"Apa? Gue nggak ngomong apa-apa," ucap Sandara sambil menggelengkan kepalanya. Berpura-pura tak mengatakan sesuatu. Meski lirih namun Bima yakin kalau Sandara mengatakan sesuatu."Om Bima salah denger kali, gue dari tadi diam ngerasain sentuhan tangan Om Bima yang mengusap-usap pipi gue," ujar Sandara dengan lebaynya.Bima menggelengkan kepalanya. "Kompres sendiri, jangan manja! Saya yakin kok tadi kamu mengatakan sesuatu.""Yah, Om. Ini kan yang bikin pipi gue merah ceweknya Om. Om harus tanggung jawab dong. Minimal kasih perhatian atau maksimal kasih cium juga boleh," ujar Sandara dengan segala kekonyolannya mengalihkan perhatian Bima dari kata-kata absurdnya.Alin yang melihat tingkah sahabatnya hanya bisa menepuk jidatnya. "Parah lo Dar, suami lo, lo godain gitu.""Dara, Dara, kamu memang cewek yang unik. Pantas saja Bos Bima senyum-senyum sendiri. Tingkah kamu lucu dan bikin gemas," gumam Leo yang tak bisa menahan senyumnya melihat atasannya di godain oleh istrinya sendiri.Leo j
Sandara merasakan tubuhnya terhuyung ke depan secara tiba-tiba. Bima, dengan refleks cepat, merentangkan tangan dan menarik pinggangnya, menarik Sandara agar jatuh ke dalam pangkuannya dengan lembut. Sementara itu, Leo yang sedang mengemudi, mendadak mengerem ketika menyadari seekor anak kucing yang lucu melintas di tengah jalan. Melirik sekilas melalui spion, dia memutuskan untuk berpura-pura tidak menyadari kejadian di belakangnya, terutama posisi Sandara yang sekarang berada di atas pangkuan Bima. "Ya ampun, anak kucing itu menggemaskan!" gumamnya sambil mulai bersiul riang, perlahan menginjak pedal gas, berusaha menyembunyikan senyumnya. Dalam kebingungan dan sedikit keterkejutan, Sandara hanya bisa mengedipkan matanya beberapa kali, menyadari bahwa ia kini berada tepat di pangkuan suami kontraknya. Setelah menyadari bahwa tubuhnya kini berada di pangkuan Bima. Wajahnya memerah, jantungnya berdegup kencang, tidak mengetahui harus bersikap bagaimana. Bima, dengan refleks yang c
"Astaga! Kenapa sih kemana-mana ada aja ulat bulu. Heran deh!" gumam Sandara dengan mengepalkan kedua tangannya erat melihat Reva berlenggak lenggok di depan Bima menampilkan tubuhnya yang seksi. "Njirr, itu kelapa gede amat!" celetuk Sandara yang melihat bagian dada Reva menyembul ingin keluar dari tempatnya. Ia tertawa geli sekaligus iri, secara punyanya tak sebesar milik Reva yang seorang model. Reva melirik sinis ke arah Sandara dan dengan sengaja menggeser tempat Sandara berdiri. "Gimana sayang?" tanya Reva dengan suara mendayu-dayu. Sebelah matanya mengerling nakal. Sandara memutar bola matanya malas saat tubuhnya sedikit terhuyung. "Sayang, sayang pala lo peyang. Dia itu suami gue! Nggak tau malu banget!" gerutu Sandara dengan melirik sinis ke arah Reva. Tatapan Bima mengarah pada Sandara yang mengerucutkan bibirnya. Ia sama sekali tidak merespon pertanyaan Reva. "Ganti lainnya," ucapnya yang di angguki oleh Sandara. Dengan di bantu seorang karyawan butik Sandara mengg
Sandara menatap jengah pada Reva dan teman-temannya yang datang menghampirinya. Ia duduk santai tampa menghiraukan Reva yang tengah berbicara panjang lebar dengannya. "Yah, habis," keluh Sandara saat jus yang ada di gelasnya telah habis tak bersisa. Ia masih merasakan tengorokannya yang kering kerontang karena sejak tadi di kafe ia sama sekali belum minum di tambah lagi ia saat ini sedang kelaparan. Tiba-tiba seseorang menyodorkan segelas minuman dingin bersoda padanya. Sandara mendongak dan menatap orang yang ada di depannya. "Gue nggak minum begituan," tolaknya tak ingin basa basi. Sandara tak bisa mempercayai siapapun di sini. Ia tak mengenal siapa pun kecuali Bima dan Leo. Apalagi Reva, perempuan licik itu pandai bersilat lidah, seperti saat ini ia sedang mengoceh yang membuatnya merasa jengah. "Oh, aku ambilkan lainnya," ucap Mario namun segera di cegah oleh Sandara. "Nggak usah, gue bisa ambil nanti." "Bagaimana kalau kita ngobrol di sana?" tawar Mario sambil menunju
