Share

Bab 60

Penulis: Syaard86
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Dokter Ebid, seorang pria paruh baya, cepat-cepat mengetuk pintu apartemen Bima. Wajahnya memperlihatkan kekhawatiran. Saat pintu terbuka, ia langsung bertanya, "Siapa yang sedang sakit?" Bima yang tampak gelisah, memberikan jawaban yang tak terduga.

"Istri saya, Dok. Sandara," ucapnya, membuat mata Dokter Ebid membulat terkejut. "Istri? Sejak kapan? Kenapa tidak ada kabar sama sekali tentang ini?"

Hubungan Dokter Ebid dengan Bima selama ini begitu dekat, hingga ia merasa Bima bagaikan anaknya sendiri.

Terlihat jelas kekecewaan di wajahnya saat ia menambahkan, "Sudah hampir tiga bulan," jawab Bima dengan suara rendah.

Napas Dokter Ebid terdengar berat, lalu ia mendengus kesal. "Kenapa tidak bilang padaku? Apa kamu tidak menganggap aku sebagai keluarga lagi?"

Dokter Ebid memandang Bima dengan tatapan yang tajam, mencoba menahan kekecewaan yang mendalam. Bima tampak tidak nyaman, dia menggaruk kepala yang tidak gatal sambil menundukkan pandangannya.

"Maafkan saya, Dok. Saya ingin
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Kontrak Cinta Dengan CEO Dingin   Bab 61

    Sore itu, setelah seharian berada di balik meja kasir kafe, Sandara merasa lega dapat menutup harinya dengan didampingi Bima yang dengan penuh perhatian menjemputnya usai kerja. Mobil melaju menuju rumah tua yang selama ini dipenuhi oleh ingatan-ingatan tentang ayahnya yang sangat dia cintai. "Ayah," suara Sandara bergetar saat mereka memasuki rumah. Langkahnya gontai menapaki kenangan yang terpatri di setiap sudut. Seorang pria paruh baya, Pak Sudiro, keluar dari ruang tengah dengan wajah yang menampakkan kerinduan. "Dara," suaranya serak dan hati-hati dia mendekat, kemudian memeluk putrinya erat-erat. "Kamu nggak apa-apa kan?" Pak Sudiro menelisik Sandara dari ujung kaki hingga ujung kepala, mencari tanda-tanda kecemasan. "Dara nggak apa-apa, Ayah," Sandara membalas dengan senyum yang terpaksa, sementara matanya tak kuasa menahan gumpalan air mata. Bima mengikuti di belakang dengan tatapan penuh perhatian. Dia mengerti betapa pentingnya momen ini bagi Sandara. Pak Sudi

  • Kontrak Cinta Dengan CEO Dingin   Bab 62

    Sandara terbangun dan kebingungan masih merajai pikirannya. Dia memeriksa sekitar kamarnya dan, dengan kaget, menyadari Bima terbaring di sampingnya. 'Ini benar-benar nyata,' pikirnya. Bukannya tadi malam dia tidur sendiri? Bima, suami kontraknya, seharusnya ada di kamarnya sendiri. Sementara dia tengah dilanda kebingungan, Bima, tanpa suara, menariknya lebih dekat dengan pelukan yang hangat. “Om, kenapa Om Bima tidur di sini? Kangen sama gue, ya?” tanya Sandara, suaranya bergetar pelan. Bima hanya menghela nafas, tetap dengan wajah tersembunyi dalam pelukan, meninggalkan pertanyaan itu menggantung di udara yang dingin. Seolah mencari perlindungan dari pertanyaan Sandara. Dengan napas berat, ia akhirnya bersuara dengan suara serak, "Maaf, Dara. Aku tidak tahu bagaimana aku bisa berakhir di sini. Aku... aku mungkin berjalan dalam tidurku." Sandara masih tidak percaya, matanya membulat seraya ia mencoba mengingat setiap detail semalam. Tapi memori itu kabur, tidak jelas. Rasa b

