"Mau tau, apa mau tau banget?" Sandara menggodai dengan nada penuh misteri, menyebabkan Alin mengerutkan bibir tidak sabar. "Buruan dong, ceritanya!" ucap Alin, seraya menahan gugup yang semakin menjadi. Sandara tertawa ringan, matanya berkilau penuh kenakalan. "Tenang, nanti juga tahu. Ini kan urusan orang dewasa," katanya dengan nada menjengkelkan. Alin tidak dapat menahan rasa frustrasinya, ia menepuk lengan Sandara agak keras, "Ahh, jadi sekarang lo gini? Gue nggak mau lagi temenan sama lo!" ucapnya, bibir bawahnya menggembung penuh kecewa. Namun, tawa Sandara semakin lepas, dia merangkul bahu Alin dan berbisik dengan lembut. "Sabar, dengarkan ini." Alin membelalakkan matanya, terkejut, langsung menutup mulutnya dengan tangan. "Lo serius?" katanya, suaranya tercekat, sambil menunjuk ke arah Sandara yang masih tersenyum misterius. Saat Alin hendak bertanya lagi, matanya sekali lagi membulat terkejut. Sandara mendorongnya pelan, menunjuk ke arah pintu kafe dimana Bima baru saj
"Apa mungkin ayah lo bereran sakit, Dar?" tanya Alin ketika ibu tiri Sandara melenggang keluar dari kafe. Kening Sandara mengerut, raut wajahnya bercampur bingung dan kekhawatiran. "Belum ada kabar sama sekali, Alin," gumamnya, sambil melirik tempat ibu tirinya barusan berdiri. Alin merangkul bahu Sandara, memberikan semangat. "Coba telpon ayah lo, siapa tahu memang dia butuh bantuan." Sandara mengangguk, menarik nafas panjang, lalu merogoh tasnya mencari ponsel. Jarinya gemetar saat menekan tombol panggilan yang tak kunjung tersambung. "Ponselnya nggak aktif, Alin," katanya sambil menahan desah, matahari sore di luar kafe seakan turut berduka dengan berita tersebut. Sandara menggigit bibirnya, mencoba menahan kecemasannya. Kedua tangannya bergetar sedikit saat memasukkan kembali ponsel ke dalam tasnya. Alin memperhatikan temannya itu dengan rasa khawatir yang mendalam. "Coba cek ke rumahnya, Dar. Mungkin ada yang bisa kita temukan," saran Alin dengan nada yang mencoba menenangka
Di tengah ruang keluarga yang hanya dipenuhi cahaya redup dari lampu gantung, ayah Sandara berjuang menegakkan suaranya dari atas sofa yang sudah lusuh, "Kalian mau apa, jangan ganggu Dara!" Raut wajahnya penuh dengan kekhawatiran. Erdo, dengan suara tinggi dan nada menghina, menembak balik, "Kamu sudah tua, jadi jangan ikut campur urusanku!" Ucapannya membuat darah Sandara mendidih, tak percaya saudara tirinya bisa sebegitu kasarnya pada ayahnya. Sambil memegang tangan ayahnya, Sandara merasakan genggaman yang lemah namun penuh keputusasaan, "Dara, kamu cepat pergi dari rumah ini," pintanya dengan nada mendesak. Namun, dengan mata yang bertekad, Sandara menggeleng, "Nggak Ayah, Dara akan bawa Ayah ke rumah sakit," jawabnya, menolaknya dengan tegas. Sandara tidak akan pergi meninggalkan ayahnya sendirian dalam keadaan lemah. Erdo melangkah mendekat, wajahnya terlihat garang dan penuh amarah. Mata Sandara berbinar tajam, membela ayahnya dengan keras kepala. "Kamu ini terlalu
Sandara mencoba melepaskan diri dengan menggeliat sambil kedua tangannya mencengkeram erat untuk menahan dua pria berbadan kekar yang menyeretnya menuju sebuah mobil yang sudah terparkir di halaman rumahnya. Rambutnya terurai kusut saat dia berusaha melepaskan diri. "Tenanglah manis, kamu pasti tidak akan menyesal," ucap Dery, dengan nada mencemooh saat dia berjalan santai mengikuti anak buahnya. "Lepas! Apa yang mau kalian lakuin sama gue!" teriak Sandara dengan nafas terengah-engah, sambil kakinya menendang ke segala arah, berupaya keras melepaskan diri. Namun, karena terus memberontak, salah satu pria itu kesal dan tamparan keras mendarat di pipi Sandara yang langsung membuat wajahnya memerah. "Aku sudah membelimu, jadi jangan coba-coba untuk kabur!" seru Dery dengan suara bengis yang menggema di udara pagi. kedua pria itu terpaksa memperkuat genggaman mereka. Sandara mengigit tangan salah satu dari mereka, membuat pria itu meringis kesakitan. "Cukup, Dara! Kamu tidak
