Share

Bab 6

Sandara menatap piring berisi makanan yang telah ia buat dengan susah payah di meja makan. Meskipun tak pandai memasak, namun ia berusaha membuatkan sarapan spesial untuk Bima. Dari kejauhan, terdengar suara langkah kaki Bima yang baru saja keluar dari kamarnya dengan setelan jas rapi yang menambah ketampanannya.

"Om, kalau nggak mau sarapan, minum kopinya aja, Om. Ayolah Om, mau ya, please!" ucap Sandara dengan nada memelas sambil mengejar langkah Bima menuju pintu.

Bima hanya melirik sejenak ke arah Sandara, kemudian melanjutkan langkahnya tanpa menggubris ajakan Sandara. Seolah tak peduli dengan perasaan Sandara yang telah bersusah payah membuatkan sarapan untuknya.

"Om Bima wangi banget," ujar Sandara yang mencoba mengalihkan perhatian Bima dengan menghirup dalam-dalam aroma wangi parfum yang dipakai Bima. Ia berharap pujian itu akan membuat Bima berhenti sejenak dan mencicipi sarapan yang telah ia siapkan.

Namun, Bima hanya melangkah datar dan tanpa ekspresi, seakan tak terpengaruh oleh rayuan Sandara. Hati Sandara merasa kecewa dan sedih melihat sikap Bima yang terkesan dingin dan acuh tak acuh. Ia berdiri di dekat meja makan dengan rasa kecewa yang menggelayut, menatap piring berisi makanan yang tak tersentuh.

Bima berhenti sejenak di ambang pintu apartemennya, dengan raut wajah kesal yang terpancar jelas. Sandara berlari menuju ke pintu dengan langkah kaki yang bergegas, menghalangi Bima untuk keluar.

"Om harus minum sedikit aja kopi buatan gue. Dikit aja!" ucap Sandara memaksa, sambil menggoyangkan secangkir kopi buatan tangannya. Wajahnya tampak memelas, namun penuh tekad.

"Minggir!" seru Bima dengan menatap tajam Sandara. Nada suaranya tegas dan menggelegar, mencoba untuk menakut-nakuti gadis itu agar mengalah.

Namun, Sandara tetap kekeuh dan berdiri tegak di depan pintu utama apartemen. "Nggak. Sebelum Om Bima minum kopi buatan Dara, Dara nggak akan minggir!" ujarnya dengan suara yang berani. Matanya berkilat dan kedua tangannya mengepal, seolah siap bertarung.

Bima sangat kesal ingin mendorong Sandara, namun dia tahu bahwa dia tidak boleh berbuat kasar pada wanita. Bima menarik nafas dalam-dalam, mencoba mengendalikan amarahnya. "Baiklah, berikan kopi itu," ucapnya akhirnya, menyerah.

Senyum kemenangan terukir di wajah Sandara. Dia memberikan secangkir kopi buatannya ke tangan Bima, yang dengan terpaksa mengambilnya.

Bima menyesap kopi yang berada di tangan Sandara. Begitu kopi masuk ke mulutnya, seketika wajahnya berubah merah padam dan tanpa ragu, ia menyemburkan kopi itu. Amarah tak tertahankan terpancar dari matanya.

"Apa-apan kamu! Kamu mau membunuh saya!" bentak Bima dengan emosi yang memuncak karena kopi buatan Sandara begitu sangat manis.

Sandara, yang merasa tak bersalah, panik seketika. Ia segera mengambil tisu dan menyodorkannya kepada suami kontraknya. "Nggak Om, apa ada yang salah sama kopinya?" tanyanya dengan nada khawatir.

"Kamu minum sendiri saja!" seru Bima kesal, sambil mengelap mulutnya dengan tisu yang diberikan Sandara.

Sandara merasa bingung, namun ia pun menyeruput kopi yang ada di tangannya. Setelah merasakannya, ia tersenyum lebar. "Manis, kayak gue yang cantik dan manis, Om," ucapnya sambil menatap Bima dengan polos.

Namun, Bima tak terpengaruh oleh kelucuan Sandara. Ia tetap marah dan menatap Sandara dengan tajam, menandakan bahwa ia tak terima dengan kecerobohan Sandara kali ini.

"Sekarang, minggir!" ucap Bima dengan suara yang masih bergetar kesal. Sandara akhirnya mengalah dan menggeser tubuhnya ke sisi, membiarkan Bima melangkah keluar dari apartemennya. Namun, dalam hati Sandara, dia merasa senang karena berhasil meyakinkan Bima untuk mencoba kopi buatannya, meskipun pada akhirnya Bima marah padanya.

"Apa Om Bima nggak suka kopi manis?" gumam Sandara sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Oh, gue tau, berarti Om Bima suka kopi pahit," gumamnya lagi dengan senyum-senyum sendiri. Ia pun segera membawa cangkir kopi itu ke dapur. "Nanti gue bikinin kopi pahit, Om Bima yang tampan," gumamnya sambil tertawa kecil.

Sementara itu, Bima yang sudah tidak tahan dengan sikap Sandara pun bergegas keluar dari apartemennya.

Namun, ketika ia hendak melangkah lebih jauh, ia terhenti oleh sosok yang tiba-tiba muncul di depannya. "Reva," ucap Bima dengan suara yang tercekat. Matanya membulat, tak menyangka akan bertemu dengan kekasihnya yang sudah beberapa hari berada di luar kota karena pekerjaannya sebagai model. 

Reva tersenyum manis, merengkuh lengan Bima dan menghampirinya. "Sayang, kenapa kamu kaget seperti itu? Apa kamu nggak suka lihat aku datang?" tanyanya dengan suara lembut, lalu memeluk Bima erat. Aroma wangi tubuhnya yang khas memenuhi indera penciuman Bima, membuat hatinya berdebar kencang. 

Bima membalas pelukan Reva, sambil berusaha mengatur nafasnya yang terengah-engah. "Aku hanya terkejut karena kamu nggak kasih kabar sebelumnya. Kapan kamu pulang?" tanya Bima, mencoba menyembunyikan kegugupannya. 

Reva melepaskan pelukannya, lalu menatap Bima dengan mata bersinar. "Aku baru saja pulang tadi pagi. Aku ingin memberi kejutan untukmu, Sayang. Tidak menyangka akan membuatmu kaget seperti ini," jawabnya dengan senyum menggoda. 

Bima menundukkan kepalanya, merasa bersalah karena reaksinya yang berlebihan. Namun, di balik perasaan itu, ada rasa bahagia yang menghiasi hatinya. Kedatangan Reva bagaikan angin segar yang menyapu kepenatan pikirannya akibat kedatangan Sandara yang telah mengacaukan kehidupannya.

"Apa kamu nggak menyuruhku masuk?" tanya Reva sambil bergelayut manja di lengan Bima yang masih berdiri di depan pintu apartemen. Reva mengerlingkan matanya, menatap wajah Bima dengan penuh harap. 

"Tapi sayang.." ucapan Bima terhenti saat Reva melangkah masuk dengan santai ke dalam apartemennya. Reva terkejut, matanya membulat. Di depannya ada Sandara yang sedang duduk di sofa. 

"Siapa kamu!" seru Reva dengan menatap tajam, tubuhnya menegang. Rasa cemburu dan penasaran mulai memenuhi hatinya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status