  • Kontrak Cinta Dengan CEO Dingin   Bab 63

    "Yuk Dara, hanya kali ini," Vino merayu sambil membukakan pintu mobilnya, berharap Sandara menerima ajakannya. Sandara, yang sedang mencoba menjaga jarak, merasa terpojok. Dia berpura-pura menggaruk kepalanya yang tidak gatal sebelum segera menarik Alin yang berdiri di dekatnya. "Saya bawa Alin juga, Pak," katanya, berusaha mencari alasan untuk tidak bersama Vino saja. Vino hanya mengangguk, tampaknya bersedia menerima kondisi apa pun asalkan bisa bersama dengan Sandara. Mereka bergerak menuju pasar malam di alun-alun kota. Cahaya lampu mobil yang remang-remang menerangi wajah Sandara, membuatnya tampak lebih menawan di mata Vino yang sesekali melirik lewat spion. "Kenapa sih harus ajak gue? Seharusnya bilang aja kalau enggak mau," bisik Alin kesal. Sandara menghela napas. "Gue enggak tega menolaknya langsung, makanya gue ajak lo, biar nggak cuma berdua dengan Vino!" balasnya dengan nada frustrasi, merasa sahabatnya itu kurang peka dengan situasi yang dia hadapi. Alin m

  • Kontrak Cinta Dengan CEO Dingin   Bab 64

    Saat mereka baru saja duduk di dalam mobil, Bima langsung menyalak, "Sudah aku katakan jangan pernah memiliki hubungan dengan pria lain. Kamu itu istriku, Dara!" Nada suaranya meninggi, vein di lehernya terlihat menonjol. Sandara memiringkan kepala, kedua alisnya bertaut. "Gue nggak punya hubungan apa-apa sama Vino, Om," katanya sambil berusaha menenangkan Bima dengan nada yang lembut. "Nggak ada hubungan? Omong kosong," desis Bima tanpa menatap wajah Sandara, matanya tetap fokus di depan saat mesin mobilnya hidup dengan deru. "Kalau nggak ada hubungan apa-apa, kenapa kamu sama dia bisa di pasar malam?" sarkasme menggantung di ucapannya, sudut bibirnya tersungging seolah meremehkan. Sandara mengerucutkan bibir, menelan ludah, "Ya kan nggak enak gue nolaknya," sahutnya coba menjustifikasi sikapnya tanpa mengundang amarah lebih jauh. Bima mendengus, frustrasi. "Apa susahnya bilang kalau kamu nggak mau? Kamu bisa menolaknya dengan bilang kamu sudah menikah," tuntutnya, matanya

  • Kontrak Cinta Dengan CEO Dingin   Bab 65

    Sandara melangkah riang menuju mobil yang terparkir, senyum mengembang di wajahnya. Di tangannya bergelantungan kresek penuh jajanan yang Bima belikan. "Dara, awas jalannya," Bima memperingatkan saat Sandara nyaris tersandung seorang pengunjung di pasar malam itu. Sandara hanya menimpali dengan senyum nakal tanpa mengalihkan pandangan dari bungkusan di tangannya. Tiba di mobil, dia tidak bisa menahan diri lagi. Segera membuka salah satu kantong plastik, wajahnya berseri-seri saat aroma telur gulung hangat menyapa hidung, hampir membuat air liurnya menetes karena tergoda. Dia membuka bungkusan itu dengan cekatan, dan segera menggigit satu dengan penuh selera. Bima, yang sedang membuka bagasi mobil, melirik ke arahnya dan tersenyum melihat betapa bahagianya Sandara. "Enak?" tanya Bima, sambil menutup bagasi dan berjalan mendekati Sandara yang masih asyik mengunyah. "Mmm, enak banget!" sahut Sandara dengan mata berbinar, sebelum mengambil gigitan lain. Ia kemudian menawarkan satu k

