Di tengah keramaian pusat perbelanjaan, suasana tiba-tiba menjadi tegang. Bima, dengan tatapan dingin, berhadapan dengan Reva, mantan kekasihnya yang kebetulan berpapasan. Tangan Bima menggenggam erat tangan Sandara, gadis yang kini mengisi hatinya. "Bima, kamu bisa romantis sama dia tapi kenapa dulu nggak pernah romantis sama aku?" tanya Reva dengan suara gemetar, mencoba untuk menahan air mata yang sudah mulai mengumpul di sudut matanya. "Mau gue romantis atau nggak, itu bukan urusan lo," balas Bima dengan nada datar, memotong kata-kata Reva tanpa ampun. Sandara yang mendengar cara bicara Bima yang berbeda, seakan bahasa mereka tiba-tiba asing, tercengang dan mulai merasa tidak nyaman. Sandara menoleh ke Bima dengan pandangan penuh tanya, "Om Bima, kenapa lo bicara seperti itu?" Begitulah kira-kura yang ingin Sandara tanyakan. Namun Bima hanya mengedikkan bahu, tak menjawab. Raut wajahnya tak menunjukkan penyesalan sedikit pun atas kata-katanya yang tajam. Reva, yang semakin tak
Sandara merasa panas menjalar di pipinya, warna merah muda menghiasi wajahnya ketika ia mencoba menjawab pertanyaan Om Bima. "Nggak Om, nggak gitu," ucapnya cepat, menangkis kesalahpahaman yang mungkin terjadi. Rona malu semakin bertambah ketika ia melanjutkan, "Em, Om Bima tampan kok," sambil matanya mencuri pandang ke arah Om Bima yang kini tersenyum lebar. Bima, yang mendengar pujian itu, merasakan hatinya berbunga. "Benarkah?" tanyanya dengan nada yang bersemangat, ingin mendengar lagi kalau dia memang tampan dari mulut Sandara. Gadis itu, dengan kepalanya yang tertunduk, hanya mengangguk, sambil senyum malu terukir di bibirnya. Dengan gerakan yang penuh kasih, Bima mengulurkan tangannya yang besar dan mengusap lembut puncak kepala Sandara. Sentuhan itu lembut, penuh dengan rasa sayang layaknya seorang kakak kepada adiknya, bukan kasih sayang yang umumnya diberikan oleh seorang suami kepada istrinya. Atmosfer hangat mengitari mereka, menciptakan momen yang penuh kelembutan dan k
Sandara melonjak ke atas sofa, teriakannya memecah kesunyian. "Om Bima!" Kaki-kakinya seolah tidak mau menyentuh lantai, matanya memandang Bima dengan rasa panik yang teramat sangat. Tangan Bima terangkat dalam isyarat menenangkan, tapi keringat dingin sudah membentuk butir-butir halus di dahi Sandara, napasnya tersengal memotong udara. "Hei, aku hanya bercanda, Dara," Bima berusaha meredakan situasi, nada suaranya penuh penyesalan. "Kecoa itu sudah aku buang, tak ada lagi di kamarmu." Pandangan Bima yang prihatin berusaha mencari kontak mata dengan Sandara yang terus menggigil. "Dara geli, Dara tak sanggup lagi masuk ke kamar itu," keluh Sandara, suaranya lirih terbata-bata." Sandara berkata dengan suara yang gemetar. Tubuhnya masih terasa lemas, dan matanya melebar penuh ketakutan. Bima segera mendekat, berusaha menenangkan Sandara dengan cara mengelus punggungnya perlahan. "Maafkan aku, Dara. Aku tak menyangka kamu akan takut seperti ini," kata Bima dengan nada menyesal.
