Gincu Perawan tersenyum tipis, lalu melanjutkan langkahnya sambil ucapkan kata, “Apakah kau tak berhasrat memiliki Pusaka Pedang Merah?"
“Aku tidak berani punya hasrat seperti itu!" jawab Aria Amante jujur. Karena dia memang perempuan yang polos dan menyukai kejujuran.
“Kalau kau memiliki Pedang Merah, kau akan menjadi orang sakti yang sulit ditumbangkan. Mungkin pula tak ada tandingannya!"
“Apakah begitu sifat orang yang memiliki Pusaka Pedang Merah?" Aria Amante justru merasa heran dengan penjelasan Gincu Perawan. Karena menurut pendapatnya, jika benar apa yang dikatakan Gincu Perawan, lantas mengapa sang Begawan Mega Merah mati di tangan orang? Bukankah Begawan Mega Merah dikenal sebagai pemilik Pusaka Pedang Merah?
"Mendiang guruku sendiri pernah menceritakan hal itu padaku, dan ia kagum dengan kesaktian dan kehebatan yang dimiliki Pedang Merah! Tetapi ia juga mengatakan, tak ada orang yang bisa mencu
"Pisau ini beracun ganas jika sampai menggores kulit tubuh manusia," kata Gincu Perawan. "Orang yang tergores atau terkena pisau kecil ini akan hangus terbakar dan tak dapat ditolong lagi!""Dari mana kau tahu?"“Aku kenal pemiliknya!" jawab Gincu Perawan."Siapa pemiliknya? Apakah Jagal Bawoh atau Dewi Asmara Darah?""Bukan!" jawab Gincu Perawan dengan tegas. "Pisau ini milik seorang tokoh tua dari Pantai Selat Timur.""Maksudmu... Eyang Sambar Nyawa?""Benar!""Tidak mungkin!" sanggah Aria Amante. "Eyang Sambar Nyawa adalah teman baik Begawan Mega Merah! Ia juga baik kepadaku!""Di balik kebaikan seseorang tak mungkinkah tersimpan kebusukan?""Ya. Memang. Tapi tidak begitu untuk Eyang Sambar Nyawa!"Baru saja Aria Amante selesai bicara begitu, tiba-tiba Gincu Perawan terpekik, “Awas!" sambil ia sentakkan kaki dan melenting di udara, demikian pula halnya dengan gerakan mendadak Aria Amante. Tubuhnya s
“Angin Sambar Nyawa yang hanya datang sewaktu-waktu jika diinginkan oleh pemiliknya!" seru Gincu Perawan, rambutnya beterbangan ke arah belakangnya. Matanya menyipit menahan derasnya angin menerpa."Siapa pemilik Angin Sambar Nyawa ini?!""Siapa lagi kalau bukan Eyang Sambar Nyawa!"Di hati Aria Amante menggumamkan nama itu dengan nada heran sekali, ia kenal betul dengan Eyang Sambar Nyawa. Hubungannya nyaris seperti hubungan antara murid dan guru, karena Eyang Sambar Nyawa sering kasih saran dan pandangan hidup kepada Aria Amante. Bahkan sering juga Eyang Sambar Nyawa mengingatkan kepada Aria agar menjadi murid yang baik yang selalu taat kepada perintah dan ajaran gurunya.Jika benar Eyang Sambar Nyawa yang bikin ulah seperti ini, lantas apa maksudnya? Apa pula maksud Eyang Sambar Nyawa dua kali melepaskan pisau beracun untuk membunuh Aria? Atau, jangan-jangan yang jadi sasaran adalah Gincu Perawan? Bukan Aria ? Rasa- ras
Langkah kakinya masih bergerak pelan sambil matanya mengelilingi seluruh tempat itu. Lantai pun disentak-sentakkan pakai kaki, mencari kemungkinan adanya suara geduk yang berongga. Jika ada suara gedukan kaki berongga, itu pertanda ada ruang bawah tanah. Tapi beberapa lantai yang sempat diperiksanya, tidak ada yang punya suara geduk sedikit menggema. Itu artinya tak ada ruang bawah tanah di bawah bangunan tersebut.Kini, Gincu Perawan tiba di depan ruang cipta hening, ia pandangi dinding dan pintu lebih dulu. Susunan batu diperhatikan semua. Tapi tak ada yang bisa dijadikan alasan sebagai sesuatu yang perlu dicurigai. Susunan batu itu merapat lekat tak sedikit pun bisa digeser atau dilepas.Pintu dipandanginya. Pintu itu terbuat dari lempengan baja yang sangat kokoh dan tua. Warnanya sudah berubah hitam keabu-abuan. Pintu itu tidak berengsel. Jadi menurut dugaan Gincu Perawan, pintu itu bergerak menggeser ke kiri atau ke kanan jika ingin membukanya. Tak ada lu
Wusss! Dugggh!Tak ada gerakan pada pintu, tapi tubuh Gincu Perawan terpental ke belakang dan jatuh nyaris terlentang."Gila! Pintu itu punya kekuatan membalikkan pukulan tenaga dalam! Sama saja aku menendang diriku sendiri tadi?!"Gincu Perawan bangkit. Telapak tangannya gigih digaruknya. Tapi pada saat itu terdengar suara berucap dari arah belakangnya,"Sebentar lagi akan buntung kedua tanganmu itu, Anak Manis!"Terkejut Gincu Perawan mendengar sapaan itu. Ia cepat palingkan wajah dan kerutkan dahi. Seorang lelaki tua yang rambut dan kumisnya telah beruban seperti jenggotnya, telah berdiri di sana, mengenakan pakaian abu-abu dengan kainnya yang menyilang di dada sampai pundak. Pundak satunya bebas tak tertutup kain. Dari rambut putihnya yang botak di bagian dekat dahi itu, Gincu Perawan segera mengenali orang tersebut, yang tak lain adalah si Eyang Sambar Nyawa. Jari-jari kesepuluh kukunya itu berwarna hitam runcing walau tak terlalu panjang. Kuk
"Itu lebih baik kalau memang kau bisa, Anak Manis!""Tua bangka banyak cakap kau, hiii!"Crass!Sinar merah keluar dari telapak tangan Gincu Perawan. Tapi Gincu Perawan sendiri yang pekikkan suara tertahan, ia tersentak mundur dengan tangan segera ditarik kembali, karena rasa sakit perih begitu menyengat akibat keluarnya tenaga dalam bersinar merah itu. Sedangkan tenaga dalam yang sudah telanjur terlepas itu ditangkap dengan kibasan tangan Eyang Sambar Nyawa. Sinar itu menjadi bulatan semacam bola yang bernyala-nyala diatas telapak tangan Eyang Sambar Nyawa. Kemudian, Eyang Sambar Nyawa melemparkan bulatan merah tersebut ke arah sebuah batu bersusun yang ada di samping ruang pemujaan tersebut.Wuttt! Duarr! Batu itu pecah bagai dilempar dengan bahan peledak yang cukup kuat. Lalu, Eyang Sambar Nyawa palingkan pandang ke arah Gincu Perawan sambil sunggingkan senyum tuanya yang menggeramkan hati Gincu Perawan."Gila! Tenaga dalamku bisa ditangkapnya?!
"Gincu Perawan...?!" Aria Amante terkejut sekali, terlebih setelah melihat kedua telapak tangan Gincu Perawan hampir putus, berdarah dan sangat menjijikkan. Tulang-tulang jarinya nyaris terlihat semua."Oh, apa yang terjadi, Gincu Perawan...?!" Aria Amante cepat menolong orang yang selama ini dianggap sebagai temannya itu. Gincu Perawan sendiri tak mau terlihat lemah di depan Aria Amante, ia cepat bangkit dengan napas ditarik dalam-dalam."Tanganmu...? Oh, tanganmu hampir putus, Gincu Perawan!""Jangan hiraukan tanganku! Biarlah luka ini, yang penting aku bisa mengusir si Eyang Sambar Nyawa dari dalam kuil! Dia bermaksud mencuri pedang pusaka dari kamar itu!""Tapi... tapi tanganmu ini pasti terkena Racun Kulit Api! Kau telah memegang pintu ruang cipta hening, bukan?!""Hmmm... anu... iya, secara tak sadar tadi aku memegangnya untuk menghindari serangan si Eyang Sambar Nyawa!""Oh, aku lupa tak bilang padamu, bahwa pintu itu tidak b
Aria Amante makin terkesiap melihat luka di mulut Gincu Perawan. Ia mulai membatin, "Bahaya sekali jurus Eyang Sambar Nyawa! Seperti yang pernah diceritakan oleh Guru, bahwa Eyang Sambar punyai jurus 'Angin Sambar Nyawa'. Rupanya seperti itulah jurus 'Angin Sambar Nyawa'. Tak perlu menyentuh tubuh lawan, dengan merobek udara, mulut lawan sudah bisa robek sendiri! Bahaya sekali melawan dia, jika memang benar dia ingin kuasai pusaka di ruang cipta hening itu!"Terdengar suara tua manusia berambut putih yang usianya konon sudah mencapai seratus tahun lebih itu, "Bocah bodoh! Lekas tinggalkan tempat ini dan carilah obat untuk menyembuhkan gatal-gatalmu itu!"“Aku tak akan pergi sebelum mencabut nyawamu, Tua Bangka!" sentak Gincu Perawan geram. Lalu, tiba-tiba ia melompat dan bersalto di udara satu kali. Wuttt! Arah kakinya hendak menendang kepala si Eyang Sambar Nyawa."Hiaaat!"Eyang Sambar Nyawa tak mengelak. Tetap ada di te
HALAMAN Kuil Mega Merah berlapis salju tanahnya. Di luar halaman itu tanah mulai berlapis darah. Jagal Bawoh terkapar tanpa nyawa, juga tanpa jantung. Aria Amante tak berani memandangi jenazah saudara seperguruannya. Aria Amante sama sekali tak menyangka bahwa orang yang selama ini dihormati seperti menghormati gurunya sendiri, ternyata berhati keji. Mulanya Aria Amante menyangka, kedatangan Eyang Sambar Nyawa untuk membela mempertahankan kuil tersebut dari jamahan tangan-tangan rakus. Tetapi ternyata Eyang Sambar Nyawa sendiri yang bertangan rakus. Hal itu diketahui oleh Aria Amante lewat ucapan si tua berkepala sedikit botak bagian depannya, pada saat ia berhadapan dengan Jagal Bawoh. Waktu itu Jagal Bawoh mengatakan, "Saya murid Begawan Mega Merah, Eyang! Sekalipun saya sudah lama tinggalkan kuil ini, tapi saya masih berhak memiliki Pedang Merah itu!"Eyang Sambar Nyawa menyanggah, "Tidak bisa! Seorang murid murtad tidak layak memiliki pusaka seampuh Pedang Merah!