  • Kontrak Cinta Dengan CEO Dingin   Bab 66

    Sandara merasakan senyumnya yang sebelumnya mengembang seketika luntur saat matanya menangkap sosok Reva yang berdiri di dalam apartemen dengan tatapan tajam. Ia segera meluncur turun dari gendongan Bima, suami kontraknya, dengan wajah yang mulai pucat. Reva, dengan rambut tergerai dan mata menyala-nyala, melangkah mendekat dengan kemarahan yang jelas terpampang. "Dasar wanita jalang! Kenapa kamu merebut kekasihku!" teriak Reva, tangannya terangkat dengan kuku panjang yang siap mencakar wajah Sandara. Namun, sebelum tangan Reva sempat menyentuh kulit Sandara, Bima dengan sigap menepis tangan tersebut. Gerakan tegas Bima membuat Reva terhenti, matanya terbelalak tak percaya. "Cukup Reva!" bentak Bima dengan suara yang menggema di ruangan tersebut, membuat Reva terkesiap. "Kamu membentakku? Kamu lebih membela dia?" raut wajah Reva beralih dari marah menjadi sakit hati, matanya berkaca-kaca menatap Bima yang berdiri tegak melindungi Sandara. Bima menatap Reva dengan pandangan ya

  • Kontrak Cinta Dengan CEO Dingin   Bab 67

    Sandara meremas tangannya dengan kuat, saraf-sarafnya tegang, dan jantungnya berdetak kencang. Ia menatap Bima dengan tatapan penuh pertanyaan, mencoba memahami situasi yang sedang terjadi setelah Reva meninggalkan apartemen mereka. Ruangan itu terasa begitu sunyi, hanya suara deru napas mereka yang terdengar memecah keheningan. Akhirnya, dengan suara yang berat dan penuh keraguan, Sandara memutuskan untuk bertanya, "Om, apa benar gara-gara gue, Om Bima sama Reva putus?" Bima yang telah lama terdiam, memandang Sandara dengan tatapan yang sulit diartikan. Wajahnya tampak lesu dan matanya yang sayu menandakan bahwa dia telah lelah. Dengan suara yang serak, Bima menghela napas panjang seolah berat untuk mengungkapkan kata-kata. "Semua nggak ada hubungannya sama kamu," ujarnya pelan. Ada getaran emosi yang terpendam dalam setiap kata yang diucapkannya. Dia menundukkan kepala, seolah berusaha mengeja kata-kata yang pas untuk mengungkapkan hal yang lebih menyakitkan. "Dia telah seli

  • Kontrak Cinta Dengan CEO Dingin   Bab 68

    Bima mencibir, sorot matanya tajam menembus Sandara, seolah bisa membaca kegundahan hatinya. "Kenapa kamu tanya? Cemburu, ya, karena aku sudah dapat pengganti Reva?" ujarnya, suaranya mengejek. Sandara, yang sedari tadi menunduk, mengepalkan tangan di samping tubuh, mencoba untuk tetap tenang meski hatinya berkecamuk. Ia berdiri di ruang tamu apartemen, cahaya dari jendela besar membuat siluetnya tercetak di lantai. Rambut panjangnya yang hitam tergerai, matanya memandang Bima dengan tatapan yang dingin dan jujur. "Gue cemburu? Ya nggaklah Om, gue sadar diri kalau kita cuma nikah kontrak," ucap Sandara, suaranya tenang namun tegas. Dia tidak mengerti mengapa Bima tiba-tiba bertanya seperti itu. Tangannya yang halus menyesap gelas teh yang belum habis. Bima yang duduk di sofa dengan posisi menyilang kaki, matanya tidak bisa menyembunyikan rasa kesal yang memuncak. "Kenapa kamu nggak peka sih, Dara? Kenapa kamu juga tanya hal seperti itu padahal kita sudah menghabiskan malam berdua

