"Leo, tolong," bisik Sandara dengan suara datar, matanya memandang asistennya dan suaminya itu sambil memberikan ponselnya. Leo dengan cepat menerima ponsel dari tangan Sandara yang terlihat santai dan langsung membuka galeri. Tangannya yang cekatan menekan play dan mata beberapa pendaki yang hadir membelalak melihat apa yang terjadi. Di layar, Sandara tampak bersemangat merekam perjalanannya di puncak gunung. Tiba-tiba, langkah kakinya yang baru beberapa meter menuruni jalan licin terhenti. Sebuah sosok dengan penutup wajah mendadak muncul dari balik semak, mendorongnya keras. Ponselnya terlepas dari genggamannya, terbang menari di udara sebelum jatuh tepat di tepi jurang. Napas Sandara tercekat, ia berhasil menyelamatkan ponsel itu setelah melepaskan tas carrier-nya, berjuang menggapai dengan satu tangan sementara tangan lainnya berpegangan pada ****** pohon besar yang menghalangi jatuhnya ia ke dalam jurang. Leo, dengan segera, mengirim video itu ke ponsel Bima. Para pendaki d
Menerima tatapan menusuk dari Bima, Sandara merasakan denyut kegugupan seiring dengan tatapan tersebut. Dengan sigap, dia langsung membaringkan dirinya di atas kasur empuk rumah sakit, mengambil posisi seolah hendak tidur. "Gue ngantuk Om, mau tidur," kilahnya cepat, suaranya terdengar bergetar sedikit, menghindari terjebak dalam tatapan menuntut itu. Bima, meskipun jelas-jelas kesal, tetap memilih untuk tidak beradu argumen. Dia menghela napas berat sebelum perlahan-lahan menempatkan tangannya di kepala Sandara, mengusap dengan kelembutan yang bertolak belakang dengan wajahnya yang masih terselimuti kemarahan. "Tidurlah," bisiknya seraya matanya tak lepas dari raut wajah Sandara yang seakan menyembunyikan sesuatu. Tak lama kemudian, suara dengkuran halus terdengar, memecah kesunyian ruangan yang hanya diterangi lampu remang-remang. Bima menatap Sandara yang tampak lelap, senyum tipis menghiasi wajah dinginnya, pertanda lega namun tetap waspada. Pintu ruangan kemudian terbuka
Sandara meremas-remas bantal, pipinya memerah seperti tomat matang. "Njiiir, kenapa gue malu-maluin gini sih. Asem emang!" bisiknya pada diri sendiri, menyembunyikan wajahnya di dalam selimut setelah melihat Bima tertawa kecil melihat tingkahnya yang tanpa sadar berteriak-tetiak dalam tidurnya. “Kenapa seperti itu?” tanya Bima, suaranya terdengar lembut namun cukup untuk membuat pipi Sandara semakin panas. "Udah nggak usah bahas itu lagi kenapa sih Om," sahut Sandara, semakin menyembunyikan wajahnya yang semakin memerah. Bima hanya tersenyum, lalu mengusap kepala Sandara dengan lembut.Bertepatan dengan itu, Leo masuk bersama Bu Laras. Cepat-cepat Sandara mengelak tangan Bima yang mengelus kepalanya. Malu saja ada mama mertua yang melihatnya.Pintu kamar terbuka pelan, dan Bu Laras, yang selama ini ia anggap sebagai ibunya sendiri, melangkah masuk dengan wajah penuh kekhawatiran. "Dara, kamu sudah sehat Nak?" tanyanya lembut, mendekati tempat tidur.Sandara mengangkat tubuhnya sedik
Sandara memutar bola matanya malas, jelas terlihat rasa tidak suka pada wajahnya. "Ya kan bekas makan gue, masa Om Bima nggak jijik sama sekali? Bukannya gue minta di suapi tapi di mana-mana orang sehat nggak ada yang minta di suapi sama pasien," keluhnya dengan nada yang tinggi.Bima, yang duduk tepat di sampingnya menarik nafas panjang sebelum mengepulkan udara dengan keras. "Apa kamu lupa kita sudah melakukannya dan kita sudah bertukar saliva, apa lagi yang membuatku jijik padamu!" sergahnya dengan nada kesal. Ia tampaknya benar-benar terganggu oleh sikap Sandara yang terus menerus merendahkannya.Sandara hanya bisa menghela nafas, merasa sangat malu. Tiba-tiba, tangan Bima terulur dengan santainya merebut sendok yang masih tergenggam di tangan Sandara. "Ya sudah, aku suapi kamu, biar sama seperti orang-orang yang kamu maksud itu," katanya, mencoba memecah kebekuan antara mereka.Dengan wajah yang masih merah merona tak berani menatap Bima, Sandara merasakan sendok mendekati bibirn