Kedua tangan Bima melingkar erat di pinggang Sandara, menariknya lebih dekat ke dalam pelukannya. Kedamaian dan kehangatan yang dirasakan membuat mereka lupa akan semua perjanjian dan batasan yang sebelumnya mereka tentukan. Napas Bima terasa hangat di leher Sandara, membuat gadis itu merasa aman dan dicintai. Dalam keheningan malam, suara detak jantung mereka seakan berirama, berbicara bahasa yang hanya bisa mereka mengerti. Sandara membenamkan wajahnya di dada Bima, mencari kenyamanan yang selama ini ia cari. Bima, dengan lembut, mencium puncak kepala Sandara, sebuah tindakan penuh kasih yang jarang ia tunjukkan sebelumnya. Dalam tidur mereka, tidak ada mimpi yang bisa menyamai kenyataan saat itu. Keduanya terlelap, terbungkus dalam kehangatan cinta yang murni, yang telah lama mereka abaikan. Malam itu, mereka bukan lagi dua orang yang terikat kontrak, tetapi sepasang kekasih yang menemukan esensi sejati dari bersama. Sandara yang masih terpejam di dalam pelukan hangat Bima terb
"Gue nggak apa-apa Om." Sandara menggeleng sambil memaksakan senyum. Degup jantungnya meningkat, menyebabkan desiran darah yang membuatnya sesekali harus menelan ludah. Kulit wajahnya yang memucat bertambah kontras terhadap warna aslinya. Meski berulang kali menegaskan ia baik-baik saja, ketidak tenangan menguasai setiap anggota tubuhnya. Bima, yang di sampingnya, merasakan kegugupan yang bukan main dari cengkraman tangan Sandara yang semakin mengeras. Kerut khawatir melintasi dahinya, matanya intens memeriksa kondisi gadis di sampingnya. "Kamu kelihatan pucat, Dara. Yakin nggak mau sesuatu?" tanyanya, suara lirihnya penuh perhatian. Di kursi sebelah mereka, Leo mengamati dengan ketajaman. "Ini pertama kalinya kamu naik pesawat, ya?" tanyanya, tepat saat Sandara menelan air liurnya dengan susah. Gadis itu hanya mampu mengangguk lemah, matanya mencari sesuatu yang bisa menenangkan. Bima terkekeh, tak bisa memercayai kalau Sandara yang biasanya pemberani, kali ini ketakutan.
Tatapan Bima menukik tajam. Wajahnya sungguh tak enak di pandang mata. Sandara menelan ludahnya dengan susah payah dan berusaha melepaskan tangannya. "Om Bima kenapa sih? Aneh banget. Gue kan ngomong jujur kalau bule itu ganteng!" gerutu Sandara dalam hati. "Em, Om Bima tampan. Tampan banget malahan," ucap Sandara dengan gugup dan memaksakan senyumnya. "Bagus," kata Bima dengan mengusap-usap puncak kepala Sandara. Namun tanpa sepengetahuan Bima gadis itu malah menggerak-gerakkan bibirnya tak jelas. Leo yang melihatnya hanya bisa menggelengkan kepalanya. Ada saja tingkah Sandara yang membuatnya hampir saja tertawa terbahak. Di dalam mobil yang menyusuri jalanan setelah mendarat, Leo melirik Bima yang sedang mengamati Sandara. Perempuan itu menundukkan kepalanya, terlihat beberapa kali menguap. "Bos, mau langsung ke hotel atau mungkin ada tempat lain yang ingin dikunjungi dulu?" tanya Leo. Tanpa menoleh, Bima hanya mengangguk pelan. "Ke hotel saja," jawab Bima dengan suara ya
Bima mengerutkan dahinya saat menoleh ke arah Sandara yang sesekali tertawa saat guncangan mobil membuat tubuhnya seperti terayun ke samping kanan dan kiri. "Kamu nggak takut Dara?" tanya Bima seraya menoleh ke arah gadis itu. Sandara menggelengkan kepalanya. "Nggak Om, malah asik kayak gini. Udah kayak di film-film yang pernah Dara liat," jawabnya yang membuat Bima memijit pelipisnya. Sandara benar-benar aneh. Biasanya seorang gadis akan sangat takut jika melewati jalanan yang berbahaya seperti ini tapi tidak bagi Sandara, ia tidak takut sama sekali. Sedangkan naik pesawat ia sudah berteriak histeris. Benar-benar di luar nurul. Hujan deras yang turun tanpa henti membuat jalanan berlumpur menjadi lebih licin dan sulit untuk dilalui. Bima yang sedang mengemudi tampak sangat fokus, matanya mengerjap-ngerjap mencari jalur yang paling aman untuk mobilnya. Di sampingnya, Sandara tampak gelisah, jarinya menunjuk ke sisi kiri jalan yang terlihat lebih rata. "Kiri, Om," ucap Sandara deng
Bima berjalan dengan langkah pasti memasuki pabrik, ditemani Leo dan beberapa orang kepercayaan yang tampak tegang. Sandara mengikuti di belakang, matanya sesekali melirik ke arah jendela, menangkap pemandangan yang ia lewatkan karena Bima tidak memperkenankan dirinya untuk menjauh. Di dalam pabrik, suara mesin berdengung menemani mereka berkeliling. Bima, dengan pandangan tajam, memeriksa setiap sudut, mencermati bahan baku kayu jati yang akan digunakan untuk produksi furnitur. Leo mencatat beberapa poin penting, sementara karyawan lain berbisik-bisik, membahas kualitas kayu. Setelah inspeksi, mereka bergerak menuju ruang rapat. Atmosfer berubah menjadi lebih formal dan serius. Bima duduk di kepala meja, Leo di sampingnya, dan para pekerja mengelilingi mereka. Bima memulai pembicaraan, suaranya tegas, menekankan pentingnya memilih bahan baku terbaik untuk mempertahankan standar kualitas. Setiap orang di ruang itu memberikan perhatian penuh, menyimak setiap kata yang Bima ucapkan.