Bab terbaru

  • Kontrak Cinta Dengan CEO Dingin   Bab 142

    Sandara menggigit bibirnya, ragu untuk melangkah dan membantu asisten yang sedang mengemas pakaian di dalam kamar. Bima, dengan tangan terbuka, menghalangi Sandara. "Sayang, duduk saja di sini, biarkan bibik yang menangani semuanya," ujarnya lembut, sambil menunjuk ke sofa empuk di sudut ruangan. Bu Laras menoleh, menghela nafas ringan, dan tersenyum mengerti. "Nggak apa, Dara, kamu cukup tunjukkan saja pakaian mana yang ingin kamu bawa. Biar bibik yang mempersiapkan semuanya," katanya, suaranya menyiratkan keinginan agar Sandara tidak terlalu memaksakan diri. Sandara menarik napas panjang dan kembali menempati tempatnya di samping sang mama mertua, yang sudah terlihat antusias dengan persiapan. "Ma, nanti perlengkapan buat di rumah sakit taruh di tas besar ini saja ya. Jadi kita nggak perlu repot cari-cari lagi saat waktunya tiba," saran Sandara, matanya berbinar memikirkan segala kemungkinan yang bisa terjadi. Bu Laras, mama mertuanya mengangguk, dan bibik kembali sibuk deng

  • Kontrak Cinta Dengan CEO Dingin   Bab 141

    Hari itu, Sandara bersiap dengan gaun pesta yang anggun tapi terhambat oleh perutnya yang membuncit karena kehamilan. Dia mendekati Bima yang tengah duduk termenung di tepi ranjang, penuh penantian. "Sayang, bisa tolong aku?" rayunya lembut, tangan mungilnya mencoba meraih resleting di bagian punggung bawah gaunnya namun sia-sia. Bima menoleh, matanya berbinar saat melihat punggung istrinya yang terbuka dari resleting yang belum tertutup. Dengan senyuman, dia bangkit dan perlahan menarik resleting itu sambil berbisik, "Kamu memikat sekali hari ini, sayang." Sementara Sandara tersenyum, merasa berbunga dengan pujian dan sentuhan penuh cinta dari Bima."Dan kamu terlihat begitu seksi." Bima berkata sambil tersenyum, segera membantu Sandara menaikkan resleting gaun yang elegan itu. Sandara merasa lega sekaligus tersipu, cintanya pada Bima semakin dalam. Dengan perlahan, Bima membantu Sandara berdiri dan membenarkan gaunnya.Mereka berdua kemudian berangkat ke tempat Alin dan Leo akan

  • Kontrak Cinta Dengan CEO Dingin   Bab 140

    Leo dan Alin, yang beberapa saat lalu masih terkurung dalam pelukan hangat, tiba-tiba terpisah seperti dua kutub yang terdorong oleh kekuatan magnet. Wajah mereka semakin memerah saat Bima, dengan ekspresi yang tidak terima, memberikan teguran yang tajam. "Nggak sengaja Bos," kata Leo, suaranya terdengar lembut dan berusaha menenangkan suasana. Namun, Bima hanya mencibir dengan tatapan yang skeptis. "Mana ada berpelukan tapi nggak sengaja," balasnya, nada suaranya meninggi penuh ketidakpercayaan. Sementara itu, Leo hanya bisa tersenyum kikuk, senyum yang tampak dipaksakan untuk menyembunyikan kebingungannya. Alin, di sisi lain, menunduk dalam-dalam, rasa malu menggelayuti dirinya. Hatinya berdebar, khawatir atas apa yang baru saja terjadi dan bagaimana persepsi Bima terhadap situasi tersebut. Ia bahkan tidak berani mengangkat kepala untuk menatap Bima atau Sandara, takut akan pandangan yang mungkin akan semakin menambah rasa bersalah di hatinya. Keduanya, meski tak terucap, sali

