Bima melangkah cepat menyusuri lorong apartemen dengan menggendong Sandara yang sejak tadi meraung kesakitan. Wajahnya terlihat sangat pucat serta keringat dingin membanjiri dahinya. Seiring langkah lebarnya, kondisi Sandara semakin melemah. Bahkan suara semakin tak jelas terdengar. Hal itu membuatnya semakin khawatir. "Dara! Apa yang terjadi sama kamu!" seru Bima saat melihat gadis yang ada di dalam gendongannya itu tidak lagi merintih kesakitan. Sandara tidak menjawab, kedua matanya terpejam rapat. Bibirnya yang berwarna merah terlihat sangat pucat. "Dara! Jangan main-main sama saya!" serunya lagi tapi masih tetap sama saja, Sandara sama sekali tidak menjawabnya. Bima semakin panik melihat hal itu. Cepat-cepat ia masuk ke dalam lift namun ia sangat kesulitan untuk memencet tombol untuk turun. Dengan susah payah, tangan Bima terulur menekan tombol lift itu. Ia menatap wajah istri kontraknya itu sudah pucat pasi, seperti tidak ada aliran darah di dalamnya. Jantung Bima
"Tidak peduli? Maksud kamu apa?" tanya Bima tak mengerti. Wajahnya terlihat mengeras mendengar apa yang di ucapkan oleh asistennya itu. Saat Leo ingin menjawabnya, pintu ruangan tempat Sandara di periksa terbuka. Dengan langkah tertatih Sandara berjalan ke arah mereka di susul dengan seorang dokter di belakangnya.Dengan terpaksa Bima dan Leo menghentikan percakapan itu. Tatapan mereka teralihkan pada ruangan yang telah terbuka dan Sandara yang tampak masih lemah."Gue mau pulang," keluh Sandara dengan suara serak, badannya masih terasa lemah setelah suntikan yang ia terima. Dokter yang merawatnya, dengan bijaksana menggelengkan kepalanya. "Kamu belum cukup kuat, sebaiknya istirahat lebih dulu," Bima memberi saran dengan tatapan tajam dan khawatir yang terpancar dari matanya, mendukung keputusan dokter. Sang dokter tampak sabar dan tenang sambil merangkul pundak Sandara, "Asam lambungmu meningkat karena jamu itu, Sandara. Plus, kamu juga sedang datang bulan, jadi lebih baik rehat
Sandara masih terbengong, tercengang dan tak percaya dengan ucapan maaf dari suami kontraknya barusan. "Sumpah, apa gue lagi mimpi? Gue salah dengar nggak sih?" gumam Sandara dalam hati sambil menggaruk kepalanya yang tentunya tidak gatal sama sekali. Tentu saja hal itu sangat sulit di percaya baginya. Seorang Bima, CEO yang galak, dingin, dan kaku meminta maaf padanya. Benar-benar di luar nurul. "Kenapa Om Bima minta maaf sama gue?" tanya Sandara yang setelah sekian lama terdiam membisu dengan mulut menganga, untung saja tidak ada nyamuk yang masuk Sandara menatap lekat kedua mata Bima yang berdiri dengan ekspresi datar di sampingnya. Ia mencoba membaca mencari kebohongan di mata itu, namun sayang sekali ia tak pandai mengartikan arti tatapan itu. Yang ada ia malah terhipnotis dengan mata indah berwarna hitam gelap itu. "Saya minta maaf karena mama, kamu masuk rumah sakit," ucap Bima yang terlihat sangat serius. "Lain kali kalau mama memberikan minuman atau apapun yang me
Sandara membuang napasnya dengan kasar melihat siapa yang datang. Pagi-pagi sudah membuatnya darting saja. Bikin esmosi. Begitu juga dengan Reva, senyum yang tadinya menghiasi wajah cantiknya pun memudar begitu melihat wajah Sandara. "Minggir!" bentak Reva pada Sandara dengan tatapan mata tajam seolah menembus dinding apartemen yang dingin. "Eh Mbak, jadi tamu itu yang sopan," tegur Sandara dengan sinis. Ia menyandarkan dirinya di daun pintu dengan melipat kedua tangannya di depan dada. Reva terlihat sangat kesal pada Sandara, mengepalkan kedua tangannya dan berjalan masuk begitu saja menyenggol bahu gadis itu. ''Sayang, lihat dia sangat menyebalkan. Dia sudah kurang ajar sama aku,'' rajuk Reva dengan manja pada Bima. Mengerucutkan bibirnya dan duduk dengan kasar di samping pria yang tengah menghabiskan sarapannya dengan tenang. Sandara hanya memutar bola matanya malas melihat perempuan yang tidak punya malu itu. ''Ada apa pgi-pagi datang? Aku akan ke kantor,'' ujar Bim
