Mata Sandara mengantuk, berat memandangi deretan lukisan yang tampak samar dalam penglihatannya. Ia mengikuti langkah Bu Laras yang bersemangat, menelisik setiap detail karya seni yang dipajang. Sandara berusaha keras untuk menyembunyikan kebosanannya, memaksakan senyum setiap kali Bu Laras menunjuk lukisan dan memberikan komentar.Sesekali, Sandara melirik jam tangan, berharap waktu berlalu lebih cepat. Ia memandang sekeliling, mencari kursi atau bangku untuk duduk sejenak, namun sayang, galeri itu tidak menyediakannya. Kaki Sandara mulai terasa pegal, namun ia tetap berjalan di samping Bu Laras yang kini tengah asyik berbincang dengan kurator galeri.Saat Bu Laras menyapa kurator, Sandara memanfaatkan kesempatan itu untuk menghela napas lega dan mengusap keningnya yang mulai berpeluh. Ia berdiri di sudut, mencoba mengalihkan perhatiannya ke lukisan abstrak di depannya, namun pikirannya melayang ke sofa empuk di apartemennya.Ketika Bu Laras kembali dan berkata, "Kita ke sana dulu ya
Sandara memperhatikan kotak besar di depan pintu apartemennya dengan tatapan bingung. Kotak itu dilapisi kertas cokelat, tertulis namanya dengan huruf cetak yang rapi, namun tidak ada pengirim yang tertera. Dia memiringkan kepalanya, mencoba memikirkan kemungkinan dari mana asal paket misterius ini."Om Bima kah?" gumam Sandara, namun suaranya lebih mencerminkan keraguan daripada keyakinan. Dia menyentuh kotak itu, rasanya berat. Isinya jelas bukan barang-barang ringan. Sandara menggigit bibir bawahnya, ketidakpastian memenuhi pikirannya.Dengan hati-hati, dia membuka pita perekat yang menempel kuat di permukaan kotak. Desis udara terdengar saat pita terlepas. Sandara menarik nafas dalam-dalam, mengumpulkan keberanian untuk melihat apa yang tersembunyi di dalam paket tersebut.Setelah membuka lapisan terakhir, matanya membelalak, tak percaya dengan apa yang dia lihat. Sebuah lukisan abstrak tergeletak di sana, lukisan yang siang tadi ia lihat di sebuah pameran bersama mama mertuanya.
Bima merengut di ujung sambungan telepon, suaranya gemetar karena kecemasan yang ia rasakan. "Leo, aku ingin bicara dengan Dara," pintanya dengan nada yang berat. Leo, tanpa ragu, mengulurkan telepon genggamnya pada Sandara yang wajahnya masih pucat pasca diinterogasi polisi. "Nyonya, Bos Bima di telepon," ujarnya. Sandara mengangguk, mengambil ponsel dari tangan Leo dengan sedikit gemetar. "Halo, Om. Om Bima, di sini gue baik-baik aja. Percaya kan kalau gue nggak ada kaitannya sama lukisan itu?" ucapnya, suaranya mencoba menenangkan Bima yang terdengar jelas resah di ujung sana. Dari ribuan mil jauhnya, Bima menghela napas panjang, merasa sedikit lega mendengar suara istrinya yang berusaha menenangkannya di tengah badai yang sedang mereka hadapi."Iya Sandara, aku percaya kamu," jawab Bima dengan suara yang terdengar berat dan serak, seolah menahan beban yang tak terlihat. "Aku hanya khawatir, kamu tahu sendiri bagaimana situasi sekarang ini."Sandara menghela napas panjang, ma
Leo dan Pak Morgan, asisten pengacara Bima yang berpengalaman, memaparkan barang bukti dengan penuh percaya diri di hadapan polisi yang masih skeptis. Mereka mengeluarkan sejumlah foto dan video yang menunjukkan bahwa wanita dalam foto bukanlah Sandara, melainkan sosok lain yang dengan sengaja diubah penampilannya agar mirip dengan Sandara. Dengan tegas, Pak Morgan menunjukkan perbedaan ciri khas fisik antara wanita misterius itu dan Sandara, seperti bentuk alis dan **** lalat di pipi yang berbeda.Selain itu, Leo mengungkapkan bukti tambahan berupa rekaman CCTV yang menangkap sosok tidak dikenal yang menyelinap masuk ke apartemen Sandara, membawa paket mencurigakan. Mereka memperlihatkan tanggal dan waktu pada rekaman tersebut, yang sesuai dengan hari pengiriman paket yang diduga sebagai bukti palsu.Polisi dengan teliti memeriksa setiap bukti yang disajikan, mulai dari membandingkan foto-foto, memeriksa rekaman video, hingga menguji keaslian rekaman CCTV. Atmosfer di ruangan itu t