"Dara, kamu harus mengerti," suara Reva bergetar, penuh harap saat ia berbicara. Mata Reva memohon, memandang dalam ke arah Sandara seolah ingin menemukan sekutu di dalamnya. "Kalau posisi kamu seperti aku, kamu pasti akan merasakan yang aku rasakan. Mengertilah," tambahnya sambil tangannya tidak sadar terus mengelus-elus perutnya yang masih rata. Sisi lain dari ruangan, Bima duduk dengan sikap tenang namun dingin, yang hanya menambah ketegangan yang sudah terasa. "Apa bukti kalau aku yang harus bertanggung jawab?" ucap Bima, suara sarkastiknya meluncur tajam membelah udara, membuat Reva tersentak seakan terkena tusukan. Perubahan nada Bima padanya menunjukkan suatu kenyataan yang pahit. Reva menelan ludah, "Bi-Bima, kenapa kamu menanyakan itu padaku? Bukankah kita..." suaranya bergetar, tidak mampu menyelesaikan kalimat. Sementara itu, Sandara tampak terkejut, mulutnya membulat sempurna, tak percaya mendengar pengakuan Reva. Bima tetap tak bergeming, menatap tajam, "Kamu ya
Reva terdiam, kata-kata tak sanggup keluar dari bibirnya yang gemetar. Tangannya terkulai lemah ketika Bima menunjukkan deretan video dirinya yang tak seorang pun seharusnya lihat. "Semua yang kamu katakan tak ada artinya lagi. Pergilah," ucap Bima dengan nada datar, seolah membuang rasa sayang yang pernah ada. Di sisi lain ruangan, Bima mengusap kepala Sandara dengan lembut, memperlakukannya dengan kasih yang seolah hanya untuknya. Pandangan Reva menyala dengan api kebencian, menyaksikan perhatian Bima yang kini tercurah pada Sandara. Namun, kebenciannya hanya bisa terkurung dalam dada yang sesak oleh kehinaan. Leo yang berdiri di dekat pintu menyadari ketegangan yang membara. Dengan gerakan cepat dan pasti, ia membuka pintu ruangan tersebut, membebaskan Reva dari penjara emosi yang kian menguak. Langkah Reva keluar, diiringi rasa malu dan amarah yang merambat di setiap langkah kakinya.Reva merasakan setiap langkahnya terasa berat, kakinya seperti terpaku di lantai dingin rumah
Sandara baru saja menginjakkan kaki ke apartemennya setelah beberapa hari menjalani perawatan di rumah sakit. Udara panas Jakarta membuatnya langsung merindukan kesegaran minuman bersoda. Namun, keinginannya itu segera terbentur oleh kekhawatiran Bima, pria over protektif yang terus menerus mengingatkan soal kesehatan."Ya ampun Om, minuman soda aja nggak boleh. Gue itu hanya sakit luka luar bukan sakit jantung!" seru Sandara, bibirnya mengerucut, tanda kekesalan yang mendalam. Matanya menatap tajam ke arah Bima yang duduk di kursi seberang dengan ekspresi tenang dan tegas.Bima, dengan nada tegas yang tidak bisa ditawar lagi, menjawab, "Cuaca panas, nggak boleh minum minuman dingin dan bersoda."Sandara hanya bisa menghela napas panjang. Dengan perasaan frustrasi, ia memutar bola matanya dan malas duduk di sofa. Ruangan itu terasa lebih sumpek karena larangan-larangan yang seakan memenjarakannya. Ia mencoba mengalihkan perhatian dengan menyalakan televisi, menonton film anime kesu
"Mungkin dari paket ini?" Sandara bergumam lirih, hidungnya menarik bau asing yang tajam sambil dia memperlambat gerakan tangan yang tengah merobek pita paket besar di hadapannya. Paket itu anonim, tanpa petunjuk siapa pengirimnya. Hati Sandara berdetak cepat, rasa waspada dan ragu menguar di benaknya. Sandara terhenti sejenak, menghirup udara sebentar untuk memberanikan diri menelisik lebih dalam isi paket misterius tersebut. Alisnya berkerut, sementara bibirnya terkatup rapat, mencoba untuk tidak terpengaruh oleh aroma yang semakin kuat. Dengan hati-hati, jari-jarinya meraih isi paket tersebut, sebuah bungkusan yang terbungkus kertas koran lama dan tali rafia yang terikat kuat.Sambil memegang bungkusan itu, Sandara mulai mengurai tali rafia yang mengikat, bau menyengat semakin kuat membuatnya sesekali harus menahan nafas. Ketika kertas koran itu terlepas, sebuah kotak kecil berwarna gelap muncul. Jantungnya berdebar saat dia perlahan membuka tutup kotak itu, dan apa yang terpam