"Dara! Kamu di mana? Jangan main-main sama saya!" Bima mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamar, tapi Sandara tak ada di dalamnya. Bima melangkah cepat ke kamar mandi, mengetuknya dan tak membukanya, Sandara juga tak ada di dalamnya. Bima melihat tempat tidur Sandara, bersih dan rapi yang artinya Dara tidak tidur di atasnya. Ia meraih ponsel yang tergeletak begitu saja di atas meja dan keluar dari kamar itu. "Kirim alamat temannya Dara sekarang!" seru Bima saat Leo mengangkat teleponnya. Belum sempat Leo bertanya ataupun menjawab sambungan telepon pun terputus. Begitu mendapatkan alamat Alin, Bima pun meluncur ke rumah gadis itu. Sebuah mobil mewah berhenti di depan rumah sederhana yang tampak nyaman untuk di tempati. Dengan langkah lebar Bima turun dari mobilnya. "Dara di dalam Pak," lirih Alin dengan menunduk. Ia sama sekali tidak berani menatap Bima yang tampak dingin. Sebenarnya Bima sangat tampan, tapi sayangnya ia terlihat dingin dan tak tersentuh.
Sandara semakin panik saat Bima memeluknya dengan erat dan tiba-tiba saja, suami kontraknya itu mencium bibirnya dengan sedikit kasar. Napas Sandara tercekat, matanya membelalak dalam kebingungan dan ketakutan. Bima melumat habis bibir Sandara dan mengabsen semua yang ada di dalamnya dengan rakus.Sandara berusaha melepaskannya, tangannya yang lemah memukul-mukul dada Bima yang bidang. Kekuatan Sandara tak sebanding, namun ia terus berusaha karena kehabisan napas.Bima pun melepaskannya untuk sesaat, menatapnya dengan nafas yang terengah-engah. Matanya yang meredup seakan menunjukkan rasa puas, namun saat ia ingin kembali mencium bibir Sandara lagi, gadis itu memekik kesakitan. "Aw, Om. Sakit!" Sandara meringis kesakitan saat tangannya mendorong Bima dengan lebih keras. Sontak, Bima terdorong mundur, ekspresi wajahnya berubah menjadi bingung dan terkejut atas reaksi Sandara.Sandara menatap Bima dengan rasa sakit yang memancar dari matanya yang berkaca-kaca, mencoba menahan rasa nyeri
"Pijat kepala saya, saya pusing Dara," ucap Bima yang membuat Sandara mendengus kesal. "Huh! pijit kipili siyi, siyi pising Diri." Bima mendongakkan kepalanya menatap tajam Sandara. Sandara hanya menyengir kuda lalu memijat kepala Bima dengan lembut. Semakin lama pijatan Sandara semakin keras. Mulutnya komat kamit seperti dukun yang sedang membaca mantra. "Sialan! Lo kira gue tukang pijat apa. Tadi aja nyosor gue sekarang lo nyuruh gue pijat memijat!" gerutu Sandara dalam hati. "Argh! Kamu mau membunuh saya!" seru Bima kesal. Kedua matanya mendelik menatap ke arah Sandara. "Hehe..sorry Om," ucap Sandara sambil cengengesan. Ia kembali memijat kepala Bima sambil misuh-misuh. Setelah beberapa saat, karena kelelahan Sandara pun tertidur dengan posisi duduk dan kepala Bima masih berada di pangkuannya. Bima mendongakkan kepalanya karena tangan Sandara menimpa wajahnya. Ia menggelengkan kepala melihat Sandara yang tertidur dengan mangap. Sandara membuka matanya, ia terkej
Bima berdiri tegak saat tiba-tiba terasa beban berat melompat ke punggungnya. Dia terhuyung-huyung, nyaris kehilangan keseimbangan. "Astaga, Dara!" teriaknya saat dia dengan cepat menggapai Sandara yang hampir terjatuh. Di tengah kekacauan itu, kaki dan tangan mereka saling bertautan, tubuh mereka saling menindih layaknya adegan romantis di layar televisi. Sandara yang panik buru-buru menutup matanya, tidak percaya akan terjerumus dalam situasi tak terduga seperti ini. Ketika akhirnya semuanya reda, Sandara menemukan dirinya berhadapan langsung dengan wajah Bima yang hanya beberapa inci dari miliknya. Napasnya tertahan, matanya membelalak menatap wajah yang selama ini hanya diimpikan. Dalam hening yang mencekam, keduanya saling terpaku, tanpa sadar memuji keindahan satu sama lain dalam diam. Masing-masing tenggelam dalam pujian akan keelokan yang mereka pandang."Kamu tidak apa-apa? Lain kali jangan ceroboh!" ujar Bima yang tersadar dari posisi mereka. Ia segera membantu Sandara u
Sandara melangkah pelan keluar dari kafe di ikuti Alin di belakangnya. Mereka berdua akan pulang setelah pergantian shift. "Gimana Dar, lo yakinkan kalau lo bisa dapetin hatinya Om Bima?" tanya Alin dengan menatap Sandara serius. "Dia itu cowok idaman tau? Ganteng, tajir pula," imbuhnya sambil menerawang membayangkan wajah tampan Bima.Sandara terdiam sejenak. "Gue sebenarnya nggak yakin, tapi ingat mamanya yang tulus sayang sama gue, gue jadi mikir kalau bisa milik mereka."Alin merangkul pundak sahabatnya. "Lo harus berjuang buat dapatkan itu semua. gue tau itu nggak mudah tapi lo udah punya modal. Mamanya Om Bima sayang sama lo," ucap Alin meyakinkan Sandara."Tapi Lin," ucap Sandara ragu."Udah nggak usah tapi-tapian. Gue yakin lama-lama Om Bima jatuh cinta sama lo," ujar Alin dengan menepuk-nepuk pundak Sandara. Memberi dukungan padanya untuk berjuang mendapatkan hati Bima.Sandara mengangguk pelan. "Gue akan coba."Setelah itu mereka pun berpisah dengan taksi yang mereka tumpa
Sandara membuka matanya, kedipan yang berat mengiringi rasa kantuk yang masih tersisa. Ia tersadar bahwa semalam ponselnya tertinggal di meja dapur.Mau tak mau, pikirannya melayang pada sosok Bima dan Reva yang kemarin terlihat begitu dekat. Ia menghela napas, rasa cemburu membara di dada."Pasti banyak pesan dari Alin," gumam Sandara dengan suara serak saat beranjak menuju kamar mandi.Sambil mengusap-usap mata, Sandara mengambil ponselnya yang tergeletak di samping meja dapur. Dia ingin tersenyum melihat pesan dari Bima, tapi hatinya bertanya-tanya, takut semua hanya harapan kosong belaka."Apa maksudnya ini?" tanyanya bingung membaca pesan dari Bima yang ternyata telah makan makanan yang ia siapkan semalam.Ia meletakkan ponselnya penuh dengan kekesalan mengingat kejadian semalam. Jantungnya terasa diremas ketika membaca, "Mau di makan apa nggak terserah. Bodo amat!" Kesal bercampur dengan kecewa menyeruak, menyesakkan dada.Hubungannya dengan Bima, suami kontraknya itu, sepertiny
Seperti biasa Sandara dan Alin duduk di taman yang ada di dekat kafe tempat mereka bekerja setelah jam kerja mereka berakhir. "Lo semalam kenapa sih, tiba-tiba aja ngilang. Baru aja gue mau nanya gimana hasil masakan lo. Lo nggak balas pesan gue!" Alin terlihat kesal mengingat semalam Sandara tidak membalas pesannya setelah selesai masak makan malam. Wajah Sandara berubah masam. "Lo tau nggak?" "Nggak, gue nggak tau!" potong Alin cepat sebelum Sandara meneruskan ucapannya. "Gue belum tanya ogeb!" kesal Sandara sambil bibirnya yang maju lima senti. Alin tertawa terbahak melihat sahabatnya yang menekuk wajahnya dalam. "Iya, iya sorry. Apa?" Alin menopang dagunya menatap Sandara dengan rasa penasaran yang tinggi. Sandara menghirup napasnya dalam-dalam. "Semalam setelah gue masak, Om Bima pulang sama Reva. Mereka keliatan mesra banget.," ungkap Sandara dengan sendu. "Gue udah nggak punya harapan lagi sama Om Bima. Om Bima itu nggak mungkin ngelirik gue. Gue harus sadar di
Sandara memandang Bima dengan tatapan datar, seolah-olah kehadirannya tidak lebih dari bayang-bayang semu. Bima, yang baru saja keluar dari kamarnya dengan rambut masih basah, mencoba menghadirkan suasana ceria. Dia duduk di samping Sandara dan tanpa berkata apa-apa, ia mengambilkan piring berisi sarapan dan menaruhnya di depan Sandara."Wajah kamu tambah jelek kalau marah!" canda Bima, mencoba memecah kebekuan. Raut wajah Sandara yang semula datar berubah menjadi kerut seribu, kedua alisnya bertemu di tengah."Biarin! Om Bima nggak usah liat Dara!" balas Sandara dengan nada kesal, bibirnya mengerucut, menunjukkan rasa tidak puas yang mendalam. Bima hanya tersenyum samar, tidak terpengaruh oleh ketusnya Sandara."Saya saja yang tampan nggak marah," sahut Bima lagi, sambil menyisir rambutnya yang masih lembap dengan jari-jarinya, sikapnya percaya diri memancar."Percaya diri sekali anda! Narsis!" Sandara semakin kesal, suaranya meninggi sedikit, namun di sudut hatinya, ia tahu bahwa ap