Bima mencibir, sorot matanya tajam menembus Sandara, seolah bisa membaca kegundahan hatinya. "Kenapa kamu tanya? Cemburu, ya, karena aku sudah dapat pengganti Reva?" ujarnya, suaranya mengejek. Sandara, yang sedari tadi menunduk, mengepalkan tangan di samping tubuh, mencoba untuk tetap tenang meski hatinya berkecamuk. Ia berdiri di ruang tamu apartemen, cahaya dari jendela besar membuat siluetnya tercetak di lantai. Rambut panjangnya yang hitam tergerai, matanya memandang Bima dengan tatapan yang dingin dan jujur. "Gue cemburu? Ya nggaklah Om, gue sadar diri kalau kita cuma nikah kontrak," ucap Sandara, suaranya tenang namun tegas. Dia tidak mengerti mengapa Bima tiba-tiba bertanya seperti itu. Tangannya yang halus menyesap gelas teh yang belum habis. Bima yang duduk di sofa dengan posisi menyilang kaki, matanya tidak bisa menyembunyikan rasa kesal yang memuncak. "Kenapa kamu nggak peka sih, Dara? Kenapa kamu juga tanya hal seperti itu padahal kita sudah menghabiskan malam berdua
"Loh, kok bisa?" Sandara lagi-lagi terkejut sesaat setelah mengedarkan pandangannya dan mendapati kalau itu bukanlah kamarnya. Yang ia ingat, semalam ia tidur di kamarnya tapi kenapa sekarang saat terbangun ia berada di kamar Bima. Emang boleh seaneh ini? Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal namun setalhnya kedua matanya menyipit menatap curiga pada Bima. "Om Bima pindahin gue?" tuduhnya sambil menunjuk Bima yang masih terbaring malas-malasan di atas tempat tidurnya. "Kamu nuduh aku?" Bima menatap tajam pada perempuan yang tampak kebingungan itu. Sandara mengangguk. "Ya iyalah, kan yang ada di apartemen ini cuma ada gue sama Om Bima. Kan nggak mungkin kalau Leo yang pindahin gue!" seru Sandara dengan menyipitkan matanya. "Emang buktinya apa kalau aku yang pindahin kamu ke sini?" tanya Bima dengan duduk bersandar pada headboard dan melipat kedua tangannya di depan dada. Sandara mengetuk-ngetukkan jari telunjukknya di dagunya tanda berpikir. "Dara nggak punya bukti. Hehehe..
Sandara menghela napas berat, ketidakpercayaan terpancar dari raut wajahnya. "Iya, gue udah nikah," katanya dengan suara tenang namun dipenuhi ketegangan. "Dan orang yang menjemput gue kemarin, itulah suami gue, Bima." Matanya tetap terfokus pada Vino, mencoba membaca ekspresi wajahnya. Vino menggeleng-gelengkan kepala dengan perlahan, rasa tak percaya bercampur kekecewaan terpancar jelas. Dia meraih tangan Sandara, mencoba meraih kembali masa lalu. "Tapi Dara, gue ingin kita kembali seperti dulu. Gue ingin memperbaiki segala kesalahan di masa lalu. Hati gue masih terikat sama lo," bisiknya dengan penuh harap. Sandara menatap tangan Vino yang memegang tangannya, bimbang. Sandara melepaskan tangan Vino dengan gerakan tegas, matanya menatap lurus ke arah Vino yang masih berdiri terpaku dengan raut muka yang terlihat kecewa. "Sory Vin, gue udah nikah. Jadi gue nggak bisa nerima lo," ucapnya dengan nada yang tetap tenang namun penuh kepastian. Tanpa menoleh lagi, Sandara berjala