Sandara sangat kesal dengan Reva yang mulai memancing amarahnya, padahal ia sangat menghindari keributan dengan perempuan itu sebab ia menghormati Bima. Ia takut nama Bima tercemar dengan sikapnya yang kadang bar-bar. Sebisa mungkin ia menjaga sikap di dalam pesta itu. Tapi Reva sepertinya sengaja akan menjatuhkannya di depan banyak orang, yang tentunya mereka orang-orang dari kalangan atas. Merasa di ikuti oleh Reva, dengan cepat Sandara membalikkan badannya dan benar saja, Reva ingin mendorongnya masuk ke dalam kolam. Dengan sigap Sandara menghindar dan Reva terjun bebas ke dalam kolam. Semua orang yang berada di dalam pesta itu menatap ke arah kolam. "Dara!" seru Bima dan Leo secara bersamaan. Akan tetapi Sandara yang mereka kira tercebur di kolam malah dengan santainya berjalan mengambil minuman di atas meja. Bima dan Leo langsung menghampirinya. Sandara hanya mengedikkan bahunya. Mario yang sejak tadi memperhatikan Sandara hanya bisa menggelengkan kepalanya. Sandara meman
Sandara terkejut saat tiba-tiba Bima mengangkat tubuhnya dari belakang. Seketika sepatu yang ada di tangannya melayang entah kemana. Kedua tangannya mengalungi leher Bima. Leo yang berjalan di belakang pun mengambil sepatu Sandara yang berserakan jatuh di dekatnya. Sandara merasakan jantungnya berdebar kencang, wajahnya memerah. Bibirnya mengulum senyum. "Ya ampun, Om Bima gendong gue," batin Sandara me-reog tak karuan. Ia menatap wajah tampan Bima yang hanya berjarak beberapa inci saja. "Kenapa? Saya tampan kan?" tanya Bima yang melihat Sandara tersenyum-senyum sendiri sambil menatap wajahnya. Sandara menggigit bibir bawahnya. "Om Bima tampan pakai banget," jawabnya sambil tertawa kecil. "Jangan menatap saya seperti itu, nanti kamu jatuh cinta," ujar Bima, namun sama sekali tidak di hiraukan oleh Sandara. Ia malah terkikik sendiri sambil menyandarkan kepalanya di dada bidang Bima. Ia dapat merasakan detak jantung Bima yang berdegup cepat. "Om Bima nggak lagi sakit
Sandara memejamkan kedua matanya saat merasakan sentuhan tangan di punggungnya mulai dari atas hingga bagian pinggangnya. "Om!" pekiknya saat sekujur tubuhnya merinding hebat. Sandara membalikkan badannya akan tetapi tangan Bima sudah menarik pinggangnya hingga kedua tangannya di atas dada Bima yang tidak tertutupi kain sedikitpun. Keduanya saling pandang dengan degup jantung yang sama-sama menggila. Bima menatap lekat wajah Sandara yang yang sudah merah merona. Istri kontraknya itu tampak gugup. Bima memiringkan kepalanya dan menempelkan bibirnya di bibir Sandara. Sandara diam mematung saat bibir Bima menyentuh bibirnya. Ingin menolak tapi hatinya menginginkan. Dengan lembut Bima menggerakkan bibirnya. Merasa tak ada penolakan dari Sandara, Bima lebih berani lagi untuk melumat habis bibir Sandara yang terasa manis. Sandara bak ikan yang keluar dari air karena kehabisan napas. Ia memukul-mukul dada bidang Bima. Bima melepaskan ciumannya namun tangannya mengelus pun
"Mau tau, apa mau tau banget?" Sandara menggodai dengan nada penuh misteri, menyebabkan Alin mengerutkan bibir tidak sabar. "Buruan dong, ceritanya!" ucap Alin, seraya menahan gugup yang semakin menjadi. Sandara tertawa ringan, matanya berkilau penuh kenakalan. "Tenang, nanti juga tahu. Ini kan urusan orang dewasa," katanya dengan nada menjengkelkan. Alin tidak dapat menahan rasa frustrasinya, ia menepuk lengan Sandara agak keras, "Ahh, jadi sekarang lo gini? Gue nggak mau lagi temenan sama lo!" ucapnya, bibir bawahnya menggembung penuh kecewa. Namun, tawa Sandara semakin lepas, dia merangkul bahu Alin dan berbisik dengan lembut. "Sabar, dengarkan ini." Alin membelalakkan matanya, terkejut, langsung menutup mulutnya dengan tangan. "Lo serius?" katanya, suaranya tercekat, sambil menunjuk ke arah Sandara yang masih tersenyum misterius. Saat Alin hendak bertanya lagi, matanya sekali lagi membulat terkejut. Sandara mendorongnya pelan, menunjuk ke arah pintu kafe dimana Bima baru saj