Sandara melangkah perlahan menuju meja Reva dengan nampan yang memikul cangkir kopi hangat pesanan model itu. Sesampainya di sana, matanya membulat melihat Bima, suaminya kontraknya, tersenyum manis di samping Reva. Dadanya sedikit terasa sesak, namun ia berusaha menyembunyikan perasaan itu. "Gue gak perlu kaget, kan? Mereka kan emang pasangan kekasih," batinnya sambil menyunggingkan senyum agar tetap terukir di wajah cantiknya. "Silahkan, ini pesanannya Kak," ujar Sandara dengan suara yang ramah, meski hatinya merasa kesal saat meletakkan kopi itu di hadapan Reva. Reva hanya menatapnya dengan sinis sebelum bermanja pada Bima. "Sayang, kamu mau pesan apa? Mumpung masih ada pelayan nih," goda Reva dengan suara manis, memeluk Bima dan menekankan kata 'pelayan' sambil memandang Sandara dengan tatapan yang menantang. Bima hanya menatap sekilas pada Sandara, dan Sandara terpaku, menahan emosi sambil menunggu Bima memesan. Jantungnya berdebar, tapi sebagai pegawai kafe, ia tahu haru
Reva tiba-tiba menghentikan langkahnya di tengah kafe, matanya melebar dalam kepanikan saat ia merogoh tasnya yang baru saja diambil kembali dari Sandara. Raut wajahnya cemas mempercepat detak jantung para pengunjung kafe yang kini memerhatikan sang model cantik tersebut. "Bima," panggilnya dengan suara bergetar, menginterupsi ketenangan yang tengah menaungi Bima yang asyik dengan tabletnya.Bima segera mendongak, dahi berkerut. "Ada apa?" tanyanya, suaranya pelan. Reva melahap udara, matanya berpindah-pindah dari wajah Bima ke Sandara yang berdiri dengan santainya beberapa langkah di belakang. "Cincin aku, Bima. Hilang," desisnya, sambil menahan bibir bawahnya yang gemetar. "Tadi aku titip tas ke Sandara." Ia mengarahkan jari gemetarnya ke arah Sandara yang menggeleng pelan. "Cincin apa? Kamu yakin, kamu tadi memakainya?" tanya Bima, masih dengan ketenangan yang terpelihara, sambil matanya mencuri pandang ke arah Sandara yang masih bersikap tenang."Aku yakin, aku memakainya, Bi
"Udah, Kak Reva! Laporin ke polisi saja, biar dia kapok!" teriak salah satu pengunjung, dengan jari menunjuk tajam ke arah Sandara. Suaranya memecah kesunyian yang mendadak. Reva mengangguk pelan, bibirnya tersenyum sinis ke arah Sandara. Menunjukkan kalau rencananya akan berjalan lancar. "Iya, laporin saja. Enak saja mengambil cincin Kakak," sahut pengunjung lain, suaranya penuh tuduhan dan tatapan matanya tidak lepas dari Sandara.Reva menarik napas dalam-dalam, berusaha menampilkan wajah yang tenang dan mengayakan tangan seakan ingin meredakan ketegangan. "Tenang, semua," katanya dengan suara yang dibuat-buat lembut. "Kita nggak perlu melibatkan polisi untuk hal seperti ini. Saya yakin ini bisa diselesaikan tanpa perlu membesar-besarkan masalah. Yang saya minta hanya Sandara mengakui kesalahannya saja."Sanjungan mengalir dari bibir pengunjung kafe, "Ya ampun, Kak Reva itu baik sekali." Tetapi, terdengar juga bisikan yang tajam, menghujat Sandara sang pelayan kafe tersebut, "It
