Bima duduk dengan gelisah di samping Leo yang dengan tegang mengemudikan mobil mereka. Matanya terus memantau ambulans yang membawa Sandara ke rumah sakit, lampu isyaratnya berkelip tergesa-gesa. "Bagaimana dia bisa kecelakaan tepat di depan kafe tempat dia bekerja?" desahnya, penuh kekhawatiran. Meskipun hubungan mereka hanya terikat kontrak, Bima tidak bisa menahan rasa tanggung jawab yang mendalam terhadap Sandara. Mobil melaju cepat, namun setiap detik terasa begitu lambat bagi Bima. Ketika ambulans tersebut akhirnya berhenti di depan pintu IGD, perawat dan dokter bergegas menurunkan tandu. Di sana, Alin, yang wajahnya pucat pasi, menangis histeris melihat kondisi Sandara. Rasa cemas memenuhi udara, menciptakan tekanan yang hampir terasa fisik di dada Bima. Mobil berhenti tepat di belakangnya. Bima dan Leo segera berlari keluar dari mobil, menyusul petugas yang membawa Sandara di atas tandu. Langkah mereka cepat dan tergesa-gesa. Bima memandang wajah pucat Sandara, tubuhnya y
Alin memainkan jemari tangannya dengan gugup saat Bima menantinya untuk berbicara tentang Sandara. Mata Alin bergantian memandang Bima dan lantai, raut wajahnya mengungkapkan keraguan yang mendalam. "Saya tahu semuanya tentang Dara dan keluarganya, Pak," katanya dengan suara yang hampir tak terdengar, mencoba menunjukkan kepercayaan pada Bima. Sebelum dia sempat melanjutkan, pintu ruangan tempat Sandara diperiksa terbuka dengan tiba-tiba. Seorang dokter melangkah keluar, dan Bima segera berdiri dengan ekspresi penuh harap. Alin ikut berdiri, hatinya berdebar menunggu kabar. "Bagaimana keadaan Sandara?" tanya Bima dengan cepat. Dengan senyum menenangkan, dokter menjelaskan, "Nona Sandara mengalami cidera di kaki dan tangannya. Untuk sementara, ia harus menggunakan kursi roda dan tangannya belum dapat digunakan untuk aktivitas." Setiap kata dokter seakan membawa sedikit keringanan pada ketegangan yang tercipta. "Apa saya boleh menemuinya?" tanyanya, suaranya tercekat. Dokter p
Sandara menahan nafasnya begitu Bima sedang mencepol rambutnya. Tentu saja hal itu membuat jantungnya berdebar tak karuan."Apa-apaan nih, rambut gue yang di ikat kenapa hati gue jadi jedag jedug nggak karuan," gumam Sandara dalam hati merasa resah dan gelisah.Sandara baru bisa bernafas lega setelah Bima selesai mencepol rambutnya yang berantakan. Meski tidak sempurna seperti saat ia mengikat rambutnya tapi paling tidak suami kontraknya itu mau membantunya. Bisa di bilang ini adalah keajaiban.Bima kembali duduk di tempatnya dan kembali menyuapi Sandara dengan buburnya. "Udah Om, gue udah kenyang," ucap Sandara dan Bima meletakkan mangkok itu di atas meja. Terdengar ketukan pintu ruangan itu dari luar. Bima menoleh dan Leo melangkah masuk dengan membawa sesuatu di tangannya."Pakaian ganti anda Pak dan juga sarapan," ucap Leo yang meletakkan dua paper bag di atas meja. Bima mengangguk dan mengambil satu paper bag berisi baju gantinya. Memasuki kamar mandi meninggalkan Sandara dan
Bu Laras menatap kesal pada putranya, suaranya memecah keheningan ruangan itu, "Kemana saja kamu, Bima? Istri sakit, tapi kamu malah meninggalkannya sendiri.Kamu lebih mementingkan pekerjaan!" Ucapnya, amarah bersemburat di wajahnya. Bima diam dengan wajah tanpa ekspresinya. Dia hanya mampu duduk di sofa, tanpa menjawab sepatah katapun. Ibunya itu menghela nafas kasar, rasa kesal terhadap sikap dingin putranya begitu nyata. Dari hospital bed-nya, suara lembut Sandara terdengar, "Om Bima nggak salah, Ma. Tadi aku hanya terharu melihat ketulusan mama. Aku bersyukur memiliki mama seperti dirimu." Sandara, dengan mata berkaca-kaca, menatap Bu Laras dengan penuh rasa terima kasih. Dara, yang tumbuh tanpa belaian kasih seorang ibu, menemukan hiburan dalam kelembutan dan ketulusan Bu Laras. Kehadirannya di dalam kehidupannya benar-benar memberi warna pada dunia yang sempat kelam.Setelah kedatangan Bima, Bu Laras memutuskan untuk segera pulang. Maksud hati memberikan ruang pada Bima dan S
