Sandara menatap Bima dengan mata berkaca-kaca, penuh amarah. Bima hanya diam, selimut menutupi bagian tubuhnya yang terbuka. "Gue benci lo, Om Bima!" seru Sandara dengan suara parau, tangannya gemetar saat ia berusaha mengambil baju yang berserakan di lantai. Air mata jatuh membasahi pipinya, meninggalkan jejak keperihan yang mendalam. "Sssttt," bisiknya, mencoba menahan rasa sakit yang melanda. Ketika Bima berusaha mendekat, Sandara menepis tangannya dengan keras. "Om Bima jahat!" pekiknya seraya terisak, sebelum akhirnya ia berjalan terhuyung keluar dari kamar, meninggalkan Bima dalam keheningan yang mencekam. Bima berdiri di depan cermin, memandang refleksi dirinya yang penuh kebencian dan penyesalan. Keringat dingin mengucur deras di dahinya, tangan kanannya masih gemetar ketika dia mengingat apa yang baru saja terjadi. Cemburu yang membara telah mendorongnya melakukan sesuatu yang tak termaafkan. "Aku seharusnya tidak melakukan itu," gumamnya dengan suara serak, seraya mem
Sandara mengusap air matanya yang mengalir membasahi wajahnya. Sesekali sopir taksi mencuri pandang ke arahnya melalui spion yang ada di atasnya. "Kenapa Mbak? Putus cinta ya Mbak? Nggak usah di pikirin Mbak, masih banyak cowok yang lainnya," ujar sopir taksi yang sok tahu. Pria itu meraih tisu dan memberikannya pada Sandara. "Makasih Pak," ucap Sandara menerima tisu itu dan mengelap air matanya. Beberapa saat kemudian, taksi pun berhenti di kawasan apartemen yang di tempati Bima dan Sandara. Sandara turun setelah membayar ongkos dan kembali mengucapkan terima kasih pada sopir itu yang mau memberikan tisu padanya. Bertepatan dengan itu mobil Bima berhenti di lobi apartemen. Sandara menghentikan langkahnya dan berdiri mematung saat Bima dan Reva keluar dari dalam mobil masing-masing. "Pokoknya aku nggak mau tau kamu harus cepat ceraikan Dara!" ucap Reva dengan membanting pintu mobil. Sandara dapat mendengarnya dengan jelas kalau Reva menuntut Bima untu segera mencerai
Sandara terbangun dari tidurnya, merasakan sebuah sensasi yang begitu familiar dan menghangatkan. Dengan mata masih terpejam, ia menarik napas dalam-dalam, menghirup aroma maskulin yang sudah sangat ia kenal. Aroma itu membawa seribu kenangan, yang langsung membangkitkan serangkaian emosi di hatinya.Perlahan, ia membuka matanya, masih sedikit buram oleh sisa kantuk yang melekat. Di depannya, terpampang wajah Bima, pria yang pernah sangat dekat di hatinya. Wajah itu tersenyum manis, seolah-olah tidak ada ruang atau waktu yang pernah memisahkan mereka. Namun, senyum itu cepat berubah menjadi ekspresi kejutan saat Sandara tampak terkejut.Sandara menggumam tak percaya, "Gue mimpi atau apa?" suaranya bergetar, seraya menelan ludah dengan susah payah. Bima, dengan gerak cepat dan pasti, menarik Sandara ke dalam pelukannya yang hangat dan kuat. Pada momen itu, semua keraguan dan keheranan yang mungkin ada, seakan luluh oleh kehangatan dan keakraban yang mereka bagikan.Dalam pelukan itu, S
Pletak! Sebuah pulpen mendarat tepat di kepala Leo. "Keluar sana, ganggu saja!" usir Bima dengan mendengus kesal. Wajah yang tadinya tampak sumringah kini berganti dengan tatapan dingin dan datar. "Aduh, Bos. Kok saya di usir sih Bos. Saya mau menyerahkan laporan ini Bos," ucap Leo sambil mengusap kepalanya. "Letakkan saja di meja, dan kamu cepat kembali ke ruangan kamu!" perintahnya. "Baik Bos," jawab Leo dengan patuh. Pria berbadan tinggi besar itu dengan hormat dan patuh keluar dari ruangan itu. Setelah pintu ruangannya tertutup Bima kembali menatap ponselnya. Ia menggelengkan kepalanya melihat foto Sandara yang tengah mangap. "Astaga Dara! Bisa-bisanya kamu lucu seperti ini," gumam Bima dengan seringai tipis. Di sisi lainnya, Sandara tampak semangat melayani pengunjung kafe. Alin yang melihat sahabatnya itu pun mengerutkan dahinya. "Dara, kemarin aja lo keliatan sedih gitu. Tapi sekarang kok lo ceria banget. Jangan-jangan kemarin lo kesambet?" "Kesambet pala lo, gue seh
"Dasar perempuan jalang!" teriak Reva sambil mengayunkan tangannya keras, menampar pipi Sandara. Wajahnya memerah, matanya memancarkan api kebencian. Reva benar-benar kecewa dengan Bima karena telah lebih memilih Sandara, istri kontraknya, daripada dirinya yang telah lama berada di sisinya. Dia sudah menduga bahwa Bima akan datang ke kafe tempat Sandara bekerja, jadi dia diam-diam mengikutinya dan memendam niat untuk menghajar Sandara sejak awal. Reva melihat Bima duduk di sudut kafe, matanya tidak lepas dari Sandara yang sibuk melayani pelanggan. Itu saja sudah cukup membuat darahnya mendidih. "Reva! Apa-apan sih kamu!" seru Bima, bergegas mendekati Sandara yang terpaku sambil memegangi pipi yang telah ditampar. Raut wajah Bima berubah menjadi kombinasi kekhawatiran dan kemarahan saat ia menatap Reva. Sandara, dengan mata berkaca-kaca, menunduk seraya merasakan panas dan perih di pipi yang ditampar. Sementara itu, Reva, dengan napas yang masih tersengal-sengal, menatap mereka be
"Apa? Gue nggak ngomong apa-apa," ucap Sandara sambil menggelengkan kepalanya. Berpura-pura tak mengatakan sesuatu. Meski lirih namun Bima yakin kalau Sandara mengatakan sesuatu."Om Bima salah denger kali, gue dari tadi diam ngerasain sentuhan tangan Om Bima yang mengusap-usap pipi gue," ujar Sandara dengan lebaynya.Bima menggelengkan kepalanya. "Kompres sendiri, jangan manja! Saya yakin kok tadi kamu mengatakan sesuatu.""Yah, Om. Ini kan yang bikin pipi gue merah ceweknya Om. Om harus tanggung jawab dong. Minimal kasih perhatian atau maksimal kasih cium juga boleh," ujar Sandara dengan segala kekonyolannya mengalihkan perhatian Bima dari kata-kata absurdnya.Alin yang melihat tingkah sahabatnya hanya bisa menepuk jidatnya. "Parah lo Dar, suami lo, lo godain gitu.""Dara, Dara, kamu memang cewek yang unik. Pantas saja Bos Bima senyum-senyum sendiri. Tingkah kamu lucu dan bikin gemas," gumam Leo yang tak bisa menahan senyumnya melihat atasannya di godain oleh istrinya sendiri.Leo j
Sandara merasakan tubuhnya terhuyung ke depan secara tiba-tiba. Bima, dengan refleks cepat, merentangkan tangan dan menarik pinggangnya, menarik Sandara agar jatuh ke dalam pangkuannya dengan lembut. Sementara itu, Leo yang sedang mengemudi, mendadak mengerem ketika menyadari seekor anak kucing yang lucu melintas di tengah jalan. Melirik sekilas melalui spion, dia memutuskan untuk berpura-pura tidak menyadari kejadian di belakangnya, terutama posisi Sandara yang sekarang berada di atas pangkuan Bima. "Ya ampun, anak kucing itu menggemaskan!" gumamnya sambil mulai bersiul riang, perlahan menginjak pedal gas, berusaha menyembunyikan senyumnya. Dalam kebingungan dan sedikit keterkejutan, Sandara hanya bisa mengedipkan matanya beberapa kali, menyadari bahwa ia kini berada tepat di pangkuan suami kontraknya. Setelah menyadari bahwa tubuhnya kini berada di pangkuan Bima. Wajahnya memerah, jantungnya berdegup kencang, tidak mengetahui harus bersikap bagaimana. Bima, dengan refleks yang c
"Astaga! Kenapa sih kemana-mana ada aja ulat bulu. Heran deh!" gumam Sandara dengan mengepalkan kedua tangannya erat melihat Reva berlenggak lenggok di depan Bima menampilkan tubuhnya yang seksi. "Njirr, itu kelapa gede amat!" celetuk Sandara yang melihat bagian dada Reva menyembul ingin keluar dari tempatnya. Ia tertawa geli sekaligus iri, secara punyanya tak sebesar milik Reva yang seorang model. Reva melirik sinis ke arah Sandara dan dengan sengaja menggeser tempat Sandara berdiri. "Gimana sayang?" tanya Reva dengan suara mendayu-dayu. Sebelah matanya mengerling nakal. Sandara memutar bola matanya malas saat tubuhnya sedikit terhuyung. "Sayang, sayang pala lo peyang. Dia itu suami gue! Nggak tau malu banget!" gerutu Sandara dengan melirik sinis ke arah Reva. Tatapan Bima mengarah pada Sandara yang mengerucutkan bibirnya. Ia sama sekali tidak merespon pertanyaan Reva. "Ganti lainnya," ucapnya yang di angguki oleh Sandara. Dengan di bantu seorang karyawan butik Sandara mengg