Waktu telah beranjak siang, di saat jam tangan yang di kenakan Inez telah menunjuk ke pukul sembilan lebih lima belas menit.
Terlihat Inez, baru turun dari motor sport hitamnya, sudah memarkirkan motornya dengan baik segera mengayunkan langkahnya cepat, setengah berlari masuk ke dalam loby Dirgantara property.
Ingin memulai tugas sementaranya sebagai Sekretaris Agam, laki-laki dingin yang emosional.
Hanya untuk memanfaatkan otak pemilik perusahaan property itu sebagai bala bantuan skripsi yang harus di kerjakannya.
Masih setengah berlari, dengan pandangannya lurus ke depan menuju pintu lift yang di peruntukkan untuk semua pegawai.
Dengan sikapnya yang terlihat tak sabar, menunggu dengan gelisah tepat di depan pintu lift yang masih menutup tak kunjung terbuka.
"Besok datang jam delapan! jangan sampai telat!"
Kalimat Agam yang terngiang di kepalanya, mewanti-wanti dirinya untuk datang tepat waktu, namun terlambat.
Selain karena dirinya yang keluapaan, juga karena dirinya yang harus menunggu kedatangan motor sportnya yang dia tinggal di kampusnya.
"Ah... lama sekali sih!" dengus Inez, merasa tak sabar.
Sebelum terdiam, mencebikkan bibirnya memutar bola matanya malas.
"Ngapain juga aku tergesa! kan aku bukan karyawannya? ah...bodoh amat lah ya..! gumam Inez, dengan sikapnya yang berubah tenang.
"Sehari hanya tiga puluh menit waktu yang akan aku luangkan untuk membantu skripsimu! pastikan kamu datang tepat waktu! atau aku akan memotong waktu luangku sesuai dengan waktu terlambatmu!"
Kalimat Agam yang lainnnya, tiba-tiba terlintas di kepalanya, kembali membuatnya gelisah dengan perasaannya yang tak sabar.
"Sial! telat satu jam lebih lagi!" gumamnya frustasi, melihat jam tangan yang melingkar di tangan kirinya, segera mengayunkan langkahnya cepat masuk ke dalam pintu lift yang terbuka.
Sebelum terdiam menatap lekat barisan tombol lift yang ada di depannya, berusaha mengingat letak lantai Agam yang di lupakannya.
"Ke lantai berapa Mbak?" tanya laki-laki, berkemeja abu-abu yang baru masuk bersamanya, mengalihkan pandangan Inez menatapnya.
"Oh itu Mas, ruangan CEO di lantai berapa ya?" tanya Inez.
"Ada di lantai enam Mbak," jawab laki-laki muda dan tampan itu, seraya menekan tombol enam kembali beradu pandang dengan Inez yang tersenyum tipis menatapnya.
"Terimakasih," ucap Inez, sebelum mengalihkan pandangannya, menatap tangan lelaki itu yang terulur ke depannya.
"Haikal," ucap lelaki itu memperkenalkan dirinya.
"Inez," jawab Inez, menyebutkan namanya menjabat tangan Haikal.
"Benar, ini dia gadis yang di ceritakan Fahmi," batin Haikal.
"Karyawan baru ya?" tanya Haikal.
"Hanya magang," jawab Inez yang di sambut dengan anggukan pelan kepala Haikal.
"Anggap saja seperti itu," batin Inez terkekeh.
"Magang di departement apa?"
"Di Departement kesialan!" jawab Inez asal, membulatkan mata Haikal beradu pandang.
Tak membuat Inez meralat kalimatnya, segera mengalihkan pandangannya ke arah pintu lift yang terbuka di lantai enam.
"Aku keluar dulu ya? terimakasih," pamit Inez, kembali mengayunkan langkahnya cepat menuju ruangan Agam.
Sementara itu di ruangan Agam, terlihat Agam yang tengah tertidur di atas kursi keberasaranya, di depan laptopnya yang terbuka karena kondisi lemasnya yang tak bisa tidur semalaman.
Tok tok tok
Inez mengetuk pintu ruangan Agam, sekali, dua kali namun tak kunjung mendengar jawaban dari si pemilik ruangan.