''Isinya nggak aneh-aneh kan Om?'' Sandara tampak ragu untuk membukanya. Tapi ia juga penasaran. Ia membuka sedikit untuk mengintip apa isi di dalamnya. Bima menggelengkan kepalanya melihat tingkah Sandara. ''Buka saja, nggak akan meledak juga.'' Sandara meletakkan kembali hadiah pemberian dari Bima. Ia menatap lekat wajah suami kontraknya itu. Jelas saja ia ragu untuk membukanya. Tiba-tiba saja pria itu memberikannya hadiah. Maksudnya apa? ''Jangan-jangan Om Bima mau bunuh Dara biar cepat jadi duda?'' Sandara menyipitkan kedua matanya. Sontak saja Bima menoyor kepala Sandara dengan ujung jari telunjuknya. ''Sembarangan! Saya nggak sekejam yang kamu bayangkan. Kalau saya ingin kamu mati, sudah dari kemarin waktu kecelakaan itu saya biarkan kamu.'' Sandara menyengir kuda. ''Gue kan cuma asal nebak.'' Sandara mulai membukanya. Kedua bola matanya membulat. ''Wow,'' ia menoleh ke arah Bima yang masih duduk di samping ranjangnya. Bima memindahkan paper bag yang telah koso
"Aku tidak mungkin menceraikan Dara sekarang Reva! Mengertilah sedikit saja!" Bima mengeraskan rahangnya. "Andai saja kamu mau meninggalkan kariermu sebagai model, mungkin saat ini kita sudah menikah!" Suara Bima meninggi. Sandara yang mendengar hanya bisa tertegun duduk menyandarkan tubuhnya di dinding kamarnya. "Jadi kamu menyalahkan aku! Mamamu tidak setuju karena aku model dewasa begitu!" teriak Reva dengan berapi-api. Sandara baru mengetahui ternyata Bu Laras tidak menyetujui hubungan Bima dan Reva karena masalah karier Reva sebagai model dewasa. "Jadi mama sudah tahu hubungan mereka?" gumam Sandara dengan membekap mulutnya dengan sebelah tangannya. "Gue harus gimana?" tanya Sandara yang bingung. Ia menggigit bibir bawahnya. Setelah pertengkaran terjadi, tak terdengar suara apa-apa. Semua hening. Sandara keluar dari kamarnya. Dengan terpincang ia melangkah menuju ke dapur untuk mengambil minum. "Maaf Om. Karena gue, Om jadi nikah sama gue bukan sama Reva," ucap Sandar
"Dara! Kamu di mana? Jangan main-main sama saya!" Bima mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamar, tapi Sandara tak ada di dalamnya. Bima melangkah cepat ke kamar mandi, mengetuknya dan tak membukanya, Sandara juga tak ada di dalamnya. Bima melihat tempat tidur Sandara, bersih dan rapi yang artinya Dara tidak tidur di atasnya. Ia meraih ponsel yang tergeletak begitu saja di atas meja dan keluar dari kamar itu. "Kirim alamat temannya Dara sekarang!" seru Bima saat Leo mengangkat teleponnya. Belum sempat Leo bertanya ataupun menjawab sambungan telepon pun terputus. Begitu mendapatkan alamat Alin, Bima pun meluncur ke rumah gadis itu. Sebuah mobil mewah berhenti di depan rumah sederhana yang tampak nyaman untuk di tempati. Dengan langkah lebar Bima turun dari mobilnya. "Dara di dalam Pak," lirih Alin dengan menunduk. Ia sama sekali tidak berani menatap Bima yang tampak dingin. Sebenarnya Bima sangat tampan, tapi sayangnya ia terlihat dingin dan tak tersentuh.
Sandara semakin panik saat Bima memeluknya dengan erat dan tiba-tiba saja, suami kontraknya itu mencium bibirnya dengan sedikit kasar. Napas Sandara tercekat, matanya membelalak dalam kebingungan dan ketakutan. Bima melumat habis bibir Sandara dan mengabsen semua yang ada di dalamnya dengan rakus.Sandara berusaha melepaskannya, tangannya yang lemah memukul-mukul dada Bima yang bidang. Kekuatan Sandara tak sebanding, namun ia terus berusaha karena kehabisan napas.Bima pun melepaskannya untuk sesaat, menatapnya dengan nafas yang terengah-engah. Matanya yang meredup seakan menunjukkan rasa puas, namun saat ia ingin kembali mencium bibir Sandara lagi, gadis itu memekik kesakitan. "Aw, Om. Sakit!" Sandara meringis kesakitan saat tangannya mendorong Bima dengan lebih keras. Sontak, Bima terdorong mundur, ekspresi wajahnya berubah menjadi bingung dan terkejut atas reaksi Sandara.Sandara menatap Bima dengan rasa sakit yang memancar dari matanya yang berkaca-kaca, mencoba menahan rasa nyeri