Sandara terdiam, duduk di kursi roda yang didorong oleh Bima di sepanjang jalur pemakaman yang dipenuhi oleh deretan batu nisan. Wajahnya yang pucat dan lelah semakin membuatnya terlihat rapuh. Pada tangannya yang satu, masih terpasang jarum infus yang meneteskan cairan ke dalam pembuluh darahnya, sebuah pengingat dari sakit yang dia derita tidak hanya secara fisik tetapi juga emosional.Mata Sandara memandang tanpa fokus ke arah makam ayahnya yang baru saja ditutupi tanah. Air mata terus menderas tanpa henti, menciptakan jalur basah di kedua pipinya. Alin dan Bu Laras, yang telah seperti keluarga sendiri, berdiri di sampingnya, memberikan dukungan.Bu Laras, dengan lembut, mengusap punggung Sandara, mencoba memberikan kenyamanan sebisa mungkin. "Sayang, kamu yang sabar. Ayah kamu sudah di tempat yang nyaman," katanya dengan suara yang bergetar, mencoba menahan emosi sendiri.Alin, dengan mata yang juga berkaca-kaca, merangkul bahu Sandara. "Sabar ya Dar. Lo masih punya gue," bisiknya
Leo dan Alin, yang beberapa saat lalu masih terkurung dalam pelukan hangat, tiba-tiba terpisah seperti dua kutub yang terdorong oleh kekuatan magnet. Wajah mereka semakin memerah saat Bima, dengan ekspresi yang tidak terima, memberikan teguran yang tajam. "Nggak sengaja Bos," kata Leo, suaranya terdengar lembut dan berusaha menenangkan suasana. Namun, Bima hanya mencibir dengan tatapan yang skeptis. "Mana ada berpelukan tapi nggak sengaja," balasnya, nada suaranya meninggi penuh ketidakpercayaan. Sementara itu, Leo hanya bisa tersenyum kikuk, senyum yang tampak dipaksakan untuk menyembunyikan kebingungannya. Alin, di sisi lain, menunduk dalam-dalam, rasa malu menggelayuti dirinya. Hatinya berdebar, khawatir atas apa yang baru saja terjadi dan bagaimana persepsi Bima terhadap situasi tersebut. Ia bahkan tidak berani mengangkat kepala untuk menatap Bima atau Sandara, takut akan pandangan yang mungkin akan semakin menambah rasa bersalah di hatinya. Keduanya, meski tak terucap, sali
Hari itu, Sandara bersiap dengan gaun pesta yang anggun tapi terhambat oleh perutnya yang membuncit karena kehamilan. Dia mendekati Bima yang tengah duduk termenung di tepi ranjang, penuh penantian. "Sayang, bisa tolong aku?" rayunya lembut, tangan mungilnya mencoba meraih resleting di bagian punggung bawah gaunnya namun sia-sia. Bima menoleh, matanya berbinar saat melihat punggung istrinya yang terbuka dari resleting yang belum tertutup. Dengan senyuman, dia bangkit dan perlahan menarik resleting itu sambil berbisik, "Kamu memikat sekali hari ini, sayang." Sementara Sandara tersenyum, merasa berbunga dengan pujian dan sentuhan penuh cinta dari Bima."Dan kamu terlihat begitu seksi." Bima berkata sambil tersenyum, segera membantu Sandara menaikkan resleting gaun yang elegan itu. Sandara merasa lega sekaligus tersipu, cintanya pada Bima semakin dalam. Dengan perlahan, Bima membantu Sandara berdiri dan membenarkan gaunnya.Mereka berdua kemudian berangkat ke tempat Alin dan Leo akan
Sandara menggigit bibirnya, ragu untuk melangkah dan membantu asisten yang sedang mengemas pakaian di dalam kamar. Bima, dengan tangan terbuka, menghalangi Sandara. "Sayang, duduk saja di sini, biarkan bibik yang menangani semuanya," ujarnya lembut, sambil menunjuk ke sofa empuk di sudut ruangan. Bu Laras menoleh, menghela nafas ringan, dan tersenyum mengerti. "Nggak apa, Dara, kamu cukup tunjukkan saja pakaian mana yang ingin kamu bawa. Biar bibik yang mempersiapkan semuanya," katanya, suaranya menyiratkan keinginan agar Sandara tidak terlalu memaksakan diri. Sandara menarik napas panjang dan kembali menempati tempatnya di samping sang mama mertua, yang sudah terlihat antusias dengan persiapan. "Ma, nanti perlengkapan buat di rumah sakit taruh di tas besar ini saja ya. Jadi kita nggak perlu repot cari-cari lagi saat waktunya tiba," saran Sandara, matanya berbinar memikirkan segala kemungkinan yang bisa terjadi. Bu Laras, mama mertuanya mengangguk, dan bibik kembali sibuk deng
"Tolong! Ada pasangan mesum di sini!" teriak seorang pengunjung kafe yang hendak memasuki toilet. Sandara dan Bima, yang tak sengaja terjatuh dalam satu bilik toilet, terkejut mendengar teriakan itu. Dengan sigap, mereka berusaha bangkit dan memisahkan diri. Teriakan itu membuat seisi kafe langsung heboh. Semua orang berlarian menuju arah toilet, penasaran dengan apa yang terjadi. Sandara, gadis yang sedang terjatuh di dalam toilet, merasa panik dengan keadaannya saat ini. Ia tidak menyangka bahwa salah masuk ke bilik toilet pria bisa berakhir dengan situasi seperti ini. "Saya hanya ingin menolong, bukan berniat macam-macam," ujar Bima dengan nada panik. Namun, orang-orang yang sudah berkumpul di depan toilet tidak percaya begitu saja. Mereka menganggap Bima dan Sandara sedang melakukan tindakan tak senonoh di dalam toilet kafe. "Kalau kamu ingin menolongnya, kenapa resleting celana kamu terbuka? Sudah, kalian mengaku saja!" seru salah satu pengunjung kafe dengan nada sini
Bima dan Sandara menatap Bu Laras dengan wajah terkejut, tidak menyangka akan permintaan yang baru saja diutarakan oleh wanita paruh baya itu. "Bima nggak mungkin menikah dengan perempuan ini!" tolak Bima tegas, alis berkerut menahan emosi, seolah menyalahkan Sandara yang duduk di sampingnya. "Sama, gue juga nggak mau nikah sama lo!" balas Sandara seraya meremas saputangan yang ada di tangannya, kesal. Diam-diam, Bu Laras tersenyum tipis. Masalah yang menimpa anak semata wayangnya bersama gadis yang tiba-tiba masuk kedalam kehidupan mereka memberikan peluang untuk mewujudkan keinginannya agar Bima segera menikah. Terlebih lagi Bima bisa terlepas dari kekasihnya yang bekerja sebagai model dan Bu Laras sangat tidak menyukainya. Ia menatap keduanya bergantian, berusaha menenangkan suara hati yang semakin keras. "Kenapa nggak mungkin, Bima? Kamu harus bertanggung jawab atas ucapanmu. Sudah tersebar berita bahwa kalian berdua menikah, kini waktunya untuk membuktikannya demi men
Sandara terdiam duduk dengan lesu di ruang tamu apartemen milik Bima yang sepi. Wajahnya terlihat pucat dan matanya berkaca-kaca, mencoba mencerna apa yang baru saja diutarakan Bima. Benar apa yang dikatakannya, mereka hanya menikah pura-pura saja, dan Sandara melakukannya hanya demi uang. "Tampan sih tampan tapi galak plus ngeselin banget!" gerutu Sandara kesal dengan sikap Bima padanya. Di saat tengah rasa kesalnya pada Bima, tiba-tiba saja ponselnya bergetar. Sandara segera mengambil ponselnya yang tergeletak di meja samping, dan wajahnya semakin merah padam saat melihat nama 'mama tiri" yang tertera di layar ponselnya. "Mau apa lagi dia nelpon? Apa uang kemarin belum cukup juga?" gumam Sandara kesal. Dengan ragu, Sandara mengangkat telepon tersebut. Suara mama tirinya di ujung sana terdengar tajam, "Sandara, sekarang karena kamu sudah menikah dengan pria kaya itu, cepat minta uang darinya untuk membayar hutang kita!" Sandara menelan ludah, wajahnya terlihat tegang, berusaha m
Sandara memasuki kamarnya, ia berniat untuk mengemas beberapa pakaiannya untuk di bawanya ke apartemen Bima. Biar bagaimana pun sekarang ia telah menikah meski hanya pernikahan kontrak. Di tempat lain, Leo yang mendapati Sandara yang ternyata pulang ke rumah pun segara meninggalkan tempat itu. Baru saja Sandara selesai mengemas pakaiannya ke dalam koper, tiba-tiba pintu kamarnya terbuka lebar dan Ajeng, ibu tirinya, berdiri di ambang pintu dengan senyum sinis. Dalam sekejap, Ajeng mengambil tas kecil yang tergeletak di tempat tidur Sandara. "Kembalikan tas gue! Itu uang buat bayar hutang!" seru Sandara dengan menatap tajam pada Ajeng, mencoba menahan amarah yang mulai memuncak. Ajeng tertawa sinis, menggenggam erat tas itu di tangannya. "Nggak, ini uangku. Kamu saja yang jadi gantinya buat membayar hutang itu." Wajah Sandara memerah, matanya berkaca-kaca karena merasa dipermainkan. "Kamu nggak punya hak untuk mengambil uang itu! Aku akan melunasi semua hutang-hutang papaku!" teri