Membuatnya nekat, membuka pintu ruangan tanpa persetujuan Agam, membukanya perlahan, sebelum membulatkan matanya sesaat setelah memasukkan kepalanya ke dalam ruangan.
Menatap lekat Agam yang tertidur, bersandar di kursi kebesaran tak mengetahui kedatangannya, segera mengayunkan langkahnya masuk ke dalam ruangan.
"Gila ya dia? CEO apa jam segini bukannya kerja malah ngorok?" gumam Inez, mencebikkan bibirnya tak membuang pandagannya dari Agam.
Sebelum mengalihkan pandangannya ke arah botol obat, yang berdiri tegak di atas meja di samping laptop yang terbuka.
Membuat jiwa keingin tahuannya meronta, segera mengayunkan langkahnya kembali mendekati Agam.
"Obat apa ini?" gumamnya pelan, membaca judul yang tertera di botol obat yang tak di mengertinya, sebelum mengalihkan pandangannya ke arah layar laptop Agam yang masih menyala.
"Foto prewedding ya?" gumamnya lagi, menatap lekat foto Agam bersama dengan seorang wanita berparas cantik di atas motor sport merah.
Terlihat begitu serasi dan bahagia, dengan senyum yang mengembang dari bibir keduanya.
"Calon istrinya mungkin ya?" gumam Inez, tak menyadari langkahnya yang semakin mendekat, dengan kedua tangannya yang menumpu di atas meja tak mengalihkan pandangannya dari layar laptop yang di lihatnya.
Tak menyadari Agam yang membuka mata perlahan, menyipitkan kelopak matanya menyadari keberadaannya.
"Ngapain kamu?" sentak Agam, dengan sorot mata tajamnya.
Mengejutkan Inez, segera mengalihkan pandangannya cepat, beradu pandang dengan Agam yang terlihat gusar.
"Ups..Sudah bangun ya?" ucap Inez, dengan senyum nyengirnya menutupi degup cepat jantungnya yang ketahuan.
Sedikit mundur menjauhi Agam yang sudah berdiri menatapnya tajam.
"Fotonya bagus... hahaha cantik, pacar kamu ya?" lanjut Inez, dengan tawa garingnya mengalihkan pandangan Agam ke layar laptop yang baru di lihatnya.
Semakin membuat Agam gusar, segera menutup layar laptopnya dengan kasar kembali mengalihkan tatapan tajamnya menatap Inez.
"Hahahaha," tawa garing Inez lagi, menyadari kemarahan Agam akibat kelancangan nya.
"Kamu mau kopi? aku buatkan kopi ya? pasti ngantuk kan kamu? hahaha iya kamu pasti ngantuk! itu matanya merah!" tawar Inez, tak membuat Agam bersuara hanya terdiam menahan rasa geram di hatinya.
Tak menyukai kelancangan Inez yang berani mengusik tidurnya, terutama ketidak sopanan Inez yang terlalu lancang melihat layar laptopnya.
"Atau kamu mau minum obat ini? mungkin bisa menurunkan darah tinggi kamu!" tambah Inez, dengan wajah tak berdosanya mengangkat obat Agam, membulatkan mata Agam.
"Berikan obatku!" sentak Agam dengan deru nafasnya yang memburu mengambil alih obatnya dengan kasar.
"Oke oke..., " ucap Inez yang semakin terkejut dengan kemarahan Agam, melangkahkan kakinya mundur menjauhi Bos sementaranya.
Sebelum terdiam, karena tubuh Agam yang terlihat lemas, kembali duduk di atas kursi kebesarannya.
"Kamu sakit?" tanya Inez, tak membuat Agam bersuara, hanya memejamkan matanya dalam berusaha mengontrol deru nafasnya yang memburu.
Semakin membuat Inez bingung, seraya mengalihkan pandangannya ke arah pintu ruangan Agam yang terbuka.
Menatap lekat lelaki yang di temuinya tadi di dalam lift, dengan wajah tampannya yang terlihat khawatir mengayunkan langkah cepat mendekati Agam.
"Gam...," ucap Haikal menepuk pelan pipi Agam.
"Aku nggak bisa tidur semalaman Ka, aku terus mimpi buruk, kejadian itu terus saja melintas di kepalaku," gumam Agam, masih menutup matanya tak menatap Haikal.