Sandara berjalan lambat keluar dari kafe, tubuhnya terasa berat. Matanya melirik ke perut yang masih terasa nyeri, mengingatkannya pada malam yang dihabiskan di ruang gawat darurat. Tanpa sengaja, wajahnya meringis ketika mengingat pil yang tertinggal karena pagi tadi terburu-buru karena kedatangan Reva di apartemen Bima, tempat dia tinggal bersama suaminya secara kontraktual. "Lo sakit lagi, Dar?" Alin menghampirinya, suaranya penuh kekhawatiran saat menyadari pucatnya wajah Sandara. "Iya, gue lupa bawa obat kemarin," Sandara menjawab dengan suara serak, berusaha menutupi rasa sakitnya. Alin merasa khawatir melihat kondisi Sandara. Mereka berdua kemudian berjalan menuju bangku taman yang ada di depan kafe, di mana cahaya sore yang hangat sedikit banyak menghibur. Sandara duduk lesu, memegang perutnya yang terasa seperti dipelintir. Alin, dengan sigapnya, membuka bungkus roti dan memberikannya kepada Sandara. "Sini, slow-slow makan dulu," ujar Alin sambil memperhatikan Sand
Bima duduk dengan gelisah di samping Leo yang dengan tegang mengemudikan mobil mereka. Matanya terus memantau ambulans yang membawa Sandara ke rumah sakit, lampu isyaratnya berkelip tergesa-gesa. "Bagaimana dia bisa kecelakaan tepat di depan kafe tempat dia bekerja?" desahnya, penuh kekhawatiran. Meskipun hubungan mereka hanya terikat kontrak, Bima tidak bisa menahan rasa tanggung jawab yang mendalam terhadap Sandara. Mobil melaju cepat, namun setiap detik terasa begitu lambat bagi Bima. Ketika ambulans tersebut akhirnya berhenti di depan pintu IGD, perawat dan dokter bergegas menurunkan tandu. Di sana, Alin, yang wajahnya pucat pasi, menangis histeris melihat kondisi Sandara. Rasa cemas memenuhi udara, menciptakan tekanan yang hampir terasa fisik di dada Bima. Mobil berhenti tepat di belakangnya. Bima dan Leo segera berlari keluar dari mobil, menyusul petugas yang membawa Sandara di atas tandu. Langkah mereka cepat dan tergesa-gesa. Bima memandang wajah pucat Sandara, tubuhnya y
Alin memainkan jemari tangannya dengan gugup saat Bima menantinya untuk berbicara tentang Sandara. Mata Alin bergantian memandang Bima dan lantai, raut wajahnya mengungkapkan keraguan yang mendalam. "Saya tahu semuanya tentang Dara dan keluarganya, Pak," katanya dengan suara yang hampir tak terdengar, mencoba menunjukkan kepercayaan pada Bima. Sebelum dia sempat melanjutkan, pintu ruangan tempat Sandara diperiksa terbuka dengan tiba-tiba. Seorang dokter melangkah keluar, dan Bima segera berdiri dengan ekspresi penuh harap. Alin ikut berdiri, hatinya berdebar menunggu kabar. "Bagaimana keadaan Sandara?" tanya Bima dengan cepat. Dengan senyum menenangkan, dokter menjelaskan, "Nona Sandara mengalami cidera di kaki dan tangannya. Untuk sementara, ia harus menggunakan kursi roda dan tangannya belum dapat digunakan untuk aktivitas." Setiap kata dokter seakan membawa sedikit keringanan pada ketegangan yang tercipta. "Apa saya boleh menemuinya?" tanyanya, suaranya tercekat. Dokter p
Sandara menahan nafasnya begitu Bima sedang mencepol rambutnya. Tentu saja hal itu membuat jantungnya berdebar tak karuan."Apa-apaan nih, rambut gue yang di ikat kenapa hati gue jadi jedag jedug nggak karuan," gumam Sandara dalam hati merasa resah dan gelisah.Sandara baru bisa bernafas lega setelah Bima selesai mencepol rambutnya yang berantakan. Meski tidak sempurna seperti saat ia mengikat rambutnya tapi paling tidak suami kontraknya itu mau membantunya. Bisa di bilang ini adalah keajaiban.Bima kembali duduk di tempatnya dan kembali menyuapi Sandara dengan buburnya. "Udah Om, gue udah kenyang," ucap Sandara dan Bima meletakkan mangkok itu di atas meja. Terdengar ketukan pintu ruangan itu dari luar. Bima menoleh dan Leo melangkah masuk dengan membawa sesuatu di tangannya."Pakaian ganti anda Pak dan juga sarapan," ucap Leo yang meletakkan dua paper bag di atas meja. Bima mengangguk dan mengambil satu paper bag berisi baju gantinya. Memasuki kamar mandi meninggalkan Sandara dan