Sandara melangkah pelan keluar dari kafe di ikuti Alin di belakangnya. Mereka berdua akan pulang setelah pergantian shift. "Gimana Dar, lo yakinkan kalau lo bisa dapetin hatinya Om Bima?" tanya Alin dengan menatap Sandara serius. "Dia itu cowok idaman tau? Ganteng, tajir pula," imbuhnya sambil menerawang membayangkan wajah tampan Bima.Sandara terdiam sejenak. "Gue sebenarnya nggak yakin, tapi ingat mamanya yang tulus sayang sama gue, gue jadi mikir kalau bisa milik mereka."Alin merangkul pundak sahabatnya. "Lo harus berjuang buat dapatkan itu semua. gue tau itu nggak mudah tapi lo udah punya modal. Mamanya Om Bima sayang sama lo," ucap Alin meyakinkan Sandara."Tapi Lin," ucap Sandara ragu."Udah nggak usah tapi-tapian. Gue yakin lama-lama Om Bima jatuh cinta sama lo," ujar Alin dengan menepuk-nepuk pundak Sandara. Memberi dukungan padanya untuk berjuang mendapatkan hati Bima.Sandara mengangguk pelan. "Gue akan coba."Setelah itu mereka pun berpisah dengan taksi yang mereka tumpa
Sandara membuka matanya, kedipan yang berat mengiringi rasa kantuk yang masih tersisa. Ia tersadar bahwa semalam ponselnya tertinggal di meja dapur.Mau tak mau, pikirannya melayang pada sosok Bima dan Reva yang kemarin terlihat begitu dekat. Ia menghela napas, rasa cemburu membara di dada."Pasti banyak pesan dari Alin," gumam Sandara dengan suara serak saat beranjak menuju kamar mandi.Sambil mengusap-usap mata, Sandara mengambil ponselnya yang tergeletak di samping meja dapur. Dia ingin tersenyum melihat pesan dari Bima, tapi hatinya bertanya-tanya, takut semua hanya harapan kosong belaka."Apa maksudnya ini?" tanyanya bingung membaca pesan dari Bima yang ternyata telah makan makanan yang ia siapkan semalam.Ia meletakkan ponselnya penuh dengan kekesalan mengingat kejadian semalam. Jantungnya terasa diremas ketika membaca, "Mau di makan apa nggak terserah. Bodo amat!" Kesal bercampur dengan kecewa menyeruak, menyesakkan dada.Hubungannya dengan Bima, suami kontraknya itu, sepertiny
Seperti biasa Sandara dan Alin duduk di taman yang ada di dekat kafe tempat mereka bekerja setelah jam kerja mereka berakhir. "Lo semalam kenapa sih, tiba-tiba aja ngilang. Baru aja gue mau nanya gimana hasil masakan lo. Lo nggak balas pesan gue!" Alin terlihat kesal mengingat semalam Sandara tidak membalas pesannya setelah selesai masak makan malam. Wajah Sandara berubah masam. "Lo tau nggak?" "Nggak, gue nggak tau!" potong Alin cepat sebelum Sandara meneruskan ucapannya. "Gue belum tanya ogeb!" kesal Sandara sambil bibirnya yang maju lima senti. Alin tertawa terbahak melihat sahabatnya yang menekuk wajahnya dalam. "Iya, iya sorry. Apa?" Alin menopang dagunya menatap Sandara dengan rasa penasaran yang tinggi. Sandara menghirup napasnya dalam-dalam. "Semalam setelah gue masak, Om Bima pulang sama Reva. Mereka keliatan mesra banget.," ungkap Sandara dengan sendu. "Gue udah nggak punya harapan lagi sama Om Bima. Om Bima itu nggak mungkin ngelirik gue. Gue harus sadar di
Sandara memandang Bima dengan tatapan datar, seolah-olah kehadirannya tidak lebih dari bayang-bayang semu. Bima, yang baru saja keluar dari kamarnya dengan rambut masih basah, mencoba menghadirkan suasana ceria. Dia duduk di samping Sandara dan tanpa berkata apa-apa, ia mengambilkan piring berisi sarapan dan menaruhnya di depan Sandara."Wajah kamu tambah jelek kalau marah!" canda Bima, mencoba memecah kebekuan. Raut wajah Sandara yang semula datar berubah menjadi kerut seribu, kedua alisnya bertemu di tengah."Biarin! Om Bima nggak usah liat Dara!" balas Sandara dengan nada kesal, bibirnya mengerucut, menunjukkan rasa tidak puas yang mendalam. Bima hanya tersenyum samar, tidak terpengaruh oleh ketusnya Sandara."Saya saja yang tampan nggak marah," sahut Bima lagi, sambil menyisir rambutnya yang masih lembap dengan jari-jarinya, sikapnya percaya diri memancar."Percaya diri sekali anda! Narsis!" Sandara semakin kesal, suaranya meninggi sedikit, namun di sudut hatinya, ia tahu bahwa ap
