Sandara menatap jengah pada Reva dan teman-temannya yang datang menghampirinya. Ia duduk santai tampa menghiraukan Reva yang tengah berbicara panjang lebar dengannya. "Yah, habis," keluh Sandara saat jus yang ada di gelasnya telah habis tak bersisa. Ia masih merasakan tengorokannya yang kering kerontang karena sejak tadi di kafe ia sama sekali belum minum di tambah lagi ia saat ini sedang kelaparan. Tiba-tiba seseorang menyodorkan segelas minuman dingin bersoda padanya. Sandara mendongak dan menatap orang yang ada di depannya. "Gue nggak minum begituan," tolaknya tak ingin basa basi. Sandara tak bisa mempercayai siapapun di sini. Ia tak mengenal siapa pun kecuali Bima dan Leo. Apalagi Reva, perempuan licik itu pandai bersilat lidah, seperti saat ini ia sedang mengoceh yang membuatnya merasa jengah. "Oh, aku ambilkan lainnya," ucap Mario namun segera di cegah oleh Sandara. "Nggak usah, gue bisa ambil nanti." "Bagaimana kalau kita ngobrol di sana?" tawar Mario sambil menunju
Sandara sangat kesal dengan Reva yang mulai memancing amarahnya, padahal ia sangat menghindari keributan dengan perempuan itu sebab ia menghormati Bima. Ia takut nama Bima tercemar dengan sikapnya yang kadang bar-bar. Sebisa mungkin ia menjaga sikap di dalam pesta itu. Tapi Reva sepertinya sengaja akan menjatuhkannya di depan banyak orang, yang tentunya mereka orang-orang dari kalangan atas. Merasa di ikuti oleh Reva, dengan cepat Sandara membalikkan badannya dan benar saja, Reva ingin mendorongnya masuk ke dalam kolam. Dengan sigap Sandara menghindar dan Reva terjun bebas ke dalam kolam. Semua orang yang berada di dalam pesta itu menatap ke arah kolam. "Dara!" seru Bima dan Leo secara bersamaan. Akan tetapi Sandara yang mereka kira tercebur di kolam malah dengan santainya berjalan mengambil minuman di atas meja. Bima dan Leo langsung menghampirinya. Sandara hanya mengedikkan bahunya. Mario yang sejak tadi memperhatikan Sandara hanya bisa menggelengkan kepalanya. Sandara meman
Sandara terkejut saat tiba-tiba Bima mengangkat tubuhnya dari belakang. Seketika sepatu yang ada di tangannya melayang entah kemana. Kedua tangannya mengalungi leher Bima. Leo yang berjalan di belakang pun mengambil sepatu Sandara yang berserakan jatuh di dekatnya. Sandara merasakan jantungnya berdebar kencang, wajahnya memerah. Bibirnya mengulum senyum. "Ya ampun, Om Bima gendong gue," batin Sandara me-reog tak karuan. Ia menatap wajah tampan Bima yang hanya berjarak beberapa inci saja. "Kenapa? Saya tampan kan?" tanya Bima yang melihat Sandara tersenyum-senyum sendiri sambil menatap wajahnya. Sandara menggigit bibir bawahnya. "Om Bima tampan pakai banget," jawabnya sambil tertawa kecil. "Jangan menatap saya seperti itu, nanti kamu jatuh cinta," ujar Bima, namun sama sekali tidak di hiraukan oleh Sandara. Ia malah terkikik sendiri sambil menyandarkan kepalanya di dada bidang Bima. Ia dapat merasakan detak jantung Bima yang berdegup cepat. "Om Bima nggak lagi sakit
