"Siapa bilang kalau dia cowok gue? Dia bukan.." "Selera kamu benar-benar hancur!" cibir Bima dengan nada mengejek. Memotong kata-kata Sandara. Sontak saja Sandara membulatkan kedua matanya dan bibirnya mengerucut. Merasa tak terima dengan perkataan Bima yang menuduhnya pacaran dengan Erdo. "Dia itu bukan cowok gue! Dia itu kakak tiri gue!" sahut Sandara cepat dengan kesal. Dada Sandara bergemuruh, ingin sekali memukul kepala Bima karena di otaknya itu penuh dengan prasangka buruk mengenai dirinya. Tapi sayang, dia sudah menolongnya. "Kalau udah nggak ada yang di bicarain lagi gue keluar. Gue mau kerja. Habis duit gue gara-gara cowok brengsek itu!" Sandara keluar dari dalam mobil dengan misuh-misuh. Harusnya suami kontraknya itu tanya baik-baik bukannya menuduh dengan tuduhan yang tak mendasar. Sandara menghentak-hentakkan kakinya berjalan meninggalkan mobil Bima yang masih terparkir di sana. Bima yang melihat kekesalan Sandara tersenyum samar. Gadis itu sangat mengge
Sandara masih duduk termangu di depan kafe, melirik jendela yang dipukul oleh hujan deras. Di antara gelegar suara gemuruh, dia mendengar detik jam yang berbunyi menyatakan jam kerjanya telah usai, namun hujan memaksanya untuk bertahan lebih lama di sana. Baru saja Alin meninggalkan tempat tersebut sepuluh menit lalu ketika Vino muncul, duduk disampingnya. "Lo belum pulang Dar?" tanyanya dengan nada ringan. "Lo nggak lihat itu hujan," Sandara menjawab dingin, tanpa menoleh pada Vino, manajer kafe tempatnya bekerja. Mendengar itu, Vino hanya tertawa kecil. "Lo masih sama kayak dulu ya, suka jutek." Sandara tersenyum pahit, memori lama kembali menari di pikirannya. "Gue emang nggak berubah dari dulu. Lo aja yang udah pergi ninggalin gue tanpa kepastian," jawabnya. Meski kata-katanya terdengar gurau, ada getir yang tersembunyi. Mereka dulu dekat sekali, sekarang seolah jarak antara mereka semakin melebar bagai jari kaki dan tangan.Sandara melirik ke arah Vino dengan tatapan da
Sandara terpental ke dinding yang dingin, napasnya tercekat ketika Bima menekannya dengan keras. "Apa yang sudah kamu lakukan, Dara!" raung Bima, suaranya menggelegar menyeruak kesunyian. Sandara gemetar, matanya berkaca-kaca. "Dara nggak ngelakuin apa-apa, Om," suaranya serak, sambil meronta mencoba melepaskan diri. Bima, dengan tatapan yang menerawang kekecewaan, menarik Sandara lebih dekat lagi. "Apa ini yang kamu mau!" desisnya sebelum bibirnya yang kasar merebut ciuman dari bibir merah Sandara. Dengan kekuatan yang tersisa, Sandara mendorong Bima, berusaha menolak dan menjauh. Namun upaya itu sia-sia, Bima tak bergeming, semakin mendekapnya dengan erat."Lepasin gue!" Sandara mendorong tubuh Bima namun pria itu terlalu kuat untuk Sandara. Dengan mata yang terbakar emosi, Bima menatap Sandara dengan tatapan yang membuat gadis itu merasa gentar. Sandara berusaha keras untuk menenangkan detak jantungnya yang berdebar kencang, menahan rasa takut yang mengalir dalam darahnya."Dia
Sandara menatap Bima dengan mata berkaca-kaca, penuh amarah. Bima hanya diam, selimut menutupi bagian tubuhnya yang terbuka. "Gue benci lo, Om Bima!" seru Sandara dengan suara parau, tangannya gemetar saat ia berusaha mengambil baju yang berserakan di lantai. Air mata jatuh membasahi pipinya, meninggalkan jejak keperihan yang mendalam. "Sssttt," bisiknya, mencoba menahan rasa sakit yang melanda. Ketika Bima berusaha mendekat, Sandara menepis tangannya dengan keras. "Om Bima jahat!" pekiknya seraya terisak, sebelum akhirnya ia berjalan terhuyung keluar dari kamar, meninggalkan Bima dalam keheningan yang mencekam. Bima berdiri di depan cermin, memandang refleksi dirinya yang penuh kebencian dan penyesalan. Keringat dingin mengucur deras di dahinya, tangan kanannya masih gemetar ketika dia mengingat apa yang baru saja terjadi. Cemburu yang membara telah mendorongnya melakukan sesuatu yang tak termaafkan. "Aku seharusnya tidak melakukan itu," gumamnya dengan suara serak, seraya mem
