Mobil yang dikemudikan Leo meluncur bak kilat menembus jalanan, mengejar waktu untuk sampai ke rumah sakit secepat mungkin. Di kursi belakang, Bima duduk dengan kekhawatiran yang terpahat jelas di wajahnya. Sambil memegang tangan Sandara yang lemah, ia merasakan perih di dadanya melihat kondisi wanita yang dicintainya. Bibir Sandara yang pucat terasa kontras dengan bekas tamparan yang memerah di pipinya, dan darah yang membasahi sudut bibirnya menambah luka di hati Bima. "Aku nggak akan melepaskan saudara tirimu itu. Aku akan balas dia!" bisik Bima dengan suara serak, penuh janji balas dendam kepada pelaku yang telah menyakiti Sandara. Di sisi lain, Sandara terbaring tak sadarkan diri, tak mampu merespons janji yang dilontarkan Bima. Dalam hati kecilnya, Bima berharap kata-katanya bisa memberi kekuatan bagi Sandara untuk bertahan. "Cepat Leo!" serunya lagi, tak bisa menyembunyikan rasa tidak sabarnya. Leo yang duduk di depan hanya mengangguk, fokus penuh pada jalan, meningkatkan k
Reva, dengan tatapan penuh kemarahan, tidak menyangka bahwa Sandara memiliki keberanian dan kemampuan untuk melawan. "Kau pikir kau bisa menghentikan rencanaku, Sandara?" geram Reva, sambil mencoba menguasai Sandara dengan gerakan cepat dan agresif. Namun, Sandara tidak gentar. Dengan napas yang terengah-engah, dia mengumpulkan seluruh kekuatannya untuk memberikan perlawanan. "Gue nggak akan membiarkan lo atau siapa pun membahayakan ayah gue!" serunya dengan mata yang berapi-api. Pertarungan itu berlangsung sengit, dengan kedua belah pihak saling bertukar pukulan dan tendangan. Sandara, meskipun terengah, terus berjuang dengan kekuatan yang dia tidak tahu dimiliki sebelumnya. Di tengah pertarungan, terdengar suara langkah kaki mendekat. Ayah Sandara muncul di ambang pintu dengan wajah yang penuh kekhawatiran. "Ayah!" Sandara berseru, seolah mendapatkan suntikan semangat baru. Melihat ayahnya, ia semakin bersemangat untuk mengakhiri pertarungan ini. Dengan dorongan adrenalin, San
Bima merasakan detak jantungnya semakin kencang saat menatap Sandara yang terbaring lemah di atas tempat tidur dengan infus menempel di tangannya. Sandara baru saja menjalani operasi besar dan wajahnya tampak sangat pucat, namun rasa lega menyelimuti hati Bima karena istrinya itu berhasil melewati masa kritis. Dengan perlahan, tatapan Bima beralih dari wajah Sandara ke perutnya yang masih rata, di mana calon buah hati mereka berada.Di dalam kesunyian ruangan VVIP itu, Bima berbicara pelan, penuh dengan emosi yang terbendung, "Untung kamu masih bisa bertahan. Entah penyesalan seperti apa yang akan menghampiriku saat kamu dan calon anak kita nggak ada," kata Bima, suaranya bergetar menahan emosi. Air matanya mulai menggenang, menandakan betapa takutnya dia kehilangan Sandara dan anak yang belum lahir itu.Bima menggenggam tangan Sandara yang dingin, berharap sentuhannya dapat memberikan kekuatan untuknya. Pikirannya melayang ke insiden yang hampir merenggut nyawa Sandara. Ia mengingat
Sandara menunduk, bibir bawahnya terjepit antara giginya. Dia berada di persimpangan hati; sebentuk kebenaran mengetuk bibirnya—ia sedang mengandung. Bimbang menari di benaknya, rasa takut Bima takkan menerima ini menguar kuat. "Nggak ada Om, gue ***a bilang kangen doang," suaranya meredup, terdengar dari ujung bibir yang bergetar pelan. Bima, suaminya—meski hanya di atas kertas—menggenggam erat tangan Sandara. Raut mukanya memerah, peningkatan denyut jantungnya nyata sekali seakan ingin meluapkan kekesalan. Namun, pandangannya tertuju pada perban yang masih terlilit di lengan Sandara, sisa-sisa operasi yang belum lama. Napasnya dihela dalam-dalam, berusaha menenangkan amarahnya. Tanpa sadar oleh Sandara, saat dia pingsan sebelumnya, dokter telah memberi tahu Bima tentang kehamilannya. "Kamu yakin?" Bima mendorong sekali lagi, suaranya lebih halus, mendesak namun penuh pengertian, mencoba menggali kejujuran dari hati Sandara.Sandara menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulk
Setelah memastikan keadaan Sandara baik-baik saja, Bima berencana untuk meninggalkannya sebentar saja. Tapi ia takut kalau Sandara tak ada yang menjaganya."Ada apa Om?" tanya Sandara dengan mengerutkan dahinya melihat Bima yang tampak sedikit gelisah.Bima mengulas senyumnya. "Nggak apa-apa sayang. Nanti kamu mau makan apa?" tanya Bima untuk mengalihkan perhatian Sandara.Sandara terdiam sejenak. "Apa boleh gue makan daging?" tanya Sandara dengan sedikit ragu mengingat kamarin ia baru saja di operasi."Tentu saja boleh, asal nggak berlebihan," jawab Bima dengan lembut sambil mengusap kepalanya panuh kasih sayang.Tak lama pintu ruangan itu di ketuk. Alin dengan senyum lebar masuk dan menghampiri sahabatnya."Hai, Dara. Gue minta maaf karena nggak percaya sama lo kalau lo liat Erdo waktu itu," ucap Alin penuh penyesalan. Menghambur memeluk sahabatnya.Sandara tersenyum kecil. "Nggak apa-apa, gue baik-baik aja kok," jawab Sandara dengan membalas pelukan Alin."Alin, apa kamu nggak sibu
Bima berdiri tegap, pandangannya tajam menembus jendela yang mengarah ke ruang bawah tanah. "Leo, perintahkan anak buahmu untuk mengejar Ajeng segera. Setelah meninggalkan Pak Sudiro di dermaga pasti ia kehilangan arah. Dan jangan lupa, Reva harus kita tangkap. Dia membahayakan keselamatan Sandara," katanya dengan suara yang penuh otoritas. Rasa kecewa dan amarah terhadap Reva, mantan kekasihnya yang berkhianat, jelas terlihat di wajahnya. Leo, dengan ekspresi serius, mengangguk penuh semangat. "Siap, Bos!" jawabnya sambil mengepalkan tangan, siap menjalankan tugas. Sementara itu, di ruangan bawah tanah yang pengap, Bima menatap dingin ke arah Erdo yang tergeletak lemah. "Biarkan dia membusuk di sini," ucapnya tanpa belas kasihan, lalu berlalu dengan langkah berat. Di sisi lain, di ruang VVIP rumah sakit, keheningan menyelimuti ruangan ketika Sandara terlelap, hanya terdengar suara nafasnya yang lemah. Alin, yang duduk di sofa dekat tempat tidur, terlihat bosan sambil memainkan
Sandara terbangun dengan tiba-tiba, matanya membulat ketakutan saat melihat sosok perawat yang berdiri di hadapannya dengan bantal di tangan. Nafasnya tercekat, tubuhnya bergetar hebat saat mendengar suara serak itu."Aku adalah malaikat yang akan mencabut nyawamu!" seru Reva dengan senyum menyeringai di balik maskernya. Sinar mata Reva memancarkan kegilaan, membuat jantung Sandara semakin berdegup kencang."Reva!" pekik Sandara dalam kepanikan. Namun, ia tak bisa berbuat banyak. Tangannya yang terinfus dan tubuhnya yang masih lemah membuatnya tak berdaya. Ia hanya bisa menggelengkan kepalanya, berharap ini hanya mimpi buruk."Tidak Reva, pergi!" teriak Sandara, suaranya bergetar, mengusir Reva yang semakin mendekat. Air mata mulai mengalir di pipinya, ketakutan menguasai setiap inci tubuhnya saat dia menyadari situasi mengerikan yang sedang dihadapinya.Di dalam kamar mandi, Alin menghentakkan tubuhnya ke pintu kamar mandi yang tertutup rapat. Keringat dingin mengucur deras di pelipi
"Bos jangan membuat kami iri dong. Kasihanilah kami," ucap Leo dengan mendramatisi keadaan.Bima tak menghiraukan ucapan asistennya itu, ia bahkan mencium bibir Sandara sekilas. Ia begitu takut kehilangan Sandara. Dua kali sudah Reva telah mencoba membunuh wanita yang akan menjadi ibu dari anaknya itu.Bima menatap Leo dengan tatapan yang sinis. "Jangan pura-pura, Leo. Kenapa kamu nggak langsung nikahi Alin aja? Bukannya kamu naksir berat sama dia," ujarnya, dengan nada menyudutkan. Leo tergagap, pipinya memerah terbakar malu, hatinya dipelintir ketidakberdayaan saat dia berusaha menyembunyikan wajahnya dari Alin yang saat itu juga tak berani menatap mata mereka berdua. Ia malah menundukkan kepala, pipinya menyala seperti membara. Sandara, yang juga di situ, melirik Alin, tersenyum kecil melihat reaksi sahabatnya itu. "Ada apa nih? Kok kayak yang sedang dimabuk asmara?" candanya, suaranya perlahan tetapi cukup terdengar. Bima tertawa terbahak-bahak, menambahi ejekan. "Lihat tuh,