Sandara terkejut ketika pintu apartemen terbuka dan seorang wanita cantik berambut panjang lurus melangkah masuk dengan langkah cepat. Matanya melotot penuh emosi, seolah-olah sedang mencari mangsa. Sandara menelan ludah, merasa ada yang tidak beres.
"Siapa kamu!" seru wanita itu, Reva, dengan menatap tajam padanya. "Gue?" Sandara menunjuk dirinya sendiri sambil celingukan. "Gue San.." Plak! Tamparan keras mendarat di pipi Sandara. Kepalanya terasa berputar, dan pandangannya kabur sejenak. Pipinya terasa panas dan perih, sementara hatinya merasa terhina dan marah. "Kenapa kamu ada di apartemen kekasihku!" Reva begitu marah melihat Sandara yang berada di dalam apartemen milik Bima. "Sayang, aku bisa jelaskan semuanya," Bima menarik tangan Reva yang masih terkepal. Wajahnya tampak pucat, dan keringat dingin bercucuran di keningnya. "Apa maksudnya Bima! Kamu selingkuh sama anak kecil ini!" Reva menuding Sandara dengan mata berkaca-kaca. Suaranya bergetar, seolah-olah dia hampir menangis. "Apa? Anak kecil?" tanya Sandara sambil mengusap pipinya yang terasa panas. "Apanya yang kecil? Gue segede gini di bilang kecil. Buta kali ya!" gumamnya kesal mendengar perempuan yang bersama suami kontraknya itu mengatakan kalau ia masih anak kecil. Bima menarik tangan Reva, membawanya menjauh dari Sandara yang tengah berdiri di sudut apartemen. Reva tampak marah sekaligus terkejut dengan kehadiran wanita itu di rumah Bima. "Dengerin aku, Reva. Dia Sandara, dia istri pura-pura aku," jelas Bima sambil menatap Reva yang masih tampak bingung. "Aku terpaksa nikah sama dia karena mama, nggak lebih. Kamu nggak usah pikirin dia, anggap saja dia nggak ada," lanjut Bima, mencoba meyakinkan Reva agar tidak merasa cemburu. Bima mengakui Sandara sebagi istri kontraknya di depan sang kekasih. Ia tak mau merahasiakannya, cepat atau lambat Reva pasti akan mengetahuinya. Dan mungkin akan terjadi salah paham antara Reva dengan dirinya nantinya, ia tak mau hal itu terjadi. Reva memandang Sandara dengan tatapan kesal, lalu kembali menatap Bima. "Apa? Jadi kamu sudah menikah dengan dia?" tanya Reva dengan suara bergetar. Bima mengangguk perlahan, kemudian menatap Reva dengan tatapan penuh harap. "Itu hanya pura-pura, sayang. Setelah kontrak selesai, aku akan menceraikan dia. Dan kita akan menikah," ucap Bima, mencoba meyakinkan Reva dengan senyuman yang terukir di wajahnya. Reva menatap Bima dengan air mata yang mulai menggenang di pelupuk matanya. Hatinya berkecamuk, mencoba mencerna kenyataan bahwa kekasihnya kini telah menjadi suami orang lain, meskipun hanya pura-pura. Sementara itu, Sandara yang berada di sudut ruangan, hanya bisa menatap keduanya dengan tatapan yang sulit di artikan. Sandara merasa panas di pipinya saat tamparan Reva mendarat keras. Ia mengepal tangannya erat-erat, berusaha menahan amarah yang membara. Tanpa berpikir panjang, ia segera mengambil tasnya yang tergeletak di sofa. "Om, gue pergi," ucapnya dengan nada kesal, seraya berjalan cepat menuju pintu apartemen. Dalam hati, ia merasa harus segera pergi sebelum amarahnya tak terkontrol. Sandara tak ingin terlambat bekerja sebagai pelayan di sebuah kafe dan berisiko dipecat karena masalah ini. "Hem, sayang-sayang," ucap Sandara dengan bibir yang bergerak-gerak aneh saat melihat adegan dimana Bima membujuk