Sandara memejamkan kedua matanya saat merasakan sentuhan tangan di punggungnya mulai dari atas hingga bagian pinggangnya. "Om!" pekiknya saat sekujur tubuhnya merinding hebat. Sandara membalikkan badannya akan tetapi tangan Bima sudah menarik pinggangnya hingga kedua tangannya di atas dada Bima yang tidak tertutupi kain sedikitpun. Keduanya saling pandang dengan degup jantung yang sama-sama menggila. Bima menatap lekat wajah Sandara yang yang sudah merah merona. Istri kontraknya itu tampak gugup. Bima memiringkan kepalanya dan menempelkan bibirnya di bibir Sandara. Sandara diam mematung saat bibir Bima menyentuh bibirnya. Ingin menolak tapi hatinya menginginkan. Dengan lembut Bima menggerakkan bibirnya. Merasa tak ada penolakan dari Sandara, Bima lebih berani lagi untuk melumat habis bibir Sandara yang terasa manis. Sandara bak ikan yang keluar dari air karena kehabisan napas. Ia memukul-mukul dada bidang Bima. Bima melepaskan ciumannya namun tangannya mengelus pun
"Mau tau, apa mau tau banget?" Sandara menggodai dengan nada penuh misteri, menyebabkan Alin mengerutkan bibir tidak sabar. "Buruan dong, ceritanya!" ucap Alin, seraya menahan gugup yang semakin menjadi. Sandara tertawa ringan, matanya berkilau penuh kenakalan. "Tenang, nanti juga tahu. Ini kan urusan orang dewasa," katanya dengan nada menjengkelkan. Alin tidak dapat menahan rasa frustrasinya, ia menepuk lengan Sandara agak keras, "Ahh, jadi sekarang lo gini? Gue nggak mau lagi temenan sama lo!" ucapnya, bibir bawahnya menggembung penuh kecewa. Namun, tawa Sandara semakin lepas, dia merangkul bahu Alin dan berbisik dengan lembut. "Sabar, dengarkan ini." Alin membelalakkan matanya, terkejut, langsung menutup mulutnya dengan tangan. "Lo serius?" katanya, suaranya tercekat, sambil menunjuk ke arah Sandara yang masih tersenyum misterius. Saat Alin hendak bertanya lagi, matanya sekali lagi membulat terkejut. Sandara mendorongnya pelan, menunjuk ke arah pintu kafe dimana Bima baru saj
"Apa mungkin ayah lo bereran sakit, Dar?" tanya Alin ketika ibu tiri Sandara melenggang keluar dari kafe. Kening Sandara mengerut, raut wajahnya bercampur bingung dan kekhawatiran. "Belum ada kabar sama sekali, Alin," gumamnya, sambil melirik tempat ibu tirinya barusan berdiri. Alin merangkul bahu Sandara, memberikan semangat. "Coba telpon ayah lo, siapa tahu memang dia butuh bantuan." Sandara mengangguk, menarik nafas panjang, lalu merogoh tasnya mencari ponsel. Jarinya gemetar saat menekan tombol panggilan yang tak kunjung tersambung. "Ponselnya nggak aktif, Alin," katanya sambil menahan desah, matahari sore di luar kafe seakan turut berduka dengan berita tersebut. Sandara menggigit bibirnya, mencoba menahan kecemasannya. Kedua tangannya bergetar sedikit saat memasukkan kembali ponsel ke dalam tasnya. Alin memperhatikan temannya itu dengan rasa khawatir yang mendalam. "Coba cek ke rumahnya, Dar. Mungkin ada yang bisa kita temukan," saran Alin dengan nada yang mencoba menenangka
Di tengah ruang keluarga yang hanya dipenuhi cahaya redup dari lampu gantung, ayah Sandara berjuang menegakkan suaranya dari atas sofa yang sudah lusuh, "Kalian mau apa, jangan ganggu Dara!" Raut wajahnya penuh dengan kekhawatiran. Erdo, dengan suara tinggi dan nada menghina, menembak balik, "Kamu sudah tua, jadi jangan ikut campur urusanku!" Ucapannya membuat darah Sandara mendidih, tak percaya saudara tirinya bisa sebegitu kasarnya pada ayahnya. Sambil memegang tangan ayahnya, Sandara merasakan genggaman yang lemah namun penuh keputusasaan, "Dara, kamu cepat pergi dari rumah ini," pintanya dengan nada mendesak. Namun, dengan mata yang bertekad, Sandara menggeleng, "Nggak Ayah, Dara akan bawa Ayah ke rumah sakit," jawabnya, menolaknya dengan tegas. Sandara tidak akan pergi meninggalkan ayahnya sendirian dalam keadaan lemah. Erdo melangkah mendekat, wajahnya terlihat garang dan penuh amarah. Mata Sandara berbinar tajam, membela ayahnya dengan keras kepala. "Kamu ini terlalu