  • Kontrak Cinta Dengan CEO Dingin   Bab 139

    Sandara terdiam, duduk di kursi roda yang didorong oleh Bima di sepanjang jalur pemakaman yang dipenuhi oleh deretan batu nisan. Wajahnya yang pucat dan lelah semakin membuatnya terlihat rapuh. Pada tangannya yang satu, masih terpasang jarum infus yang meneteskan cairan ke dalam pembuluh darahnya, sebuah pengingat dari sakit yang dia derita tidak hanya secara fisik tetapi juga emosional.Mata Sandara memandang tanpa fokus ke arah makam ayahnya yang baru saja ditutupi tanah. Air mata terus menderas tanpa henti, menciptakan jalur basah di kedua pipinya. Alin dan Bu Laras, yang telah seperti keluarga sendiri, berdiri di sampingnya, memberikan dukungan.Bu Laras, dengan lembut, mengusap punggung Sandara, mencoba memberikan kenyamanan sebisa mungkin. "Sayang, kamu yang sabar. Ayah kamu sudah di tempat yang nyaman," katanya dengan suara yang bergetar, mencoba menahan emosi sendiri.Alin, dengan mata yang juga berkaca-kaca, merangkul bahu Sandara. "Sabar ya Dar. Lo masih punya gue," bisiknya

  • Kontrak Cinta Dengan CEO Dingin   Bab 138

    "Bos jangan membuat kami iri dong. Kasihanilah kami," ucap Leo dengan mendramatisi keadaan.Bima tak menghiraukan ucapan asistennya itu, ia bahkan mencium bibir Sandara sekilas. Ia begitu takut kehilangan Sandara. Dua kali sudah Reva telah mencoba membunuh wanita yang akan menjadi ibu dari anaknya itu.Bima menatap Leo dengan tatapan yang sinis. "Jangan pura-pura, Leo. Kenapa kamu nggak langsung nikahi Alin aja? Bukannya kamu naksir berat sama dia," ujarnya, dengan nada menyudutkan. Leo tergagap, pipinya memerah terbakar malu, hatinya dipelintir ketidakberdayaan saat dia berusaha menyembunyikan wajahnya dari Alin yang saat itu juga tak berani menatap mata mereka berdua. Ia malah menundukkan kepala, pipinya menyala seperti membara. Sandara, yang juga di situ, melirik Alin, tersenyum kecil melihat reaksi sahabatnya itu. "Ada apa nih? Kok kayak yang sedang dimabuk asmara?" candanya, suaranya perlahan tetapi cukup terdengar. Bima tertawa terbahak-bahak, menambahi ejekan. "Lihat tuh,

  • Kontrak Cinta Dengan CEO Dingin   Bab 137

    Sandara terbangun dengan tiba-tiba, matanya membulat ketakutan saat melihat sosok perawat yang berdiri di hadapannya dengan bantal di tangan. Nafasnya tercekat, tubuhnya bergetar hebat saat mendengar suara serak itu."Aku adalah malaikat yang akan mencabut nyawamu!" seru Reva dengan senyum menyeringai di balik maskernya. Sinar mata Reva memancarkan kegilaan, membuat jantung Sandara semakin berdegup kencang."Reva!" pekik Sandara dalam kepanikan. Namun, ia tak bisa berbuat banyak. Tangannya yang terinfus dan tubuhnya yang masih lemah membuatnya tak berdaya. Ia hanya bisa menggelengkan kepalanya, berharap ini hanya mimpi buruk."Tidak Reva, pergi!" teriak Sandara, suaranya bergetar, mengusir Reva yang semakin mendekat. Air mata mulai mengalir di pipinya, ketakutan menguasai setiap inci tubuhnya saat dia menyadari situasi mengerikan yang sedang dihadapinya.Di dalam kamar mandi, Alin menghentakkan tubuhnya ke pintu kamar mandi yang tertutup rapat. Keringat dingin mengucur deras di pelipi

