"Agammm..." Teriak Mama Ratih, memukul kasar anaknya Agam yang tengah tertidur di atas ranjang dengan bantal.
Tepat di atas lutut Agam, mengejutkan laki-laki tampan yang tengah bermimpi indah.
"Astaga Ma..., kenapa sih mukul-mukul?" protes Agam kesal, segera duduk dari tidurnya, masih dengan mata yang menutup karena rasa kantuknya.
"Heh! ayo bangun Gam! jangan tidur aja kamu ini....!" ucap Mama Ratih.
Tak membuat anaknya membuka mata, kembali menjatuhkan tubuh tegapnya di atas kasur mengacuhkan Mamanya yang masih berdiri menatapnya.
"Ini aku sudah bangun Ma...," jawab Agam malas hampir tak terdengar di telinga mamanya.
"Duh Gusti... anak perawan ini ya...," ucap Mama Ratih kesal, kembali memukul kaki anak sulungnya dengan bantal, sebelum terdiam, karena Agam yang membuka mata segera duduk protes kepadanya.
"Aku ini laki-laki Ma! aku ini laki-laki! Astaga...." protes Agam frustasi, mengacak rambut hitam legamnya yang berantakan mendengus kesal.
"Aku ini lelaki tulen Ma... bisa nggak sih kata perawan itu di hilangin? ganti dengan anak jejaka, kan enak di dengar telinga?" protesnya lagi.
"Kalau memang benar kamu ini lelaki tulen cepat buruan nikah! buktikan ke Mama kamu ini kalau kamu bisa buatin Mama cucu!" jawab Mama Ratih, membuat anak sulungnya itu berdecak kesal segera turun dari ranjang menatapnya.
"Aku bisa buatin Mama cucu Ma... astaga... nggak percayaan banget sih sama anak sendiri? mau cucu berapa Mama? Empat? lima? enam?" tantang Agam sebelum menggosok cepat lengan kanannya yang di pukul Mamanya.
"Jangan bercanda kamu ya! mumpung Mama kamu ini masih hidup! cepat kamu nikah!"
"Ah! kenapa ngomongin mati sih? horor tau nggak Mah?" ucap Agam sebelum mencondongkan tubuh tegapnya memeluk Mamanya.
"Jangan berani mati sebelum aku mengizinkannya Ma..." bisik Agam di telinga Mamanya sebelum berteriak karena pukulan mamanya yang kembali melayang ke lengannya.
"Kamu pikir kamu ini Tuhan? ha?" ucap Mama Ratih.
"Ya Tuhan...sebenarnya aku ini anak Mama bukan sih? senang sekali nyiksa anak sendiri?" protes Agam sebelum tertawa karena cubitan gemas Mama Ratih di hidung mancungnya.
"Mama gemas ya sama ketampananku?" goda Agam manja dengan kerlingan matanya, beradu pandang dengan mama Ratih yang mencebikkan bibir mengulurkan tangan mendekati wajahnya.
"Lebai lebai lebai!" pukul Mama Ratih pelan, berulang kali ke bibir merah putra sulungnya.
Sebelum menghentikan pukulannya, karena Agam yang tertawa, melangkahkan kaki mundur menghindarinya.
"Ayo cepat mandi sana! Sekretaris kamu sudah nunggu di bawah!" ucap Mama Ratih, mengayunkan langkahnya ke ranjang anaknya.
Ingin menata sprei kasur anaknya yang terlihat berantakan, berbarengan dengan Agam yang mengalihkan pandanganya ke arah jam dinding kamarnya yang menggantung.
"Astaga...! sudah jam sembilan! kok Mama nggak bangunin aku sih?" ucap Agam, segera berlari hendak masuk ke dalam kamar mandi, mengacuhkan Mama Ratih yang menegakkan tubuh dan berdiri menatapnya.
Sebelum berhenti melangkah, kembali membalikkan badannya menatap mamanya.
"Ahh... tapi aku kan pimpinannya Ma? pemilik perusahaan! kenapa juga harus tergesa!" ucap Agam, sebelum tertawa, menangkap bantal yang kembali melayang ke arahnya.