Semakin membuat Inez bingung, masih berdiri tempatnya, memperhatikan interaksi dua lelaki yang ada di depannya, dengan berbagai macam pertanyaan yang berkecamuk di pikirannya.
"Aku kangen Ka..., hari ini hari aniversary hubungan kami..., andai saja aku bisa menyelamatkannya, hari ini pasti...," ucap Agam menggantung sesaat setelah membuka matanya, dengan air matanya yang menitik menatap Haikal.
"Apa yang sudah kamu lihat?" jawab Haikal, segera mengalihkan pandangannya ke arah laptop Agam.
"Aku sudah bilang jangan melihat foto atau apapun itu yang bisa memicu kenangan kamu Gam!" omel Haikal, sesaat setelah membuka layar laptop Agam yang hampir menutup, hendak menghapus foto yang ada di dalamnya.
"Jangan Kal! jangan di hapus!" ucap Agam, menyentuh tangan Haikal menghentikan sahabatnya yang ingin menghapus foto kenangannya.
"Aku harus menghapusnya Gam! kamu nggak bisa seperti ini terus! kamu harus sembuh dan hindari pemicunya!" jawab Haikal dengan wajah seriusnya, beradu pandangan dengan Agam yang terlihat lemas.
"Please... jangan di hapus," lirih Agam, dengan wajah memelasnya meminta pengertian sahabatnya sekaligus dokter psikiaternya.
Tak membuat Haikal bersuara, hanya menghela nafasnya panjang kembali menegakkan berdirinya menatap Inez yang terdiam.
"Hai...," sapa Inez melambaikan tangannya ragu, beradu pandang dengan Haikal yang menyadari kehadirannya.
"Kamu?" ucap Haikal.
"Iya Aku," jawab Inez.
"Kamu kok di sini?" tanya Haikal pura-pura.
"Tadikan aku tanya lantai ruangan Ini," jawab Inez.
"Ah...iya lupa, kamu tadi tanya ruangannya CEO," ucap Haikal, mengulaskan senyum tipisnya beradu pandang.
"Aku ambilkan minum dulu Gam, tunggu sebentar ya...," ucap Haikal kepada Agam.
"Biar aku saja yang ambil minum," timpal Inez, segera mengayunkan langkahnya, meraih gelas kosong yang ada di atas meja Agam, untuk di isinya dengan air yang ada di dispenser di dalam ruangan Agam.
Kembali mengayunkan langkahnya lagi, dengan segelas air yang terisi penuh mendekati Haikal.
"Ini airnya," ucap Inez, memberikan air yang baru di ambilnya.
"Terimakasih," jawab Haikal, mengambil alih air pemberian Inez segera memberikannya kepada Agam.
"Minum dulu Gam, kamu sudah minum obatnya belum," tanya Haikal, membuka mata Agam menatapnya sendu.
"Sudah," lirih Agam, segera menenggak air pemberian sahabatnya, mengacuhkan Inez yang masih berdiri menatapnya.
"Lebih baik kamu pulang Gam, istirahat dan tidur dirumah." Saran Haikal yang di jawab dengan gelengan pelan kepala Agam.
"Aku nggak mau Mama melihatku dalam kondisi yang seperti ini," jawab Agam, kembali menyandarkan kepalanya dengan matanya yang terpejam.
Menciptakan helaan nafas di bibir Haikal, kembali mengalihkan pandangannya menatap Inez.
"Kenapa masih disini?"
"Aku kerja disini,"
"Ha?"
"Sebagai Sekretaris Pak Agam, hanya sementara sampai Pak Fahmi kembali," jawab Inez yang di sambut dengan anggukan pelan kepala Haikal.
"Kesempatan," batin Haikal, sebelum mengayunkan langkahnya mendekati Inez.
"Aku titip Agam ya... tolong jaga suasana hatinya, karena aku harus pergi dulu, ada pasien yang menunggu," ucap Haikal.
"Pak Agam sakit ya? sakit apa?" lirih Inez.
"Demam," jawab Haikal, membulatkan mata Inez.
"Demam?" tanya Inez yang di sambut dengan senyum tipis di bibir Haikal.
"Selama Fahmi pergi, aku titip Agam sama kamu ya, tolong ingatin dia untuk minum obat, karena dia suka lupa waktu kalau sudah terlalu sibuk dengan pekerjaannya." Ucap Fahmi yang di jawab dengan anggukan pelan kepala Inez.
