Alin menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi taman yang dingin di rumah sakit sambil mengusap kepala Sandara yang terlihat letih. "Sebelum kita pulang, ayo kita isi perut dulu. Dokter bilang lo harus makan banyak biar bayi di perut lo nggak rewel nanti," katanya lembut, matanya berbinar karena telah menemukan solusi. "Ada sup daging enak dekat sini, favorit lo itu. Pasti lo suka." Sandara mengangkat kepala, mencoba tersenyum walau lemah. "Baiklah, ayo. Gue juga udah lapar," jawabnya pelan. Mereka berdua kemudian melangkah lelah ke taksi yang telah menunggu, menuju restoran yang sudah lama menjadi kesukaan Sandara. Sesampainya di sana, mereka memesan sup daging spesial yang aromanya menguar menggugah selera. Mata Sandara berbinar seiring dengan hidangan yang tiba. "Waw, kelihatannya enak banget," ucapnya, tidak sabar ingin menikmati kehangatan sup tersebut.Sandara memperhatikan semangkuk sup daging yang baru saja dihidangkan di meja mereka. Asap yang mengepul menambah aroma yang m
Sandara dan Alin, dengan napas terengah-engah, terus melihat ke segala arah di kafe yang semarak itu. Mata mereka berpindah dari satu wajah ke wajah lain, mencari sosok yang mungkin saja adalah Erdo. Suasana kafe yang penuh dengan gelak tawa dan perbincangan semakin membuat mereka gelisah. "Kita harus cepat, Dara," desis Alin, sambil matanya tak berhenti memindai area. "Gue benar-benar khawatir kalau Erdo benar-benar di sini."Sandara mengangguk, lalu segera mengeluarkan ponselnya dan menekan beberapa tombol untuk menghubungi Leo, asisten suaminya. "Leo, gue butuh lo untuk menjemput gue dan Alin di kafe sekarang. Ada masalah," katanya dengan suara yang tergesa-gesa.Setelah menutup panggilan, Sandara kembali menoleh ke belakang, dan hatinya serasa melompat. Di antara kerumunan, ia melihat Erdo yang tersenyum sinis kepadanya. Mata Erdo yang tajam dan senyumnya yang mengejek membuat bulu kuduk Sandara merinding. Namun, dalam sekejap, ketika ia hendak menarik perhatian Alin, sosok itu t
Alin menggeser tubuhnya di sofa yang empuk, tangannya gemetar memegang ponsel. Matanya sesekali melirik ke arah pintu kamar Sandara, khawatir akan ada bayang yang tidak diinginkan muncul. Di ruang tamu yang hanya diterangi lampu temaram, suasana semakin membuatnya cemas. Dada Alin terasa sesak, napasnya terengah-engah seperti ada beban berat yang menindihnya.Ia terus menggumam sendiri, mencoba mencerna informasi yang baru saja didapat dari Sandara. Apakah benar Erdo, saudara tiri Sandara yang memiliki dendam pada mereka, telah kembali ke kota ini? Semua logika mengatakan itu tidak mungkin, tapi intuisi Alin mengatakan lain. "Leo bilang nggak mungkin Erdo kembali... tapi apa jangan-jangan dia salah?" pikirnya, seraya jemarinya tak berhenti mengetuk-ngetuk layar ponsel.Setiap detik terasa seperti jam baginya. "Kenapa Om Bima nggak pulang-pulang sih?" desisnya dengan nada frustrasi. Sandara membutuhkan perlindungan, dan Alin merasa tak mampu memberikan itu sendirian. Ia menoleh sekali
Sandara duduk lemas di sofa, tubuhnya bergetar dan wajahnya pucat pasi. Leo, asisten suaminya, berdiri di sampingnya dengan ekspresi cemas yang nyata. "Apa kamu baik-baik saja? Kita ke rumah sakit sekarang. Kalau terjadi apa-apa padamu aku yang akan disalahkan oleh Bos Bima," ucap Leo, matanya tak lepas memantau kondisi Sandara."Tenang Leo, gue nggak apa-apa, cuma masuk angin doang," balas Sandara dengan suara serak, mencoba menenangkan Leo yang tampak gelisah. Napasnya terengah-engah, tapi dia berusaha keras untuk terlihat baik-baik saja."Iya Leo, Dara nggak apa-apa kok. Jadi nggak perlu Om Bima tahu," sahut Alin, sahabat setia Sandara, yang berusaha mempertahankan senyum di wajahnya meskipun matanya terlihat khawatir. Ia kemudian menuntun Sandara agar duduk lebih nyaman."Biar aku ambilkan air hangat untukmu," tambah Alin sambil beranjak menuju dapur.Tak lama setelah Alin meninggalkan ruangan, Sandara tidak dapat menahan rasa mualnya dan terpaksa muntah ke lantai. Leo, yang masi
