"Dara, kamu harus mengerti," suara Reva bergetar, penuh harap saat ia berbicara. Mata Reva memohon, memandang dalam ke arah Sandara seolah ingin menemukan sekutu di dalamnya. "Kalau posisi kamu seperti aku, kamu pasti akan merasakan yang aku rasakan. Mengertilah," tambahnya sambil tangannya tidak sadar terus mengelus-elus perutnya yang masih rata. Sisi lain dari ruangan, Bima duduk dengan sikap tenang namun dingin, yang hanya menambah ketegangan yang sudah terasa. "Apa bukti kalau aku yang harus bertanggung jawab?" ucap Bima, suara sarkastiknya meluncur tajam membelah udara, membuat Reva tersentak seakan terkena tusukan. Perubahan nada Bima padanya menunjukkan suatu kenyataan yang pahit. Reva menelan ludah, "Bi-Bima, kenapa kamu menanyakan itu padaku? Bukankah kita..." suaranya bergetar, tidak mampu menyelesaikan kalimat. Sementara itu, Sandara tampak terkejut, mulutnya membulat sempurna, tak percaya mendengar pengakuan Reva. Bima tetap tak bergeming, menatap tajam, "Kamu ya
Reva terdiam, kata-kata tak sanggup keluar dari bibirnya yang gemetar. Tangannya terkulai lemah ketika Bima menunjukkan deretan video dirinya yang tak seorang pun seharusnya lihat. "Semua yang kamu katakan tak ada artinya lagi. Pergilah," ucap Bima dengan nada datar, seolah membuang rasa sayang yang pernah ada. Di sisi lain ruangan, Bima mengusap kepala Sandara dengan lembut, memperlakukannya dengan kasih yang seolah hanya untuknya. Pandangan Reva menyala dengan api kebencian, menyaksikan perhatian Bima yang kini tercurah pada Sandara. Namun, kebenciannya hanya bisa terkurung dalam dada yang sesak oleh kehinaan. Leo yang berdiri di dekat pintu menyadari ketegangan yang membara. Dengan gerakan cepat dan pasti, ia membuka pintu ruangan tersebut, membebaskan Reva dari penjara emosi yang kian menguak. Langkah Reva keluar, diiringi rasa malu dan amarah yang merambat di setiap langkah kakinya.Reva merasakan setiap langkahnya terasa berat, kakinya seperti terpaku di lantai dingin rumah
Sandara baru saja menginjakkan kaki ke apartemennya setelah beberapa hari menjalani perawatan di rumah sakit. Udara panas Jakarta membuatnya langsung merindukan kesegaran minuman bersoda. Namun, keinginannya itu segera terbentur oleh kekhawatiran Bima, pria over protektif yang terus menerus mengingatkan soal kesehatan."Ya ampun Om, minuman soda aja nggak boleh. Gue itu hanya sakit luka luar bukan sakit jantung!" seru Sandara, bibirnya mengerucut, tanda kekesalan yang mendalam. Matanya menatap tajam ke arah Bima yang duduk di kursi seberang dengan ekspresi tenang dan tegas.Bima, dengan nada tegas yang tidak bisa ditawar lagi, menjawab, "Cuaca panas, nggak boleh minum minuman dingin dan bersoda."Sandara hanya bisa menghela napas panjang. Dengan perasaan frustrasi, ia memutar bola matanya dan malas duduk di sofa. Ruangan itu terasa lebih sumpek karena larangan-larangan yang seakan memenjarakannya. Ia mencoba mengalihkan perhatian dengan menyalakan televisi, menonton film anime kesu
"Mungkin dari paket ini?" Sandara bergumam lirih, hidungnya menarik bau asing yang tajam sambil dia memperlambat gerakan tangan yang tengah merobek pita paket besar di hadapannya. Paket itu anonim, tanpa petunjuk siapa pengirimnya. Hati Sandara berdetak cepat, rasa waspada dan ragu menguar di benaknya. Sandara terhenti sejenak, menghirup udara sebentar untuk memberanikan diri menelisik lebih dalam isi paket misterius tersebut. Alisnya berkerut, sementara bibirnya terkatup rapat, mencoba untuk tidak terpengaruh oleh aroma yang semakin kuat. Dengan hati-hati, jari-jarinya meraih isi paket tersebut, sebuah bungkusan yang terbungkus kertas koran lama dan tali rafia yang terikat kuat.Sambil memegang bungkusan itu, Sandara mulai mengurai tali rafia yang mengikat, bau menyengat semakin kuat membuatnya sesekali harus menahan nafas. Ketika kertas koran itu terlepas, sebuah kotak kecil berwarna gelap muncul. Jantungnya berdebar saat dia perlahan membuka tutup kotak itu, dan apa yang terpam