"Jangan sombong kamu ya? mau jadi apa kamu kalau nggak disiplin?" sungut Mama Ratih.
"Jadi anak Sholehnya Mama," jawab Agam asal, kembali tertawa, segera masuk kedalam kamar mandi menghindari serangan bantal yang sudah di pegang Mamanya.
Meninggalkan Mama Ratih yang tersenyum, menggelengkan kepala pelan, karena kelakuan sableng anak sulungnya, anak laki-laki satu-satunya yang telah menjadi tumpuan hidupnya setelah kematian suaminya.
Anak Sulung yang tak pernah berhenti menggodanya, untuk memastikan bibirnya selalu tertawa, karena Agam yang tak ingin melihat Mamanya bersedih meskipun hanya sejenak.
Ya...dia seorang Agam, Agam Dirgantara, Seorang pengusaha sukses di bidang properti yang ada di kotanya, dengan berbagai proyek perumahan elite yang di pegangnya di dalam kota maupun di luar kota.
Pemilik PT. Dirgantara Property, perusahaan Developer ternama yang telah memiliki banyak sekali proyek perumahan Elite dengan harga yang fantastis untuk setiap unit rumah yang di jual perusahaanya.
Namun sayang, di usianya yang sudah tergolong matang, 31 tahun, Agam belum juga menemukan pasangan hidupnya, yang akan menemaninya di dalam setiap suka dan dukanya.
Bukan karena dia yang tak tampan, karena kenyataanya dia sangat tampan, dengan bola mata coklat dan hidung mancungnya, rahang yang sangat tegas dan kulitnya yang putih mulus di tambah dengan tubuh tegapnya yang tinggi dengan bagian-bagian otot yang terlihat sempurna.
Tapi karena rasa traumanya, karena hatinya yang tak bisa terbuka untuk wanita lain selain almarhumah calon istrinya, yang telah meninggal dua hari sebelum pernikahannya, enam tahun yang lalu.
Karena kecelakaan naas yang merenggut nyawa kekasih hatinya, pemilik hatinya, hingga membuatnya kehilangan belahan jiwanya, calon istri terbaiknya.
***
"Selamat pagi Kak...," sapa Andien, adik satu-satunya Agam yang berusia 21 tahun. Mahasiswa semester akhir di sebuah universitas ternama yang ada di kotanya
Seorang atlet taekwondo, yang telah membawa nama harum universitasnya dalam kejuaraan nasional.
Sedang menikmati sarapannya, roti bakar dengan selai coklat di kursi meja makan, beradu pandang dengan Agam yang baru keluar dari kamar mendekatinya.
"Selamat pagi An..., kamu nggak kuliah?" tanya Agam, sudah dengan setelan jas kerjanya menatap Andien yang menggeleng pelan menjawab pertanyaannya.
"Males Kak!" jawab Andien, membulatkan mata Agam, reflek meraih sendok yang ada di dekatnya untuk di lemparkannya cepat kepada adik perempuannya.
Hap
Andien pun berhasil menangkapnya, dengan cepat segera nyengir menatap Kakak laki-lakinya.
"Lumayan...," puji Agam, karena kegesitan adiknya, segera memakan roti bakar yang telah di siapkan untuknya di atas piring.
"Kuliah siang Kak," jawab Andien disela kunyahannya.
Tak ingin menjawab Kalimat adiknya, Agam hanya mengunyah dan menikmati roti bakar isi selai kacang kesukaannya.
Sebelum mengalihkan pandangannya ke arah Fahmi 31 tahun, Sekretaris utamanya, sahabat terbaiknya yang menemaninya dari Agam yang bukan siapa-siapa menjadi Agam yang berkuasa.
"Makan Fa," tawar Agam, kepada Fahmi Sekretarisnya.
"Aku sudah sarapan, nasi goreng spesial buatan istriku yang spesial!" jawab Fahmi, segera menarik salah satu kursi makan di seberang Andien.
Mencebikkan bibir Agam masih menikmati sarapannya.
