Sinar mentari tengah hari mengikuti setiap langkah Jo, Tio dan Sandara saat mereka menapaki jalur gunung yang curam. "Apa kak Dara bisa bela diri?" Jo memecah keheningan dengan pertanyaan itu. Sandara menoleh dengan kepalanya yang digeleng lembut, "Nggak, gue nggak ahli dalam bela diri," ucapnya tenang. Sementara mata mereka terus tertuju ke depan. "Aku lihat Kak Dara melawan kucing besar itu," Jo masih penasaran. Ada nada kagum dalam suaranya. "Itu insting bertahan hidup, gue harus bisa melindungi diri," Sandara menjelaskan tanpa membiarkan wajahnya terlalu banyak mengungkap perasaan. Raut wajahnya tetap tenang namun mata tajamnya sedikit terlihat. Sejenak, percakapan berhenti. Langkah kaki mereka bergema pelan, namun terganggu oleh teriakan memilukan di kejauhan. "Aw, Kak Dara. Tolong!" suara perempuan kesakitan memanggil Sandara dari balik semak. Refleks, Sandara berhenti. Ia mendengarkan dengan seksama, sikapnya siap sedia. "Kak Dara, tolongin gue!" suara Nirina kembali men
Kilauan kembang api yang menerangi langit malam menandakan suatu keadaan mendesak di puncak gunung. Bima dengan cepat mengenakan jaket tebalnya, mata terfokus penuh ketegangan. "Bos, anda juga akan ikut mendaki?" tanya Leo, asisten Bima bersama satu anggota tim sar, dengan raut wajah yang penuh kekhawatiran."Aku tidak bisa menunggu, aku harus pastikan keadaan Dara," jawab Bima dengan suara tegas yang menunjukkan urgensi. Dengan langkah yang mantap, dia segera bergabung dengan barisan tim sar yang sudah siap dengan peralatan lengkap.Angin malam yang dingin menerpa, namun semangat Bima terasa membara. Setiap jejak yang dilewati, pikirannya hanya tertuju pada keselamatan Dara, istrinya yang menerima tantangan dari Nirina hanya untuk sebuah pembuktian, mencapai puncak gunung dan kini terjebak dalam bahaya yang tidak diketahui. Dengan lampu senter yang menyala terang, Bima memimpin tim mendaki melalui jalur yang terjal dan licin, setiap saat berkomunikasi melalui walkie-talkie untuk mem
Belum sempat tim penyelamat menegur Bima Aryasena, pengusaha muda itu sudah memutuskan untuk turun ke jurang dengan tali. Bima yang keras kepala hanya terfokus untuk menemukan Sandara. Tim sar berusaha mengikuti, menggunakan tali untuk mendekat ke tempat Bima. "Pak Bima, bisa dengar saya? Lebih baik naik ke atas, bahaya di bawah!" teriak salah satu anggota tim sar, matanya lekat pada sosok Bima yang semakin menjauh ke bawah. Namun, Bima seolah tak mendengar. Nafasnya memburu, tangannya erat menggenggam tali sambil terus memanggil nama Sandara. Hatinya berdetak kencang, tidak hanya karena risiko yang diambilnya, tetapi juga karena perasaan yang tumbuh sejak malam yang tak terlupakan dengan Sandara. Meski pernikahan mereka hanyalah sebuah kontrak, cinta yang tak terduga kini mendorongnya dalam setiap tarik tali.Udara dingin jurang membelit tubuhnya, tapi tak ada yang bisa menghentikan langkahnya. Dia harus menemukan Sandara, perempuan yang telah mengisi kekosongan di hatinya.Dengan
Bima menapakkan kakinya ke atas dengan langkah yang tegap, diikuti oleh Leo yang membawakan sebuah carrier berwarna cerah. "Bos, carrier ini milik Nona Dara, saya yakin sekali," kata Leo dengan nada yang berat dan penuh keyakinan. "Ini artinya Dara harusnya tidak jauh dari tempat tas ini ditemukan," ucapnya, suaranya menggema keberanian. Dengan gerakan tangan yang tegas, Bima memerintahkan Leo untuk membuka carrier berwarna merah cerah yang ada di hadapannya. Leo, dengan tatapan penuh konsentrasi, mengangguk sebelum mulai membuka ritsleting tas tersebut. Setelah dibuka, Bima dengan cepat menyelam ke dalam isi tas, memeriksa setiap barang yang terbungkus rapi."Semua ini barang-barang milik Sandara," kata Bima, sambil memegang sebuah buku catatan dengan sampul kulit yang sudah terlihat usang. Dia membalik-balik halaman buku itu, mencari tanda-tanda atau catatan yang mungkin ditinggalkan Sandara.Sesuai dugaan, isinya penuh dengan barang-barang yang dikenalinya sebagai milik Sandara
