Sandara tiba di depan rumah mertuanya, ditemani Bima. Di sana, Bu Laras menyambutnya dengan hangat dan mengundangnya masuk. "Kenapa nggak masuk? Ayo masuk dulu," ujarnya sambil memandang Sandara dengan mata berbinar. Bima menyusul mereka berdua, mendekat dengan langkah lembut. "Aku berangkat ke kantor, kalau ada apa-apa telepon aku," ucap Bima. Pada momen perpisahan, Bima mengusap kepala Sandara dengan lembut, sebuah isyarat penuh kasih yang membuat Sandara menundukkan kepala, pipinya merona karena malu terlihat oleh Bu Laras. Namun, mertuanya hanya tersenyum melihat kemesraan itu. "Kamu berangkat saja, Bima. Dara aman sama mama," kata Bu Laras, suaranya mengandung kelembutan dan kepastian. Setelah Bima meninggalkan kediaman mewah itu, Bu Laras segera membawa Sandara untuk bersiap menuju ke tempat amal.Pada pagi yang cerah, Bu Laras menatap Sandara dengan senyum hangatnya, menggenggam tangan menantunya itu dengan lembut. "Nanti di hotel ada banyak teman yang ingin mama kenalkan
Ruang pertemuan hotel bintang lima itu tiba-tiba dipenuhi dengan suasana tegang saat seorang pria mendekati Bu Laras dengan wajah yang pucat pasi. Ia terengah-engah, seolah baru saja berlari menempuh jarak yang tidak sepele.Bu Laras, yang tadinya terlibat dalam obrolan ringan dengan para istri pengusaha, langsung mengalihkan perhatian. Kerutan di dahinya semakin dalam saat mendengar kabar yang disampaikan pria tersebut. "MC yang memandu acara mendadak sakit Bu, bagaimana ini, saya sudah hubungi yang lainnya tapi nggak bisa Bu," ucap pria itu dengan nada yang tergesa-gesa dan penuh kekhawatiran.Seketika itu juga, suasana menjadi semakin kacau. Para panitia berlarian kesana-kemari mencari solusi, beberapa di antaranya berbicara di telepon dengan nada suara tinggi mencoba menghubungi alternatif pengganti. Keresahan terpancar jelas dari wajah mereka, tangan-tangan yang bergerak lincah mencoba menenangkan para tamu yang mulai bertanya-tanya.Bu Laras, meski terlihat kaget dan bingung,
Reva melambaikan tangan, memanggil seorang pelayan yang berjalan dengan membawa tray. "Tolong bawakan ini ke Bu Sandara, dia mau pulang sebentar lagi," katanya seraya menunjuk ke arah Sandara yang tengah berbicara dengan Bu Laras. Di sisi lain, Sandara memandang Bu Laras dengan tatapan yang memohon izin. "Ma, Dara ke toilet sebentar ya sebelum kita pulang," katanya dengan suara tergesa-gesa. Ada rasa kebelet yang mendorongnya untuk segera pergi. "Tentu, sayang. Cepat saja. Kamu perlu ditemani?" Bu Laras menawarkan dengan nada penuh kelembutan. "Nggak usah, Ma. Dara sendiri aja," jawab Sandara sambil tersenyum tipis, mencoba menunjukkan bahwa dia bisa mengatasinya sendiri. Kemudian, ia berlalu cepat, melintasi lorong dengan langkah yang terburu menuju ke toilet.Di saat itulah, Reva yang telah memerintahkan pelayan hotel untuk membawakan minuman segar, menatap ke arah Sandara yang menjauh. Dia tersenyum menyeringai, berharap minuman itu dapat mengambil hati Bu Laras dan hubungan
Reva dengan langkah tergesa-gesa mendekati Bima yang berdiri tegak, menampilkan wajah tanpa ekspresi. "Bima! Tolong kamu percaya sama aku. Dara menyiramkan jus itu padaku," suara Reva bergetar, mencoba menahan air mata yang siap jatuh. Bima, yang berdiri bersama Sandara, menoleh sejenak ke arah Reva. Matanya tetap dingin, tak menunjukkan belas kasih. "Kalau itu pun benar, kamu pasti yang memulainya dulu. Tapi aku lebih percaya dengan istriku," ucapnya sambil menggenggam erat tangan Sandara yang berdiri di sampingnya dengan senyuman puas.Reva, dengan kepala tertunduk, merasakan malu yang membara. Pandangannya terpecah antara keinginan untuk membela diri dan rasa hancur karena dituduh. Dia melihat ke arah Bu Laras yang sedang berbincang dengan istri seorang pengusaha, berharap mendapatkan sedikit dukungan. Namun, sebelum Reva sempat berkata lebih banyak, Bu Laras, didampingi oleh dua bodyguard yang gagah, berjalan menghampiri Bima dan Sandara, meninggalkan Reva dalam keheningan dan k