Sandara menangis terisak dalam guyuran air shower yang dingin, tubuhnya gemetar tak hanya karena dingin tapi juga ketakutan yang membelenggu. Air matanya bercampur dengan air yang mengalir, tak terbedakan mana yang satu dan mana yang lain. Hatinya hancur, merasa terjebak dalam situasi yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Tiba-tiba terdengar suara keras memecah lamunan pahitnya, "Cepat bersihkan dirimu!" teriak seorang wanita dari luar kamar mandi. Sandara menarik napas dalam, mencoba mengumpulkan keberanian yang tersisa. Dia tahu harus segera keluar meskipun dengan berat hati. Setelah menghentikan air dan membungkus tubuhnya dengan handuk, Sandara melangkah keluar dari kamar mandi. Wanita itu sudah menunggunya dengan setelan baju yang sangat tidak pantas. "Pakai pakaian ini!" wanita itu menyodorkan baju tersebut dengan nada yang tidak memberikan ruang untuk penolakan. Sandara menatap baju itu, matanya memerah, "Gue nggak mau pakai pakaian ini!" ujarnya dengan suara yang bergeta
Bima merasakan kecemasan yang menyelimuti seluruh tubuhnya, namun wajahnya berusaha terlihat tenang saat menyampaikan bahwa asistennya, Leo, akan segera tiba. "Maaf, saya tidak bisa mengantar anda ke rumah sakit. Leo akan datang sebentar lagi," ujarnya, suaranya sedikit bergetar. Di sisi lain, Pak Sudiro, ayah Sandara, terlihat pucat dan suaranya melemah, namun masih bisa memberikan pengertian. "Tidak masalah, saya baik-baik saja. Terima kasih. Tolong selamatkan putriku," ucapnya dengan napas tersengal-sengal, mencoba tersenyum pahit. Bima segera meninggalkan ruangan itu, menghindari pandangan mata lemah Pak Sudiro. Begitu keluar, dia melompat ke mobilnya. Kecemasan dan ketakutannya membumbung saat pedal gas diinjaknya dalam-dalam, mobil berkelebatan meninggalkan rumah tua tempat tinggal ayah Sandara. Hatinya berdesir, pikiran tentang Sandara dan masalahnya dengan ibu dan saudara tirinya tak pernah ia ketahui sebelumnya. "Kenapa kamu tidak berbicara, Dara! Harusnya kamu bi
Penjaga yang berbicara tadi mengernyit, memandang Bima dari atas sampai bawah seakan mencoba membaca niatnya. “Tunggu di sini, saya akan tanyakan pada Bos,” katanya akhirnya sebelum berbalik memasuki ruangan. Bima mengepalkan tangannya dengan keras, mata membara penuh amarah saat ia melihat salah satu penjaga masuk ke ruangan Dery. Dengan gerakan lincah dan dipenuhi adrenalin, ia menyerang penjaga yang berdiri di depannya dengan pukulan cepat yang langsung menargetkan titik lemah di tubuh penjaga tersebut. Dalam sekejap, penjaga itu roboh tak berdaya. Tanpa memberi kesempatan pada dirinya untuk bernapas, Bima berlari menuju pintu yang akan segera dibuka oleh penjaga lain. Saat pintu terbuka, ia langsung menyambut penjaga tersebut dengan serangan bertubi-tubi. Tendangan dan pukulan Bima menghantam tubuh penjaga itu tanpa ampun. Di tengah kekacauan, suara lemah Sandara meminta tolong terdengar dari balik dinding, membuat Bima semakin beringas. Pertarungan itu berlangsung sengit.
Air dingin dari shower terus mengalir di atas kepala Sandara, mengguyur tubuhnya yang bergetar. Air itu seolah mencoba menghapus rasa jijik yang melekat erat di kulitnya, sisa-sisa sentuhan Dery yang tak diinginkan. Dengan mata sembab, ia menunduk, berusaha menghapus kenangan malam itu. “Arrgghh!” teriaknya, sambil terisak, tubuhnya berkerut di bawah semburan air. Dingin malam itu tak lagi terasa, yang ada hanya kekecewaan dan amarah yang membuncah. Di luar kamar mandi, Bima mendengarkan. Suara air yang bercampur dengan tangis Sandara memotongnya dalam. “Dara,” panggilnya lembut, sambil mengetuk pintu kamar mandi, rasa bersalah dan khawatir menggantung berat di hatinya. Dalam hati kecilnya, ia berharap bisa menghapus semua kesedihan yang menimpa gadis itu. Rasa khawatir dan pukulan keras pada pintu itu semakin keras. "Dara, buka pintunya! Aku di sini, kamu tidak sendirian." Tubuh mungil Sandara menggigil, hembusan napasnya berbaur dengan tetesan air yang memercik. Dengan langkah