Sandara tertawa geli, matanya berkilau menatap Alin yang tampak terkejut. "Dua ratus lima puluh juta?" Alin tergagap, matanya membulat tak percaya mendengar jumlah uang yang fantastis itu. Sandara mengangkat bahu, membalutkan tangan di pundak sahabatnya yang masih terpaku, menariknya keluar dari tempat mereka bekerja. "Duh, nggak usah kaget gitu, ayo pulang," ucap Sandara sambil menuntun langkah mereka beriringan. Ada senyum yang menggoda di sudut bibirnya. "Gila, uang sebanyak itu buat apaan, Dar?" tanya Alin, rasa penasarannya terpancar jelas. "Bayar utang," jawab Sandara, cepat dan tegas, mata tak lepas dari depan. Alin, mengerti akan lilitan masalah yang dihadapi keluarga Sandara, memilih diam dan tak lagi mengungkit hal tersebut. Dalam diam, mereka melanjutkan langkah menuju keramaian kota yang mulai berpendar di senja.Sebelum pulang, Sandara dan Alin berhenti di sebuah toko makanan. Dengan wajah yang tidak terlalu bersemangat, Sandara memilih makanan hanya untuk dirinya sen
Bima berusaha keras menyembunyikan gugupnya di depan Sandara, sambil mengacak-acak rambutnya seolah tak peduli. "Siapa yang bilang saya makan? Hanya merapikan bekas makan kamu di atas meja!" katanya, nada suaranya meninggi seolah menyalahkan Sandara. Sandara memandang dengan mata yang membulat, seolah tidak percaya pada apa yang didengarnya. Tangan gemetar, dia berkata pada diri sendiri, "Ya ampun, masih nggak mau ngaku juga?" Napasnya terdengar berat, kecewa mengisi dadanya. Sejenak suasana hening, sebelum Bima memandang tajam, matanya menyiratkan tantangan. "Ih, aneh banget, yang beli makanan gue tapi gue juga yang kena imbasnya!" keluh Sandara dengan suara serak. Sandara mencibir, membalas dengan nada sinis. "Oh, begitu ya Om. Harusnya gue bilang makasih ya," sindirnya, mencoba menutupi rasa sakit hati. Bima hanya diam dengan wajah tanpa ekspresi sudah mirpi seperti bongkahan es di kutub utara. Sandara tercengang melihat sikap dinginnya. 'Apa dia benar-benar tidak punya hati?
Dengan bibir yang bergetar dan air mata yang mulai berkumpul di kelopak matanya, Sandara mencoba menahan rasa sakit yang luar biasa. Kopi panas yang disiramkan oleh Reva tadi telah meninggalkan tanda merah yang nyata di tangannya. Reva, dengan sorot mata penuh kebencian dan tanpa rasa penyesalan sedikitpun, berdiri tegak menghadapnya."Lebih baik kamu tinggalkan Bima sekarang juga," ucap Reva, suaranya rendah namun keras, dipenuhi ancaman. "Ini baru permulaan. Jika kamu masih berani melawan, jangan salahkan saya atas apa yang akan terjadi berikutnya." Sandara hendak membalas, namun sebelum ia bisa berkata apa-apa, Alin cepat-cepat menariknya pergi, takut akan lebih banyak lagi kejadian buruk yang bisa menimpa sahabatnya itu.Alin berbisik cepat ke Sandara saat Pak Doni mendekat, suara khawatir terdengar di antara gemerisik kertas meja. "Gue obatin luka lo. Pak Doni ke sini." Pak Doni menghampiri dengan langkah mantap, mengangguk pelan pada Reva yang duduk tegang, wajahnya menunjukk
Sandara gelagapan sendiri saat Bima malah menatapnya dan memajukan wajahnya hingga mengikis jarak antara mereka. Jantungnya serasa ingin melompat dari tempatnya. Niat hati ingin menggoda manusia barhati es itu tapi malah ia sendiri yang meleleh.Wajah Sandara bersemu merah, cepat-cepat ia memalingkan wajahnya dengan gugup. Menarik nafas dalam lalu menggelengkan kepalanya.Bima memundurkan wajahnya dengan ekspresi datarnya dan berlalu keluar dari apartemennya meninggalkan Sandara begitu saja.''Om, kok pergi gitu aja sih!'' protes Sandara. ''Jawab dong, Om,'' tambah Sandara dengan mengerucutkan bibirnya berjalan mengikuti langkah Bima yang lebih dulu keluar dari apartemen.Hanya derap langkah kaki mereka yang terdengar, Bima sama sekali tidak membuka suaranya selama berjalan di lorong apartemen yang sepi.Sandara terus saja mengoceh hingga mereka berdua memasuki lift untuk turun ke lantai dasar.''Emangnya ada acara apa sih Om, mamanya Om nyuruh kita datang ke rumah?'' tanya Sandara pe