"Siapa bilang kalau dia cowok gue? Dia bukan.." "Selera kamu benar-benar hancur!" cibir Bima dengan nada mengejek. Memotong kata-kata Sandara. Sontak saja Sandara membulatkan kedua matanya dan bibirnya mengerucut. Merasa tak terima dengan perkataan Bima yang menuduhnya pacaran dengan Erdo. "Dia itu bukan cowok gue! Dia itu kakak tiri gue!" sahut Sandara cepat dengan kesal. Dada Sandara bergemuruh, ingin sekali memukul kepala Bima karena di otaknya itu penuh dengan prasangka buruk mengenai dirinya. Tapi sayang, dia sudah menolongnya. "Kalau udah nggak ada yang di bicarain lagi gue keluar. Gue mau kerja. Habis duit gue gara-gara cowok brengsek itu!" Sandara keluar dari dalam mobil dengan misuh-misuh. Harusnya suami kontraknya itu tanya baik-baik bukannya menuduh dengan tuduhan yang tak mendasar. Sandara menghentak-hentakkan kakinya berjalan meninggalkan mobil Bima yang masih terparkir di sana. Bima yang melihat kekesalan Sandara tersenyum samar. Gadis itu sangat mengge
Sandara masih duduk termangu di depan kafe, melirik jendela yang dipukul oleh hujan deras. Di antara gelegar suara gemuruh, dia mendengar detik jam yang berbunyi menyatakan jam kerjanya telah usai, namun hujan memaksanya untuk bertahan lebih lama di sana. Baru saja Alin meninggalkan tempat tersebut sepuluh menit lalu ketika Vino muncul, duduk disampingnya. "Lo belum pulang Dar?" tanyanya dengan nada ringan. "Lo nggak lihat itu hujan," Sandara menjawab dingin, tanpa menoleh pada Vino, manajer kafe tempatnya bekerja. Mendengar itu, Vino hanya tertawa kecil. "Lo masih sama kayak dulu ya, suka jutek." Sandara tersenyum pahit, memori lama kembali menari di pikirannya. "Gue emang nggak berubah dari dulu. Lo aja yang udah pergi ninggalin gue tanpa kepastian," jawabnya. Meski kata-katanya terdengar gurau, ada getir yang tersembunyi. Mereka dulu dekat sekali, sekarang seolah jarak antara mereka semakin melebar bagai jari kaki dan tangan.Sandara melirik ke arah Vino dengan tatapan da
Sandara terpental ke dinding yang dingin, napasnya tercekat ketika Bima menekannya dengan keras. "Apa yang sudah kamu lakukan, Dara!" raung Bima, suaranya menggelegar menyeruak kesunyian. Sandara gemetar, matanya berkaca-kaca. "Dara nggak ngelakuin apa-apa, Om," suaranya serak, sambil meronta mencoba melepaskan diri. Bima, dengan tatapan yang menerawang kekecewaan, menarik Sandara lebih dekat lagi. "Apa ini yang kamu mau!" desisnya sebelum bibirnya yang kasar merebut ciuman dari bibir merah Sandara. Dengan kekuatan yang tersisa, Sandara mendorong Bima, berusaha menolak dan menjauh. Namun upaya itu sia-sia, Bima tak bergeming, semakin mendekapnya dengan erat."Lepasin gue!" Sandara mendorong tubuh Bima namun pria itu terlalu kuat untuk Sandara. Dengan mata yang terbakar emosi, Bima menatap Sandara dengan tatapan yang membuat gadis itu merasa gentar. Sandara berusaha keras untuk menenangkan detak jantungnya yang berdebar kencang, menahan rasa takut yang mengalir dalam darahnya."Dia
Sandara menatap Bima dengan mata berkaca-kaca, penuh amarah. Bima hanya diam, selimut menutupi bagian tubuhnya yang terbuka. "Gue benci lo, Om Bima!" seru Sandara dengan suara parau, tangannya gemetar saat ia berusaha mengambil baju yang berserakan di lantai. Air mata jatuh membasahi pipinya, meninggalkan jejak keperihan yang mendalam. "Sssttt," bisiknya, mencoba menahan rasa sakit yang melanda. Ketika Bima berusaha mendekat, Sandara menepis tangannya dengan keras. "Om Bima jahat!" pekiknya seraya terisak, sebelum akhirnya ia berjalan terhuyung keluar dari kamar, meninggalkan Bima dalam keheningan yang mencekam. Bima berdiri di depan cermin, memandang refleksi dirinya yang penuh kebencian dan penyesalan. Keringat dingin mengucur deras di dahinya, tangan kanannya masih gemetar ketika dia mengingat apa yang baru saja terjadi. Cemburu yang membara telah mendorongnya melakukan sesuatu yang tak termaafkan. "Aku seharusnya tidak melakukan itu," gumamnya dengan suara serak, seraya mem