Mata Sandara terasa panas dan berat, tubuhnya lelah setelah berurusan dengan interogasi yang memakan waktu berjam-jam. Ia berjalan terseok-seok ke apartemennya, melepas sepatu dan langsung menuju ke kamar mandi. Air dingin yang mengalir dari keran tampaknya sedikit membantu mendinginkan pikirannya yang kacau. Setelah mengeringkan wajahnya dengan handuk, ia menghela napas panjang, mencoba melupakan segala tekanan yang baru saja dihadapinya.Sandara mengambil ponselnya, jemarinya yang gemetar mengetik pesan untuk Bima yang berada jauh di luar negeri. "Om, Dara ngantuk, capek," tulisnya singkat, harapan terpendam agar Bima tidak terlalu khawatir terasa menggema dalam setiap kata. Ia tahu betul bahwa Bima akan merasa cemas, tapi dia sendiri terlalu lelah untuk menghadapi lebih banyak pertanyaan atau kekhawatiran.Setelah pesan terkirim, ia meletakkan ponselnya di meja samping tempat tidur dan merebahkan diri. Kasur itu terasa lebih nyaman dari biasanya, atau mungkin itu hanya karena kel
Leo sedang menyesap kuah makanan ketika tiba-tiba kuah itu terasa menyengat di tenggorokannya saat Sandara berbicara di telepon, "Aku sangat rindu Bima." Saat mendengar itu, Leo terbatuk keras, kuahnya nyaris tersembur. Walaupun bukan kali pertama Leo menyaksikan kemesraan antara Sandara dan suaminya, setiap momen seperti itu selalu meninggalkan rasa canggung yang mendalam, seakan-akan ia tak lebih dari penggangu yang tidak diinginkan. "Leo, lo kenapa?" Sandara bertanya, perhatiannya beralih sejenak dari pembicaraan mesra dengan Bima. "Oh, tidak apa-apa, Dara. Cuma tersedak sumpit," jawab Leo, mencoba bersikap tenang, sementara di seberang telepon terdengar suara tawa Bima yang lepas. Sandara pun tertawa kecil, "Hati-hati, jangan sampai sumpitnya ikut tertelan," canda Sandara ringan. Saat masih berbincang, Sandara lanjut, "Oh iya, Om, nanti sore gue mau jalan-jalan sama Alin. Sudah lama banget kita nggak bertemu." "Tak masalah, tapi biar Leo yang mengantarmu," Bima memotong
"Kalau gue ngomong sama Leo besok gue mau pergi ke rumah sakit buat periksa kehamilan pasti dia langsung laporan sama Om Bima," batin Sandara memikirkan kemungkinan yang akan terjadi. Dia harus merahasiakan hal ini terlebih dulu sebelum jelas apakah ia hamil atau tidak. "Besok gue jalan-jalan sama Alin," jawab Sandara yang tak sepenuhnya berbohong. Sandara menggigit bibir bawahnya, berusaha keras menahan rasa cemas yang mulai menggebu di dalam dada. Di hadapannya, Leo tampak gelisah, sepertinya dia juga merasakan ketegangan yang sama. "Alin cantik ya? Gimana, apa lo suka sama dia?" ucap Sandara sambil mencoba menyembunyikan kegelisahannya dengan topik yang lebih ringan. Dia berharap bisa mengalihkan perhatian Leo dari rencana kehamilannya yang masih dirahasiakan. Leo, yang sebelumnya tampak asyik dengan pikirannya sendiri, tiba-tiba terkejut. Matanya melebar sejenak sebelum ia menundukkan kepala, pipinya memerah. "Dia cantik," jawabnya dengan suara yang hampir tidak terdengar, malu
Di ruang tunggu poli kandungan, suasana hening hanya dipecah oleh suara ibu-ibu muda yang sesekali berbisik dengan suami mereka. Sandara, dengan raut wajah pucat, duduk menyendiri di pojok ruangan. Tangan dinginnya terus meremas-remas sambil matanya yang sayu menatap ke lantai. Di sekitarnya, kebahagiaan tampak jelas pada wajah para ibu yang ditemani suami mereka, berbeda dengan Sandara yang hanya ditemani oleh sahabatnya, Alin.Alin, yang duduk disamping Sandara, menatap wajahnya yang tampak gelisah. "Tenang, ada gue," bisik Alin lembut, mencoba memberikan dukungan. Dia tahu betul betapa beratnya momen ini bagi Sandara, apalagi tanpa kehadiran pasangannya.Sandara mengangkat wajah, matanya yang berkaca-kaca menatap Alin. "Kita pulang aja yuk," bisiknya dengan suara yang hampir tak terdengar, penuh keraguan dan ketakutan."Ngapain? Kita udah daftar," jawab Alin, berusaha meyakinkan. Dia tahu betapa pentingnya pemeriksaan ini bagi kesehatan Sandara dan bayi yang dikandungnya.Suasana r