Membuat jiwa keingintahuannya meronta, mengalihkan pandangannya ke arah Agam.
"Sakit apa dia?" batin Inez menatap lekat Agam yang terlihat tenang, duduk bersandar masih memejamkan mata di kursi kebesaran mengacuhkannya.
Bersambung.
Satu jam sudah waktu yang Inez habiskan, hanya duduk diam di atas sofa tanpa melakukan apa-apa di ruangan Agam.Menunggu bos sementaranya yang masih tidur, tampak tenang dengan wajah yang tak lagi pucat."Sampai kapan dia akan tidur?" gumam Inez, menghela nafasnya panjang menatap Agam.Sebelum mengerutkan keningnya, karena tidur Agam yang tak nyenyak, menggerakkan kepalanya cepat ke kanan dan ke kiri terlihat tertekan."Jangan Cin! jangan kesana! jangan pergi Cintia! jangan pergi..!" gumam Agam, masih memejamkan matanya, menggerakkan kepalanya cepat.Karena mimpi buruknya, sebuah kilas balik mengenai kisah cintanya yang terpisah, akibat kecelakaan maut yang merenggut wanita nya di depan matanya sendiri.Menciptakan banyaknya peluh yang keluar, membasahi dahinya, masih dengan gerakan kepalanya terlihat semakin tertekan."Pak... Pak Agam!" panggil Inez, sesa
"Nez?" panggil Andre, mengalihkan pandangan Agam menatapnya.Berusaha bersikap tenang, Inez hanya mengulaskan senyum tipisnya segera menenggak air yang ada di dekatnya.Kembali beradu pandang dengan Andre, calon suami pilihan orang tuanya, masih berdiri di dekatnya, menatapnya penuh tanya."Ada apa?" tanya Inez, dengan wajah tak berdosanya beradu pandang."Ngapain kamu disini?" tanya Andre, sebelum mengalihkan pandangannya menatap Agam."Dia siapa?" lanjut Andre, melirik Agam yang terdiam, tak mengerti dengan suasana yang ada di depannya."Siapapun dia nggak ada hubungannya sama kamu," jawab Inez, menyakiti hati Andre yang tersenyum getir menatapnya cemburu."Aku ingin bicara sama kamu! kamu harus menjelaskan semuanya Nez!" ucap Andre, mencoba untuk bersabar, dengan tatapan tajamnya, merasa tak suka dengan kebersamaan Inez bersama dengan lelaki lain yang t
BRAKKKKKKSuara dentuman keras, beberapa menit setelah kepergian Agam, mengejutkan Inez yang sedang makan.Dengan detak jantungnya yang berdetak sangat cepat, akibat rasa kagetnya yang terlalu tinggi, membuat jiwa keingintahuannya pun meninggi."Ada kecelakaan di depan..." teriak salah satu orang yang ada di dalam restoran, kompak berlari, bersamaan dengan pengunjung yang lainnya, berhambur keluar ingin melihat kejadian.Tak terkecuali Inez, sudah mengayunkan langkahnya cepat, setengah berlari keluar dari dalam restoran.Sementara itu di luar restoran, Agam terlihat berdiri, tepat di halaman restoran yang ada di nol jalan.Dengan tubuhnya yang bergetar hebat tak mampu mengalihkan pandangannya dari kecelakaan yang ada di depannya.Membuat matanya memerah, dengan linangan air mata yang hampir menitik, seolah terpaku di tempatnya.