Sandara tersedak makanan yang ada di dalam mulutnya saat mendengar sang mama mertua menanyakan apakah sudah ada tanda-tanda akan kehadirnya cucunya di dalam rahimnya pada Bima.Cepat-cepat ia meraih segelas air putih yang di sodorkan oleh Bima padanya.Ia meneguk air itu hingga tinggal separuh. Wajahnya yang merah pun berangsur kembali normal.Ya ampun, Sandara saja baru 20 tahun, apa mereka lupa, kalau ia sama sekali tidak tahu bagimana caranya karena dulu waktu sekolah ia sering bolos saat pelajaran Biologi. Lagipula bagaimana bisa ia akan cepat hamil jika mereka berdua saja tidur dengan terpisah. Apa iya, calon anak itu bisa di transfer? Ada-ada saja."Belum Ma, kenapa harus buru-buru sih? Bima sama Sandara masih ingin menikmati waktu berdua," jawab Bima dengan entengnya. Seolah tak ada beban sama sekali.Sandara memutar bola matanya mendengar ucapan suami kontraknya itu."Waktu berdua pala lo!" batin Sandara. Sudah hampir sebulan mereka menikah tapi tak sekalipun mereka berbicara
Sandara menggigit bibirnya, ragu untuk melangkah dan membantu asisten yang sedang mengemas pakaian di dalam kamar. Bima, dengan tangan terbuka, menghalangi Sandara. "Sayang, duduk saja di sini, biarkan bibik yang menangani semuanya," ujarnya lembut, sambil menunjuk ke sofa empuk di sudut ruangan. Bu Laras menoleh, menghela nafas ringan, dan tersenyum mengerti. "Nggak apa, Dara, kamu cukup tunjukkan saja pakaian mana yang ingin kamu bawa. Biar bibik yang mempersiapkan semuanya," katanya, suaranya menyiratkan keinginan agar Sandara tidak terlalu memaksakan diri. Sandara menarik napas panjang dan kembali menempati tempatnya di samping sang mama mertua, yang sudah terlihat antusias dengan persiapan. "Ma, nanti perlengkapan buat di rumah sakit taruh di tas besar ini saja ya. Jadi kita nggak perlu repot cari-cari lagi saat waktunya tiba," saran Sandara, matanya berbinar memikirkan segala kemungkinan yang bisa terjadi. Bu Laras, mama mertuanya mengangguk, dan bibik kembali sibuk deng
Hari itu, Sandara bersiap dengan gaun pesta yang anggun tapi terhambat oleh perutnya yang membuncit karena kehamilan. Dia mendekati Bima yang tengah duduk termenung di tepi ranjang, penuh penantian. "Sayang, bisa tolong aku?" rayunya lembut, tangan mungilnya mencoba meraih resleting di bagian punggung bawah gaunnya namun sia-sia. Bima menoleh, matanya berbinar saat melihat punggung istrinya yang terbuka dari resleting yang belum tertutup. Dengan senyuman, dia bangkit dan perlahan menarik resleting itu sambil berbisik, "Kamu memikat sekali hari ini, sayang." Sementara Sandara tersenyum, merasa berbunga dengan pujian dan sentuhan penuh cinta dari Bima."Dan kamu terlihat begitu seksi." Bima berkata sambil tersenyum, segera membantu Sandara menaikkan resleting gaun yang elegan itu. Sandara merasa lega sekaligus tersipu, cintanya pada Bima semakin dalam. Dengan perlahan, Bima membantu Sandara berdiri dan membenarkan gaunnya.Mereka berdua kemudian berangkat ke tempat Alin dan Leo akan