"Istriku punya teman Gam, cantik, badannya juga aduhai."
"Aduhaian mana sama badan istri kamu?" jawab Agam, merasa kesal dengan kalimat sahabatnya yang terus saja mengajukan proposal.
Penawaran untuk memperkenalkannya kepada seorang wanita yang tak pernah di setujuinya.
"Astaga...lancang sekali mulut anak perawan ini ya...," sungut Mama Ratih, mengayunkan langkahnya mendekati meja makan, mengalihkan pandangan Agam, Fahmi dan Andien menatapnya.
"Ayolah Ma... aku laki-laki..." protes Agam, segera menenggak segelas air putih yang ada di dekatnya, menatap Mamanya yang hendak duduk di sebelah adiknya.
"Apa kamu percaya dia laki-laki Fa?" goda Mama Ratih, mengalihkan pandangannya menatap Sahabat dari anaknya.
"Sepertinya nggak Tante, nggak ada laki-laki yang takut menikah." Jawab Fahmi, menciptakan tawa ejek di bibir Agam.
"Kamu percayakan Ndin kalau kakakmu ini laki-laki?" ucap Agam kepada Andien, ingin mencari pembelaan dari adik perempuannya.
"Bilang iya atau aku potong uang jajan kamu!" ancam Agam.
"Hahahaha," tawa kikuk Andien, mengalihkan pandangannya ke arah mamanya.
"Aku berangkat dulu ya Ma?" ucap Andien tak ingin menjawab pertanyaan kakaknya, segera berdiri dari duduknya setelah mencium tangan Mama Ratih.
"Kemana?" tanya Agam.
"Ketemu teman," jawab Andien.
"Laki Perempuan?" selidik Agam.
"Perempuan, cantik, atlet taekwondo juga jomblo, mau aku kenalin?" jawab Andien.
"Bau kencur!" sahut Agam, membuang pandangannya mencebikkan bibirnya.
Menggelengkan Kepala Mama Ratih menatapnya, sebelum mengalihkan pandangannya ke arah Andien.
"Hati-hati ya Ndin?" ucap Mama Ratih, yang di jawab dengan anggukan pelan kepala Andien, sebelum membalikkan badannya hendak mencium tangan kakaknya.
"Apa?" sewot Agam.
"Salim Kak...sensi banget sih?" jawab Andien, sebelum mencium tangan kakaknya.
"Apa lagi?" tanya Agam, menatap tangan kanan Adiknya yang kembali terulur kedepannya.
"Uang jajan," jawab Andien nyengir, beradu pandangan dengan Agam yang ikut nyengir, sebelum menaikkan sudut bibirnya ke atas menatap adiknya.
"Nanti aku transfer," jawab Agam, membuang pandangannya, berbarengan dengan sorak gembira dari bibir adik perempuannya
"Lima puluh ribu," lanjut Agam menghentikan sorakan Andien.
"Astaga... sekalian aja dua puluh ribu Kak!"
"Ya sudah," jawab Agam segera mengalihkan pandangannya ke arah Fahmi.
"Transfer ke rekening Andien dua puluh ribu Fa," ucap Agam.
"Ayolah Kak...," rengek Andien, sebelum mengalihkan pandangannya ke arah Mamanya.
"Tolonglah Ma... jangan panggil Kak Agam anak perawan lagi, apa Mama nggak bisa lihat betapa gantengnya kakakku ini? dia laki-laki tulen Ma, dia jejaka bukan perawan." ucap Andien, membela kakaknya demi uang jajannya.
"Transfer dua juta Fa," sahut Agam, yang di sambut dengan senyum semringah adik perempuannya.
Hanya dalam hitungan menit, bunyi pesan notifikasi pun masuk ke dalam ponsel Andin yang ada di dalam tas selempangnya.
"Terimakasih Kak...," ucap Andien yang di jawab dengan anggukan pelan kepala Agam.
"Tapi... apa Kakak yakin masih perjaka?" goda Andien tertawa, mengalihkan pandangan Agam menatapnya.