Vino merapat dengan langkah gontai, tatapan matanya tertuju pada Sandara dan Alin yang tengah asyik bersenda gurau di pantri. Saat menyadari kehadiran Vino, obrolan mereka terhenti seketika. "Boleh gabung?" tanya Vino, ragu, sambil menarik kursi di samping mereka. Sandara dan Alin berpandangan sejenak, kemudian mengangguk serempak. "Tentu," ucap Alin dengan senyum yang agak kaku. Namun, keceriaan yang tadinya menghiasi meja itu perlahan luntur. Sandara merasa gerah dengan pandangan Vino yang tak lepas dari arahnya. Gigitan demi gigitan ia lahap dengan cepat, terburu ingin mengakhiri situasi yang tidak nyaman itu. "Gue duluan, ya, Lin," ucap Sandara cepat, sambil berdiri dan memunguti bekas makannya. Alin hanya mengangguk pelan, matanya melirik Vino yang masih saja dengan tatapan yang sama, seolah tak menyadari kegelisahannya telah membuat Sandara resah. Vino tampak bingung dengan kepergian Sandara yang tergesa-gesa. Alin pun melirik sinis Vino yang masih terdiam, "Maaf ya, Pak V
"Nggak apa-apa Om, Dara cuma mau cari suasana baru aja," ucap Sandara sambil tersenyum tipis, upaya senyumnya sedikit terseok-seok mencerminkan rasa tak pasti dalam hatinya. "Baiklah, dari pada kamu dekat terus sama manajer kafe itu, lebih baik kamu resign," sahut Bima, matanya tak lepas dari jalan di depan tapi nada suaranya mendadak tegas, menyiratkan kekhawatiran yang dia rasa. Sambil mobil menerobos jalanan menuju pusat perbelanjaan, Bima membuka jasnya dengan gerakan yang terampil dan mulai menggulung lengan kemejanya yang terbuat dari kain yang mengkilap. Sandara menatap sesaat, tertegun. Gestur sederhana Bima menggulung lengan kemejanya itu sukses membuatnya tampak lebih santai sekaligus menggetarkan. Di benak Sandara muncul imaji Bima tanpa baju, berotot dan maskulin, membuatnya tanpa sadar menggeleng-gelengkan kepala, berusaha mengusir bayangan itu yang datang begitu saja. Bima menyelidik Sandara dengan tatapan penuh arti, membuat hati Sandara berdebar kencang. "Kamu
Di tengah keramaian pusat perbelanjaan, suasana tiba-tiba menjadi tegang. Bima, dengan tatapan dingin, berhadapan dengan Reva, mantan kekasihnya yang kebetulan berpapasan. Tangan Bima menggenggam erat tangan Sandara, gadis yang kini mengisi hatinya. "Bima, kamu bisa romantis sama dia tapi kenapa dulu nggak pernah romantis sama aku?" tanya Reva dengan suara gemetar, mencoba untuk menahan air mata yang sudah mulai mengumpul di sudut matanya. "Mau gue romantis atau nggak, itu bukan urusan lo," balas Bima dengan nada datar, memotong kata-kata Reva tanpa ampun. Sandara yang mendengar cara bicara Bima yang berbeda, seakan bahasa mereka tiba-tiba asing, tercengang dan mulai merasa tidak nyaman. Sandara menoleh ke Bima dengan pandangan penuh tanya, "Om Bima, kenapa lo bicara seperti itu?" Begitulah kira-kura yang ingin Sandara tanyakan. Namun Bima hanya mengedikkan bahu, tak menjawab. Raut wajahnya tak menunjukkan penyesalan sedikit pun atas kata-katanya yang tajam. Reva, yang semakin tak
Sandara merasa panas menjalar di pipinya, warna merah muda menghiasi wajahnya ketika ia mencoba menjawab pertanyaan Om Bima. "Nggak Om, nggak gitu," ucapnya cepat, menangkis kesalahpahaman yang mungkin terjadi. Rona malu semakin bertambah ketika ia melanjutkan, "Em, Om Bima tampan kok," sambil matanya mencuri pandang ke arah Om Bima yang kini tersenyum lebar. Bima, yang mendengar pujian itu, merasakan hatinya berbunga. "Benarkah?" tanyanya dengan nada yang bersemangat, ingin mendengar lagi kalau dia memang tampan dari mulut Sandara. Gadis itu, dengan kepalanya yang tertunduk, hanya mengangguk, sambil senyum malu terukir di bibirnya. Dengan gerakan yang penuh kasih, Bima mengulurkan tangannya yang besar dan mengusap lembut puncak kepala Sandara. Sentuhan itu lembut, penuh dengan rasa sayang layaknya seorang kakak kepada adiknya, bukan kasih sayang yang umumnya diberikan oleh seorang suami kepada istrinya. Atmosfer hangat mengitari mereka, menciptakan momen yang penuh kelembutan dan k