Leo dan Alin, yang beberapa saat lalu masih terkurung dalam pelukan hangat, tiba-tiba terpisah seperti dua kutub yang terdorong oleh kekuatan magnet. Wajah mereka semakin memerah saat Bima, dengan ekspresi yang tidak terima, memberikan teguran yang tajam. "Nggak sengaja Bos," kata Leo, suaranya terdengar lembut dan berusaha menenangkan suasana. Namun, Bima hanya mencibir dengan tatapan yang skeptis. "Mana ada berpelukan tapi nggak sengaja," balasnya, nada suaranya meninggi penuh ketidakpercayaan. Sementara itu, Leo hanya bisa tersenyum kikuk, senyum yang tampak dipaksakan untuk menyembunyikan kebingungannya. Alin, di sisi lain, menunduk dalam-dalam, rasa malu menggelayuti dirinya. Hatinya berdebar, khawatir atas apa yang baru saja terjadi dan bagaimana persepsi Bima terhadap situasi tersebut. Ia bahkan tidak berani mengangkat kepala untuk menatap Bima atau Sandara, takut akan pandangan yang mungkin akan semakin menambah rasa bersalah di hatinya. Keduanya, meski tak terucap, sali
Sandara terdiam, duduk di kursi roda yang didorong oleh Bima di sepanjang jalur pemakaman yang dipenuhi oleh deretan batu nisan. Wajahnya yang pucat dan lelah semakin membuatnya terlihat rapuh. Pada tangannya yang satu, masih terpasang jarum infus yang meneteskan cairan ke dalam pembuluh darahnya, sebuah pengingat dari sakit yang dia derita tidak hanya secara fisik tetapi juga emosional.Mata Sandara memandang tanpa fokus ke arah makam ayahnya yang baru saja ditutupi tanah. Air mata terus menderas tanpa henti, menciptakan jalur basah di kedua pipinya. Alin dan Bu Laras, yang telah seperti keluarga sendiri, berdiri di sampingnya, memberikan dukungan.Bu Laras, dengan lembut, mengusap punggung Sandara, mencoba memberikan kenyamanan sebisa mungkin. "Sayang, kamu yang sabar. Ayah kamu sudah di tempat yang nyaman," katanya dengan suara yang bergetar, mencoba menahan emosi sendiri.Alin, dengan mata yang juga berkaca-kaca, merangkul bahu Sandara. "Sabar ya Dar. Lo masih punya gue," bisiknya
"Bos jangan membuat kami iri dong. Kasihanilah kami," ucap Leo dengan mendramatisi keadaan.Bima tak menghiraukan ucapan asistennya itu, ia bahkan mencium bibir Sandara sekilas. Ia begitu takut kehilangan Sandara. Dua kali sudah Reva telah mencoba membunuh wanita yang akan menjadi ibu dari anaknya itu.Bima menatap Leo dengan tatapan yang sinis. "Jangan pura-pura, Leo. Kenapa kamu nggak langsung nikahi Alin aja? Bukannya kamu naksir berat sama dia," ujarnya, dengan nada menyudutkan. Leo tergagap, pipinya memerah terbakar malu, hatinya dipelintir ketidakberdayaan saat dia berusaha menyembunyikan wajahnya dari Alin yang saat itu juga tak berani menatap mata mereka berdua. Ia malah menundukkan kepala, pipinya menyala seperti membara. Sandara, yang juga di situ, melirik Alin, tersenyum kecil melihat reaksi sahabatnya itu. "Ada apa nih? Kok kayak yang sedang dimabuk asmara?" candanya, suaranya perlahan tetapi cukup terdengar. Bima tertawa terbahak-bahak, menambahi ejekan. "Lihat tuh,
Sandara terbangun dengan tiba-tiba, matanya membulat ketakutan saat melihat sosok perawat yang berdiri di hadapannya dengan bantal di tangan. Nafasnya tercekat, tubuhnya bergetar hebat saat mendengar suara serak itu."Aku adalah malaikat yang akan mencabut nyawamu!" seru Reva dengan senyum menyeringai di balik maskernya. Sinar mata Reva memancarkan kegilaan, membuat jantung Sandara semakin berdegup kencang."Reva!" pekik Sandara dalam kepanikan. Namun, ia tak bisa berbuat banyak. Tangannya yang terinfus dan tubuhnya yang masih lemah membuatnya tak berdaya. Ia hanya bisa menggelengkan kepalanya, berharap ini hanya mimpi buruk."Tidak Reva, pergi!" teriak Sandara, suaranya bergetar, mengusir Reva yang semakin mendekat. Air mata mulai mengalir di pipinya, ketakutan menguasai setiap inci tubuhnya saat dia menyadari situasi mengerikan yang sedang dihadapinya.Di dalam kamar mandi, Alin menghentakkan tubuhnya ke pintu kamar mandi yang tertutup rapat. Keringat dingin mengucur deras di pelipi
