Share

Bab 7

Sandara terkejut ketika pintu apartemen terbuka dan seorang wanita cantik berambut panjang lurus melangkah masuk dengan langkah cepat. Matanya melotot penuh emosi, seolah-olah sedang mencari mangsa. Sandara menelan ludah, merasa ada yang tidak beres.

"Siapa kamu!" seru wanita itu, Reva, dengan menatap tajam padanya.

"Gue?" Sandara menunjuk dirinya sendiri sambil celingukan. "Gue San.."

Plak! Tamparan keras mendarat di pipi Sandara. Kepalanya terasa berputar, dan pandangannya kabur sejenak. Pipinya terasa panas dan perih, sementara hatinya merasa terhina dan marah.

"Kenapa kamu ada di apartemen kekasihku!" Reva begitu marah melihat Sandara yang berada di dalam apartemen milik Bima.

"Sayang, aku bisa jelaskan semuanya," Bima menarik tangan Reva yang masih terkepal. Wajahnya tampak pucat, dan keringat dingin bercucuran di keningnya.

"Apa maksudnya Bima! Kamu selingkuh sama anak kecil ini!" Reva menuding Sandara dengan mata berkaca-kaca. Suaranya bergetar, seolah-olah dia hampir menangis.

"Apa? Anak kecil?" tanya Sandara sambil mengusap pipinya yang terasa panas. "Apanya yang kecil? Gue segede gini di bilang kecil. Buta kali ya!" gumamnya kesal mendengar perempuan yang bersama suami kontraknya itu mengatakan kalau ia masih anak kecil.

Bima menarik tangan Reva, membawanya menjauh dari Sandara yang tengah berdiri di sudut apartemen. Reva tampak marah sekaligus terkejut dengan kehadiran wanita itu di rumah Bima.

"Dengerin aku, Reva. Dia Sandara, dia istri pura-pura aku," jelas Bima sambil menatap Reva yang masih tampak bingung. "Aku terpaksa nikah sama dia karena mama, nggak lebih. Kamu nggak usah pikirin dia, anggap saja dia nggak ada," lanjut Bima, mencoba meyakinkan Reva agar tidak merasa cemburu.

Bima mengakui Sandara sebagi istri kontraknya di depan sang kekasih. Ia tak mau merahasiakannya, cepat atau lambat Reva pasti akan mengetahuinya. Dan mungkin akan terjadi salah paham antara Reva dengan dirinya nantinya, ia tak mau hal itu terjadi.

Reva memandang Sandara dengan tatapan kesal, lalu kembali menatap Bima. "Apa? Jadi kamu sudah menikah dengan dia?" tanya Reva dengan suara bergetar.

Bima mengangguk perlahan, kemudian menatap Reva dengan tatapan penuh harap. "Itu hanya pura-pura, sayang. Setelah kontrak selesai, aku akan menceraikan dia. Dan kita akan menikah," ucap Bima, mencoba meyakinkan Reva dengan senyuman yang terukir di wajahnya.

Reva menatap Bima dengan air mata yang mulai menggenang di pelupuk matanya. Hatinya berkecamuk, mencoba mencerna kenyataan bahwa kekasihnya kini telah menjadi suami orang lain, meskipun hanya pura-pura. Sementara itu, Sandara yang berada di sudut ruangan, hanya bisa menatap keduanya dengan tatapan yang sulit di artikan.

Sandara merasa panas di pipinya saat tamparan Reva mendarat keras. Ia mengepal tangannya erat-erat, berusaha menahan amarah yang membara. Tanpa berpikir panjang, ia segera mengambil tasnya yang tergeletak di sofa.

"Om, gue pergi," ucapnya dengan nada kesal, seraya berjalan cepat menuju pintu apartemen. Dalam hati, ia merasa harus segera pergi sebelum amarahnya tak terkontrol. Sandara tak ingin terlambat bekerja sebagai pelayan di sebuah kafe dan berisiko dipecat karena masalah ini.

"Hem, sayang-sayang," ucap Sandara dengan bibir yang bergerak-gerak aneh saat melihat adegan dimana Bima membujuk perempuan yang di duga adalah kekasihnya. Orang yang baru saja menamparnya. "Biasa aja kali, udah kayak sinetron aja!" gerutunya kesal seraya berjalan keluar apartemen menuju lantai bawah

Sementara itu, Bima masih sibuk mencoba membujuk Reva agar percaya padanya. Wajah Reva yang memerah dan mata yang berkaca-kaca membuat Bima merasa bersalah. Ia meraih tangan Reva dengan lembut dan menatap matanya.

"Jangan marah lagi. Aku sama sekali nggak ada perasaan sama dia," ucap Bima dengan tulus, berusaha meyakinkan Reva bahwa Sandara hanyalah seorang teman biasa. Namun, Reva masih belum bisa sepenuhnya menerima penjelasan Bima.

"Awas saja kalau sampai kamu jatuh cinta sama bocah itu!" ujar Reva sambil mengerucutkan bibirnya, masih belum bisa menyembunyikan kekesalannya. Bima menghela napas panjang, berjanji dalam hati akan membuktikan bahwa ia hanya mencintai Reva dan tidak akan menyakiti hatinya lagi.

Reva merasakan denyut jantungnya memompa lebih kencang saat Bima memainkan jari-jarinya di rambutnya. Senyum manis terukir di wajah Bima, membuat Reva semakin yakin pada pilihannya. “Nggak akan, Reva sayang,” ucap Bima sambil mencubit lembut pipi Reva yang merona. Reva, merasa aman dalam perlindungan lengan Bima yang bidang, menepuk pelannya sebagai tanda sayang.

“Ayo, aku antar pulang. Sekalian aku berangkat ke kantor,” ujar Bima yang langsung diangguki oleh Reva yang tak sabar ingin meluangkan sedikit waktu lebih dengan kekasihnya itu. Mereka berdua pun keluar dari apartemen dengan tangan mereka yang tergenggam.

Namun, langkah Reva terhenti sejenak saat matanya menangkap sosok Sandara yang tengah berbicara di telepon tidak jauh dari mereka saat berada di lobi apartemen.

Cemburu membakar hati Reva saat mengingat bahwa Sandara adalah istri kontrak Bima, walau hanya di atas kertas. "Lihat saja bocah, aku tidak akan membiarkan kamu dekat-dekat dengan Bima!" gumam Reva dalam hati yang kesal. Matanya memancarkan kilatan tajam, seakan menantang Sandara yang tak menyadari keberadaannya.

Mata Reva menatap tajam, tangannya terkepal erat sambil berdiri menghadap Sandara yang berdiri membelakanginya. "Kau akan menyesal telah merebut Bima dariku," gumamnya dengan suara bergetar. Dia mengambil napas dalam-dalam, "Aku akan pastikan, sebelum kontrakmu berakhir, kau akan meninggalkan Bima!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status