahnya masuk ke dalam rumah meninggalkan kedua anak dan istrinya yang menangis.
Mengacuhkan Abian dan Mama Desi yang terdiam menatapnya dalam.
***
Sang Surya telah kembali, dengan sinarnya yang belum begitu terang tampak cerah tanpa mendung yang menggantung.
Terlihat Inez, baru membuka matanya yang terlihat sedikit bengkak masih berbaring malas di atas ranjang.
Hanya terdiam, menyentuh pipinya kembali mengingat tamparan Papanya.
Sebelum memejamkan matanya dalam berusaha melupakan semuanya, karena dirinya yang tak ingin di kuasai oleh amarah, terlebih rasa sakit hati dan rasa sedihnya yang akan menggangu segala aktifitasnya.
Sebelum mengalihkan pandangannya ke arah pintu kamarnya yang terketuk segera bangun dari tidurnya.
"Masuk!" ucap Inez mempersilahkan
"Selamat Pagi Inez...," sapa Abian dengan senyum mengembangnya, sesaat setelah membuka pintu kamar adiknya, beradu pandang dengan Inez yang mengulaskan senyum tipis menyambut sapaannya
"Selamat pagi Kak...,apa itu?" tanya Inez mengedikkan dagunya ke arah nampan yang dibawa kakaknya."Sarapan spesial buatan cinta pertama kamu...," jawab Abian terkekeh, mengayunkan langkahnya mendekati adiknya.
"Astaga..., hahaha," ucap Inez Tertawa, sesaat setelah melihat penampakan roti yang di bawa kakaknya.
Dua lapis roti bakar isi selai coklat kesukaannya, dengan tambahan emoticon smile di atasnya.
"Apapun yang terjadi harus selalu tersenyum, oke?" ucap Abian, sudah duduk di depan adiknya, mengalihkan pandangan Inez yang mengangguk pelan menatapnya dalam.
"Ayo makan," titah Abian, beradu pandangan dengan Inez yang tersenyum segera mengambil alih roti yang di bawanya.
"Terimakasih Kak...," ucap Inez, masih dengan senyum di bibirnya segera melahap roti buatan kakaknya yang terasa sangat nikmat.
"Untuk masalah pacar kamu..., apa bisa kamu cerita ke Kakak sekarang Nez?" tanya Abian hati-hati, mengalihkan pandangan Inez, masih mengunyah makanan di mulut beradu pandang.
"Apa kamu ingin aku menikah sama Andre Kak?" tanya balik Inez setelah menghela nafasnya kasar tak membuang pandangannya..
Tak membuat Abian bersuara, hanya meletakkan piring kosong yang di bawanya di atas nakas sebelum menggaruk pelan dahinya yang tak gatal kembali menatap adik perempuannya.
"Bagaimana ya..., Kakak juga bingung..., tapi bagi Kakak..., terlepas dengan siapapun kamu menikah nanti, Kakak hanya ingin kamu bahagia," jawab Abian beradu pandang.
Menundukkan kepala Inez kembali menggigit roti yang di bawanya tak menatap Kakaknya.
"Aku nggak akan bisa bahagia jika dipaksa hidup dengan Andre Kak," lirih Inez.
"Kenapa kamu seyakin itu?" tanya Abian, menegakkan kepala Inez kembali beradu pandang.
"Setau Kakak dia laki-laki baik, kasih kesempatan dia dulu untuk bisa dekat sama kamu, bagaimana bisa kamu mengenal dia kalau kamu terus saja menghindarinya, tak mau menerima telepon dari dia?"
"Aku pernah melihat dia membentak Mamanya sendiri, dan dari situ aku sudah bisa memastikan kalau dia bukan laki-laki yang aku cari," jawab Inez sebalum mengalihkan pandangannya ke arah ponselnya yang berdering.
"Sebentar ya Kak," ucap Inez segera meraih ponselnya di atas nakas.
"Siapa?" tanya Abian yang di jawab dengan mengediknya bahu Inez beradu pandang.
"Nomor baru Kak," jawab Inez, sesaat sebelum menggeser layar ponselnya untuk menjawab panggilan teleponnya.
"Halo...,"
"Halo Nez, ini Tante Ratih, maaf ya menganggu, Tante hanya memastikan aja apa kamu sudah ada di kantor Abian?" ucap Tante Ratih, menyentakkan hati Inez, menepuk dahinya pelan melupakan kesepakatannya.
"Mati aku!" gumamnya lirih, segera mengalihkan pandangannya ke arah jam dinding yang menggantung di dalam kamarnya.
"Sudah jam delapan!!!" batin Inez.
"Ah.. iya iya Tante, ini sudah persiapan mau berangkat kesana," jawab Inez cepat, mengerutkan kening kakaknya yang masih duduk manis di depannya.
"Siapa?" selidik Abian sesaat setelah Inez menyelesaikan panggilan telepon, mengalihkan kembali pandangan Inez menatapnya.
"Aku harus penelitian Kak..., aku kesiangan," jawab Inez cepat, segera turun dari ranjangnya, sebelum mengayunkan langkahnya cepat hendak masuk ke dalam kamar mandi.
"Untuk skripsi? bukannya kemarin sudah?" tanya Abian setengah berteriak, karena Inez yang telah berlari menjauhinya.
"Belum selesai Kak!" jawab Inez ikut berteriak sesaat sebelum masuk ke dalam kamar mandi yang ada di dalam kamarnya.
Bersambung.
Waktu telah beranjak siang, di saat jam tangan yang di kenakan Inez telah menunjuk ke pukul sembilan lebih lima belas menit.Terlihat Inez, baru turun dari motor sport hitamnya, sudah memarkirkan motornya dengan baik segera mengayunkan langkahnya cepat, setengah berlari masuk ke dalam loby Dirgantara property.Ingin memulai tugas sementaranya sebagai Sekretaris Agam, laki-laki dingin yang emosional.Hanya untuk memanfaatkan otak pemilik perusahaan property itu sebagai bala bantuan skripsi yang harus di kerjakannya.Masih setengah berlari, dengan pandangannya lurus ke depan menuju pintu lift yang di peruntukkan untuk semua pegawai.Dengan sikapnya yang terlihat tak sabar, menunggu dengan gelisah tepat di depan pintu lift yang masih menutup tak kunjung terbuka."Besok datang jam delapan! jangan sampai telat!" Kalimat Agam yang terngiang di kepalany
Satu jam sudah waktu yang Inez habiskan, hanya duduk diam di atas sofa tanpa melakukan apa-apa di ruangan Agam.Menunggu bos sementaranya yang masih tidur, tampak tenang dengan wajah yang tak lagi pucat."Sampai kapan dia akan tidur?" gumam Inez, menghela nafasnya panjang menatap Agam.Sebelum mengerutkan keningnya, karena tidur Agam yang tak nyenyak, menggerakkan kepalanya cepat ke kanan dan ke kiri terlihat tertekan."Jangan Cin! jangan kesana! jangan pergi Cintia! jangan pergi..!" gumam Agam, masih memejamkan matanya, menggerakkan kepalanya cepat.Karena mimpi buruknya, sebuah kilas balik mengenai kisah cintanya yang terpisah, akibat kecelakaan maut yang merenggut wanita nya di depan matanya sendiri.Menciptakan banyaknya peluh yang keluar, membasahi dahinya, masih dengan gerakan kepalanya terlihat semakin tertekan."Pak... Pak Agam!" panggil Inez, sesa
"Nez?" panggil Andre, mengalihkan pandangan Agam menatapnya.Berusaha bersikap tenang, Inez hanya mengulaskan senyum tipisnya segera menenggak air yang ada di dekatnya.Kembali beradu pandang dengan Andre, calon suami pilihan orang tuanya, masih berdiri di dekatnya, menatapnya penuh tanya."Ada apa?" tanya Inez, dengan wajah tak berdosanya beradu pandang."Ngapain kamu disini?" tanya Andre, sebelum mengalihkan pandangannya menatap Agam."Dia siapa?" lanjut Andre, melirik Agam yang terdiam, tak mengerti dengan suasana yang ada di depannya."Siapapun dia nggak ada hubungannya sama kamu," jawab Inez, menyakiti hati Andre yang tersenyum getir menatapnya cemburu."Aku ingin bicara sama kamu! kamu harus menjelaskan semuanya Nez!" ucap Andre, mencoba untuk bersabar, dengan tatapan tajamnya, merasa tak suka dengan kebersamaan Inez bersama dengan lelaki lain yang t
BRAKKKKKKSuara dentuman keras, beberapa menit setelah kepergian Agam, mengejutkan Inez yang sedang makan.Dengan detak jantungnya yang berdetak sangat cepat, akibat rasa kagetnya yang terlalu tinggi, membuat jiwa keingintahuannya pun meninggi."Ada kecelakaan di depan..." teriak salah satu orang yang ada di dalam restoran, kompak berlari, bersamaan dengan pengunjung yang lainnya, berhambur keluar ingin melihat kejadian.Tak terkecuali Inez, sudah mengayunkan langkahnya cepat, setengah berlari keluar dari dalam restoran.Sementara itu di luar restoran, Agam terlihat berdiri, tepat di halaman restoran yang ada di nol jalan.Dengan tubuhnya yang bergetar hebat tak mampu mengalihkan pandangannya dari kecelakaan yang ada di depannya.Membuat matanya memerah, dengan linangan air mata yang hampir menitik, seolah terpaku di tempatnya.
Jalanan kota yang terlihat lenggang, dengan sinar mentari yang masih terang di siang hari.Inez, sudah duduk bersebelahan dengan Agam di kursi belakang mobil yang di kendarai supir pribadi Bos sementaranya.Hanya duduk bersandar dengan bahunya yang mulai terasa pegal, karena kepala Agam, yang tertidur bersandar di bahunya.Sementara itu di tempat lainnya, terlihat Andre, mengendarai mobil sport merahnya dengan kecepatan tinggi.Menembus jalanan kota yang terlihat sepi, sebelum membelokkan mobilnya memasuki sebuah gerbang gedung perusahan tempatnya bekerja.Sebagai wakil direktur di perusahaan Papanya sendiri, Sukmajaya Group.Dengan hatinya yang teramat kesal, berusaha keras untuk menaha
Waktu belum terlalu sore, tepat di saat jam dinding di setiap ruangan yang ada di gedung Dirgantara property sudah menunjuk ke angka tiga.Terlihat Agam, mengayunkan langkah keluar dari ruang meeting bersama dengan Inez di belakangnya.Baru menyelesaikan meeting bersama dengan para manager di setiap departement yang di bawahinya."Siapkan bahan skripsi kamu, aku bantu kamu sekarang," ucap Agam, masih mengayunkan langkah membulatkan mata Inez.Menciptakan binar bahagia di wajahnya, bagaikan mendapat angin segar yang menerpa wajah cantiknya, segera melangkahkan kakinya cepat untuk berjalan sejajar dengan bos sementaranya."Serius?" tanya Inez, dengan senyum semringah yang tersungging di bibirnya, masih mengayunkan langkah mencoba untu
"Ha? jam segini mau ke mall? aku juga belum mandi! masih berantakan begini!" ucap Inez, melihat penampilannya sendiri."Nggak papa, kita kerumah ku dulu, jadi kamu bisa mandi dan siap-siap di rumahku! " jawab Andien."Aku nggak bawa baju!""Pakai bajuku," jawab Andien, sebelum melambaikan tangannya ke arah Agam yang berjalan, hendak keluar melewati pintu loby menatapnya diam.Bersamaan dengan gerak kepala Inez yang menoleh, ikut mengalihkan pandangannya menatap Agam."Ngapain kamu di sini?" tanya Agam, sudah berdiri di depan adiknya beradu pandang."Mau jemput Inez, sekalian mau bilang sama kamu Kak, tolong anterin kita ke mall ya? tapi kita pulang dulu biar Inez bisa ganti baju." Jawab
Malam belum terlalu larut, setelah lima belas menit berkendara, terlihat Mobil yang di kendalikan Agam, bersama dengan Inez dan Andien sebagai penumpangnya berhenti di tempat parkir yang ada di halaman depan mall."Ayo," ucap Andien, sesaat setelah turun dari mobil kakaknya, menggandeng tangan Inez yang terlihat tak nyaman.Beberapa kali menyentuh gaunnya mengalihkan pandangan Agam."Kita beli baju dulu ya Ndin, aku risih pakai ini," ucap Inez."Beli?" tanya Andien, beradu pandang dengan Inez yang mengangguk."Waduh!" batin Andien.Sebelum tersentak dengan suara kakaknya."Ayo cepat masuk! ngapain berhenti di sini?" ucap Agam, segera mengayun
Gerimis mulai menyapa, tepat di saat selesainya acara makan malam untuk merayakan hari jadi pernikahan Inez dan juga Agam yang kedua. Kini sepasang suami istri yang sedang berbahagia telah berada di dalam mobil yang di kendarai oleh Agam.Saling melempar senyuman, tak lagi bisa menyembunyikan binar kebahagiaan yang terlihat begitu jelas kentara dari binar di sorot mata keduanya, saling bergenggaman tangan, dan berkali kali, hampir tak berhenti Agam mencium punggung tangan Inez melampiaskan rasa beryukurnya."Terimakasih Yang, Ya Allah... apa kamu nggak tahu gimana bahagianya aku sekarang?" ucap Agam, kembali mencium punggung tangan istrinya yang telah merona tersenyum senang.Membagi fokusnya antara jalanan dan juga istrinya, akibat berita bahagia yang baru di sampaikan Inez kepadanya beberapa jam yang lalu, sewaktu masih menikmati makan malam sungguh berhasil membuncahkan rasa haru dan juga bahagia di dada Agam, bersora