Sandara mengusap air matanya yang mengalir membasahi wajahnya. Sesekali sopir taksi mencuri pandang ke arahnya melalui spion yang ada di atasnya. "Kenapa Mbak? Putus cinta ya Mbak? Nggak usah di pikirin Mbak, masih banyak cowok yang lainnya," ujar sopir taksi yang sok tahu. Pria itu meraih tisu dan memberikannya pada Sandara. "Makasih Pak," ucap Sandara menerima tisu itu dan mengelap air matanya. Beberapa saat kemudian, taksi pun berhenti di kawasan apartemen yang di tempati Bima dan Sandara. Sandara turun setelah membayar ongkos dan kembali mengucapkan terima kasih pada sopir itu yang mau memberikan tisu padanya. Bertepatan dengan itu mobil Bima berhenti di lobi apartemen. Sandara menghentikan langkahnya dan berdiri mematung saat Bima dan Reva keluar dari dalam mobil masing-masing. "Pokoknya aku nggak mau tau kamu harus cepat ceraikan Dara!" ucap Reva dengan membanting pintu mobil. Sandara dapat mendengarnya dengan jelas kalau Reva menuntut Bima untu segera mencerai
Sandara terbangun dari tidurnya, merasakan sebuah sensasi yang begitu familiar dan menghangatkan. Dengan mata masih terpejam, ia menarik napas dalam-dalam, menghirup aroma maskulin yang sudah sangat ia kenal. Aroma itu membawa seribu kenangan, yang langsung membangkitkan serangkaian emosi di hatinya.Perlahan, ia membuka matanya, masih sedikit buram oleh sisa kantuk yang melekat. Di depannya, terpampang wajah Bima, pria yang pernah sangat dekat di hatinya. Wajah itu tersenyum manis, seolah-olah tidak ada ruang atau waktu yang pernah memisahkan mereka. Namun, senyum itu cepat berubah menjadi ekspresi kejutan saat Sandara tampak terkejut.Sandara menggumam tak percaya, "Gue mimpi atau apa?" suaranya bergetar, seraya menelan ludah dengan susah payah. Bima, dengan gerak cepat dan pasti, menarik Sandara ke dalam pelukannya yang hangat dan kuat. Pada momen itu, semua keraguan dan keheranan yang mungkin ada, seakan luluh oleh kehangatan dan keakraban yang mereka bagikan.Dalam pelukan itu, S
Pletak! Sebuah pulpen mendarat tepat di kepala Leo. "Keluar sana, ganggu saja!" usir Bima dengan mendengus kesal. Wajah yang tadinya tampak sumringah kini berganti dengan tatapan dingin dan datar. "Aduh, Bos. Kok saya di usir sih Bos. Saya mau menyerahkan laporan ini Bos," ucap Leo sambil mengusap kepalanya. "Letakkan saja di meja, dan kamu cepat kembali ke ruangan kamu!" perintahnya. "Baik Bos," jawab Leo dengan patuh. Pria berbadan tinggi besar itu dengan hormat dan patuh keluar dari ruangan itu. Setelah pintu ruangannya tertutup Bima kembali menatap ponselnya. Ia menggelengkan kepalanya melihat foto Sandara yang tengah mangap. "Astaga Dara! Bisa-bisanya kamu lucu seperti ini," gumam Bima dengan seringai tipis. Di sisi lainnya, Sandara tampak semangat melayani pengunjung kafe. Alin yang melihat sahabatnya itu pun mengerutkan dahinya. "Dara, kemarin aja lo keliatan sedih gitu. Tapi sekarang kok lo ceria banget. Jangan-jangan kemarin lo kesambet?" "Kesambet pala lo, gue seh
"Dasar perempuan jalang!" teriak Reva sambil mengayunkan tangannya keras, menampar pipi Sandara. Wajahnya memerah, matanya memancarkan api kebencian. Reva benar-benar kecewa dengan Bima karena telah lebih memilih Sandara, istri kontraknya, daripada dirinya yang telah lama berada di sisinya. Dia sudah menduga bahwa Bima akan datang ke kafe tempat Sandara bekerja, jadi dia diam-diam mengikutinya dan memendam niat untuk menghajar Sandara sejak awal. Reva melihat Bima duduk di sudut kafe, matanya tidak lepas dari Sandara yang sibuk melayani pelanggan. Itu saja sudah cukup membuat darahnya mendidih. "Reva! Apa-apan sih kamu!" seru Bima, bergegas mendekati Sandara yang terpaku sambil memegangi pipi yang telah ditampar. Raut wajah Bima berubah menjadi kombinasi kekhawatiran dan kemarahan saat ia menatap Reva. Sandara, dengan mata berkaca-kaca, menunduk seraya merasakan panas dan perih di pipi yang ditampar. Sementara itu, Reva, dengan napas yang masih tersengal-sengal, menatap mereka be