Sandara melonjak ke atas sofa, teriakannya memecah kesunyian. "Om Bima!" Kaki-kakinya seolah tidak mau menyentuh lantai, matanya memandang Bima dengan rasa panik yang teramat sangat. Tangan Bima terangkat dalam isyarat menenangkan, tapi keringat dingin sudah membentuk butir-butir halus di dahi Sandara, napasnya tersengal memotong udara. "Hei, aku hanya bercanda, Dara," Bima berusaha meredakan situasi, nada suaranya penuh penyesalan. "Kecoa itu sudah aku buang, tak ada lagi di kamarmu." Pandangan Bima yang prihatin berusaha mencari kontak mata dengan Sandara yang terus menggigil. "Dara geli, Dara tak sanggup lagi masuk ke kamar itu," keluh Sandara, suaranya lirih terbata-bata." Sandara berkata dengan suara yang gemetar. Tubuhnya masih terasa lemas, dan matanya melebar penuh ketakutan. Bima segera mendekat, berusaha menenangkan Sandara dengan cara mengelus punggungnya perlahan. "Maafkan aku, Dara. Aku tak menyangka kamu akan takut seperti ini," kata Bima dengan nada menyesal.
Sandara menggigit bibirnya, ragu untuk melangkah dan membantu asisten yang sedang mengemas pakaian di dalam kamar. Bima, dengan tangan terbuka, menghalangi Sandara. "Sayang, duduk saja di sini, biarkan bibik yang menangani semuanya," ujarnya lembut, sambil menunjuk ke sofa empuk di sudut ruangan. Bu Laras menoleh, menghela nafas ringan, dan tersenyum mengerti. "Nggak apa, Dara, kamu cukup tunjukkan saja pakaian mana yang ingin kamu bawa. Biar bibik yang mempersiapkan semuanya," katanya, suaranya menyiratkan keinginan agar Sandara tidak terlalu memaksakan diri. Sandara menarik napas panjang dan kembali menempati tempatnya di samping sang mama mertua, yang sudah terlihat antusias dengan persiapan. "Ma, nanti perlengkapan buat di rumah sakit taruh di tas besar ini saja ya. Jadi kita nggak perlu repot cari-cari lagi saat waktunya tiba," saran Sandara, matanya berbinar memikirkan segala kemungkinan yang bisa terjadi. Bu Laras, mama mertuanya mengangguk, dan bibik kembali sibuk deng
Hari itu, Sandara bersiap dengan gaun pesta yang anggun tapi terhambat oleh perutnya yang membuncit karena kehamilan. Dia mendekati Bima yang tengah duduk termenung di tepi ranjang, penuh penantian. "Sayang, bisa tolong aku?" rayunya lembut, tangan mungilnya mencoba meraih resleting di bagian punggung bawah gaunnya namun sia-sia. Bima menoleh, matanya berbinar saat melihat punggung istrinya yang terbuka dari resleting yang belum tertutup. Dengan senyuman, dia bangkit dan perlahan menarik resleting itu sambil berbisik, "Kamu memikat sekali hari ini, sayang." Sementara Sandara tersenyum, merasa berbunga dengan pujian dan sentuhan penuh cinta dari Bima."Dan kamu terlihat begitu seksi." Bima berkata sambil tersenyum, segera membantu Sandara menaikkan resleting gaun yang elegan itu. Sandara merasa lega sekaligus tersipu, cintanya pada Bima semakin dalam. Dengan perlahan, Bima membantu Sandara berdiri dan membenarkan gaunnya.Mereka berdua kemudian berangkat ke tempat Alin dan Leo akan
Leo dan Alin, yang beberapa saat lalu masih terkurung dalam pelukan hangat, tiba-tiba terpisah seperti dua kutub yang terdorong oleh kekuatan magnet. Wajah mereka semakin memerah saat Bima, dengan ekspresi yang tidak terima, memberikan teguran yang tajam. "Nggak sengaja Bos," kata Leo, suaranya terdengar lembut dan berusaha menenangkan suasana. Namun, Bima hanya mencibir dengan tatapan yang skeptis. "Mana ada berpelukan tapi nggak sengaja," balasnya, nada suaranya meninggi penuh ketidakpercayaan. Sementara itu, Leo hanya bisa tersenyum kikuk, senyum yang tampak dipaksakan untuk menyembunyikan kebingungannya. Alin, di sisi lain, menunduk dalam-dalam, rasa malu menggelayuti dirinya. Hatinya berdebar, khawatir atas apa yang baru saja terjadi dan bagaimana persepsi Bima terhadap situasi tersebut. Ia bahkan tidak berani mengangkat kepala untuk menatap Bima atau Sandara, takut akan pandangan yang mungkin akan semakin menambah rasa bersalah di hatinya. Keduanya, meski tak terucap, sali
Sandara terdiam, duduk di kursi roda yang didorong oleh Bima di sepanjang jalur pemakaman yang dipenuhi oleh deretan batu nisan. Wajahnya yang pucat dan lelah semakin membuatnya terlihat rapuh. Pada tangannya yang satu, masih terpasang jarum infus yang meneteskan cairan ke dalam pembuluh darahnya, sebuah pengingat dari sakit yang dia derita tidak hanya secara fisik tetapi juga emosional.Mata Sandara memandang tanpa fokus ke arah makam ayahnya yang baru saja ditutupi tanah. Air mata terus menderas tanpa henti, menciptakan jalur basah di kedua pipinya. Alin dan Bu Laras, yang telah seperti keluarga sendiri, berdiri di sampingnya, memberikan dukungan.Bu Laras, dengan lembut, mengusap punggung Sandara, mencoba memberikan kenyamanan sebisa mungkin. "Sayang, kamu yang sabar. Ayah kamu sudah di tempat yang nyaman," katanya dengan suara yang bergetar, mencoba menahan emosi sendiri.Alin, dengan mata yang juga berkaca-kaca, merangkul bahu Sandara. "Sabar ya Dar. Lo masih punya gue," bisiknya
"Bos jangan membuat kami iri dong. Kasihanilah kami," ucap Leo dengan mendramatisi keadaan.Bima tak menghiraukan ucapan asistennya itu, ia bahkan mencium bibir Sandara sekilas. Ia begitu takut kehilangan Sandara. Dua kali sudah Reva telah mencoba membunuh wanita yang akan menjadi ibu dari anaknya itu.Bima menatap Leo dengan tatapan yang sinis. "Jangan pura-pura, Leo. Kenapa kamu nggak langsung nikahi Alin aja? Bukannya kamu naksir berat sama dia," ujarnya, dengan nada menyudutkan. Leo tergagap, pipinya memerah terbakar malu, hatinya dipelintir ketidakberdayaan saat dia berusaha menyembunyikan wajahnya dari Alin yang saat itu juga tak berani menatap mata mereka berdua. Ia malah menundukkan kepala, pipinya menyala seperti membara. Sandara, yang juga di situ, melirik Alin, tersenyum kecil melihat reaksi sahabatnya itu. "Ada apa nih? Kok kayak yang sedang dimabuk asmara?" candanya, suaranya perlahan tetapi cukup terdengar. Bima tertawa terbahak-bahak, menambahi ejekan. "Lihat tuh,
Sandara terbangun dengan tiba-tiba, matanya membulat ketakutan saat melihat sosok perawat yang berdiri di hadapannya dengan bantal di tangan. Nafasnya tercekat, tubuhnya bergetar hebat saat mendengar suara serak itu."Aku adalah malaikat yang akan mencabut nyawamu!" seru Reva dengan senyum menyeringai di balik maskernya. Sinar mata Reva memancarkan kegilaan, membuat jantung Sandara semakin berdegup kencang."Reva!" pekik Sandara dalam kepanikan. Namun, ia tak bisa berbuat banyak. Tangannya yang terinfus dan tubuhnya yang masih lemah membuatnya tak berdaya. Ia hanya bisa menggelengkan kepalanya, berharap ini hanya mimpi buruk."Tidak Reva, pergi!" teriak Sandara, suaranya bergetar, mengusir Reva yang semakin mendekat. Air mata mulai mengalir di pipinya, ketakutan menguasai setiap inci tubuhnya saat dia menyadari situasi mengerikan yang sedang dihadapinya.Di dalam kamar mandi, Alin menghentakkan tubuhnya ke pintu kamar mandi yang tertutup rapat. Keringat dingin mengucur deras di pelipi
Bima berdiri tegap, pandangannya tajam menembus jendela yang mengarah ke ruang bawah tanah. "Leo, perintahkan anak buahmu untuk mengejar Ajeng segera. Setelah meninggalkan Pak Sudiro di dermaga pasti ia kehilangan arah. Dan jangan lupa, Reva harus kita tangkap. Dia membahayakan keselamatan Sandara," katanya dengan suara yang penuh otoritas. Rasa kecewa dan amarah terhadap Reva, mantan kekasihnya yang berkhianat, jelas terlihat di wajahnya. Leo, dengan ekspresi serius, mengangguk penuh semangat. "Siap, Bos!" jawabnya sambil mengepalkan tangan, siap menjalankan tugas. Sementara itu, di ruangan bawah tanah yang pengap, Bima menatap dingin ke arah Erdo yang tergeletak lemah. "Biarkan dia membusuk di sini," ucapnya tanpa belas kasihan, lalu berlalu dengan langkah berat. Di sisi lain, di ruang VVIP rumah sakit, keheningan menyelimuti ruangan ketika Sandara terlelap, hanya terdengar suara nafasnya yang lemah. Alin, yang duduk di sofa dekat tempat tidur, terlihat bosan sambil memainkan
Setelah memastikan keadaan Sandara baik-baik saja, Bima berencana untuk meninggalkannya sebentar saja. Tapi ia takut kalau Sandara tak ada yang menjaganya."Ada apa Om?" tanya Sandara dengan mengerutkan dahinya melihat Bima yang tampak sedikit gelisah.Bima mengulas senyumnya. "Nggak apa-apa sayang. Nanti kamu mau makan apa?" tanya Bima untuk mengalihkan perhatian Sandara.Sandara terdiam sejenak. "Apa boleh gue makan daging?" tanya Sandara dengan sedikit ragu mengingat kamarin ia baru saja di operasi."Tentu saja boleh, asal nggak berlebihan," jawab Bima dengan lembut sambil mengusap kepalanya panuh kasih sayang.Tak lama pintu ruangan itu di ketuk. Alin dengan senyum lebar masuk dan menghampiri sahabatnya."Hai, Dara. Gue minta maaf karena nggak percaya sama lo kalau lo liat Erdo waktu itu," ucap Alin penuh penyesalan. Menghambur memeluk sahabatnya.Sandara tersenyum kecil. "Nggak apa-apa, gue baik-baik aja kok," jawab Sandara dengan membalas pelukan Alin."Alin, apa kamu nggak sibu
Sandara menunduk, bibir bawahnya terjepit antara giginya. Dia berada di persimpangan hati; sebentuk kebenaran mengetuk bibirnya—ia sedang mengandung. Bimbang menari di benaknya, rasa takut Bima takkan menerima ini menguar kuat. "Nggak ada Om, gue ***a bilang kangen doang," suaranya meredup, terdengar dari ujung bibir yang bergetar pelan. Bima, suaminya—meski hanya di atas kertas—menggenggam erat tangan Sandara. Raut mukanya memerah, peningkatan denyut jantungnya nyata sekali seakan ingin meluapkan kekesalan. Namun, pandangannya tertuju pada perban yang masih terlilit di lengan Sandara, sisa-sisa operasi yang belum lama. Napasnya dihela dalam-dalam, berusaha menenangkan amarahnya. Tanpa sadar oleh Sandara, saat dia pingsan sebelumnya, dokter telah memberi tahu Bima tentang kehamilannya. "Kamu yakin?" Bima mendorong sekali lagi, suaranya lebih halus, mendesak namun penuh pengertian, mencoba menggali kejujuran dari hati Sandara.Sandara menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulk