Malam itu, Sandara tergolek resah di ranjangnya, mata terpejam tapi jantung berdegup kencang. Sudah hampir tiga bulan lamanya dia terbebas dari mimpi buruk yang kerap menghantuinya. Namun entah kenapa, malam ini mimpi itu datang lagi, terasa nyata dan menakutkan. Dalam mimpi tersebut, dia kembali menjadi Sandara kecil yang sedang di gendong oleh ibunya, ketika tiba-tiba mereka dikejar oleh sekelompok pria berwajah tersamarkan oleh topeng. Suara nafas berat dan langkah kaki pria-pria itu bergema di telinganya, membuat hatinya berpacu dalam ketakutan. "Mama, tolong! Jangan bawa mamaku!" teriak Sandara histeris. Tangannya menggapai-gapai ke udara, berusaha menyentuh tangan sang mama yang tampak semakin menjauh di pelukan pria asing itu. Tiba-tiba, sebuah sentuhan lembut mendarat di pipinya. Sandara terbangun, napas tersengal. Matanya terbuka dan ia mendapati Bima duduk di samping ranjang, pandangannya penuh kecemasan. Di sampingnya Bima berusaha menenangkan, ia merasakan kehangatan
"Sudah sana cepat mandi. Dari kemarin kamu nggak mandi," ucap Bima yang duduk di tepi tempat tidur. Mengingat kemarin keadaan Sandara yang memprihatinkan akibat terkena racun dari tumbuhan liar. Sandara mencibir dengan bibir yang mengerucut saat Bima menyibakkan selimutnya. "Apa sih, Om? Bentar lagi kenapa?" ucapnya dengan nada yang sedikit kesal. Bima hanya memandangnya dengan tatapan yang ambigu. "Apa kamu mau aku yang mandikan kamu?" tantangnya sambil tersenyum nakal. Wajah Sandara memerah, matanya agak terbelalak. "Eh, apaan sih. Gue bisa mandi sendiri tau," jawabnya sambil tergopoh-gopoh bangun dari tempat tidurnya. Kenakalan Bima belum berhenti. "Kenapa? Kita kan belum pernah coba mandi bersama," lanjutnya semakin menggoda. Sandara semakin malu, pipinya merona merah. Dengan langkah cepat, dia melompat dari tempat tidur sambil berusaha mengabaikan godaan Bima yang terus bergema di kepalanya. Bima tersenyum nakal saat melihat ekspresi malu yang terlukis jelas di waj
Sandara merasakan getaran marah menyelimuti seluruh tubuhnya. Bibirnya terasa kebas, dan hatinya seperti disayat-sayat oleh ulah Bima yang tiba-tiba menciumnya dengan kasar. "Huh! Dasar orang tua yang suka semena-mena!" gerutu Sandara dengan nada penuh kekesalan. Dengan gerakan cepat, ia menyambar tasnya yang tergeletak di atas meja kecil di pojok kamar hotel itu, dan tanpa menoleh lagi, ia bergegas keluar dari kamar tersebut. Saat melintas di koridor hotel, ia bertemu dengan Leo yang tampak bingung melihat perubahan suasana hati Sandara. Leo hanya mengerutkan dahinya, heran dengan kontrasnya suasana yang terjadi dalam hitungan menit. Beberapa waktu lalu, Sandara dan Bima tampak begitu romantis, namun kini wajah Sandara tampak kesal dan marah. Bima, seperti biasanya dengan ekspresi datar seperti tidak terpengaruh dengan suasana hati Sandara, keluar dari kamar dengan langkah yang pasti. Posturnya yang tegap dan penuh wibawa tidak mencerminkan kesalahan yang baru saja ia perbuat.
Nirina dengan cepat menyembunyikan kekagetannya saat Sandara menuduhnya. Dengan senyum yang dipaksakan, dia mencoba menenangkan suasana. "Kak Dara, aku itu malah nyari Kakak dari tadi," ucap Nirina, suaranya bergetar sedikit menandakan ketidaknyamanannya. Sandara, dengan santainya, mengangkat satu alis dan tersenyum sinis. "Oh iya? Bukannya lo ngarep kalau gue nggak datang ke sini ya?" sindirnya, menatap Nirina dengan tatapan yang tajam. Kedua mata Nirina mulai berkaca-kaca, bibirnya bergetar seolah menahan tangis. "Kak Dara kok gitu sih? Kak Dara dari tadi nuduh aku terus. Emang apa yang aku lakuin sama Kakak?" ujarnya, suaranya lembut, penuh dengan kesedihan dan kebingungan. Sudut bibir Sandara terangkat, menampilkan senyum yang ambigu. Dia melihat kelemahan Nirina dan merasa memiliki kekuatan atasnya. "Lo boleh saja pura-pura polos, tapi gue tahu lo lebih licik dari yang kelihatan," ucap Sandara dengan nada mengejek, membuat Nirina semakin terpojok. Nirina menggigit bibirnya, m
Leo bingung apakah harus membantu Sandara menyiapkan keperluannya mendaki atau tidak karena Bima tak menyetujui kalau gadis itu menerima tantangan dari Nirina untuk mendaki gunung yang ada di desa itu. "Bagaimana Bos?" tanya Leo pada atasannya itu. "Bantu dia," jawab Bima pada akhirnya tak bisa mencegah Sandara yang menerima tantangan itu. Leo pun mengangguk patuh dan mengikuti Sandara pergi kembali ke hotel. Sedangkan Bima masuk ke pabrik untuk menyelesaikan pekerjaannya meninjau bahan baku yang akan di proses. "Dasar keras kepala!" gumam Bima dengan wajah suramnya. Pendirian Sandara tidak dapat goyah. Dengan tatapan yang sulit di artikan Bima segera menyelesaikan pekerjaannya. Namun sebelum itu ia mengambil ponselnya untuk menelpon seseorang. "Baik Pak, besok pagi-pagi sekali kami sudah ada di sana," jawab seseorang yang barada di seberang telepon dengan patuh. Bima kembali menyimpan ponselnya dengan hati yang sedikit tenang. Sandara bersama Leo telah tiba di kota, mata Sanda
Setelah melepas kepergian Sandara. Bima sama sekali tidak beranjak dari tempatnya. Ia terus menatap ke arah jalan yang di lalui Sandara. "Bos, Nona Dara pasti akan baik-baik saja. Sudah ada mereka yang akan menjaganya," ucap Leo yang berdiri di samping Bima.Bima tak menjawab. Tatapannya lurus ke depan. Tak berapa lama para tim sar datang. Bima sudah mempersiapkan semuanya. Mulai dari orang-orang yang ikut mendaki Sandara hingga mendatangkan tim sar jika di perlukan sewaktu-waktu.Mereka semua menunggu di basecamp hingga para pendaki yang belum berangkat pun di buat bertanya-tanya."Ada apa? Apa ada pendaki yang tersesat?" "Apa ada korban di atas?""Siapa pria itu? Kelihatannya dia orang yang sangat penting dan berkuasa?""Eh, dia itu pemilik pabrik sebelah. Dia orang kota yang tak tega dengan istrinya yang mendapat tantangan dari Nirina. Istrinya itu menyangka kalau Nirina berusaha mendekatinya bukan karena berteman melainkan untuk mendekati suaminya itu," ujar pemilik warung yang
Sinar mentari tengah hari mengikuti setiap langkah Jo, Tio dan Sandara saat mereka menapaki jalur gunung yang curam. "Apa kak Dara bisa bela diri?" Jo memecah keheningan dengan pertanyaan itu. Sandara menoleh dengan kepalanya yang digeleng lembut, "Nggak, gue nggak ahli dalam bela diri," ucapnya tenang. Sementara mata mereka terus tertuju ke depan. "Aku lihat Kak Dara melawan kucing besar itu," Jo masih penasaran. Ada nada kagum dalam suaranya. "Itu insting bertahan hidup, gue harus bisa melindungi diri," Sandara menjelaskan tanpa membiarkan wajahnya terlalu banyak mengungkap perasaan. Raut wajahnya tetap tenang namun mata tajamnya sedikit terlihat. Sejenak, percakapan berhenti. Langkah kaki mereka bergema pelan, namun terganggu oleh teriakan memilukan di kejauhan. "Aw, Kak Dara. Tolong!" suara perempuan kesakitan memanggil Sandara dari balik semak. Refleks, Sandara berhenti. Ia mendengarkan dengan seksama, sikapnya siap sedia. "Kak Dara, tolongin gue!" suara Nirina kembali men
Kilauan kembang api yang menerangi langit malam menandakan suatu keadaan mendesak di puncak gunung. Bima dengan cepat mengenakan jaket tebalnya, mata terfokus penuh ketegangan. "Bos, anda juga akan ikut mendaki?" tanya Leo, asisten Bima bersama satu anggota tim sar, dengan raut wajah yang penuh kekhawatiran."Aku tidak bisa menunggu, aku harus pastikan keadaan Dara," jawab Bima dengan suara tegas yang menunjukkan urgensi. Dengan langkah yang mantap, dia segera bergabung dengan barisan tim sar yang sudah siap dengan peralatan lengkap.Angin malam yang dingin menerpa, namun semangat Bima terasa membara. Setiap jejak yang dilewati, pikirannya hanya tertuju pada keselamatan Dara, istrinya yang menerima tantangan dari Nirina hanya untuk sebuah pembuktian, mencapai puncak gunung dan kini terjebak dalam bahaya yang tidak diketahui. Dengan lampu senter yang menyala terang, Bima memimpin tim mendaki melalui jalur yang terjal dan licin, setiap saat berkomunikasi melalui walkie-talkie untuk mem