Bima merasakan kecemasan yang menyelimuti seluruh tubuhnya, namun wajahnya berusaha terlihat tenang saat menyampaikan bahwa asistennya, Leo, akan segera tiba. "Maaf, saya tidak bisa mengantar anda ke rumah sakit. Leo akan datang sebentar lagi," ujarnya, suaranya sedikit bergetar. Di sisi lain, Pak Sudiro, ayah Sandara, terlihat pucat dan suaranya melemah, namun masih bisa memberikan pengertian. "Tidak masalah, saya baik-baik saja. Terima kasih. Tolong selamatkan putriku," ucapnya dengan napas tersengal-sengal, mencoba tersenyum pahit. Bima segera meninggalkan ruangan itu, menghindari pandangan mata lemah Pak Sudiro. Begitu keluar, dia melompat ke mobilnya. Kecemasan dan ketakutannya membumbung saat pedal gas diinjaknya dalam-dalam, mobil berkelebatan meninggalkan rumah tua tempat tinggal ayah Sandara. Hatinya berdesir, pikiran tentang Sandara dan masalahnya dengan ibu dan saudara tirinya tak pernah ia ketahui sebelumnya. "Kenapa kamu tidak berbicara, Dara! Harusnya kamu bi
Penjaga yang berbicara tadi mengernyit, memandang Bima dari atas sampai bawah seakan mencoba membaca niatnya. “Tunggu di sini, saya akan tanyakan pada Bos,” katanya akhirnya sebelum berbalik memasuki ruangan. Bima mengepalkan tangannya dengan keras, mata membara penuh amarah saat ia melihat salah satu penjaga masuk ke ruangan Dery. Dengan gerakan lincah dan dipenuhi adrenalin, ia menyerang penjaga yang berdiri di depannya dengan pukulan cepat yang langsung menargetkan titik lemah di tubuh penjaga tersebut. Dalam sekejap, penjaga itu roboh tak berdaya. Tanpa memberi kesempatan pada dirinya untuk bernapas, Bima berlari menuju pintu yang akan segera dibuka oleh penjaga lain. Saat pintu terbuka, ia langsung menyambut penjaga tersebut dengan serangan bertubi-tubi. Tendangan dan pukulan Bima menghantam tubuh penjaga itu tanpa ampun. Di tengah kekacauan, suara lemah Sandara meminta tolong terdengar dari balik dinding, membuat Bima semakin beringas. Pertarungan itu berlangsung sengit.
Air dingin dari shower terus mengalir di atas kepala Sandara, mengguyur tubuhnya yang bergetar. Air itu seolah mencoba menghapus rasa jijik yang melekat erat di kulitnya, sisa-sisa sentuhan Dery yang tak diinginkan. Dengan mata sembab, ia menunduk, berusaha menghapus kenangan malam itu. “Arrgghh!” teriaknya, sambil terisak, tubuhnya berkerut di bawah semburan air. Dingin malam itu tak lagi terasa, yang ada hanya kekecewaan dan amarah yang membuncah. Di luar kamar mandi, Bima mendengarkan. Suara air yang bercampur dengan tangis Sandara memotongnya dalam. “Dara,” panggilnya lembut, sambil mengetuk pintu kamar mandi, rasa bersalah dan khawatir menggantung berat di hatinya. Dalam hati kecilnya, ia berharap bisa menghapus semua kesedihan yang menimpa gadis itu. Rasa khawatir dan pukulan keras pada pintu itu semakin keras. "Dara, buka pintunya! Aku di sini, kamu tidak sendirian." Tubuh mungil Sandara menggigil, hembusan napasnya berbaur dengan tetesan air yang memercik. Dengan langkah
Bima mendekat dan meraih Sandara, menariknya ke dalam pelukan hangatnya. Sandara yang terpuruk dan terpukul, mulai menangis semakin keras, dengan isak tangis yang memilukan hati. Wajahnya tertanam dalam kenyamanan perut Bima yang rata, dia menemukan suatu bentuk keamanan yang langka. Bima dengan lembut mengelus kepala Sandara, kata-katanya merayu dengan penuh ketulusan. "Kamu tidak sendiri, Dara. Aku di sini," ucapnya mencoba menenangkan. Mencoba mengalihkan perhatian dari kepedihan, Bima menawarkan, "Ayo sarapan, kamu belum makan dari semalam," sambil jemarinya yang besar dengan lembut menghapus butiran air mata yang mengalir di pipi Sandara. Namun, Sandara hanya menggelengkan kepalanya, enggan meninggalkan kesendirian kamar itu. Matanya, yang masih berkaca-kaca, kembali terpejam sambil memandang ke luar jendela dengan tatapan kosong. Bima menarik nafas dalam-dalam, berat hati menyaksikan penderitaan orang yang baru mengisi hatinya. Mencoba mencari cara lain untuk menghibur Sand