Sandara mencoba melepaskan diri dengan menggeliat sambil kedua tangannya mencengkeram erat untuk menahan dua pria berbadan kekar yang menyeretnya menuju sebuah mobil yang sudah terparkir di halaman rumahnya. Rambutnya terurai kusut saat dia berusaha melepaskan diri. "Tenanglah manis, kamu pasti tidak akan menyesal," ucap Dery, dengan nada mencemooh saat dia berjalan santai mengikuti anak buahnya. "Lepas! Apa yang mau kalian lakuin sama gue!" teriak Sandara dengan nafas terengah-engah, sambil kakinya menendang ke segala arah, berupaya keras melepaskan diri. Namun, karena terus memberontak, salah satu pria itu kesal dan tamparan keras mendarat di pipi Sandara yang langsung membuat wajahnya memerah. "Aku sudah membelimu, jadi jangan coba-coba untuk kabur!" seru Dery dengan suara bengis yang menggema di udara pagi. kedua pria itu terpaksa memperkuat genggaman mereka. Sandara mengigit tangan salah satu dari mereka, membuat pria itu meringis kesakitan. "Cukup, Dara! Kamu tidak
Sandara menggigit bibirnya, ragu untuk melangkah dan membantu asisten yang sedang mengemas pakaian di dalam kamar. Bima, dengan tangan terbuka, menghalangi Sandara. "Sayang, duduk saja di sini, biarkan bibik yang menangani semuanya," ujarnya lembut, sambil menunjuk ke sofa empuk di sudut ruangan. Bu Laras menoleh, menghela nafas ringan, dan tersenyum mengerti. "Nggak apa, Dara, kamu cukup tunjukkan saja pakaian mana yang ingin kamu bawa. Biar bibik yang mempersiapkan semuanya," katanya, suaranya menyiratkan keinginan agar Sandara tidak terlalu memaksakan diri. Sandara menarik napas panjang dan kembali menempati tempatnya di samping sang mama mertua, yang sudah terlihat antusias dengan persiapan. "Ma, nanti perlengkapan buat di rumah sakit taruh di tas besar ini saja ya. Jadi kita nggak perlu repot cari-cari lagi saat waktunya tiba," saran Sandara, matanya berbinar memikirkan segala kemungkinan yang bisa terjadi. Bu Laras, mama mertuanya mengangguk, dan bibik kembali sibuk deng
Hari itu, Sandara bersiap dengan gaun pesta yang anggun tapi terhambat oleh perutnya yang membuncit karena kehamilan. Dia mendekati Bima yang tengah duduk termenung di tepi ranjang, penuh penantian. "Sayang, bisa tolong aku?" rayunya lembut, tangan mungilnya mencoba meraih resleting di bagian punggung bawah gaunnya namun sia-sia. Bima menoleh, matanya berbinar saat melihat punggung istrinya yang terbuka dari resleting yang belum tertutup. Dengan senyuman, dia bangkit dan perlahan menarik resleting itu sambil berbisik, "Kamu memikat sekali hari ini, sayang." Sementara Sandara tersenyum, merasa berbunga dengan pujian dan sentuhan penuh cinta dari Bima."Dan kamu terlihat begitu seksi." Bima berkata sambil tersenyum, segera membantu Sandara menaikkan resleting gaun yang elegan itu. Sandara merasa lega sekaligus tersipu, cintanya pada Bima semakin dalam. Dengan perlahan, Bima membantu Sandara berdiri dan membenarkan gaunnya.Mereka berdua kemudian berangkat ke tempat Alin dan Leo akan