Bima berdiri tegang di ruang kerjanya, napasnya memburu. "Siapa yang mengirim paket itu? Cari tahu dan jangan berani-berani bikin aku marah!" bentaknya dengan nada tinggi pada sang asisten. Leo, dengan tatapan patuh, mengangguk seraya menjawab, "Tentu, Bos. Saya akan memerintahkan tim untuk segera bertindak." Tidak lama, Leo bergegas mengeluarkan ponselnya dan mulai memberikan instruksi tegas kepada timnya untuk mengusut keterlibatan beberapa pihak dalam pengiriman paket rahasia kepada Sandara. Dari balik meja kerjanya, Bima menekan pelipisnya, mencoba meredakan rasa sakit yang menghantui kepalanya. Sementara itu, terdengar ketukan di pintu. Sandara, dengan langkah ringan, berdiri di ambang pintu. "Om, gue buatkan kopi, boleh masuk?" tanyanya dengan lembut. Melihat Sandara, ekspresi tegang di wajah Bima perlahan melunak. "Masuklah," jawabnya, suaranya lebih halus. Sandara menghampiri dengan secangkir kopi di tangan. "Ini kopi buatan gue, rasanya pasti pas, nggak terlalu manis
"Apaan sih Om. Gue nggak mikirin apa-apa," elak Sandara. Dia berusaha keras menyembunyikan perasaan malu yang muncul tiba-tiba dengan memalingkan wajahnya.Sudut bibir Bima terangkat membentuk senyum tipis yang menggoda. "Banarkah? Tapi wajahmu memerah," ujarnya dengan nada penuh arti. Sandara merasakan panas membara di kedua pipinya, bisa-bisanya ia memikirkan hal yang tidak-tidak tentang pria di depannya ini.Merasa terpojok, Sandara berusaha menutupi kegelisahannya. "Gue mau ke kamar," ucapnya cepat sambil melangkah keluar dari ruangan Bima dengan langkah yang sedikit tergesa-gesa.Bima, yang tampaknya ingin menggoda lebih jauh, mengikuti langkah Sandara. "Apa sih Om!" protes Sandara, suaranya setengah berbisik. Bima hanya tersenyum lebar. "Apa, aku hanya mau mengganti pakaianku. Gerah," jawabnya acuh tak acuh, namun matanya tidak lepas dari sosok Sandara yang berjalan di depannya."Astaga!" batin Sandara, hatinya berdebar kencang. Dia tidak tahu harus berbuat apa. Di satu sisi, h
Sandara mengedarkan pandangannya di ruangan Bima yang sunyi, tidak ada tanda-tanda keberadaan Bima di sana. Dengan langkah gontai, ia turun dari ranjang yang masih mempertahankan aroma Bima. Sejak kembali dari pabrik di desa, Sandara belum sempat tidur di kamarnya sendiri, karena lampu di kamar tersebut rusak dan permintaan untuk perbaikan tampaknya diabaikan oleh petugas apartemen. Entah Bima memiliki alasan tertentu untuk mengizinkan Sandara menggunakan kamar miliknya atau memang petugas yang lalai."Om Bima kemana ya?" gumam Sandara pelan, seolah takut suaranya akan memecah keheningan apartemen yang sepi. Dia berjalan keluar dari kamar, langkahnya terasa berat dan gundah. Setiap sudut apartemen tampak begitu asing dan menakutkan tanpa keberadaan Bima yang selalu menjadi sumber kehangatan. Sandara merasa kehilangan, seakan bagian dari dirinya hilang bersama ketidakhadiran Bima. Dia berharap sekali bisa segera bertemu dan menanyakan banyak hal, termasuk mengapa lampu kamarnya bel
Sandara tiba di depan rumah mertuanya, ditemani Bima. Di sana, Bu Laras menyambutnya dengan hangat dan mengundangnya masuk. "Kenapa nggak masuk? Ayo masuk dulu," ujarnya sambil memandang Sandara dengan mata berbinar. Bima menyusul mereka berdua, mendekat dengan langkah lembut. "Aku berangkat ke kantor, kalau ada apa-apa telepon aku," ucap Bima. Pada momen perpisahan, Bima mengusap kepala Sandara dengan lembut, sebuah isyarat penuh kasih yang membuat Sandara menundukkan kepala, pipinya merona karena malu terlihat oleh Bu Laras. Namun, mertuanya hanya tersenyum melihat kemesraan itu. "Kamu berangkat saja, Bima. Dara aman sama mama," kata Bu Laras, suaranya mengandung kelembutan dan kepastian. Setelah Bima meninggalkan kediaman mewah itu, Bu Laras segera membawa Sandara untuk bersiap menuju ke tempat amal.Pada pagi yang cerah, Bu Laras menatap Sandara dengan senyum hangatnya, menggenggam tangan menantunya itu dengan lembut. "Nanti di hotel ada banyak teman yang ingin mama kenalkan