Berbarengan dengan Fahmi yang menahan tawa menundukkan kepalanya.
"Aku berangkat ya Ma? Kak Agam, Kak Fahmi? Assalamualaikum," ucap Andien, segera melarikan diri dari tatapan tajam kakak laki-lakinya.
"Kamu masih perjaka kan Gam?" tanya Mama Ratih, mengalihkan pandangan Fahmi dan Agam menatapnya.
Menciptakan tawa kikuk di bibir anak laki-lakinya, berbarengan dengan Fahmi yang terdiam menundukkan kepala menahan tawanya.
***
Sinar mentari belum begitu terik, karena waktu yang baru menunjuk ke pukul 09:30, terlihat motor sport hitam yang melaju dengan kecepatan sedang menembus jalanan kota yang terlihat lenggang.
Yang di tunggangi seorang wanita, berjaket kulit hitam dengan helm full face berwarna hitam, yang membungkus kepala dan rambutnya yang berkuncir kuda.
Segera menghentikan laju motornya di parkiran mini market, sebelum mematikan mesin motornya yang di ikuti dengan gerakan kakinya yang menstandarkan motor sportnya.
Mengalihkan pandangan dari banyaknya pasang mata yang ada di depan mini market menatapnya, merasa terkagum dengan kecantikan alami yang tampak jelas di wajah blasterannya, meskipun dengan penampilan tomboy nya, sesaat setelah melepas helm yang di pakainya.
Tak membuatnya terganggu, segera turun dari motor sportnya, sebelum mengayukan langkahnya santai, masuk kedalam minimarket untuk membeli beberapa barang yang di butuhkannya.
Dia adalah Inez Letezia, seorang mahasiswi semester Akhir yang masih berusaha 21 tahun.
Seorang Gadis cantik dengan wajah blasteran Jerman, yang di anugrahi Tuhannya dengan hidung yang mancung proposional.
Di tambah dengan bulu matanya yang lentik alami, menemani manik hitamnya yang terlihat indah.
Di sempurnakan lagi dengan kulit putihnya yang tampak mulus tanpa cela, terlihat kontras dengan bibir kemerahannya yang terlihat ranum.
Putri kedua dari Raimon Atmaja, pemilik dari Atmaja group, salah satu perusahan yang terkenal dan terbesar yang ada di kotanya.
Bersambung.
"Kenapa kamu?" tanya Fahmi, sudah duduk di kursi penumpang depan, bersebelahan dengan supir pribadi sahabatnya.Melihat Agam yang terlihat lesu, dari pantulan kaca spion yang ada di depannya.Mengalihkan pandangan Agam yang sedang duduk sendiri di kursi belakang penumpang beradu pandang.Tak membuat Agam bersuara, hanya diam tak ingin menjawab pertanyaan Fahmi, segera mengalihkan kembali pandangannya ke luar jendela kaca mobilnya.Menatap jalanan kota yang terlihat lenggang, mengacuhkan helaan nafas Fahmi yang masih memperhatikannya dari dalam spion."Kamu butuh sesuatu?" tanya Fahmi, menggeser duduknya untuk bisa menoleh, menatap sahabatnya yang telah berganti kepribadian, tak lagi bersikap sableng sama seperti waktu lalu saat di rumah."Turunkan aku di minimarket terdekat, aku ingin beli minuman," jawab Agam, dengan suara datarnya, tak mengalihkan pandangannya ke arah Fa
Flashback sehari sebelum pertemuan Andien dengan Inez. Mentari hampir terbenam, tak meninggalkan sinarnya beranjak pergi menuju peraduan. Terlihat di rumah mewah berlantai dua kediaman Agam, Andien berlari masuk ke dalam rumah, melewati pintu utama mencari keberadaan mamanya. "Mama mana Bi?" tanya Andien, kepada Bi Rina wanita paruh baya asisten rumah tangga di rumahnya. "Di kamar Mbak," jawab Bi Rina. "Terimakasih Bi...," ucap Andien, kembali Mengayunkan langkahnya cepat, setengah berlari menuju salah satu kamar yang ada di lantai satu. "Ma...Mama..." Teriak Andien, menggedor pintu kamar mamanya yang tertutup, mengejutkan hati Mama Ratih. Baru keluar dari dalam kamar mandi yang ada di dalam kamarnya, masih memakai jubah handuk putih yang membungkus badannya yang masih terlihat langsing di usianya yang tak lagi muda.