Bima, Leo dan beberapa anggota tim SAR mempercepat langkah kaki menyusuri hutan yang lebat, dengan sobekan kain biru sebagai petunjuk terakhir. Ranting-ranting patah dan jejak kaki yang samar menjadi tanda bahwa mereka berada di jalur yang benar. Bima, dengan raut muka tegang dan tangan yang terkepal, terus memanggil nama Dara, suaranya bergema di antara pepohonan tinggi. Leo, yang mengikuti di belakang, tidak kalah cemasnya; matanya terus bergerak mencari-cari sosok yang mungkin tersembunyi di balik semak atau batu besar. Keringat mengucur deras di dahi keduanya, pakaian mereka lembap terkena embun pagi yang masih tersisa di dedaunan. Setiap bunyi yang tidak biasa membuat Bima berhenti sejenak, menajamkan pendengaran, berharap itu adalah panggilan balasan dari Dara. Semakin dalam mereka menyusuri hutan, semakin berat pula beban di hati mereka. Bima sesekali menoleh ke belakang, memastikan bahwa Leo masih di sana, sebagai pendukung di saat hatinya mulai diliputi keputusasaan. Di k
Setelah turun dan sampai di basecamp, Sandara dibuat terperanjat oleh keramaian yang tak biasa. Suasana basecamp yang penuh sesak dengan para pendaki, tim SAR, dan dokter, mengindikasikan ada kejadian besar. Ternyata, istri dari pengusaha yang sempat hilang telah ditemukan dalam kondisi selamat, sementara seorang penantang lainnya jatuh ke jurang dan nasibnya masih belum diketahui."Wah, ini apa-apaan sih? Gue cuma luka kecil doang Om. Gue tau Om berkuasa tapi nggak gitu juga kali," gumam Sandara, bibirnya mengerucut sambil melihat sekeliling yang dipenuhi peralatan medis dan helikopter yang terparkir tak jauh dari situ.Bima, yang duduk lelah di sampingnya, hanya memejamkan mata dan mendengus pelan. Dia telah melewati malam tanpa tidur sejak Sandara menghilang, dan sekarang tampaknya emosi dan kelelahannya berbaur menjadi satu.Sandara mengamati wajah lelah suaminya itu, dan sejenak, keluh kesah tentang keramaian dan perhatian berlebihan itu terasa begitu kecil.Leo berjalan cepat ma
Bima, yang berdiri dengan postur tegap dan wajah tanpa ekspresi, memandang Sandara dengan tatapan yang sulit untuk diartikan. Sandara, dengan tenang, menghadapi suaminya itu, seakan tak terpengaruh oleh aura dingin yang Bima pancarkan. "Gue nggak ngelakuin apa-apa Om," kata Sandara, seolah merasakan pertanyaan yang tak terucap dari suaminya.Dalam hening yang merebak, kenangan tentang petualangan di puncak gunung menyelinap ke pikiran Sandara. Dia mengingat kegembiraan yang ia rasakan saat memetik bunga di sana. “Leo, carrier gue mana?” tanya Sandara, memecah keheningan, kepada asisten Bima yang berdiri tidak jauh dari mereka.Leo, dengan gerakan yang cekatan dan penuh hormat, segera membawakan tas carrier milik Sandara. "Ini Nyonya," ucapnya seraya menyerahkan tas tersebut. Sandara, dengan gerakan yang penuh antisipasi, membuka tas carrier tersebut dan mengeluarkan sesuatu dari dalamnya."Ini Om, gue lupa. Gue bisa petik bunga ini di puncak. Gue petik sendiri," ujar Sandara, sambil m
"Leo, tolong," bisik Sandara dengan suara datar, matanya memandang asistennya dan suaminya itu sambil memberikan ponselnya. Leo dengan cepat menerima ponsel dari tangan Sandara yang terlihat santai dan langsung membuka galeri. Tangannya yang cekatan menekan play dan mata beberapa pendaki yang hadir membelalak melihat apa yang terjadi. Di layar, Sandara tampak bersemangat merekam perjalanannya di puncak gunung. Tiba-tiba, langkah kakinya yang baru beberapa meter menuruni jalan licin terhenti. Sebuah sosok dengan penutup wajah mendadak muncul dari balik semak, mendorongnya keras. Ponselnya terlepas dari genggamannya, terbang menari di udara sebelum jatuh tepat di tepi jurang. Napas Sandara tercekat, ia berhasil menyelamatkan ponsel itu setelah melepaskan tas carrier-nya, berjuang menggapai dengan satu tangan sementara tangan lainnya berpegangan pada ****** pohon besar yang menghalangi jatuhnya ia ke dalam jurang. Leo, dengan segera, mengirim video itu ke ponsel Bima. Para pendaki d