Jalanan kota yang terlihat lenggang, dengan sinar mentari yang masih terang di siang hari.Inez, sudah duduk bersebelahan dengan Agam di kursi belakang mobil yang di kendarai supir pribadi Bos sementaranya.Hanya duduk bersandar dengan bahunya yang mulai terasa pegal, karena kepala Agam, yang tertidur bersandar di bahunya.Sementara itu di tempat lainnya, terlihat Andre, mengendarai mobil sport merahnya dengan kecepatan tinggi.Menembus jalanan kota yang terlihat sepi, sebelum membelokkan mobilnya memasuki sebuah gerbang gedung perusahan tempatnya bekerja.Sebagai wakil direktur di perusahaan Papanya sendiri, Sukmajaya Group.Dengan hatinya yang teramat kesal, berusaha keras untuk menaha
Waktu belum terlalu sore, tepat di saat jam dinding di setiap ruangan yang ada di gedung Dirgantara property sudah menunjuk ke angka tiga.Terlihat Agam, mengayunkan langkah keluar dari ruang meeting bersama dengan Inez di belakangnya.Baru menyelesaikan meeting bersama dengan para manager di setiap departement yang di bawahinya."Siapkan bahan skripsi kamu, aku bantu kamu sekarang," ucap Agam, masih mengayunkan langkah membulatkan mata Inez.Menciptakan binar bahagia di wajahnya, bagaikan mendapat angin segar yang menerpa wajah cantiknya, segera melangkahkan kakinya cepat untuk berjalan sejajar dengan bos sementaranya."Serius?" tanya Inez, dengan senyum semringah yang tersungging di bibirnya, masih mengayunkan langkah mencoba untu
"Ha? jam segini mau ke mall? aku juga belum mandi! masih berantakan begini!" ucap Inez, melihat penampilannya sendiri."Nggak papa, kita kerumah ku dulu, jadi kamu bisa mandi dan siap-siap di rumahku! " jawab Andien."Aku nggak bawa baju!""Pakai bajuku," jawab Andien, sebelum melambaikan tangannya ke arah Agam yang berjalan, hendak keluar melewati pintu loby menatapnya diam.Bersamaan dengan gerak kepala Inez yang menoleh, ikut mengalihkan pandangannya menatap Agam."Ngapain kamu di sini?" tanya Agam, sudah berdiri di depan adiknya beradu pandang."Mau jemput Inez, sekalian mau bilang sama kamu Kak, tolong anterin kita ke mall ya? tapi kita pulang dulu biar Inez bisa ganti baju." Jawab
Malam belum terlalu larut, setelah lima belas menit berkendara, terlihat Mobil yang di kendalikan Agam, bersama dengan Inez dan Andien sebagai penumpangnya berhenti di tempat parkir yang ada di halaman depan mall."Ayo," ucap Andien, sesaat setelah turun dari mobil kakaknya, menggandeng tangan Inez yang terlihat tak nyaman.Beberapa kali menyentuh gaunnya mengalihkan pandangan Agam."Kita beli baju dulu ya Ndin, aku risih pakai ini," ucap Inez."Beli?" tanya Andien, beradu pandang dengan Inez yang mengangguk."Waduh!" batin Andien.Sebelum tersentak dengan suara kakaknya."Ayo cepat masuk! ngapain berhenti di sini?" ucap Agam, segera mengayun
Studio film tak lagi terang, sesaat setelah lampu yang menyala di matikan bersamaan dengan mulainya film yang sedang ditonton Agam, Ines, Andien dan juga Alan.Menciptakan debaran jantung, begitu luar biasa di dada Agam, dengan wajah tegangnya mencoba untuk berani demi harga dirinya di depan Inez dan juga Alan.Segera menyeruput es yang sudah di belinya berusaha keras untuk tenang."Haus ya Pak?" ejek Inez, duduk di sebelah Agam, mengalihkan pandangan Andien.Yang sedang duduk manis, bersebelahan dengan Alan di samping Agam."Gak usah banyak omong kamu!" sewot Agam, dengan suara lirihnya beradu pandang dengan Inez yang terkekeh menyadari ketakutannya."Br*ngsek aku di ketawain lagi!" batin Agam, kembali mengalihkan pandangannya lurus kedepan menatap layar.Sebelum bergidik ngeri karena adegan di dalam layar lebar yang sedang di tontonnya.