"Aku balik dulu ya Nes?" ucap Andien, segera berdiri dari duduknya di seberang Inez, mengalihkan pandangan temannya yang sedang sibuk dengan berbagai macam outner file dari perusahaan Kakaknya menatapnya."Ada kelas ya?" tanya Inez tak menutup outner yang dibawanya."Iya, kelasnya dosen Killer!" jawab Andien menciptakan senyum tipis di bibir Inez."Ya sudah hati-hati, siapin mental kamu ya?" goda Inez yang di jawab dengan kekehan kecil Andien.Segera meraih tasnya yang ada di atas sofa, sebelum mengayunkan langkahnya menghampiri kakaknya yang terlihat sibuk duduk di kursi keberasaran tak menatapnya."Aku balik dulu ya Kak?""Kemana kamu? temanmu nggak kamu ajak balik?" jawab Agam, menegakkan kepala Inez menatapnya."Sabar Nez sabar... demi skripsi mu..." Batin Inez, menggelengkan kepala pelan, dengan tarikan nafasnya yang sangat panjang, berusaha keras untuk menurunkan ego di hatinya segera membuang pandangannya."Aku ada kelas
Jam makan siang hampir saja selesai, kantin yang seharusnya ramai dengan para pegawai nampak sepi dengan beberapa pegawai yang masih tersisa.Terlihat Agam, duduk tenang menikmati suap demi suap nasi beserta lauk yang telah di pesannya.Duduk berhadapan dengan Inez yang terlihat lahap menghabiskan cepat nasi dan lauk yang ada di piring mengacuhkannya."Sudah berapa hari kamu nggak makan?" sindir Agam, setelah menelan makanan yang ada di mulutnya, menegakkan kepala Inez menatapnya."Empat hari," jawab Inez Asal, kembali memasukkan sesendok nasi ke dalam mulutnya.Tak ada gengsi, tak ada rasa jaim meskipun makan bersama dengan laki-laki tampan yang baru di kenalnya, jauh berbeda dengan kebanyakan gadis lain di luar sana.Yang akan makan dengan perlahan, sesuap demi sesuap, hanya untuk menjaga Imagenya sebagai seorang perempuan yang anggun dan cantik.Hingga
Senja mulai beranjak, karena waktu siang yang telah berganti, menjadi sore hari dengan suasana mendung yang masih bergelayut.Terlihat Agam dan Inez, duduk berdekatan di sebuah kafe yang tak begitu ramai, bersama dua laki-laki paruh baya yang duduk di seberangnya, belum juga menyelesaikan meeting setelah hampir satu jam lamanya."Terimakasih Pak, saya tunggu kabar baiknya," ucap Agam, berdiri dari duduknya, menjabat tangan kliennya bergantian, di ikuti dengan senyum ramah Inez, yang menganggukkan kepala pelan, sebagai bentuk sopan santunnya sebagai Sekretaris sementara Agam."Minuman kamu habis, mau pesan lagi?" tanya Inez, dengan sikapnya yang di buat sebaik mungkin, mengalihkan pandangan Agam menatapnya."Nggak perlu!" jawab Agam, masih berdiri di tempatnya, mengancingkan kembali jas kerjanya yang terbuka."Masukkan semua berkasnya, kita pulang sekarang!" lanjut Agam, segera mengayunkan
Langit hampir menggelap, Adzan maghrib pun telah lama terdengar.Terlihat mobil Agam yang di kendarai Inez melesat dengan kecepatan sedang menembus jalanan kota yang terlihat lenggang.Menuju rumah Agam, karena undangan makan malam dari Mama Ratih yang memaksanya untuk datang.Sebelum mengalihkan pandangannya, ke arah ponselnya yang berdering di dalam tas punggungnya yang bertengger tenang di kursi penumpang di sebelahnya.Berusaha membuka resleting tasnya, sesaat setelah meraih tas punggung hitamnya, masih dengan pandangannya yang lurus kedepan, terlihat kerepotan."Kalau nyetir itu fokus!" ucap Agam, mengalihkan pandangan Inez ke arah spion yang ada di depannya."Kamu nggak dengar ponselku berbunyi?" jawab Inez, sebelum tersentak dengan gerakan tangan Agam yang meraih tas punggungnya kasar, hendak membantunya membuka resleting tas untuk mengambil ponsel di dalamnya."Tolong sekalian headseatnya ya?" tambah Inez, membuat