Leo dan Alin, yang beberapa saat lalu masih terkurung dalam pelukan hangat, tiba-tiba terpisah seperti dua kutub yang terdorong oleh kekuatan magnet. Wajah mereka semakin memerah saat Bima, dengan ekspresi yang tidak terima, memberikan teguran yang tajam. "Nggak sengaja Bos," kata Leo, suaranya terdengar lembut dan berusaha menenangkan suasana. Namun, Bima hanya mencibir dengan tatapan yang skeptis. "Mana ada berpelukan tapi nggak sengaja," balasnya, nada suaranya meninggi penuh ketidakpercayaan. Sementara itu, Leo hanya bisa tersenyum kikuk, senyum yang tampak dipaksakan untuk menyembunyikan kebingungannya. Alin, di sisi lain, menunduk dalam-dalam, rasa malu menggelayuti dirinya. Hatinya berdebar, khawatir atas apa yang baru saja terjadi dan bagaimana persepsi Bima terhadap situasi tersebut. Ia bahkan tidak berani mengangkat kepala untuk menatap Bima atau Sandara, takut akan pandangan yang mungkin akan semakin menambah rasa bersalah di hatinya. Keduanya, meski tak terucap, sali
Sandara terdiam, duduk di kursi roda yang didorong oleh Bima di sepanjang jalur pemakaman yang dipenuhi oleh deretan batu nisan. Wajahnya yang pucat dan lelah semakin membuatnya terlihat rapuh. Pada tangannya yang satu, masih terpasang jarum infus yang meneteskan cairan ke dalam pembuluh darahnya, sebuah pengingat dari sakit yang dia derita tidak hanya secara fisik tetapi juga emosional.Mata Sandara memandang tanpa fokus ke arah makam ayahnya yang baru saja ditutupi tanah. Air mata terus menderas tanpa henti, menciptakan jalur basah di kedua pipinya. Alin dan Bu Laras, yang telah seperti keluarga sendiri, berdiri di sampingnya, memberikan dukungan.Bu Laras, dengan lembut, mengusap punggung Sandara, mencoba memberikan kenyamanan sebisa mungkin. "Sayang, kamu yang sabar. Ayah kamu sudah di tempat yang nyaman," katanya dengan suara yang bergetar, mencoba menahan emosi sendiri.Alin, dengan mata yang juga berkaca-kaca, merangkul bahu Sandara. "Sabar ya Dar. Lo masih punya gue," bisiknya
"Bos jangan membuat kami iri dong. Kasihanilah kami," ucap Leo dengan mendramatisi keadaan.Bima tak menghiraukan ucapan asistennya itu, ia bahkan mencium bibir Sandara sekilas. Ia begitu takut kehilangan Sandara. Dua kali sudah Reva telah mencoba membunuh wanita yang akan menjadi ibu dari anaknya itu.Bima menatap Leo dengan tatapan yang sinis. "Jangan pura-pura, Leo. Kenapa kamu nggak langsung nikahi Alin aja? Bukannya kamu naksir berat sama dia," ujarnya, dengan nada menyudutkan. Leo tergagap, pipinya memerah terbakar malu, hatinya dipelintir ketidakberdayaan saat dia berusaha menyembunyikan wajahnya dari Alin yang saat itu juga tak berani menatap mata mereka berdua. Ia malah menundukkan kepala, pipinya menyala seperti membara. Sandara, yang juga di situ, melirik Alin, tersenyum kecil melihat reaksi sahabatnya itu. "Ada apa nih? Kok kayak yang sedang dimabuk asmara?" candanya, suaranya perlahan tetapi cukup terdengar. Bima tertawa terbahak-bahak, menambahi ejekan. "Lihat tuh,
Sandara terbangun dengan tiba-tiba, matanya membulat ketakutan saat melihat sosok perawat yang berdiri di hadapannya dengan bantal di tangan. Nafasnya tercekat, tubuhnya bergetar hebat saat mendengar suara serak itu."Aku adalah malaikat yang akan mencabut nyawamu!" seru Reva dengan senyum menyeringai di balik maskernya. Sinar mata Reva memancarkan kegilaan, membuat jantung Sandara semakin berdegup kencang."Reva!" pekik Sandara dalam kepanikan. Namun, ia tak bisa berbuat banyak. Tangannya yang terinfus dan tubuhnya yang masih lemah membuatnya tak berdaya. Ia hanya bisa menggelengkan kepalanya, berharap ini hanya mimpi buruk."Tidak Reva, pergi!" teriak Sandara, suaranya bergetar, mengusir Reva yang semakin mendekat. Air mata mulai mengalir di pipinya, ketakutan menguasai setiap inci tubuhnya saat dia menyadari situasi mengerikan yang sedang dihadapinya.Di dalam kamar mandi, Alin menghentakkan tubuhnya ke pintu kamar mandi yang tertutup rapat. Keringat dingin mengucur deras di pelipi