Gerimis mulai menyapa, tepat di saat selesainya acara makan malam untuk merayakan hari jadi pernikahan Inez dan juga Agam yang kedua. Kini sepasang suami istri yang sedang berbahagia telah berada di dalam mobil yang di kendarai oleh Agam.Saling melempar senyuman, tak lagi bisa menyembunyikan binar kebahagiaan yang terlihat begitu jelas kentara dari binar di sorot mata keduanya, saling bergenggaman tangan, dan berkali kali, hampir tak berhenti Agam mencium punggung tangan Inez melampiaskan rasa beryukurnya."Terimakasih Yang, Ya Allah... apa kamu nggak tahu gimana bahagianya aku sekarang?" ucap Agam, kembali mencium punggung tangan istrinya yang telah merona tersenyum senang.Membagi fokusnya antara jalanan dan juga istrinya, akibat berita bahagia yang baru di sampaikan Inez kepadanya beberapa jam yang lalu, sewaktu masih menikmati makan malam sungguh berhasil membuncahkan rasa haru dan juga bahagia di dada Agam, bersora
"Halo Yang," suara Agam, sesaat setelah menggeser layar ponsenya. Merasa begitu bersalah, "Gagal lagi gagal lagi! gagal terus!" batin Agam berteriak, merasa kesal dengan kejutannya yang selalu saja gagal tak pernah bisa berhasil.Dan terdiam, mendengar suara isakan tangis istrinya yang terdengar khawatir menanyakan keadannya. "Kamu nggak papa kan Yang? masak ada orang kesini ngaku karyawan kamu dan bilang kamu pingsan Yang,"Entah kenapa, terdengar begitu melow, semakin mengembangkan rasa bersalah di hati Agam, meraup wajah tampannya frustasi."Aku...,""Kamu dimana? kamu baik baik saja kan Yang?"Semakin membuat Agam dilema, harus meneruskan sandiwaranya atau mengh
Minggu telah bergulir, bertemu dengan Minggu Minggu setelahnya menambahkan jumlah bulan yang telah di lewati oleh Agam dan juga Inez.Yang kini telah meneguk manisnya kesembuhan total, tanpa rasa sakit ataupun ketakutan yang menguasai sebelum melakukan hubungan intim.Sudah berganti menjadi gairah yang membahagiakan, yang harus segera di tuntaskan hampir setiap harinya dengan perasaan yang begitu bahagia sebelum di terbangkan ke awan oleh permainan Agam yang selalu saja luar biasa.Tepat di usia pernikahan keduanya yang sudah menginjak usia dua tahun, tepatnya sehari sebelum merayakan aniversary pernikahan yang ke dua, terlihat Inez, sedang mengayunkan langkahnya keluar dari kamar mandi.Terus saja memasang senyum di bi
Pagi mulai menyapa, di tandai dengan hangatya sinar mentari yang kembali bersinar, baru datang dari peraduan tepat di pukul tujuh pagi.Terlihat Agam, sedang tidur berbaring di atas ranjangnya, memeluk sayang istrinya yang masih memejamkan mata di dalam pelukan. Akhirnya bisa meneguk manisnya rasa klimaks yang sempat tertunda akibat gangguan dari Aga.Melakukan pertempuran yang begitu luar biasa nikmatnya, selepas shubuh setelah sempat ketiduran di kamar tamu bersama dengan Aga, berhasil membuat istrinya itu kelelahan."Selamat pagi Yang," goda Agam, memainkan bulu mata lentik Inez, mengecup dahi istrinya yang menggeliat merasa terganggu dengan sentuhannya."Apa sih Yang, aku capek," lirih Inez, masih memejamkan matanya
Hasrat yang menguasai, seolah tak mampu lagi di bendung oleh Agam yang kini sedang mempermainkan buah dada istrinya yang begitu kenyal dan menantang.Tak lagi menggunakan jemari tangannya yang sekarang sudah bergerilya menelusup dan membelai punggung putih Inez yang masih tertutup baju, namun sudah menggunakan bibir tebalnya untuk menghisap dan menggigit ujung buah dada yang kian menegang.Hampir berhasil memporak porandakan konsentrasi Inez yang masih melakukan panggilan telepon, berusaha keras untuk tetap sadar tak mengeluarkan desahan, mendorong kepala suaminya pelan. "Yang!" lirih Inez, dengan deru nafasnya yang hampir memburu menekankan. Harus bisa mengatasi gairah yang kini telah bersemayam, menjauhkan kembali ponselnya dari telinga.Namun Sayang, Agam yang tak lagi terkontrol, sama sekali tak menggubrisnya, mengacuhkan dirinya yang masih melakukan panggilan telepon tetap melakukan aktifitas yang membuatnya kian melayang."Ha
Suasana hening yang menyelimuti ruang tamu di unit apartemen Agam dan juga Inez, akibat rasa bingung yang melanda hati melihat gurat sendu di wajah tampan Aga. Membuat keduanya saling diam, hanya memperhatikan Aga yang terdiam masih menundukkan kepala."Jadi boleh nggak Kak?" tanya Aga, setelah beberapa menit membisu, kembali memandang Inez yang tersenyum mengangguk palan."Yang!" lirih Agam.Mengalihkan pandangan Aga, "Nggak boleh ya Om?""Bukannya begitu, tapi kami nggak mau di sangka menyembunyikan anak orang karena kamu yang nggak izin sama Papa kamu," sahut Agam.Menganggukkan kepala Inez membenarkan. "Benar kata Om Agam, Pak Dafa pasti khawatir,"Papa nggak mungkin khawatir Kak, harus berapa kali aku bilang, kalau Papa nggak mungkin khawatir," sahut Aga emosional, menampakkan kesenduhan di netra matanya yang berkaca kaca."Aga sudah makan malam?" tanya Inez, lebih memilih untuk mengalihk
Suasana yang sunyi, menyelimuti kamar presidential suite tempat Papa Raimon menginap, terlihat si empunya, sedang duduk di atas sofa menikmati secangkir kopi menunggu kedatangan menantunya, Agam."Duduk," dingin Papa Raimon, mengarahkan pandangannya ke aras sofa kosong di dekatnya, mempersilahkan Agam yang baru masuk ke dalam kamarnya memenuhi perintahnya. "Kopi buat kamu, minum kopi kan?"Baru pertama kalinya duduk dan ngobrol berdua dengan menantunya, setelah pernikahan Agam dan juga Inez. Selain karena dirinya yang lebih senang menyendiri, juga karena kepindahan Agam dan juga Inez ke Apartemen, semakin memperlebar jarak di antara keduanya."Terimakasih Pa," jawab Agam, menganggukkan kepalanya pelan, segera meraih kopi untuk di seruputnya perlahan, "kopi hitam kesukaan saya,"Dan tak membuat Papa Raimon bersuara, hanya membuang pandangan, kembali menikmati kopi di tangan."Terimakasih," suara Papa Raimon, setelah mem
Sang Surya kembali menyapa, membawa hangat sinarnya yang masih bersahabat, tak menyengat kulit.Tepat di pukul sembilan pagi, mobil Agam melaju dengan kecepatan sedang, menembus jalanan kota yang terlihat lenggang.Membawa Istrinya yang terlihat tegang, bersama dengan Mama dan juga Mama Mertuanya yang sedang duduk di kursi belakang.Di ikuti oleh mobil Abian yang melaju di belakangnya, ingin menemani Inez menjalani pengobatan."Meeting hari ini di pimpin sama Pak Raimon, kamu siapkan semua berkas dan materinya ya, berikan ke Pak Raimon sebelum jam setengah sepuluh," suara Abian, yang sedang melakukan panggilan telepon bersama dengan Sekretarisnya.Sesaat sebelum mematikan sambungan teleponnya, mendengar jawaban iya dari Sekretarisnya.Merasa begitu berdebar, di sela hatinya yang terus saja berdoa, meminta kelancaran di setiap proses pengobatan Adik kesayangannya.Pukul Sebelas siang, Inez suda
Sang Surya kembali menyapa, membawa hangat sinarnya yang masih bersahabat, tak menyengat kulit.Tepat di pukul sembilan pagi, mobil Agam melaju dengan kecepatan sedang, menembus jalanan kota yang terlihat lenggang.Membawa Istrinya yang terlihat tegang, bersama dengan Mama dan juga Mama Mertuanya yang sedang duduk di kursi belakang.Di ikuti oleh mobil Abian yang melaju di belakangnya, ingin menemani Inez menjalani pengobatan."Meeting hari ini di pimpin sama Pak Raimon, kamu siapkan semua berkas dan materinya ya, berikan ke Pak Raimon sebelum jam setengah sepuluh," suara Abian, yang sedang melakukan panggilan telepon bersama dengan Sekretarisnya.Sesaat sebelum mematikan sambungan teleponnya, mendengar jawaban iya dari Sekretarisnya.Merasa begitu berdebar, di sela hatinya yang terus saja berdoa, meminta kelancaran di setiap proses pengobatan Adik kesayangannya.Pukul Sebelas siang, Inez suda