Reva dengan langkah tergesa-gesa mendekati Bima yang berdiri tegak, menampilkan wajah tanpa ekspresi. "Bima! Tolong kamu percaya sama aku. Dara menyiramkan jus itu padaku," suara Reva bergetar, mencoba menahan air mata yang siap jatuh. Bima, yang berdiri bersama Sandara, menoleh sejenak ke arah Reva. Matanya tetap dingin, tak menunjukkan belas kasih. "Kalau itu pun benar, kamu pasti yang memulainya dulu. Tapi aku lebih percaya dengan istriku," ucapnya sambil menggenggam erat tangan Sandara yang berdiri di sampingnya dengan senyuman puas.Reva, dengan kepala tertunduk, merasakan malu yang membara. Pandangannya terpecah antara keinginan untuk membela diri dan rasa hancur karena dituduh. Dia melihat ke arah Bu Laras yang sedang berbincang dengan istri seorang pengusaha, berharap mendapatkan sedikit dukungan. Namun, sebelum Reva sempat berkata lebih banyak, Bu Laras, didampingi oleh dua bodyguard yang gagah, berjalan menghampiri Bima dan Sandara, meninggalkan Reva dalam keheningan dan k
"Berapa lama Om bima, akan di luar negeri?" tanya Sandara, suaranya terdengar lembut di tengah sunyi malam itu. "Belum ada kepastian, sayang," jawab Bima sambil menarik Sandara ke dalam pelukannya yang hangat. Dia merasakan Sandara membalas pelukan itu dengan erat. "Tapi aku janji, begitu tugas ini selesai, aku akan langsung pulang ke sini, ke pangkuanmu." Ada diam yang hangat di antara mereka, hening yang dipenuhi dengan getar perasaan yang sulit diucapkan. Sandara menghela napas, jantungnya bergemuruh dengan kekhawatiran. "Pasti akan sangat sepi di sini nggak ada Om Bima," bisiknya, hampir tak terdengar. Bima mengusap punggung Sandara dengan lembut. "Kalau ada apa-apa, Leo siap membantumu. Percayalah padanya selama aku belum ada di sini, ya?" Sandara mengangguk, matanya berkaca-kaca. "Ayo, kita istirahat," ajak Bima, menyuarakan kata-kata yang memberikan sedikit kelegaan, namun tak sepenuhnya mampu mengusir kerinduan yang akan datang.Di bawah remang cahaya lampu kamar, Sa
"Tolong! Ada pasangan mesum di sini!" teriak seorang pengunjung kafe yang hendak memasuki toilet. Sandara dan Bima, yang tak sengaja terjatuh dalam satu bilik toilet, terkejut mendengar teriakan itu. Dengan sigap, mereka berusaha bangkit dan memisahkan diri. Teriakan itu membuat seisi kafe langsung heboh. Semua orang berlarian menuju arah toilet, penasaran dengan apa yang terjadi. Sandara, gadis yang sedang terjatuh di dalam toilet, merasa panik dengan keadaannya saat ini. Ia tidak menyangka bahwa salah masuk ke bilik toilet pria bisa berakhir dengan situasi seperti ini. "Saya hanya ingin menolong, bukan berniat macam-macam," ujar Bima dengan nada panik. Namun, orang-orang yang sudah berkumpul di depan toilet tidak percaya begitu saja. Mereka menganggap Bima dan Sandara sedang melakukan tindakan tak senonoh di dalam toilet kafe. "Kalau kamu ingin menolongnya, kenapa resleting celana kamu terbuka? Sudah, kalian mengaku saja!" seru salah satu pengunjung kafe dengan nada sini
Bima dan Sandara menatap Bu Laras dengan wajah terkejut, tidak menyangka akan permintaan yang baru saja diutarakan oleh wanita paruh baya itu. "Bima nggak mungkin menikah dengan perempuan ini!" tolak Bima tegas, alis berkerut menahan emosi, seolah menyalahkan Sandara yang duduk di sampingnya. "Sama, gue juga nggak mau nikah sama lo!" balas Sandara seraya meremas saputangan yang ada di tangannya, kesal. Diam-diam, Bu Laras tersenyum tipis. Masalah yang menimpa anak semata wayangnya bersama gadis yang tiba-tiba masuk kedalam kehidupan mereka memberikan peluang untuk mewujudkan keinginannya agar Bima segera menikah. Terlebih lagi Bima bisa terlepas dari kekasihnya yang bekerja sebagai model dan Bu Laras sangat tidak menyukainya. Ia menatap keduanya bergantian, berusaha menenangkan suara hati yang semakin keras. "Kenapa nggak mungkin, Bima? Kamu harus bertanggung jawab atas ucapanmu. Sudah tersebar berita bahwa kalian berdua menikah, kini waktunya untuk membuktikannya demi men
