Saat mereka baru saja duduk di dalam mobil, Bima langsung menyalak, "Sudah aku katakan jangan pernah memiliki hubungan dengan pria lain. Kamu itu istriku, Dara!" Nada suaranya meninggi, vein di lehernya terlihat menonjol. Sandara memiringkan kepala, kedua alisnya bertaut. "Gue nggak punya hubungan apa-apa sama Vino, Om," katanya sambil berusaha menenangkan Bima dengan nada yang lembut. "Nggak ada hubungan? Omong kosong," desis Bima tanpa menatap wajah Sandara, matanya tetap fokus di depan saat mesin mobilnya hidup dengan deru. "Kalau nggak ada hubungan apa-apa, kenapa kamu sama dia bisa di pasar malam?" sarkasme menggantung di ucapannya, sudut bibirnya tersungging seolah meremehkan. Sandara mengerucutkan bibir, menelan ludah, "Ya kan nggak enak gue nolaknya," sahutnya coba menjustifikasi sikapnya tanpa mengundang amarah lebih jauh. Bima mendengus, frustrasi. "Apa susahnya bilang kalau kamu nggak mau? Kamu bisa menolaknya dengan bilang kamu sudah menikah," tuntutnya, matanya
Sandara melangkah riang menuju mobil yang terparkir, senyum mengembang di wajahnya. Di tangannya bergelantungan kresek penuh jajanan yang Bima belikan. "Dara, awas jalannya," Bima memperingatkan saat Sandara nyaris tersandung seorang pengunjung di pasar malam itu. Sandara hanya menimpali dengan senyum nakal tanpa mengalihkan pandangan dari bungkusan di tangannya. Tiba di mobil, dia tidak bisa menahan diri lagi. Segera membuka salah satu kantong plastik, wajahnya berseri-seri saat aroma telur gulung hangat menyapa hidung, hampir membuat air liurnya menetes karena tergoda. Dia membuka bungkusan itu dengan cekatan, dan segera menggigit satu dengan penuh selera. Bima, yang sedang membuka bagasi mobil, melirik ke arahnya dan tersenyum melihat betapa bahagianya Sandara. "Enak?" tanya Bima, sambil menutup bagasi dan berjalan mendekati Sandara yang masih asyik mengunyah. "Mmm, enak banget!" sahut Sandara dengan mata berbinar, sebelum mengambil gigitan lain. Ia kemudian menawarkan satu k
Sandara merasakan senyumnya yang sebelumnya mengembang seketika luntur saat matanya menangkap sosok Reva yang berdiri di dalam apartemen dengan tatapan tajam. Ia segera meluncur turun dari gendongan Bima, suami kontraknya, dengan wajah yang mulai pucat. Reva, dengan rambut tergerai dan mata menyala-nyala, melangkah mendekat dengan kemarahan yang jelas terpampang. "Dasar wanita jalang! Kenapa kamu merebut kekasihku!" teriak Reva, tangannya terangkat dengan kuku panjang yang siap mencakar wajah Sandara. Namun, sebelum tangan Reva sempat menyentuh kulit Sandara, Bima dengan sigap menepis tangan tersebut. Gerakan tegas Bima membuat Reva terhenti, matanya terbelalak tak percaya. "Cukup Reva!" bentak Bima dengan suara yang menggema di ruangan tersebut, membuat Reva terkesiap. "Kamu membentakku? Kamu lebih membela dia?" raut wajah Reva beralih dari marah menjadi sakit hati, matanya berkaca-kaca menatap Bima yang berdiri tegak melindungi Sandara. Bima menatap Reva dengan pandangan ya
Sandara meremas tangannya dengan kuat, saraf-sarafnya tegang, dan jantungnya berdetak kencang. Ia menatap Bima dengan tatapan penuh pertanyaan, mencoba memahami situasi yang sedang terjadi setelah Reva meninggalkan apartemen mereka. Ruangan itu terasa begitu sunyi, hanya suara deru napas mereka yang terdengar memecah keheningan. Akhirnya, dengan suara yang berat dan penuh keraguan, Sandara memutuskan untuk bertanya, "Om, apa benar gara-gara gue, Om Bima sama Reva putus?" Bima yang telah lama terdiam, memandang Sandara dengan tatapan yang sulit diartikan. Wajahnya tampak lesu dan matanya yang sayu menandakan bahwa dia telah lelah. Dengan suara yang serak, Bima menghela napas panjang seolah berat untuk mengungkapkan kata-kata. "Semua nggak ada hubungannya sama kamu," ujarnya pelan. Ada getaran emosi yang terpendam dalam setiap kata yang diucapkannya. Dia menundukkan kepala, seolah berusaha mengeja kata-kata yang pas untuk mengungkapkan hal yang lebih menyakitkan. "Dia telah seli