perempuan yang di duga adalah kekasihnya. Orang yang baru saja menamparnya. "Biasa aja kali, udah kayak sinetron aja!" gerutunya kesal seraya berjalan keluar apartemen menuju lantai bawah Sementara itu, Bima masih sibuk mencoba membujuk Reva agar percaya padanya. Wajah Reva yang memerah dan mata yang berkaca-kaca membuat Bima merasa bersalah. Ia meraih tangan Reva dengan lembut dan menatap matanya. "Jangan marah lagi. Aku sama sekali nggak ada perasaan sama dia," ucap Bima dengan tulus, berusaha meyakinkan Reva bahwa Sandara hanyalah seorang teman biasa. Namun, Reva masih belum bisa sepenuhnya menerima penjelasan Bima. "Awas saja kalau sampai kamu jatuh cinta sama bocah itu!" ujar Reva sambil mengerucutkan bibirnya, masih belum bisa menyembunyikan kekesalannya. Bima menghela napas panjang, berjanji dalam hati akan membuktikan bahwa ia hanya mencintai Reva dan tidak akan menyakiti hatinya lagi. Reva merasakan denyut jantungnya memompa lebih kencang saat Bima memainkan jari-jarinya di rambutnya. Senyum manis terukir di wajah Bima, membuat Reva semakin yakin pada pilihannya. “Nggak akan, Reva sayang,” ucap Bima sambil mencubit lembut pipi Reva yang merona. Reva, merasa aman dalam perlindungan lengan Bima yang bidang, menepuk pelannya sebagai tanda sayang. “Ayo, aku antar pulang. Sekalian aku berangkat ke kantor,” ujar Bima yang langsung diangguki oleh Reva yang tak sabar ingin meluangkan sedikit waktu lebih dengan kekasihnya itu. Mereka berdua pun keluar dari apartemen dengan tangan mereka yang tergenggam. Namun, langkah Reva terhenti sejenak saat matanya menangkap sosok Sandara yang tengah berbicara di telepon tidak jauh dari mereka saat berada di lobi apartemen. Cemburu membakar hati Reva saat mengingat bahwa Sandara adalah istri kontrak Bima, walau hanya di atas kertas. "Lihat saja bocah, aku tidak akan membiarkan kamu dekat-dekat dengan Bima!" gumam Reva dalam hati yang kesal. Matanya memancarkan kilatan tajam, seakan menantang Sandara yang tak menyadari keberadaannya. Mata Reva menatap tajam, tangannya terkepal erat sambil berdiri menghadap Sandara yang berdiri membelakanginya. "Kau akan menyesal telah merebut Bima dariku," gumamnya dengan suara bergetar. Dia mengambil napas dalam-dalam, "Aku akan pastikan, sebelum kontrakmu berakhir, kau akan meninggalkan Bima!"Sandara mengusap pergelangan tangannya yang letih setelah mengantarkan pesanan demi pesanan di kafe tempatnya bekerja. Raut wajahnya berubah pucat ketika Alin, rekannya yang juga bekerja di kafe, membuka percakapan. "Dar, beneran lo udah nikah?" tanya Alin dengan rasa ingin tahu yang besar. Sandara cepat-cepat membekap mulut Alin, mata paniknya menelusuri sekeliling, takut ada yang mendengar. "Jangan keras-keras! Lo mau gue dipecat apa?!" bisik Sandara dengan suara tergesa-gesa.Peraturan di kafe adalah karyawan harus single, dan Sandara sangat membutuhkan pekerjaan ini, lebih lagi setelah bisnis ayahnya bangkrut dan utang menggunung. Alin menarik tangan Sandara yang menutup mulutnya, mengerucutkan bibirnya. "Gue cuma tanya," katanya dengan nada serius. "Iya, gue nikah. Tapi cuma pura-pura kok," balas Sandara dalam bisikan.Alin mengerutkan kening, kebingungan menerka apa yang sebenarnya terjadi. "Nikah pura-pura? Maksudnya gimana?" tanya Alin dengan nada yang penuh tanda tanya.