"Halo Yang," suara Agam, sesaat setelah menggeser layar ponsenya. Merasa begitu bersalah, "Gagal lagi gagal lagi! gagal terus!" batin Agam berteriak, merasa kesal dengan kejutannya yang selalu saja gagal tak pernah bisa berhasil.Dan terdiam, mendengar suara isakan tangis istrinya yang terdengar khawatir menanyakan keadannya. "Kamu nggak papa kan Yang? masak ada orang kesini ngaku karyawan kamu dan bilang kamu pingsan Yang,"Entah kenapa, terdengar begitu melow, semakin mengembangkan rasa bersalah di hati Agam, meraup wajah tampannya frustasi."Aku...,""Kamu dimana? kamu baik baik saja kan Yang?"Semakin membuat Agam dilema, harus meneruskan sandiwaranya atau mengh
Minggu telah bergulir, bertemu dengan Minggu Minggu setelahnya menambahkan jumlah bulan yang telah di lewati oleh Agam dan juga Inez.Yang kini telah meneguk manisnya kesembuhan total, tanpa rasa sakit ataupun ketakutan yang menguasai sebelum melakukan hubungan intim.Sudah berganti menjadi gairah yang membahagiakan, yang harus segera di tuntaskan hampir setiap harinya dengan perasaan yang begitu bahagia sebelum di terbangkan ke awan oleh permainan Agam yang selalu saja luar biasa.Tepat di usia pernikahan keduanya yang sudah menginjak usia dua tahun, tepatnya sehari sebelum merayakan aniversary pernikahan yang ke dua, terlihat Inez, sedang mengayunkan langkahnya keluar dari kamar mandi.Terus saja memasang senyum di bi
Pagi mulai menyapa, di tandai dengan hangatya sinar mentari yang kembali bersinar, baru datang dari peraduan tepat di pukul tujuh pagi.Terlihat Agam, sedang tidur berbaring di atas ranjangnya, memeluk sayang istrinya yang masih memejamkan mata di dalam pelukan. Akhirnya bisa meneguk manisnya rasa klimaks yang sempat tertunda akibat gangguan dari Aga.Melakukan pertempuran yang begitu luar biasa nikmatnya, selepas shubuh setelah sempat ketiduran di kamar tamu bersama dengan Aga, berhasil membuat istrinya itu kelelahan."Selamat pagi Yang," goda Agam, memainkan bulu mata lentik Inez, mengecup dahi istrinya yang menggeliat merasa terganggu dengan sentuhannya."Apa sih Yang, aku capek," lirih Inez, masih memejamkan matanya
Hasrat yang menguasai, seolah tak mampu lagi di bendung oleh Agam yang kini sedang mempermainkan buah dada istrinya yang begitu kenyal dan menantang.Tak lagi menggunakan jemari tangannya yang sekarang sudah bergerilya menelusup dan membelai punggung putih Inez yang masih tertutup baju, namun sudah menggunakan bibir tebalnya untuk menghisap dan menggigit ujung buah dada yang kian menegang.Hampir berhasil memporak porandakan konsentrasi Inez yang masih melakukan panggilan telepon, berusaha keras untuk tetap sadar tak mengeluarkan desahan, mendorong kepala suaminya pelan. "Yang!" lirih Inez, dengan deru nafasnya yang hampir memburu menekankan. Harus bisa mengatasi gairah yang kini telah bersemayam, menjauhkan kembali ponselnya dari telinga.Namun Sayang, Agam yang tak lagi terkontrol, sama sekali tak menggubrisnya, mengacuhkan dirinya yang masih melakukan panggilan telepon tetap melakukan aktifitas yang membuatnya kian melayang."Ha