Dokter Ebid, seorang pria paruh baya, cepat-cepat mengetuk pintu apartemen Bima. Wajahnya memperlihatkan kekhawatiran. Saat pintu terbuka, ia langsung bertanya, "Siapa yang sedang sakit?" Bima yang tampak gelisah, memberikan jawaban yang tak terduga. "Istri saya, Dok. Sandara," ucapnya, membuat mata Dokter Ebid membulat terkejut. "Istri? Sejak kapan? Kenapa tidak ada kabar sama sekali tentang ini?" Hubungan Dokter Ebid dengan Bima selama ini begitu dekat, hingga ia merasa Bima bagaikan anaknya sendiri. Terlihat jelas kekecewaan di wajahnya saat ia menambahkan, "Sudah hampir tiga bulan," jawab Bima dengan suara rendah. Napas Dokter Ebid terdengar berat, lalu ia mendengus kesal. "Kenapa tidak bilang padaku? Apa kamu tidak menganggap aku sebagai keluarga lagi?" Dokter Ebid memandang Bima dengan tatapan yang tajam, mencoba menahan kekecewaan yang mendalam. Bima tampak tidak nyaman, dia menggaruk kepala yang tidak gatal sambil menundukkan pandangannya. "Maafkan saya, Dok. Saya ingin
Sore itu, setelah seharian berada di balik meja kasir kafe, Sandara merasa lega dapat menutup harinya dengan didampingi Bima yang dengan penuh perhatian menjemputnya usai kerja. Mobil melaju menuju rumah tua yang selama ini dipenuhi oleh ingatan-ingatan tentang ayahnya yang sangat dia cintai. "Ayah," suara Sandara bergetar saat mereka memasuki rumah. Langkahnya gontai menapaki kenangan yang terpatri di setiap sudut. Seorang pria paruh baya, Pak Sudiro, keluar dari ruang tengah dengan wajah yang menampakkan kerinduan. "Dara," suaranya serak dan hati-hati dia mendekat, kemudian memeluk putrinya erat-erat. "Kamu nggak apa-apa kan?" Pak Sudiro menelisik Sandara dari ujung kaki hingga ujung kepala, mencari tanda-tanda kecemasan. "Dara nggak apa-apa, Ayah," Sandara membalas dengan senyum yang terpaksa, sementara matanya tak kuasa menahan gumpalan air mata. Bima mengikuti di belakang dengan tatapan penuh perhatian. Dia mengerti betapa pentingnya momen ini bagi Sandara. Pak Sudi
Sandara terbangun dan kebingungan masih merajai pikirannya. Dia memeriksa sekitar kamarnya dan, dengan kaget, menyadari Bima terbaring di sampingnya. 'Ini benar-benar nyata,' pikirnya. Bukannya tadi malam dia tidur sendiri? Bima, suami kontraknya, seharusnya ada di kamarnya sendiri. Sementara dia tengah dilanda kebingungan, Bima, tanpa suara, menariknya lebih dekat dengan pelukan yang hangat. “Om, kenapa Om Bima tidur di sini? Kangen sama gue, ya?” tanya Sandara, suaranya bergetar pelan. Bima hanya menghela nafas, tetap dengan wajah tersembunyi dalam pelukan, meninggalkan pertanyaan itu menggantung di udara yang dingin. Seolah mencari perlindungan dari pertanyaan Sandara. Dengan napas berat, ia akhirnya bersuara dengan suara serak, "Maaf, Dara. Aku tidak tahu bagaimana aku bisa berakhir di sini. Aku... aku mungkin berjalan dalam tidurku." Sandara masih tidak percaya, matanya membulat seraya ia mencoba mengingat setiap detail semalam. Tapi memori itu kabur, tidak jelas. Rasa b
"Yuk Dara, hanya kali ini," Vino merayu sambil membukakan pintu mobilnya, berharap Sandara menerima ajakannya. Sandara, yang sedang mencoba menjaga jarak, merasa terpojok. Dia berpura-pura menggaruk kepalanya yang tidak gatal sebelum segera menarik Alin yang berdiri di dekatnya. "Saya bawa Alin juga, Pak," katanya, berusaha mencari alasan untuk tidak bersama Vino saja. Vino hanya mengangguk, tampaknya bersedia menerima kondisi apa pun asalkan bisa bersama dengan Sandara. Mereka bergerak menuju pasar malam di alun-alun kota. Cahaya lampu mobil yang remang-remang menerangi wajah Sandara, membuatnya tampak lebih menawan di mata Vino yang sesekali melirik lewat spion. "Kenapa sih harus ajak gue? Seharusnya bilang aja kalau enggak mau," bisik Alin kesal. Sandara menghela napas. "Gue enggak tega menolaknya langsung, makanya gue ajak lo, biar nggak cuma berdua dengan Vino!" balasnya dengan nada frustrasi, merasa sahabatnya itu kurang peka dengan situasi yang dia hadapi. Alin m