Sandara menatap piring berisi makanan yang telah ia buat dengan susah payah di meja makan. Meskipun tak pandai memasak, namun ia berusaha membuatkan sarapan spesial untuk Bima. Dari kejauhan, terdengar suara langkah kaki Bima yang baru saja keluar dari kamarnya dengan setelan jas rapi yang menambah ketampanannya.
"Om, kalau nggak mau sarapan, minum kopinya aja, Om. Ayolah Om, mau ya, please!" ucap Sandara dengan nada memelas sambil mengejar langkah Bima menuju pintu. Bima hanya melirik sejenak ke arah Sandara, kemudian melanjutkan langkahnya tanpa menggubris ajakan Sandara. Seolah tak peduli dengan perasaan Sandara yang telah bersusah payah membuatkan sarapan untuknya. "Om Bima wangi banget," ujar Sandara yang mencoba mengalihkan perhatian Bima dengan menghirup dalam-dalam aroma wangi parfum yang dipakai Bima. Ia berharap pujian itu akan membuat Bima berhenti sejenak dan mencicipi sarapan yang telah ia siapkan. Namun, Bima hanya melangkah datar dan tanpa ekspresi, seakan tak terpengaruh oleh rayuan Sandara. Hati Sandara merasa kecewa dan sedih melihat sikap Bima yang terkesan dingin dan acuh tak acuh. Ia berdiri di dekat meja makan dengan rasa kecewa yang menggelayut, menatap piring berisi makanan yang tak tersentuh. Bima berhenti sejenak di ambang pintu apartemennya, dengan raut wajah kesal yang terpancar jelas. Sandara berlari menuju ke pintu dengan langkah kaki yang bergegas, menghalangi Bima untuk keluar. "Om harus minum sedikit aja kopi buatan gue. Dikit aja!" ucap Sandara memaksa, sambil menggoyangkan secangkir kopi buatan tangannya. Wajahnya tampak memelas, namun penuh tekad. "Minggir!" seru Bima dengan menatap tajam Sandara. Nada suaranya tegas dan menggelegar, mencoba untuk menakut-nakuti gadis itu agar mengalah. Namun, Sandara tetap kekeuh dan berdiri tegak di depan pintu utama apartemen. "Nggak. Sebelum Om Bima minum kopi buatan Dara, Dara nggak akan minggir!" ujarnya dengan suara yang berani. Matanya berkilat dan kedua tangannya mengepal, seolah siap bertarung. Bima sangat kesal ingin mendorong Sandara, namun dia tahu bahwa dia tidak boleh berbuat kasar pada wanita. Bima menarik nafas dalam-dalam, mencoba mengendalikan amarahnya. "Baiklah, berikan kopi itu," ucapnya akhirnya, menyerah. Senyum kemenangan terukir di wajah Sandara. Dia memberikan secangkir kopi buatannya ke tangan Bima, yang dengan terpaksa mengambilnya. Bima menyesap kopi yang berada di tangan Sandara. Begitu kopi masuk ke mulutnya, seketika wajahnya berubah merah padam dan tanpa ragu, ia menyemburkan kopi itu. Amarah tak tertahankan terpancar dari matanya. "Apa-apan kamu! Kamu mau membunuh saya!" bentak Bima dengan emosi yang memuncak karena kopi buatan Sandara begitu sangat manis. Sandara, yang merasa tak bersalah, panik seketika. Ia segera mengambil tisu dan menyodorkannya kepada suami kontraknya. "Nggak Om, apa ada yang salah sama kopinya?" tanyanya dengan nada khawatir. "Kamu minum sendiri saja!" seru Bima kesal, sambil mengelap mulutnya dengan tisu yang diberikan Sandara. Sandara merasa bingung, namun ia pun menyeruput kopi yang ada di tangannya. Setelah merasakannya, ia tersenyum lebar. "Manis, kayak gue yang cantik dan manis, Om," ucapnya sambil menatap Bima dengan polos. Namun, Bima tak terpengaruh oleh kelucuan Sandara. Ia tetap marah dan menatap Sandara dengan tajam, menandakan bahwa ia tak terima dengan kecerobohan Sandara kali ini. "Sekarang, minggir!" ucap Bima dengan suara yang masih bergetar kesal. Sandara akhirnya mengalah dan menggeser tubuhnya ke sisi, membiarkan Bima melangkah keluar dari apartemennya. Namun, dalam hati Sandara, dia merasa senang karena berhasil meyakinkan Bima untuk mencoba kopi buatannya, meskipun pada akhirnya Bima marah padanya. "Apa Om Bima nggak suka kopi manis?" gumam Sandara sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Oh, gue tau, berarti Om Bima suka kopi pahit," gumamnya lagi dengan senyum-senyum sendiri. Ia pun segera membawa cangkir kopi itu ke dapur. "Nanti gue bikinin kopi pahit, Om Bima yang tampan," gumamnya sambil tertawa kecil. Sementara itu, Bima yang sudah tidak tahan dengan sikap Sandara pun bergegas keluar dari apartemennya. Namun, ketika ia hendak melangkah lebih jauh, ia terhenti oleh sosok yang tiba-tiba muncul di depannya. "Reva," ucap Bima dengan suara yang tercekat. Matanya membulat, tak menyangka akan bertemu dengan kekasihnya yang sudah beberapa hari berada di luar kota karena pekerjaannya sebagai model. Reva tersenyum manis, merengkuh lengan Bima dan menghampirinya. "Sayang, kenapa kamu kaget seperti itu? Apa kamu nggak suka lihat aku datang?" tanyanya dengan suara lembut, lalu memeluk Bima erat. Aroma wangi tubuhnya yang khas memenuhi indera penciuman Bima, membuat hatinya berdebar kencang. Bima membalas pelukan Reva, sambil berusaha mengatur nafasnya yang terengah-engah. "Aku hanya terkejut karena kamu nggak kasih kabar sebelumnya. Kapan kamu pulang?" tanya Bima, mencoba menyembunyikan kegugupannya. Reva melepaskan pelukannya, lalu menatap Bima dengan mata bersinar. "Aku baru saja pulang tadi pagi. Aku ingin memberi kejutan untukmu, Sayang. Tidak menyangka akan membuatmu kaget seperti ini," jawabnya dengan senyum menggoda. Bima menundukkan kepalanya, merasa bersalah karena reaksinya yang berlebihan. Namun, di balik perasaan itu, ada rasa bahagia yang menghiasi hatinya. Kedatangan Reva bagaikan angin segar yang menyapu kepenatan pikirannya akibat kedatangan Sandara yang telah mengacaukan kehidupannya. "Apa kamu nggak menyuruhku masuk?" tanya Reva sambil bergelayut manja di lengan Bima yang masih berdiri di depan pintu apartemen. Reva mengerlingkan matanya, menatap wajah Bima dengan penuh harap. "Tapi sayang.." ucapan Bima terhenti saat Reva melangkah masuk dengan santai ke dalam apartemennya. Reva terkejut, matanya membulat. Di depannya ada Sandara yang sedang duduk di sofa. "Siapa kamu!" seru Reva dengan menatap tajam, tubuhnya menegang. Rasa cemburu dan penasaran mulai memenuhi hatinya.Sandara terkejut ketika pintu apartemen terbuka dan seorang wanita cantik berambut panjang lurus melangkah masuk dengan langkah cepat. Matanya melotot penuh emosi, seolah-olah sedang mencari mangsa. Sandara menelan ludah, merasa ada yang tidak beres. "Siapa kamu!" seru wanita itu, Reva, dengan menatap tajam padanya. "Gue?" Sandara menunjuk dirinya sendiri sambil celingukan. "Gue San.." Plak! Tamparan keras mendarat di pipi Sandara. Kepalanya terasa berputar, dan pandangannya kabur sejenak. Pipinya terasa panas dan perih, sementara hatinya merasa terhina dan marah. "Kenapa kamu ada di apartemen kekasihku!" Reva begitu marah melihat Sandara yang berada di dalam apartemen milik Bima. "Sayang, aku bisa jelaskan semuanya," Bima menarik tangan Reva yang masih terkepal. Wajahnya tampak pucat, dan keringat dingin bercucuran di keningnya. "Apa maksudnya Bima! Kamu selingkuh sama anak kecil ini!" Reva menuding Sandara dengan mata berkaca-kaca. Suaranya bergetar, seolah-olah dia hampi
Sandara mengusap pergelangan tangannya yang letih setelah mengantarkan pesanan demi pesanan di kafe tempatnya bekerja. Raut wajahnya berubah pucat ketika Alin, rekannya yang juga bekerja di kafe, membuka percakapan. "Dar, beneran lo udah nikah?" tanya Alin dengan rasa ingin tahu yang besar. Sandara cepat-cepat membekap mulut Alin, mata paniknya menelusuri sekeliling, takut ada yang mendengar. "Jangan keras-keras! Lo mau gue dipecat apa?!" bisik Sandara dengan suara tergesa-gesa.Peraturan di kafe adalah karyawan harus single, dan Sandara sangat membutuhkan pekerjaan ini, lebih lagi setelah bisnis ayahnya bangkrut dan utang menggunung. Alin menarik tangan Sandara yang menutup mulutnya, mengerucutkan bibirnya. "Gue cuma tanya," katanya dengan nada serius. "Iya, gue nikah. Tapi cuma pura-pura kok," balas Sandara dalam bisikan.Alin mengerutkan kening, kebingungan menerka apa yang sebenarnya terjadi. "Nikah pura-pura? Maksudnya gimana?" tanya Alin dengan nada yang penuh tanda tanya.
Sandara melangkah perlahan menuju meja Reva dengan nampan yang memikul cangkir kopi hangat pesanan model itu. Sesampainya di sana, matanya membulat melihat Bima, suaminya kontraknya, tersenyum manis di samping Reva. Dadanya sedikit terasa sesak, namun ia berusaha menyembunyikan perasaan itu. "Gue gak perlu kaget, kan? Mereka kan emang pasangan kekasih," batinnya sambil menyunggingkan senyum agar tetap terukir di wajah cantiknya. "Silahkan, ini pesanannya Kak," ujar Sandara dengan suara yang ramah, meski hatinya merasa kesal saat meletakkan kopi itu di hadapan Reva. Reva hanya menatapnya dengan sinis sebelum bermanja pada Bima. "Sayang, kamu mau pesan apa? Mumpung masih ada pelayan nih," goda Reva dengan suara manis, memeluk Bima dan menekankan kata 'pelayan' sambil memandang Sandara dengan tatapan yang menantang. Bima hanya menatap sekilas pada Sandara, dan Sandara terpaku, menahan emosi sambil menunggu Bima memesan. Jantungnya berdebar, tapi sebagai pegawai kafe, ia tahu haru
Reva tiba-tiba menghentikan langkahnya di tengah kafe, matanya melebar dalam kepanikan saat ia merogoh tasnya yang baru saja diambil kembali dari Sandara. Raut wajahnya cemas mempercepat detak jantung para pengunjung kafe yang kini memerhatikan sang model cantik tersebut. "Bima," panggilnya dengan suara bergetar, menginterupsi ketenangan yang tengah menaungi Bima yang asyik dengan tabletnya.Bima segera mendongak, dahi berkerut. "Ada apa?" tanyanya, suaranya pelan. Reva melahap udara, matanya berpindah-pindah dari wajah Bima ke Sandara yang berdiri dengan santainya beberapa langkah di belakang. "Cincin aku, Bima. Hilang," desisnya, sambil menahan bibir bawahnya yang gemetar. "Tadi aku titip tas ke Sandara." Ia mengarahkan jari gemetarnya ke arah Sandara yang menggeleng pelan. "Cincin apa? Kamu yakin, kamu tadi memakainya?" tanya Bima, masih dengan ketenangan yang terpelihara, sambil matanya mencuri pandang ke arah Sandara yang masih bersikap tenang."Aku yakin, aku memakainya, Bi
"Udah, Kak Reva! Laporin ke polisi saja, biar dia kapok!" teriak salah satu pengunjung, dengan jari menunjuk tajam ke arah Sandara. Suaranya memecah kesunyian yang mendadak. Reva mengangguk pelan, bibirnya tersenyum sinis ke arah Sandara. Menunjukkan kalau rencananya akan berjalan lancar. "Iya, laporin saja. Enak saja mengambil cincin Kakak," sahut pengunjung lain, suaranya penuh tuduhan dan tatapan matanya tidak lepas dari Sandara.Reva menarik napas dalam-dalam, berusaha menampilkan wajah yang tenang dan mengayakan tangan seakan ingin meredakan ketegangan. "Tenang, semua," katanya dengan suara yang dibuat-buat lembut. "Kita nggak perlu melibatkan polisi untuk hal seperti ini. Saya yakin ini bisa diselesaikan tanpa perlu membesar-besarkan masalah. Yang saya minta hanya Sandara mengakui kesalahannya saja."Sanjungan mengalir dari bibir pengunjung kafe, "Ya ampun, Kak Reva itu baik sekali." Tetapi, terdengar juga bisikan yang tajam, menghujat Sandara sang pelayan kafe tersebut, "It
Sandara tertawa geli, matanya berkilau menatap Alin yang tampak terkejut. "Dua ratus lima puluh juta?" Alin tergagap, matanya membulat tak percaya mendengar jumlah uang yang fantastis itu. Sandara mengangkat bahu, membalutkan tangan di pundak sahabatnya yang masih terpaku, menariknya keluar dari tempat mereka bekerja. "Duh, nggak usah kaget gitu, ayo pulang," ucap Sandara sambil menuntun langkah mereka beriringan. Ada senyum yang menggoda di sudut bibirnya. "Gila, uang sebanyak itu buat apaan, Dar?" tanya Alin, rasa penasarannya terpancar jelas. "Bayar utang," jawab Sandara, cepat dan tegas, mata tak lepas dari depan. Alin, mengerti akan lilitan masalah yang dihadapi keluarga Sandara, memilih diam dan tak lagi mengungkit hal tersebut. Dalam diam, mereka melanjutkan langkah menuju keramaian kota yang mulai berpendar di senja.Sebelum pulang, Sandara dan Alin berhenti di sebuah toko makanan. Dengan wajah yang tidak terlalu bersemangat, Sandara memilih makanan hanya untuk dirinya sen
Bima berusaha keras menyembunyikan gugupnya di depan Sandara, sambil mengacak-acak rambutnya seolah tak peduli. "Siapa yang bilang saya makan? Hanya merapikan bekas makan kamu di atas meja!" katanya, nada suaranya meninggi seolah menyalahkan Sandara. Sandara memandang dengan mata yang membulat, seolah tidak percaya pada apa yang didengarnya. Tangan gemetar, dia berkata pada diri sendiri, "Ya ampun, masih nggak mau ngaku juga?" Napasnya terdengar berat, kecewa mengisi dadanya. Sejenak suasana hening, sebelum Bima memandang tajam, matanya menyiratkan tantangan. "Ih, aneh banget, yang beli makanan gue tapi gue juga yang kena imbasnya!" keluh Sandara dengan suara serak. Sandara mencibir, membalas dengan nada sinis. "Oh, begitu ya Om. Harusnya gue bilang makasih ya," sindirnya, mencoba menutupi rasa sakit hati. Bima hanya diam dengan wajah tanpa ekspresi sudah mirpi seperti bongkahan es di kutub utara. Sandara tercengang melihat sikap dinginnya. 'Apa dia benar-benar tidak punya hati?
Dengan bibir yang bergetar dan air mata yang mulai berkumpul di kelopak matanya, Sandara mencoba menahan rasa sakit yang luar biasa. Kopi panas yang disiramkan oleh Reva tadi telah meninggalkan tanda merah yang nyata di tangannya. Reva, dengan sorot mata penuh kebencian dan tanpa rasa penyesalan sedikitpun, berdiri tegak menghadapnya."Lebih baik kamu tinggalkan Bima sekarang juga," ucap Reva, suaranya rendah namun keras, dipenuhi ancaman. "Ini baru permulaan. Jika kamu masih berani melawan, jangan salahkan saya atas apa yang akan terjadi berikutnya." Sandara hendak membalas, namun sebelum ia bisa berkata apa-apa, Alin cepat-cepat menariknya pergi, takut akan lebih banyak lagi kejadian buruk yang bisa menimpa sahabatnya itu.Alin berbisik cepat ke Sandara saat Pak Doni mendekat, suara khawatir terdengar di antara gemerisik kertas meja. "Gue obatin luka lo. Pak Doni ke sini." Pak Doni menghampiri dengan langkah mantap, mengangguk pelan pada Reva yang duduk tegang, wajahnya menunjukk