"Ayo di makan Nez, di nikmati makanannya," ucap Mama Ratih, duduk di meja makan di seberang Inez bersebelahan dengan putrinya Andien.Tanpa Agam, karena Agam yang belum juga keluar dari kamarnya untuk ikut bergabung di meja makan."Iya Tante terimakasih," jawab Inez, dengan senyum termanisnya segera menyendok nasi dan lauk yang ada di depannya, di ikuti dengan Andien setelahnya."Tante nggak makan?" tanya Inez, karena Mama Ratih yang terdiam, hanya menatapnya dalam tak menyentuh makanan yang di sajikan."Nanti Tante nunggu Agam,""Saya makan dulu nggak papa ya Tante? perut saya sudah meronta ingin minta makan," ucap Inez terkekeh yang di ikuti dengan senyum Andien dan Mama Ratih."Ayo silahkan jangan sungkan-sungkan, habisin semuanya juga nggak papa Nez," jawab Mama Ratih mempersilahkan."Ngomong-ngomong tadi kamu nggak di kasih makan ya sama Agam? kok sam
"Inez!!!" pekik Papa Raimon Akhirnya, menyentakkan hati Inez, segera mengangkat kepalanya cepat beradu pandang.Dengan matanya yang memerah, menahan tangis yang tak ingin di keluarkannya, berusaha membuka mulutnya untuk menjawab pertanyaan Papanya.Sebuah jawaban yang dia sendiri pun tak mengetahuinya, karena kebohongan yang di buatnya, hanya untuk harapannya agar bisa membatalkan rencana pertunangannya dengan Andre laki-laki yang tak pernah ada di hatinya."Buka mulut kamu! jawab pertanyaan Papa!" lanjut Papa Raimon dengan sorot mata tajamnya mengintimidasi putri bungsunya."Aku nggak mau bertunangan dengan Andre Pa," jawab Inez akhirnya.Menciptakan senyum getir di bibir Papa Raimon membuang pandangannya ke sembarang arah."Kenapa? karena kamu nggak mencintainya?" tanya Papa Raimon dengan detak jantungnya yang berpacu sangat cepat kembali mengalihkan pandangannya menatap
Gerimis mulai menyapa, tepat di saat selesainya acara makan malam untuk merayakan hari jadi pernikahan Inez dan juga Agam yang kedua. Kini sepasang suami istri yang sedang berbahagia telah berada di dalam mobil yang di kendarai oleh Agam.Saling melempar senyuman, tak lagi bisa menyembunyikan binar kebahagiaan yang terlihat begitu jelas kentara dari binar di sorot mata keduanya, saling bergenggaman tangan, dan berkali kali, hampir tak berhenti Agam mencium punggung tangan Inez melampiaskan rasa beryukurnya."Terimakasih Yang, Ya Allah... apa kamu nggak tahu gimana bahagianya aku sekarang?" ucap Agam, kembali mencium punggung tangan istrinya yang telah merona tersenyum senang.Membagi fokusnya antara jalanan dan juga istrinya, akibat berita bahagia yang baru di sampaikan Inez kepadanya beberapa jam yang lalu, sewaktu masih menikmati makan malam sungguh berhasil membuncahkan rasa haru dan juga bahagia di dada Agam, bersora