  • Kontrak Cinta Dengan CEO Dingin   Bab 136

    Bima berdiri tegap, pandangannya tajam menembus jendela yang mengarah ke ruang bawah tanah. "Leo, perintahkan anak buahmu untuk mengejar Ajeng segera. Setelah meninggalkan Pak Sudiro di dermaga pasti ia kehilangan arah. Dan jangan lupa, Reva harus kita tangkap. Dia membahayakan keselamatan Sandara," katanya dengan suara yang penuh otoritas. Rasa kecewa dan amarah terhadap Reva, mantan kekasihnya yang berkhianat, jelas terlihat di wajahnya. Leo, dengan ekspresi serius, mengangguk penuh semangat. "Siap, Bos!" jawabnya sambil mengepalkan tangan, siap menjalankan tugas. Sementara itu, di ruangan bawah tanah yang pengap, Bima menatap dingin ke arah Erdo yang tergeletak lemah. "Biarkan dia membusuk di sini," ucapnya tanpa belas kasihan, lalu berlalu dengan langkah berat. Di sisi lain, di ruang VVIP rumah sakit, keheningan menyelimuti ruangan ketika Sandara terlelap, hanya terdengar suara nafasnya yang lemah. Alin, yang duduk di sofa dekat tempat tidur, terlihat bosan sambil memainkan

  • Kontrak Cinta Dengan CEO Dingin   Bab 135

    Setelah memastikan keadaan Sandara baik-baik saja, Bima berencana untuk meninggalkannya sebentar saja. Tapi ia takut kalau Sandara tak ada yang menjaganya."Ada apa Om?" tanya Sandara dengan mengerutkan dahinya melihat Bima yang tampak sedikit gelisah.Bima mengulas senyumnya. "Nggak apa-apa sayang. Nanti kamu mau makan apa?" tanya Bima untuk mengalihkan perhatian Sandara.Sandara terdiam sejenak. "Apa boleh gue makan daging?" tanya Sandara dengan sedikit ragu mengingat kamarin ia baru saja di operasi."Tentu saja boleh, asal nggak berlebihan," jawab Bima dengan lembut sambil mengusap kepalanya panuh kasih sayang.Tak lama pintu ruangan itu di ketuk. Alin dengan senyum lebar masuk dan menghampiri sahabatnya."Hai, Dara. Gue minta maaf karena nggak percaya sama lo kalau lo liat Erdo waktu itu," ucap Alin penuh penyesalan. Menghambur memeluk sahabatnya.Sandara tersenyum kecil. "Nggak apa-apa, gue baik-baik aja kok," jawab Sandara dengan membalas pelukan Alin."Alin, apa kamu nggak sibu

  • Kontrak Cinta Dengan CEO Dingin   Bab 134

    Sandara menunduk, bibir bawahnya terjepit antara giginya. Dia berada di persimpangan hati; sebentuk kebenaran mengetuk bibirnya—ia sedang mengandung. Bimbang menari di benaknya, rasa takut Bima takkan menerima ini menguar kuat. "Nggak ada Om, gue ***a bilang kangen doang," suaranya meredup, terdengar dari ujung bibir yang bergetar pelan. Bima, suaminya—meski hanya di atas kertas—menggenggam erat tangan Sandara. Raut mukanya memerah, peningkatan denyut jantungnya nyata sekali seakan ingin meluapkan kekesalan. Namun, pandangannya tertuju pada perban yang masih terlilit di lengan Sandara, sisa-sisa operasi yang belum lama. Napasnya dihela dalam-dalam, berusaha menenangkan amarahnya. Tanpa sadar oleh Sandara, saat dia pingsan sebelumnya, dokter telah memberi tahu Bima tentang kehamilannya. "Kamu yakin?" Bima mendorong sekali lagi, suaranya lebih halus, mendesak namun penuh pengertian, mencoba menggali kejujuran dari hati Sandara.Sandara menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulk

DMCA.com Protection Status