Bima mencibir, sorot matanya tajam menembus Sandara, seolah bisa membaca kegundahan hatinya. "Kenapa kamu tanya? Cemburu, ya, karena aku sudah dapat pengganti Reva?" ujarnya, suaranya mengejek. Sandara, yang sedari tadi menunduk, mengepalkan tangan di samping tubuh, mencoba untuk tetap tenang meski hatinya berkecamuk. Ia berdiri di ruang tamu apartemen, cahaya dari jendela besar membuat siluetnya tercetak di lantai. Rambut panjangnya yang hitam tergerai, matanya memandang Bima dengan tatapan yang dingin dan jujur. "Gue cemburu? Ya nggaklah Om, gue sadar diri kalau kita cuma nikah kontrak," ucap Sandara, suaranya tenang namun tegas. Dia tidak mengerti mengapa Bima tiba-tiba bertanya seperti itu. Tangannya yang halus menyesap gelas teh yang belum habis. Bima yang duduk di sofa dengan posisi menyilang kaki, matanya tidak bisa menyembunyikan rasa kesal yang memuncak. "Kenapa kamu nggak peka sih, Dara? Kenapa kamu juga tanya hal seperti itu padahal kita sudah menghabiskan malam berdua
"Loh, kok bisa?" Sandara lagi-lagi terkejut sesaat setelah mengedarkan pandangannya dan mendapati kalau itu bukanlah kamarnya. Yang ia ingat, semalam ia tidur di kamarnya tapi kenapa sekarang saat terbangun ia berada di kamar Bima. Emang boleh seaneh ini? Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal namun setalhnya kedua matanya menyipit menatap curiga pada Bima. "Om Bima pindahin gue?" tuduhnya sambil menunjuk Bima yang masih terbaring malas-malasan di atas tempat tidurnya. "Kamu nuduh aku?" Bima menatap tajam pada perempuan yang tampak kebingungan itu. Sandara mengangguk. "Ya iyalah, kan yang ada di apartemen ini cuma ada gue sama Om Bima. Kan nggak mungkin kalau Leo yang pindahin gue!" seru Sandara dengan menyipitkan matanya. "Emang buktinya apa kalau aku yang pindahin kamu ke sini?" tanya Bima dengan duduk bersandar pada headboard dan melipat kedua tangannya di depan dada. Sandara mengetuk-ngetukkan jari telunjukknya di dagunya tanda berpikir. "Dara nggak punya bukti. Hehehe..
Sandara menghela napas berat, ketidakpercayaan terpancar dari raut wajahnya. "Iya, gue udah nikah," katanya dengan suara tenang namun dipenuhi ketegangan. "Dan orang yang menjemput gue kemarin, itulah suami gue, Bima." Matanya tetap terfokus pada Vino, mencoba membaca ekspresi wajahnya. Vino menggeleng-gelengkan kepala dengan perlahan, rasa tak percaya bercampur kekecewaan terpancar jelas. Dia meraih tangan Sandara, mencoba meraih kembali masa lalu. "Tapi Dara, gue ingin kita kembali seperti dulu. Gue ingin memperbaiki segala kesalahan di masa lalu. Hati gue masih terikat sama lo," bisiknya dengan penuh harap. Sandara menatap tangan Vino yang memegang tangannya, bimbang. Sandara melepaskan tangan Vino dengan gerakan tegas, matanya menatap lurus ke arah Vino yang masih berdiri terpaku dengan raut muka yang terlihat kecewa. "Sory Vin, gue udah nikah. Jadi gue nggak bisa nerima lo," ucapnya dengan nada yang tetap tenang namun penuh kepastian. Tanpa menoleh lagi, Sandara berjala
Vino merapat dengan langkah gontai, tatapan matanya tertuju pada Sandara dan Alin yang tengah asyik bersenda gurau di pantri. Saat menyadari kehadiran Vino, obrolan mereka terhenti seketika. "Boleh gabung?" tanya Vino, ragu, sambil menarik kursi di samping mereka. Sandara dan Alin berpandangan sejenak, kemudian mengangguk serempak. "Tentu," ucap Alin dengan senyum yang agak kaku. Namun, keceriaan yang tadinya menghiasi meja itu perlahan luntur. Sandara merasa gerah dengan pandangan Vino yang tak lepas dari arahnya. Gigitan demi gigitan ia lahap dengan cepat, terburu ingin mengakhiri situasi yang tidak nyaman itu. "Gue duluan, ya, Lin," ucap Sandara cepat, sambil berdiri dan memunguti bekas makannya. Alin hanya mengangguk pelan, matanya melirik Vino yang masih saja dengan tatapan yang sama, seolah tak menyadari kegelisahannya telah membuat Sandara resah. Vino tampak bingung dengan kepergian Sandara yang tergesa-gesa. Alin pun melirik sinis Vino yang masih terdiam, "Maaf ya, Pak V