Sandara melangkah perlahan menuju meja Reva dengan nampan yang memikul cangkir kopi hangat pesanan model itu. Sesampainya di sana, matanya membulat melihat Bima, suaminya kontraknya, tersenyum manis di samping Reva. Dadanya sedikit terasa sesak, namun ia berusaha menyembunyikan perasaan itu. "Gue gak perlu kaget, kan? Mereka kan emang pasangan kekasih," batinnya sambil menyunggingkan senyum agar tetap terukir di wajah cantiknya. "Silahkan, ini pesanannya Kak," ujar Sandara dengan suara yang ramah, meski hatinya merasa kesal saat meletakkan kopi itu di hadapan Reva. Reva hanya menatapnya dengan sinis sebelum bermanja pada Bima. "Sayang, kamu mau pesan apa? Mumpung masih ada pelayan nih," goda Reva dengan suara manis, memeluk Bima dan menekankan kata 'pelayan' sambil memandang Sandara dengan tatapan yang menantang. Bima hanya menatap sekilas pada Sandara, dan Sandara terpaku, menahan emosi sambil menunggu Bima memesan. Jantungnya berdebar, tapi sebagai pegawai kafe, ia tahu haru
Reva tiba-tiba menghentikan langkahnya di tengah kafe, matanya melebar dalam kepanikan saat ia merogoh tasnya yang baru saja diambil kembali dari Sandara. Raut wajahnya cemas mempercepat detak jantung para pengunjung kafe yang kini memerhatikan sang model cantik tersebut. "Bima," panggilnya dengan suara bergetar, menginterupsi ketenangan yang tengah menaungi Bima yang asyik dengan tabletnya.Bima segera mendongak, dahi berkerut. "Ada apa?" tanyanya, suaranya pelan. Reva melahap udara, matanya berpindah-pindah dari wajah Bima ke Sandara yang berdiri dengan santainya beberapa langkah di belakang. "Cincin aku, Bima. Hilang," desisnya, sambil menahan bibir bawahnya yang gemetar. "Tadi aku titip tas ke Sandara." Ia mengarahkan jari gemetarnya ke arah Sandara yang menggeleng pelan. "Cincin apa? Kamu yakin, kamu tadi memakainya?" tanya Bima, masih dengan ketenangan yang terpelihara, sambil matanya mencuri pandang ke arah Sandara yang masih bersikap tenang."Aku yakin, aku memakainya, Bi
"Udah, Kak Reva! Laporin ke polisi saja, biar dia kapok!" teriak salah satu pengunjung, dengan jari menunjuk tajam ke arah Sandara. Suaranya memecah kesunyian yang mendadak. Reva mengangguk pelan, bibirnya tersenyum sinis ke arah Sandara. Menunjukkan kalau rencananya akan berjalan lancar. "Iya, laporin saja. Enak saja mengambil cincin Kakak," sahut pengunjung lain, suaranya penuh tuduhan dan tatapan matanya tidak lepas dari Sandara.Reva menarik napas dalam-dalam, berusaha menampilkan wajah yang tenang dan mengayakan tangan seakan ingin meredakan ketegangan. "Tenang, semua," katanya dengan suara yang dibuat-buat lembut. "Kita nggak perlu melibatkan polisi untuk hal seperti ini. Saya yakin ini bisa diselesaikan tanpa perlu membesar-besarkan masalah. Yang saya minta hanya Sandara mengakui kesalahannya saja."Sanjungan mengalir dari bibir pengunjung kafe, "Ya ampun, Kak Reva itu baik sekali." Tetapi, terdengar juga bisikan yang tajam, menghujat Sandara sang pelayan kafe tersebut, "It
Sandara tertawa geli, matanya berkilau menatap Alin yang tampak terkejut. "Dua ratus lima puluh juta?" Alin tergagap, matanya membulat tak percaya mendengar jumlah uang yang fantastis itu. Sandara mengangkat bahu, membalutkan tangan di pundak sahabatnya yang masih terpaku, menariknya keluar dari tempat mereka bekerja. "Duh, nggak usah kaget gitu, ayo pulang," ucap Sandara sambil menuntun langkah mereka beriringan. Ada senyum yang menggoda di sudut bibirnya. "Gila, uang sebanyak itu buat apaan, Dar?" tanya Alin, rasa penasarannya terpancar jelas. "Bayar utang," jawab Sandara, cepat dan tegas, mata tak lepas dari depan. Alin, mengerti akan lilitan masalah yang dihadapi keluarga Sandara, memilih diam dan tak lagi mengungkit hal tersebut. Dalam diam, mereka melanjutkan langkah menuju keramaian kota yang mulai berpendar di senja.Sebelum pulang, Sandara dan Alin berhenti di sebuah toko makanan. Dengan wajah yang tidak terlalu bersemangat, Sandara memilih makanan hanya untuk dirinya sen
Bima berusaha keras menyembunyikan gugupnya di depan Sandara, sambil mengacak-acak rambutnya seolah tak peduli. "Siapa yang bilang saya makan? Hanya merapikan bekas makan kamu di atas meja!" katanya, nada suaranya meninggi seolah menyalahkan Sandara. Sandara memandang dengan mata yang membulat, seolah tidak percaya pada apa yang didengarnya. Tangan gemetar, dia berkata pada diri sendiri, "Ya ampun, masih nggak mau ngaku juga?" Napasnya terdengar berat, kecewa mengisi dadanya. Sejenak suasana hening, sebelum Bima memandang tajam, matanya menyiratkan tantangan. "Ih, aneh banget, yang beli makanan gue tapi gue juga yang kena imbasnya!" keluh Sandara dengan suara serak. Sandara mencibir, membalas dengan nada sinis. "Oh, begitu ya Om. Harusnya gue bilang makasih ya," sindirnya, mencoba menutupi rasa sakit hati. Bima hanya diam dengan wajah tanpa ekspresi sudah mirpi seperti bongkahan es di kutub utara. Sandara tercengang melihat sikap dinginnya. 'Apa dia benar-benar tidak punya hati?
Dengan bibir yang bergetar dan air mata yang mulai berkumpul di kelopak matanya, Sandara mencoba menahan rasa sakit yang luar biasa. Kopi panas yang disiramkan oleh Reva tadi telah meninggalkan tanda merah yang nyata di tangannya. Reva, dengan sorot mata penuh kebencian dan tanpa rasa penyesalan sedikitpun, berdiri tegak menghadapnya."Lebih baik kamu tinggalkan Bima sekarang juga," ucap Reva, suaranya rendah namun keras, dipenuhi ancaman. "Ini baru permulaan. Jika kamu masih berani melawan, jangan salahkan saya atas apa yang akan terjadi berikutnya." Sandara hendak membalas, namun sebelum ia bisa berkata apa-apa, Alin cepat-cepat menariknya pergi, takut akan lebih banyak lagi kejadian buruk yang bisa menimpa sahabatnya itu.Alin berbisik cepat ke Sandara saat Pak Doni mendekat, suara khawatir terdengar di antara gemerisik kertas meja. "Gue obatin luka lo. Pak Doni ke sini." Pak Doni menghampiri dengan langkah mantap, mengangguk pelan pada Reva yang duduk tegang, wajahnya menunjukk
Sandara gelagapan sendiri saat Bima malah menatapnya dan memajukan wajahnya hingga mengikis jarak antara mereka. Jantungnya serasa ingin melompat dari tempatnya. Niat hati ingin menggoda manusia barhati es itu tapi malah ia sendiri yang meleleh.Wajah Sandara bersemu merah, cepat-cepat ia memalingkan wajahnya dengan gugup. Menarik nafas dalam lalu menggelengkan kepalanya.Bima memundurkan wajahnya dengan ekspresi datarnya dan berlalu keluar dari apartemennya meninggalkan Sandara begitu saja.''Om, kok pergi gitu aja sih!'' protes Sandara. ''Jawab dong, Om,'' tambah Sandara dengan mengerucutkan bibirnya berjalan mengikuti langkah Bima yang lebih dulu keluar dari apartemen.Hanya derap langkah kaki mereka yang terdengar, Bima sama sekali tidak membuka suaranya selama berjalan di lorong apartemen yang sepi.Sandara terus saja mengoceh hingga mereka berdua memasuki lift untuk turun ke lantai dasar.''Emangnya ada acara apa sih Om, mamanya Om nyuruh kita datang ke rumah?'' tanya Sandara pe