Suasana hening yang menyelimuti ruang tamu di unit apartemen Agam dan juga Inez, akibat rasa bingung yang melanda hati melihat gurat sendu di wajah tampan Aga. Membuat keduanya saling diam, hanya memperhatikan Aga yang terdiam masih menundukkan kepala."Jadi boleh nggak Kak?" tanya Aga, setelah beberapa menit membisu, kembali memandang Inez yang tersenyum mengangguk palan."Yang!" lirih Agam.Mengalihkan pandangan Aga, "Nggak boleh ya Om?""Bukannya begitu, tapi kami nggak mau di sangka menyembunyikan anak orang karena kamu yang nggak izin sama Papa kamu," sahut Agam.Menganggukkan kepala Inez membenarkan. "Benar kata Om Agam, Pak Dafa pasti khawatir,"Papa nggak mungkin khawatir Kak, harus berapa kali aku bilang, kalau Papa nggak mungkin khawatir," sahut Aga emosional, menampakkan kesenduhan di netra matanya yang berkaca kaca."Aga sudah makan malam?" tanya Inez, lebih memilih untuk mengalihk
Suasana yang sunyi, menyelimuti kamar presidential suite tempat Papa Raimon menginap, terlihat si empunya, sedang duduk di atas sofa menikmati secangkir kopi menunggu kedatangan menantunya, Agam."Duduk," dingin Papa Raimon, mengarahkan pandangannya ke aras sofa kosong di dekatnya, mempersilahkan Agam yang baru masuk ke dalam kamarnya memenuhi perintahnya. "Kopi buat kamu, minum kopi kan?"Baru pertama kalinya duduk dan ngobrol berdua dengan menantunya, setelah pernikahan Agam dan juga Inez. Selain karena dirinya yang lebih senang menyendiri, juga karena kepindahan Agam dan juga Inez ke Apartemen, semakin memperlebar jarak di antara keduanya."Terimakasih Pa," jawab Agam, menganggukkan kepalanya pelan, segera meraih kopi untuk di seruputnya perlahan, "kopi hitam kesukaan saya,"Dan tak membuat Papa Raimon bersuara, hanya membuang pandangan, kembali menikmati kopi di tangan."Terimakasih," suara Papa Raimon, setelah mem
Sang Surya kembali menyapa, membawa hangat sinarnya yang masih bersahabat, tak menyengat kulit.Tepat di pukul sembilan pagi, mobil Agam melaju dengan kecepatan sedang, menembus jalanan kota yang terlihat lenggang.Membawa Istrinya yang terlihat tegang, bersama dengan Mama dan juga Mama Mertuanya yang sedang duduk di kursi belakang.Di ikuti oleh mobil Abian yang melaju di belakangnya, ingin menemani Inez menjalani pengobatan."Meeting hari ini di pimpin sama Pak Raimon, kamu siapkan semua berkas dan materinya ya, berikan ke Pak Raimon sebelum jam setengah sepuluh," suara Abian, yang sedang melakukan panggilan telepon bersama dengan Sekretarisnya.Sesaat sebelum mematikan sambungan teleponnya, mendengar jawaban iya dari Sekretarisnya.Merasa begitu berdebar, di sela hatinya yang terus saja berdoa, meminta kelancaran di setiap proses pengobatan Adik kesayangannya.Pukul Sebelas siang, Inez suda
Sang Surya kembali menyapa, membawa hangat sinarnya yang masih bersahabat, tak menyengat kulit.Tepat di pukul sembilan pagi, mobil Agam melaju dengan kecepatan sedang, menembus jalanan kota yang terlihat lenggang.Membawa Istrinya yang terlihat tegang, bersama dengan Mama dan juga Mama Mertuanya yang sedang duduk di kursi belakang.Di ikuti oleh mobil Abian yang melaju di belakangnya, ingin menemani Inez menjalani pengobatan."Meeting hari ini di pimpin sama Pak Raimon, kamu siapkan semua berkas dan materinya ya, berikan ke Pak Raimon sebelum jam setengah sepuluh," suara Abian, yang sedang melakukan panggilan telepon bersama dengan Sekretarisnya.Sesaat sebelum mematikan sambungan teleponnya, mendengar jawaban iya dari Sekretarisnya.Merasa begitu berdebar, di sela hatinya yang terus saja berdoa, meminta kelancaran di setiap proses pengobatan Adik kesayangannya.Pukul Sebelas siang, Inez suda