"Ayo makan, satenya sudah siap," ucap Leo seraya meletakkan beberapa bungkus sate yang baru saja ia beli di atas meja di depan Sandara. Dengan mata berbinar Sandara membukanya, aroma daging bakar dan bumbu tercium di indera penciuamannya begitu menggugah selera. "Makasih Leo," ucap Sandara seraya mengambil satu tusuk sate dan menggigitnya."Em, enak banget," ucapnya sembari menguyah daging itu. Namun baru satu tusuk saja Sandara sudah tak berselera makan. Ia memberikannya pada Leo dan memintanya untuk menghabiskan sate tersebut."Gue nggak lapar," ujar Sandara dengan suara lirih, seraya menundukkan kepala.Leo memperhatikan Sandara dengan tatapan yang penuh kekhawatiran. "Kamu yakin baik-baik saja?" tanya Leo, sambil mengambil tusuk sate dari tangan Sandara dan mulai memakannya. Dia bisa merasakan kegelisahan yang tersembunyi di balik ucapan Sandara yang pendek itu.Alin, yang duduk di seberang mereka, juga menangkap perubahan suasana. "Sandara, kalau ada yang mengganggu pikiran lo
Mata Bima memandang kosong ke depan, jantungnya berdegup kencang seolah ingin segera menyatukan dirinya dengan Sandara. Setiap detik terasa seperti jam, dan setiap kilometer yang ditempuh terasa seperti berjalan di atas batu bara. Ketidak nyamanan yang disebabkan oleh kemacetan kota hanya menambah beban pikirannya yang sudah dilanda kegelisahan.Di sampingnya, Leo hanya bisa memberikan semangat seadanya, walaupun ia tahu itu tidak cukup untuk menenangkan hati bosnya yang sedang dilanda kerinduan. Bima terus mengeluh dan hatinya semakin resah, mengingat betapa ia merindukan kehangatan Sandara, yang mungkin masih terlelap di tempat tidur, terbungkus dalam selimut kehangatan yang jauh dari jangkauan Bima saat ini.Sambil memijat pelipisnya yang mulai berdenyut, Bima merenung, mencoba mengingat setiap detail wajah Sandara yang selama ini menjadi sumber ketenangan hatinya. Leo, yang mencoba menjadi seorang kawan di perjalanan yang membosankan ini, terus mencoba menyakinkan Bima bahwa rindu
Bima memandang sekeliling apartemen yang tiba-tiba terasa begitu asing dan hampa. Hatinya dipenuhi kekhawatiran yang tak terbendung sejak Sandara menghilang tanpa kabar. Wajahnya yang biasa terlihat hangat saat bersama Sandara kini kembali ke raut dingin yang menakutkan, menandakan badai yang sedang bergolak di dalam dirinya."Kita ke rumah lama Sandara!" perintahnya dengan suara yang keras dan tegas, seolah-olah mencoba menutupi kegugupannya. Leo, yang selalu setia di sisinya, mengangguk patuh, namun matanya tidak berani bertemu dengan tatapan tajam Bima.Dengan langkah cepat dan mantap, Bima melangkah keluar dari apartemen, mantel tebalnya berkibar-kibar, menyembunyikan senjata api yang ia selipkan dengan hati-hati. Leo mengikuti di belakang, hati-hati agar tidak terlalu dekat namun juga tidak ingin kehilangan jejak bosnya di tengah kekacauan ini.Mereka berdua memasuki mobil yang sudah siap, dan Leo segera mengemudikan mobil menuju ke rumah lama Sandara, tempat yang mungkin menyimp
Mobil yang dikemudikan Leo meluncur bak kilat menembus jalanan, mengejar waktu untuk sampai ke rumah sakit secepat mungkin. Di kursi belakang, Bima duduk dengan kekhawatiran yang terpahat jelas di wajahnya. Sambil memegang tangan Sandara yang lemah, ia merasakan perih di dadanya melihat kondisi wanita yang dicintainya. Bibir Sandara yang pucat terasa kontras dengan bekas tamparan yang memerah di pipinya, dan darah yang membasahi sudut bibirnya menambah luka di hati Bima. "Aku nggak akan melepaskan saudara tirimu itu. Aku akan balas dia!" bisik Bima dengan suara serak, penuh janji balas dendam kepada pelaku yang telah menyakiti Sandara. Di sisi lain, Sandara terbaring tak sadarkan diri, tak mampu merespons janji yang dilontarkan Bima. Dalam hati kecilnya, Bima berharap kata-katanya bisa memberi kekuatan bagi Sandara untuk bertahan. "Cepat Leo!" serunya lagi, tak bisa menyembunyikan rasa tidak sabarnya. Leo yang duduk di depan hanya mengangguk, fokus penuh pada jalan, meningkatkan k