Sandara terdiam duduk dengan lesu di ruang tamu apartemen milik Bima yang sepi. Wajahnya terlihat pucat dan matanya berkaca-kaca, mencoba mencerna apa yang baru saja diutarakan Bima. Benar apa yang dikatakannya, mereka hanya menikah pura-pura saja, dan Sandara melakukannya hanya demi uang. "Tampan sih tampan tapi galak plus ngeselin banget!" gerutu Sandara kesal dengan sikap Bima padanya. Di saat tengah rasa kesalnya pada Bima, tiba-tiba saja ponselnya bergetar. Sandara segera mengambil ponselnya yang tergeletak di meja samping, dan wajahnya semakin merah padam saat melihat nama 'mama tiri" yang tertera di layar ponselnya. "Mau apa lagi dia nelpon? Apa uang kemarin belum cukup juga?" gumam Sandara kesal. Dengan ragu, Sandara mengangkat telepon tersebut. Suara mama tirinya di ujung sana terdengar tajam, "Sandara, sekarang karena kamu sudah menikah dengan pria kaya itu, cepat minta uang darinya untuk membayar hutang kita!" Sandara menelan ludah, wajahnya terlihat tegang, berusaha m
Sandara memasuki kamarnya, ia berniat untuk mengemas beberapa pakaiannya untuk di bawanya ke apartemen Bima. Biar bagaimana pun sekarang ia telah menikah meski hanya pernikahan kontrak. Di tempat lain, Leo yang mendapati Sandara yang ternyata pulang ke rumah pun segara meninggalkan tempat itu. Baru saja Sandara selesai mengemas pakaiannya ke dalam koper, tiba-tiba pintu kamarnya terbuka lebar dan Ajeng, ibu tirinya, berdiri di ambang pintu dengan senyum sinis. Dalam sekejap, Ajeng mengambil tas kecil yang tergeletak di tempat tidur Sandara. "Kembalikan tas gue! Itu uang buat bayar hutang!" seru Sandara dengan menatap tajam pada Ajeng, mencoba menahan amarah yang mulai memuncak. Ajeng tertawa sinis, menggenggam erat tas itu di tangannya. "Nggak, ini uangku. Kamu saja yang jadi gantinya buat membayar hutang itu." Wajah Sandara memerah, matanya berkaca-kaca karena merasa dipermainkan. "Kamu nggak punya hak untuk mengambil uang itu! Aku akan melunasi semua hutang-hutang papaku!" teri
"Lepaskan dia!" teriak Leo dengan suara menggelegar yang seketika membuat suasana hening. Wajahnya tegang dan matanya menyala penuh amarah. Sandara, yang sebelumnya terpojok oleh para pria hidung belang, menoleh dan bernafas lega melihat sosok Leo berdiri di dekat pintu masuk. Para pria hidung belang yang tadinya mengerumuni Sandara dengan tatapan penuh nafsu pun mundur teratur, mereka merasa takut dengan sosok Leo yang dikenal sebagai asisten Bima Aryasena, seorang pengusaha muda yang terkenal kejam dan tak segan untuk menutup perusahaan yang bermasalah dengannya. Mereka sadar bahwa mencoba melawan Leo hanya akan menimbulkan masalah yang lebih besar bagi diri mereka dan usaha mereka. Sandara berlari menuju Leo, air mata mengalir deras di pipinya, "Om, tolong bawa Dara pergi dari tempat ini," pinta Sandara dengan suara gemetar, memohon perlindungan dari Leo. Leo menatap tajam para pria yang semakin mundur, "Pergi kalian, atau usaha kalian akan gulung tikar!" ancam Leo dengan suara
Sandara menatap piring berisi makanan yang telah ia buat dengan susah payah di meja makan. Meskipun tak pandai memasak, namun ia berusaha membuatkan sarapan spesial untuk Bima. Dari kejauhan, terdengar suara langkah kaki Bima yang baru saja keluar dari kamarnya dengan setelan jas rapi yang menambah ketampanannya. "Om, kalau nggak mau sarapan, minum kopinya aja, Om. Ayolah Om, mau ya, please!" ucap Sandara dengan nada memelas sambil mengejar langkah Bima menuju pintu. Bima hanya melirik sejenak ke arah Sandara, kemudian melanjutkan langkahnya tanpa menggubris ajakan Sandara. Seolah tak peduli dengan perasaan Sandara yang telah bersusah payah membuatkan sarapan untuknya. "Om Bima wangi banget," ujar Sandara yang mencoba mengalihkan perhatian Bima dengan menghirup dalam-dalam aroma wangi parfum yang dipakai Bima. Ia berharap pujian itu akan membuat Bima berhenti sejenak dan mencicipi sarapan yang telah ia siapkan. Namun, Bima hanya melangkah datar dan tanpa ekspresi, seakan tak terpe