"Berapa lama Om bima, akan di luar negeri?" tanya Sandara, suaranya terdengar lembut di tengah sunyi malam itu. "Belum ada kepastian, sayang," jawab Bima sambil menarik Sandara ke dalam pelukannya yang hangat. Dia merasakan Sandara membalas pelukan itu dengan erat. "Tapi aku janji, begitu tugas ini selesai, aku akan langsung pulang ke sini, ke pangkuanmu." Ada diam yang hangat di antara mereka, hening yang dipenuhi dengan getar perasaan yang sulit diucapkan. Sandara menghela napas, jantungnya bergemuruh dengan kekhawatiran. "Pasti akan sangat sepi di sini nggak ada Om Bima," bisiknya, hampir tak terdengar. Bima mengusap punggung Sandara dengan lembut. "Kalau ada apa-apa, Leo siap membantumu. Percayalah padanya selama aku belum ada di sini, ya?" Sandara mengangguk, matanya berkaca-kaca. "Ayo, kita istirahat," ajak Bima, menyuarakan kata-kata yang memberikan sedikit kelegaan, namun tak sepenuhnya mampu mengusir kerinduan yang akan datang.Di bawah remang cahaya lampu kamar, Sa
"Tolong! Ada pasangan mesum di sini!" teriak seorang pengunjung kafe yang hendak memasuki toilet. Sandara dan Bima, yang tak sengaja terjatuh dalam satu bilik toilet, terkejut mendengar teriakan itu. Dengan sigap, mereka berusaha bangkit dan memisahkan diri. Teriakan itu membuat seisi kafe langsung heboh. Semua orang berlarian menuju arah toilet, penasaran dengan apa yang terjadi. Sandara, gadis yang sedang terjatuh di dalam toilet, merasa panik dengan keadaannya saat ini. Ia tidak menyangka bahwa salah masuk ke bilik toilet pria bisa berakhir dengan situasi seperti ini. "Saya hanya ingin menolong, bukan berniat macam-macam," ujar Bima dengan nada panik. Namun, orang-orang yang sudah berkumpul di depan toilet tidak percaya begitu saja. Mereka menganggap Bima dan Sandara sedang melakukan tindakan tak senonoh di dalam toilet kafe. "Kalau kamu ingin menolongnya, kenapa resleting celana kamu terbuka? Sudah, kalian mengaku saja!" seru salah satu pengunjung kafe dengan nada sini
Bima dan Sandara menatap Bu Laras dengan wajah terkejut, tidak menyangka akan permintaan yang baru saja diutarakan oleh wanita paruh baya itu. "Bima nggak mungkin menikah dengan perempuan ini!" tolak Bima tegas, alis berkerut menahan emosi, seolah menyalahkan Sandara yang duduk di sampingnya. "Sama, gue juga nggak mau nikah sama lo!" balas Sandara seraya meremas saputangan yang ada di tangannya, kesal. Diam-diam, Bu Laras tersenyum tipis. Masalah yang menimpa anak semata wayangnya bersama gadis yang tiba-tiba masuk kedalam kehidupan mereka memberikan peluang untuk mewujudkan keinginannya agar Bima segera menikah. Terlebih lagi Bima bisa terlepas dari kekasihnya yang bekerja sebagai model dan Bu Laras sangat tidak menyukainya. Ia menatap keduanya bergantian, berusaha menenangkan suara hati yang semakin keras. "Kenapa nggak mungkin, Bima? Kamu harus bertanggung jawab atas ucapanmu. Sudah tersebar berita bahwa kalian berdua menikah, kini waktunya untuk membuktikannya demi men
Sandara terdiam duduk dengan lesu di ruang tamu apartemen milik Bima yang sepi. Wajahnya terlihat pucat dan matanya berkaca-kaca, mencoba mencerna apa yang baru saja diutarakan Bima. Benar apa yang dikatakannya, mereka hanya menikah pura-pura saja, dan Sandara melakukannya hanya demi uang. "Tampan sih tampan tapi galak plus ngeselin banget!" gerutu Sandara kesal dengan sikap Bima padanya. Di saat tengah rasa kesalnya pada Bima, tiba-tiba saja ponselnya bergetar. Sandara segera mengambil ponselnya yang tergeletak di meja samping, dan wajahnya semakin merah padam saat melihat nama 'mama tiri" yang tertera di layar ponselnya. "Mau apa lagi dia nelpon? Apa uang kemarin belum cukup juga?" gumam Sandara kesal. Dengan ragu, Sandara mengangkat telepon tersebut. Suara mama tirinya di ujung sana terdengar tajam, "Sandara, sekarang karena kamu sudah menikah dengan pria kaya itu, cepat minta uang darinya untuk membayar hutang kita!" Sandara menelan ludah, wajahnya terlihat tegang, berusaha m