"Halo Yang," suara Agam, sesaat setelah menggeser layar ponsenya. Merasa begitu bersalah, "Gagal lagi gagal lagi! gagal terus!" batin Agam berteriak, merasa kesal dengan kejutannya yang selalu saja gagal tak pernah bisa berhasil.Dan terdiam, mendengar suara isakan tangis istrinya yang terdengar khawatir menanyakan keadannya. "Kamu nggak papa kan Yang? masak ada orang kesini ngaku karyawan kamu dan bilang kamu pingsan Yang,"Entah kenapa, terdengar begitu melow, semakin mengembangkan rasa bersalah di hati Agam, meraup wajah tampannya frustasi."Aku...,""Kamu dimana? kamu baik baik saja kan Yang?"Semakin membuat Agam dilema, harus meneruskan sandiwaranya atau mengh
Minggu telah bergulir, bertemu dengan Minggu Minggu setelahnya menambahkan jumlah bulan yang telah di lewati oleh Agam dan juga Inez.Yang kini telah meneguk manisnya kesembuhan total, tanpa rasa sakit ataupun ketakutan yang menguasai sebelum melakukan hubungan intim.Sudah berganti menjadi gairah yang membahagiakan, yang harus segera di tuntaskan hampir setiap harinya dengan perasaan yang begitu bahagia sebelum di terbangkan ke awan oleh permainan Agam yang selalu saja luar biasa.Tepat di usia pernikahan keduanya yang sudah menginjak usia dua tahun, tepatnya sehari sebelum merayakan aniversary pernikahan yang ke dua, terlihat Inez, sedang mengayunkan langkahnya keluar dari kamar mandi.Terus saja memasang senyum di bi
Pagi mulai menyapa, di tandai dengan hangatya sinar mentari yang kembali bersinar, baru datang dari peraduan tepat di pukul tujuh pagi.Terlihat Agam, sedang tidur berbaring di atas ranjangnya, memeluk sayang istrinya yang masih memejamkan mata di dalam pelukan. Akhirnya bisa meneguk manisnya rasa klimaks yang sempat tertunda akibat gangguan dari Aga.Melakukan pertempuran yang begitu luar biasa nikmatnya, selepas shubuh setelah sempat ketiduran di kamar tamu bersama dengan Aga, berhasil membuat istrinya itu kelelahan."Selamat pagi Yang," goda Agam, memainkan bulu mata lentik Inez, mengecup dahi istrinya yang menggeliat merasa terganggu dengan sentuhannya."Apa sih Yang, aku capek," lirih Inez, masih memejamkan matanya
Hasrat yang menguasai, seolah tak mampu lagi di bendung oleh Agam yang kini sedang mempermainkan buah dada istrinya yang begitu kenyal dan menantang.Tak lagi menggunakan jemari tangannya yang sekarang sudah bergerilya menelusup dan membelai punggung putih Inez yang masih tertutup baju, namun sudah menggunakan bibir tebalnya untuk menghisap dan menggigit ujung buah dada yang kian menegang.Hampir berhasil memporak porandakan konsentrasi Inez yang masih melakukan panggilan telepon, berusaha keras untuk tetap sadar tak mengeluarkan desahan, mendorong kepala suaminya pelan. "Yang!" lirih Inez, dengan deru nafasnya yang hampir memburu menekankan. Harus bisa mengatasi gairah yang kini telah bersemayam, menjauhkan kembali ponselnya dari telinga.Namun Sayang, Agam yang tak lagi terkontrol, sama sekali tak menggubrisnya, mengacuhkan dirinya yang masih melakukan panggilan telepon tetap melakukan aktifitas yang membuatnya kian melayang."Ha