Bima berdiri tegap, pandangannya tajam menembus jendela yang mengarah ke ruang bawah tanah. "Leo, perintahkan anak buahmu untuk mengejar Ajeng segera. Setelah meninggalkan Pak Sudiro di dermaga pasti ia kehilangan arah. Dan jangan lupa, Reva harus kita tangkap. Dia membahayakan keselamatan Sandara," katanya dengan suara yang penuh otoritas. Rasa kecewa dan amarah terhadap Reva, mantan kekasihnya yang berkhianat, jelas terlihat di wajahnya. Leo, dengan ekspresi serius, mengangguk penuh semangat. "Siap, Bos!" jawabnya sambil mengepalkan tangan, siap menjalankan tugas. Sementara itu, di ruangan bawah tanah yang pengap, Bima menatap dingin ke arah Erdo yang tergeletak lemah. "Biarkan dia membusuk di sini," ucapnya tanpa belas kasihan, lalu berlalu dengan langkah berat. Di sisi lain, di ruang VVIP rumah sakit, keheningan menyelimuti ruangan ketika Sandara terlelap, hanya terdengar suara nafasnya yang lemah. Alin, yang duduk di sofa dekat tempat tidur, terlihat bosan sambil memainkan
Setelah memastikan keadaan Sandara baik-baik saja, Bima berencana untuk meninggalkannya sebentar saja. Tapi ia takut kalau Sandara tak ada yang menjaganya."Ada apa Om?" tanya Sandara dengan mengerutkan dahinya melihat Bima yang tampak sedikit gelisah.Bima mengulas senyumnya. "Nggak apa-apa sayang. Nanti kamu mau makan apa?" tanya Bima untuk mengalihkan perhatian Sandara.Sandara terdiam sejenak. "Apa boleh gue makan daging?" tanya Sandara dengan sedikit ragu mengingat kamarin ia baru saja di operasi."Tentu saja boleh, asal nggak berlebihan," jawab Bima dengan lembut sambil mengusap kepalanya panuh kasih sayang.Tak lama pintu ruangan itu di ketuk. Alin dengan senyum lebar masuk dan menghampiri sahabatnya."Hai, Dara. Gue minta maaf karena nggak percaya sama lo kalau lo liat Erdo waktu itu," ucap Alin penuh penyesalan. Menghambur memeluk sahabatnya.Sandara tersenyum kecil. "Nggak apa-apa, gue baik-baik aja kok," jawab Sandara dengan membalas pelukan Alin."Alin, apa kamu nggak sibu
Sandara menunduk, bibir bawahnya terjepit antara giginya. Dia berada di persimpangan hati; sebentuk kebenaran mengetuk bibirnya—ia sedang mengandung. Bimbang menari di benaknya, rasa takut Bima takkan menerima ini menguar kuat. "Nggak ada Om, gue ***a bilang kangen doang," suaranya meredup, terdengar dari ujung bibir yang bergetar pelan. Bima, suaminya—meski hanya di atas kertas—menggenggam erat tangan Sandara. Raut mukanya memerah, peningkatan denyut jantungnya nyata sekali seakan ingin meluapkan kekesalan. Namun, pandangannya tertuju pada perban yang masih terlilit di lengan Sandara, sisa-sisa operasi yang belum lama. Napasnya dihela dalam-dalam, berusaha menenangkan amarahnya. Tanpa sadar oleh Sandara, saat dia pingsan sebelumnya, dokter telah memberi tahu Bima tentang kehamilannya. "Kamu yakin?" Bima mendorong sekali lagi, suaranya lebih halus, mendesak namun penuh pengertian, mencoba menggali kejujuran dari hati Sandara.Sandara menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulk