"Tolong! Ada pasangan mesum di sini!" teriak seorang pengunjung kafe yang hendak memasuki toilet.
Sandara dan Bima, yang tak sengaja terjatuh dalam satu bilik toilet, terkejut mendengar teriakan itu. Dengan sigap, mereka berusaha bangkit dan memisahkan diri. Teriakan itu membuat seisi kafe langsung heboh. Semua orang berlarian menuju arah toilet, penasaran dengan apa yang terjadi. Sandara, gadis yang sedang terjatuh di dalam toilet, merasa panik dengan keadaannya saat ini. Ia tidak menyangka bahwa salah masuk ke bilik toilet pria bisa berakhir dengan situasi seperti ini. "Saya hanya ingin menolong, bukan berniat macam-macam," ujar Bima dengan nada panik. Namun, orang-orang yang sudah berkumpul di depan toilet tidak percaya begitu saja. Mereka menganggap Bima dan Sandara sedang melakukan tindakan tak senonoh di dalam toilet kafe. "Kalau kamu ingin menolongnya, kenapa resleting celana kamu terbuka? Sudah, kalian mengaku saja!" seru salah satu pengunjung kafe dengan nada sinis, mengejek Bima yang berusaha menjelaskan situasinya. Apalagi posisi Bima saat terjatuh, secara tidak sengaja menindih tubuh Sandara yang tergeletak lemah. "Sial! Kenapa jadi begini?" umpat Bima di dalam hati, wajahnya tampak kesal seakan menyalahkan Sandara. "Ini semua gara-gara perempuan sialan ini!" tambahnya dalam batin, menyesali kecerobohan yang dilakukan Sandara hingga mereka terjebak dalam masalah ini. Bima berusaha sekuat tenaga menjelaskan kebenaran situasi ini kepada orang-orang di depannya. Namun, seolah ada dinding tebal yang memisahkan kata-kata Bima dan mereka, sehingga semakin ia menjelaskan, semakin mereka tidak percaya padanya. Sandara pun berusaha menjelaskan keadaannya, "Saya terpeleset dan dia hanya ingin menolong saya. Kami tidak melakukan apa-apa, sungguh!" Namun, teriakan pengunjung kafe yang menuduh mereka berbuat mesum semakin keras, membuat keduanya merasa semakin terpojok. Wajah Sandara memerah, dan Bima tampak gelisah. Mereka berdua berusaha meyakinkan orang-orang yang ada di sekitar mereka bahwa situasi yang terjadi hanyalah sebuah kesalahpahaman semata. "Huuu! Dasar pasangan mesum tak tau malu!" teriak salah satu dari mereka, sambil menggeledek Bima dan Sandara. Sandara menelan ludahnya dengan susah payah, tak menyangka kalau kejadiannya akan seperti ini. Ia yang lari dari kejaran debt collector ingin bersembunyi di dalam toilet, tapi malah berakhir seperti ini. "Tampan sih, tapi kok mesum!" celetuk seorang wanita sambil menatap tajam pada Bima, tatapan penuh kekecewaan dan rasa sinis. "Ih, jadi perempuan kok mau-maunya diajak begituan di dalam toilet kafe!" ujar seorang wanita muda sambil menatap sinis pada Sandara, matanya mengerling seolah ingin mengecam dan menegur tindakannya yang dianggap tak pantas. "Kita bawa saja pasangan mesum ini ke kantor polisi! Biar mereka jera!" bentak salah satu pengunjung kafe itu. Sandara langsung panik, menggigit bibir bawahnya dengan khawatir. Di sampingnya, Bima hanya diam dan terlihat tenang. Tak terlihat panik sama sekali, bisa di bilang wajahnya datar tanpa ekspresi. "Mati gue! kalau sampai gue di seret ke kantor polisi bisa-bisa gue di gantung sama papa. Ayo Dara, cepat mikir!" batin Sandara frustasi. Mendadak Sandara berseru, "Stop! Siapa bilang kami pasangan mesum? Kami baru saja menikah! Kami adalah pengantin baru!" ucapnya tanpa berpikir panjang. "Benar, kita bukan pasangan mesum. Kita sudah menikah!" Bima meng iya kan saja apa yang di katakan gadis yang ada di sampingnya itu. Dalam suasana tegang tersebut, Sandara berusaha meyakinkan para pengunjung kafe yang menuduh mereka berbuat mesum di dalam toilet. Jepretan kamera pun membidik wajah Sandara dan Bima. Tak lama setelah itu, berita mereka langsung menjadi perbincangan hangat di media sosial. "Huuu!" seruan para pengunjung kafe terdengar sembari meninggalkan Sandara dan Bima yang berdiri kaku di depan pintu toilet kafe. Sandara melirik Bima yang berdiri tepat di sampingnya, matanya sejenak tertuju pada wajah pria itu. Meskipun memiliki aura dingin dan tampak galak, Sandara tidak dapat menyangkal betapa tampannya pria tersebut. Sementara itu, Bima semakin merasa risih seiring dengan perhatian yang diberikan Sandara kepadanya. Gadis itu tampak tak bisa menahan senyum, membuat Bima menganggapnya semakin aneh. Kekesalannya juga disebabkan oleh insiden Sandara yang masuk begitu saja ke toilet yang sedang ia gunakan, dan berujung pada kesalahpahaman mereka tadi. Membuat suasana semakin tidak nyaman antara keduanya. Bima dan Sandara terdiam, larut dalam pikiran masing-masing. Tiba-tiba, seorang pria berbadan tegap dengan memakai setelan jas yang tampak rapi mendekati mereka. "Bos Bima Aryasena!" panggil Leo sang asisten. "Anda di tunggu Nyonya di dalam mobil," ucap Leo yang di angguki oleh Bima. Leo pun mempersilahkan Bima dan Sandara berjalan menuju mobil mewah yang terparkir di depan kafe itu "Apa yang kamu lakukan? Lihat, berita kamu sudah viral kemana-mana!" raut wajah kecewa dan marah terlihat jelas pada Bu Laras, saat Bima dan Sandara sudah masuk ke dalam mobil. Bima terlihat tenang dan datar. "Harusnya Mama nggak perlu ke sini. Ini hanya salah paham saja!" "Salah paham apa?" mata Bu Laras semakin tajam. Mendengar teriakan Bu Laras, Sandara yang sejak tadi diam, berbicara. "Maaf, Tante, benar apa yang dikatakan Om Bima. Semuanya ini hanya salah paham," ungkap Sandara, berusaha meredakan suasana dan meyakinkan ibu Bima. Bu Laras menatap lekat pada gadis yang tengah duduk gelisah di sebelah Bima. "Anak ini cantik dan polos, aku suka tipe gadis seperti ini. Cocok dengan Bima yang dingin dan kaku." "Sudahlah Ma, ini hanya masalah sepele jadi Mama nggak perlu risau," ucap Bima dengan santainya. "Masalah sepele?" tanya Bu Laras sambil mengernyitkan dahi, wajahnya nampak kesal. "Lalu berita itu gimana? Kamu itu seorang CEO perusahaan! Tanggung jawab dan citra sebagai pengusaha muda sangat penting!" Bu Laras menatap tajam pada putranya. Bu Laras melanjutkan dengan suara keras, penuh penekanan, "Mama nggak mau tau, pokoknya mau tidak mau kalian berdua harus menikah!" "Apa? Menikah?!"Bima dan Sandara menatap Bu Laras dengan wajah terkejut, tidak menyangka akan permintaan yang baru saja diutarakan oleh wanita paruh baya itu. "Bima nggak mungkin menikah dengan perempuan ini!" tolak Bima tegas, alis berkerut menahan emosi, seolah menyalahkan Sandara yang duduk di sampingnya. "Sama, gue juga nggak mau nikah sama lo!" balas Sandara seraya meremas saputangan yang ada di tangannya, kesal. Diam-diam, Bu Laras tersenyum tipis. Masalah yang menimpa anak semata wayangnya bersama gadis yang tiba-tiba masuk kedalam kehidupan mereka memberikan peluang untuk mewujudkan keinginannya agar Bima segera menikah. Terlebih lagi Bima bisa terlepas dari kekasihnya yang bekerja sebagai model dan Bu Laras sangat tidak menyukainya. Ia menatap keduanya bergantian, berusaha menenangkan suara hati yang semakin keras. "Kenapa nggak mungkin, Bima? Kamu harus bertanggung jawab atas ucapanmu. Sudah tersebar berita bahwa kalian berdua menikah, kini waktunya untuk membuktikannya demi men
Sandara terdiam duduk dengan lesu di ruang tamu apartemen milik Bima yang sepi. Wajahnya terlihat pucat dan matanya berkaca-kaca, mencoba mencerna apa yang baru saja diutarakan Bima. Benar apa yang dikatakannya, mereka hanya menikah pura-pura saja, dan Sandara melakukannya hanya demi uang. "Tampan sih tampan tapi galak plus ngeselin banget!" gerutu Sandara kesal dengan sikap Bima padanya. Di saat tengah rasa kesalnya pada Bima, tiba-tiba saja ponselnya bergetar. Sandara segera mengambil ponselnya yang tergeletak di meja samping, dan wajahnya semakin merah padam saat melihat nama 'mama tiri" yang tertera di layar ponselnya. "Mau apa lagi dia nelpon? Apa uang kemarin belum cukup juga?" gumam Sandara kesal. Dengan ragu, Sandara mengangkat telepon tersebut. Suara mama tirinya di ujung sana terdengar tajam, "Sandara, sekarang karena kamu sudah menikah dengan pria kaya itu, cepat minta uang darinya untuk membayar hutang kita!" Sandara menelan ludah, wajahnya terlihat tegang, berusaha m
Sandara memasuki kamarnya, ia berniat untuk mengemas beberapa pakaiannya untuk di bawanya ke apartemen Bima. Biar bagaimana pun sekarang ia telah menikah meski hanya pernikahan kontrak. Di tempat lain, Leo yang mendapati Sandara yang ternyata pulang ke rumah pun segara meninggalkan tempat itu. Baru saja Sandara selesai mengemas pakaiannya ke dalam koper, tiba-tiba pintu kamarnya terbuka lebar dan Ajeng, ibu tirinya, berdiri di ambang pintu dengan senyum sinis. Dalam sekejap, Ajeng mengambil tas kecil yang tergeletak di tempat tidur Sandara. "Kembalikan tas gue! Itu uang buat bayar hutang!" seru Sandara dengan menatap tajam pada Ajeng, mencoba menahan amarah yang mulai memuncak. Ajeng tertawa sinis, menggenggam erat tas itu di tangannya. "Nggak, ini uangku. Kamu saja yang jadi gantinya buat membayar hutang itu." Wajah Sandara memerah, matanya berkaca-kaca karena merasa dipermainkan. "Kamu nggak punya hak untuk mengambil uang itu! Aku akan melunasi semua hutang-hutang papaku!" teri
"Lepaskan dia!" teriak Leo dengan suara menggelegar yang seketika membuat suasana hening. Wajahnya tegang dan matanya menyala penuh amarah. Sandara, yang sebelumnya terpojok oleh para pria hidung belang, menoleh dan bernafas lega melihat sosok Leo berdiri di dekat pintu masuk. Para pria hidung belang yang tadinya mengerumuni Sandara dengan tatapan penuh nafsu pun mundur teratur, mereka merasa takut dengan sosok Leo yang dikenal sebagai asisten Bima Aryasena, seorang pengusaha muda yang terkenal kejam dan tak segan untuk menutup perusahaan yang bermasalah dengannya. Mereka sadar bahwa mencoba melawan Leo hanya akan menimbulkan masalah yang lebih besar bagi diri mereka dan usaha mereka. Sandara berlari menuju Leo, air mata mengalir deras di pipinya, "Om, tolong bawa Dara pergi dari tempat ini," pinta Sandara dengan suara gemetar, memohon perlindungan dari Leo. Leo menatap tajam para pria yang semakin mundur, "Pergi kalian, atau usaha kalian akan gulung tikar!" ancam Leo dengan suara
Sandara menatap piring berisi makanan yang telah ia buat dengan susah payah di meja makan. Meskipun tak pandai memasak, namun ia berusaha membuatkan sarapan spesial untuk Bima. Dari kejauhan, terdengar suara langkah kaki Bima yang baru saja keluar dari kamarnya dengan setelan jas rapi yang menambah ketampanannya. "Om, kalau nggak mau sarapan, minum kopinya aja, Om. Ayolah Om, mau ya, please!" ucap Sandara dengan nada memelas sambil mengejar langkah Bima menuju pintu. Bima hanya melirik sejenak ke arah Sandara, kemudian melanjutkan langkahnya tanpa menggubris ajakan Sandara. Seolah tak peduli dengan perasaan Sandara yang telah bersusah payah membuatkan sarapan untuknya. "Om Bima wangi banget," ujar Sandara yang mencoba mengalihkan perhatian Bima dengan menghirup dalam-dalam aroma wangi parfum yang dipakai Bima. Ia berharap pujian itu akan membuat Bima berhenti sejenak dan mencicipi sarapan yang telah ia siapkan. Namun, Bima hanya melangkah datar dan tanpa ekspresi, seakan tak terpe
Sandara terkejut ketika pintu apartemen terbuka dan seorang wanita cantik berambut panjang lurus melangkah masuk dengan langkah cepat. Matanya melotot penuh emosi, seolah-olah sedang mencari mangsa. Sandara menelan ludah, merasa ada yang tidak beres. "Siapa kamu!" seru wanita itu, Reva, dengan menatap tajam padanya. "Gue?" Sandara menunjuk dirinya sendiri sambil celingukan. "Gue San.." Plak! Tamparan keras mendarat di pipi Sandara. Kepalanya terasa berputar, dan pandangannya kabur sejenak. Pipinya terasa panas dan perih, sementara hatinya merasa terhina dan marah. "Kenapa kamu ada di apartemen kekasihku!" Reva begitu marah melihat Sandara yang berada di dalam apartemen milik Bima. "Sayang, aku bisa jelaskan semuanya," Bima menarik tangan Reva yang masih terkepal. Wajahnya tampak pucat, dan keringat dingin bercucuran di keningnya. "Apa maksudnya Bima! Kamu selingkuh sama anak kecil ini!" Reva menuding Sandara dengan mata berkaca-kaca. Suaranya bergetar, seolah-olah dia hampi
Sandara mengusap pergelangan tangannya yang letih setelah mengantarkan pesanan demi pesanan di kafe tempatnya bekerja. Raut wajahnya berubah pucat ketika Alin, rekannya yang juga bekerja di kafe, membuka percakapan. "Dar, beneran lo udah nikah?" tanya Alin dengan rasa ingin tahu yang besar. Sandara cepat-cepat membekap mulut Alin, mata paniknya menelusuri sekeliling, takut ada yang mendengar. "Jangan keras-keras! Lo mau gue dipecat apa?!" bisik Sandara dengan suara tergesa-gesa.Peraturan di kafe adalah karyawan harus single, dan Sandara sangat membutuhkan pekerjaan ini, lebih lagi setelah bisnis ayahnya bangkrut dan utang menggunung. Alin menarik tangan Sandara yang menutup mulutnya, mengerucutkan bibirnya. "Gue cuma tanya," katanya dengan nada serius. "Iya, gue nikah. Tapi cuma pura-pura kok," balas Sandara dalam bisikan.Alin mengerutkan kening, kebingungan menerka apa yang sebenarnya terjadi. "Nikah pura-pura? Maksudnya gimana?" tanya Alin dengan nada yang penuh tanda tanya.
Sandara melangkah perlahan menuju meja Reva dengan nampan yang memikul cangkir kopi hangat pesanan model itu. Sesampainya di sana, matanya membulat melihat Bima, suaminya kontraknya, tersenyum manis di samping Reva. Dadanya sedikit terasa sesak, namun ia berusaha menyembunyikan perasaan itu. "Gue gak perlu kaget, kan? Mereka kan emang pasangan kekasih," batinnya sambil menyunggingkan senyum agar tetap terukir di wajah cantiknya. "Silahkan, ini pesanannya Kak," ujar Sandara dengan suara yang ramah, meski hatinya merasa kesal saat meletakkan kopi itu di hadapan Reva. Reva hanya menatapnya dengan sinis sebelum bermanja pada Bima. "Sayang, kamu mau pesan apa? Mumpung masih ada pelayan nih," goda Reva dengan suara manis, memeluk Bima dan menekankan kata 'pelayan' sambil memandang Sandara dengan tatapan yang menantang. Bima hanya menatap sekilas pada Sandara, dan Sandara terpaku, menahan emosi sambil menunggu Bima memesan. Jantungnya berdebar, tapi sebagai pegawai kafe, ia tahu haru