Suasana hening yang menyelimuti ruang tamu di unit apartemen Agam dan juga Inez, akibat rasa bingung yang melanda hati melihat gurat sendu di wajah tampan Aga. Membuat keduanya saling diam, hanya memperhatikan Aga yang terdiam masih menundukkan kepala."Jadi boleh nggak Kak?" tanya Aga, setelah beberapa menit membisu, kembali memandang Inez yang tersenyum mengangguk palan."Yang!" lirih Agam.Mengalihkan pandangan Aga, "Nggak boleh ya Om?""Bukannya begitu, tapi kami nggak mau di sangka menyembunyikan anak orang karena kamu yang nggak izin sama Papa kamu," sahut Agam.Menganggukkan kepala Inez membenarkan. "Benar kata Om Agam, Pak Dafa pasti khawatir,"Papa nggak mungkin khawatir Kak, harus berapa kali aku bilang, kalau Papa nggak mungkin khawatir," sahut Aga emosional, menampakkan kesenduhan di netra matanya yang berkaca kaca."Aga sudah makan malam?" tanya Inez, lebih memilih untuk mengalihk
Suasana yang sunyi, menyelimuti kamar presidential suite tempat Papa Raimon menginap, terlihat si empunya, sedang duduk di atas sofa menikmati secangkir kopi menunggu kedatangan menantunya, Agam."Duduk," dingin Papa Raimon, mengarahkan pandangannya ke aras sofa kosong di dekatnya, mempersilahkan Agam yang baru masuk ke dalam kamarnya memenuhi perintahnya. "Kopi buat kamu, minum kopi kan?"Baru pertama kalinya duduk dan ngobrol berdua dengan menantunya, setelah pernikahan Agam dan juga Inez. Selain karena dirinya yang lebih senang menyendiri, juga karena kepindahan Agam dan juga Inez ke Apartemen, semakin memperlebar jarak di antara keduanya."Terimakasih Pa," jawab Agam, menganggukkan kepalanya pelan, segera meraih kopi untuk di seruputnya perlahan, "kopi hitam kesukaan saya,"Dan tak membuat Papa Raimon bersuara, hanya membuang pandangan, kembali menikmati kopi di tangan."Terimakasih," suara Papa Raimon, setelah mem
Sang Surya kembali menyapa, membawa hangat sinarnya yang masih bersahabat, tak menyengat kulit.Tepat di pukul sembilan pagi, mobil Agam melaju dengan kecepatan sedang, menembus jalanan kota yang terlihat lenggang.Membawa Istrinya yang terlihat tegang, bersama dengan Mama dan juga Mama Mertuanya yang sedang duduk di kursi belakang.Di ikuti oleh mobil Abian yang melaju di belakangnya, ingin menemani Inez menjalani pengobatan."Meeting hari ini di pimpin sama Pak Raimon, kamu siapkan semua berkas dan materinya ya, berikan ke Pak Raimon sebelum jam setengah sepuluh," suara Abian, yang sedang melakukan panggilan telepon bersama dengan Sekretarisnya.Sesaat sebelum mematikan sambungan teleponnya, mendengar jawaban iya dari Sekretarisnya.Merasa begitu berdebar, di sela hatinya yang terus saja berdoa, meminta kelancaran di setiap proses pengobatan Adik kesayangannya.Pukul Sebelas siang, Inez suda
Sang Surya kembali menyapa, membawa hangat sinarnya yang masih bersahabat, tak menyengat kulit.Tepat di pukul sembilan pagi, mobil Agam melaju dengan kecepatan sedang, menembus jalanan kota yang terlihat lenggang.Membawa Istrinya yang terlihat tegang, bersama dengan Mama dan juga Mama Mertuanya yang sedang duduk di kursi belakang.Di ikuti oleh mobil Abian yang melaju di belakangnya, ingin menemani Inez menjalani pengobatan."Meeting hari ini di pimpin sama Pak Raimon, kamu siapkan semua berkas dan materinya ya, berikan ke Pak Raimon sebelum jam setengah sepuluh," suara Abian, yang sedang melakukan panggilan telepon bersama dengan Sekretarisnya.Sesaat sebelum mematikan sambungan teleponnya, mendengar jawaban iya dari Sekretarisnya.Merasa begitu berdebar, di sela hatinya yang terus saja berdoa, meminta kelancaran di setiap proses pengobatan Adik kesayangannya.Pukul Sebelas siang, Inez suda