Bima berdiri tegap, pandangannya tajam menembus jendela yang mengarah ke ruang bawah tanah. "Leo, perintahkan anak buahmu untuk mengejar Ajeng segera. Setelah meninggalkan Pak Sudiro di dermaga pasti ia kehilangan arah. Dan jangan lupa, Reva harus kita tangkap. Dia membahayakan keselamatan Sandara," katanya dengan suara yang penuh otoritas. Rasa kecewa dan amarah terhadap Reva, mantan kekasihnya yang berkhianat, jelas terlihat di wajahnya. Leo, dengan ekspresi serius, mengangguk penuh semangat. "Siap, Bos!" jawabnya sambil mengepalkan tangan, siap menjalankan tugas. Sementara itu, di ruangan bawah tanah yang pengap, Bima menatap dingin ke arah Erdo yang tergeletak lemah. "Biarkan dia membusuk di sini," ucapnya tanpa belas kasihan, lalu berlalu dengan langkah berat. Di sisi lain, di ruang VVIP rumah sakit, keheningan menyelimuti ruangan ketika Sandara terlelap, hanya terdengar suara nafasnya yang lemah. Alin, yang duduk di sofa dekat tempat tidur, terlihat bosan sambil memainkan
Setelah memastikan keadaan Sandara baik-baik saja, Bima berencana untuk meninggalkannya sebentar saja. Tapi ia takut kalau Sandara tak ada yang menjaganya."Ada apa Om?" tanya Sandara dengan mengerutkan dahinya melihat Bima yang tampak sedikit gelisah.Bima mengulas senyumnya. "Nggak apa-apa sayang. Nanti kamu mau makan apa?" tanya Bima untuk mengalihkan perhatian Sandara.Sandara terdiam sejenak. "Apa boleh gue makan daging?" tanya Sandara dengan sedikit ragu mengingat kamarin ia baru saja di operasi."Tentu saja boleh, asal nggak berlebihan," jawab Bima dengan lembut sambil mengusap kepalanya panuh kasih sayang.Tak lama pintu ruangan itu di ketuk. Alin dengan senyum lebar masuk dan menghampiri sahabatnya."Hai, Dara. Gue minta maaf karena nggak percaya sama lo kalau lo liat Erdo waktu itu," ucap Alin penuh penyesalan. Menghambur memeluk sahabatnya.Sandara tersenyum kecil. "Nggak apa-apa, gue baik-baik aja kok," jawab Sandara dengan membalas pelukan Alin."Alin, apa kamu nggak sibu
Sandara menunduk, bibir bawahnya terjepit antara giginya. Dia berada di persimpangan hati; sebentuk kebenaran mengetuk bibirnya—ia sedang mengandung. Bimbang menari di benaknya, rasa takut Bima takkan menerima ini menguar kuat. "Nggak ada Om, gue ***a bilang kangen doang," suaranya meredup, terdengar dari ujung bibir yang bergetar pelan. Bima, suaminya—meski hanya di atas kertas—menggenggam erat tangan Sandara. Raut mukanya memerah, peningkatan denyut jantungnya nyata sekali seakan ingin meluapkan kekesalan. Namun, pandangannya tertuju pada perban yang masih terlilit di lengan Sandara, sisa-sisa operasi yang belum lama. Napasnya dihela dalam-dalam, berusaha menenangkan amarahnya. Tanpa sadar oleh Sandara, saat dia pingsan sebelumnya, dokter telah memberi tahu Bima tentang kehamilannya. "Kamu yakin?" Bima mendorong sekali lagi, suaranya lebih halus, mendesak namun penuh pengertian, mencoba menggali kejujuran dari hati Sandara.Sandara menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulk