Bima mengerutkan dahinya saat menoleh ke arah Sandara yang sesekali tertawa saat guncangan mobil membuat tubuhnya seperti terayun ke samping kanan dan kiri. "Kamu nggak takut Dara?" tanya Bima seraya menoleh ke arah gadis itu. Sandara menggelengkan kepalanya. "Nggak Om, malah asik kayak gini. Udah kayak di film-film yang pernah Dara liat," jawabnya yang membuat Bima memijit pelipisnya. Sandara benar-benar aneh. Biasanya seorang gadis akan sangat takut jika melewati jalanan yang berbahaya seperti ini tapi tidak bagi Sandara, ia tidak takut sama sekali. Sedangkan naik pesawat ia sudah berteriak histeris. Benar-benar di luar nurul. Hujan deras yang turun tanpa henti membuat jalanan berlumpur menjadi lebih licin dan sulit untuk dilalui. Bima yang sedang mengemudi tampak sangat fokus, matanya mengerjap-ngerjap mencari jalur yang paling aman untuk mobilnya. Di sampingnya, Sandara tampak gelisah, jarinya menunjuk ke sisi kiri jalan yang terlihat lebih rata. "Kiri, Om," ucap Sandara deng
Bima berjalan dengan langkah pasti memasuki pabrik, ditemani Leo dan beberapa orang kepercayaan yang tampak tegang. Sandara mengikuti di belakang, matanya sesekali melirik ke arah jendela, menangkap pemandangan yang ia lewatkan karena Bima tidak memperkenankan dirinya untuk menjauh. Di dalam pabrik, suara mesin berdengung menemani mereka berkeliling. Bima, dengan pandangan tajam, memeriksa setiap sudut, mencermati bahan baku kayu jati yang akan digunakan untuk produksi furnitur. Leo mencatat beberapa poin penting, sementara karyawan lain berbisik-bisik, membahas kualitas kayu. Setelah inspeksi, mereka bergerak menuju ruang rapat. Atmosfer berubah menjadi lebih formal dan serius. Bima duduk di kepala meja, Leo di sampingnya, dan para pekerja mengelilingi mereka. Bima memulai pembicaraan, suaranya tegas, menekankan pentingnya memilih bahan baku terbaik untuk mempertahankan standar kualitas. Setiap orang di ruang itu memberikan perhatian penuh, menyimak setiap kata yang Bima ucapkan.
Ketika hari semakin larut, suasana di rumah Pak Barno semakin tenang namun hangat dengan obrolan yang berlangsung. Bima, yang telah berdiri siap untuk berpamitan, merasa harus segera kembali ke hotel mengingat kondisi jalan yang sangat sulit di lalui. "Terima kasih atas minumannya. Kami harus segera kembali ke hotel," ucap Bima dengan nada datar seperti biasanya. Pak Barno, yang masih berdiri di depan pintu, menawarkan lagi dengan harapan, "Loh, kenapa harus buru-buru. Pak Bima makan malam dulu." Bima, dengan tatapan yang teguh, menolak tawaran tersebut, "Kami harus kembali ke hotel. Istri saya harus istirahat," katanya sambil memegang tangan Sandara, menunjukkan kepadanya bahwa ia siap untuk mendukung keputusannya. Sandara memberikan senyum kecil sebagai tanda terima kasih kepada Bima. Pak Barno, yang tersenyum canggung, akhirnya mengerti dan tidak ingin memaksa lebih lanjut. "Baiklah, terima kasih sudah berkenan mampir," katanya dengan nada yang menghormati keputusan mereka. Bi
"Gue tidur sendiri aja Om. Nggak usah di puk puk kayak anak kecil. Om Bima tidur aja, pasti capek," ucap Sandara seraya menggeser tubuhnya ke sisi ranjang. "Hhmm, ini aku juga mau tidur," jawab Bima yang ikut menggeser tubuhnya mengikuti Sandara. Sandara mengerucutkan bibirnya. "Om bisa agak geser dikit nggak, gue mau jatuh." Bima sedikit menggeser tubuhnya dan kedua tangannya pun merengkuh tubuh Sandara agar mepet padanya. Sandara menepuk jidatnya. Ingin protes tapi percuma saja. Ia sudah malas berdebat dengan Bima malam-malam begini. Lebih baik ia memejamkan matanya saja. Sedangkan Bima, ia memejamkan kedua matanya seraya memeluk Sandara dengan erat. Keesokan harinya Sandara melihat Bima yang sudah berpakaian rapi sedang duduk dengan laptop di depannya. "Om Bima ganteng banget. Udah mau berangkat ke pabrik ya Om?" tanya Sandara dengan mengucek kedua matanya. Ia duduk bersila sambil mengagumi ke indahan makhluk yang ada di depannya itu. "Iya. Ayo bersiap, habis itu kita sara
Sandara berdiri tegang tak jauh dari tempat Leo berdiri, wajahnya memerah ketika menyadari kehadiran Om Bima yang tiba-tiba muncul. Dia mencoba menyembunyikan kegelisahannya dengan senyum yang dipaksakan. "Eh, Om Bima. Sejak kapan ada di sini? Nggak kok gue cuma bercanda aja," ucapnya dengan candaan yang terdengar gugup. Bima, dengan wajahnya yang tanpa ekspresi, mempersilakan Sandara untuk masuk. "Ayo masuk!" ujarnya dengan suara yang rendah dan dingin, menambah ketegangan yang sudah terasa. Sandara, yang merasa lebih nyaman berada di luar, menolak dengan halus. "Em, gue tunggu di sini aja Om. Gue bosen di dalam," katanya, sambil mengalihkan pandangannya, berusaha menghindari tatapan tajam yang dilemparkan oleh Bima. Menyadari bahwa dia tidak bisa memaksa lebih lanjut, Sandara berbicara dengan cepat, berharap dapat meyakinkan Bima. "Ayolah Om, Dara janji nggak akan kemana-mana kok sampai Om Bima selesai rapatnya," ujarnya, suaranya terdengar mendesak. Bima menghela napas panjan
Nirina melangkah maju, sambil memberikan rantang yang sudah ia bawa pada Bima. Leo, asisten Bima yang gesit segera menyambut rantang tersebut. "Terima kasih, Nona," ujarnya tanpa ekspresi. Nirina membalas dengan senyuman manisnya yang mencairkan suasana. "Semoga Pak Bima menikmati masakan saya. Silakan dicicipi," katanya penuh harap. Bima menggenggam erat tangan Sandara, hanya menjawab, "Nanti saya akan makan." Mata Nirina tidak lepas dari genggaman tangan itu. Dengan suara lirih yang hampir tak terdengar, Nirina mendesak, "Pak Bima, mungkin sebaiknya dicicipi sekarang, sebelum rasanya berubah karena dingin." Sandara memberi anggukan halus, menunjukkan bahwa dia tidak keberatan. Mereka kembali duduk. Leo dengan cekatan membuka rantang itu dan mencicipinya duluan, memastikan makanan itu aman untuk atasan. Nirina mengamat-amati setiap gerak Bima dan Sandara, hatinya berdebar mengharapkan pujian yang akan meluncur dari bibir Bima. Dengan tangan yang terampil, Nirina telah memp
Bima mengerutkan kening, suara dinginnya terputus-putus saat berkata, "Saya nggak mau foto dengan orang lain." Aura penolakannya seakan membekukan suasana sekitar. Sandara hanya bisa terpaku, bibirnya bergetar ingin berkata sesuatu, namun kata-kata tak kunjung terucap. Sementara itu, Nirina tercengang, matanya membulat tak percaya akan reaksi Bima. Dengan cepat, Leo meredakan ketegangan. "Nona Nirina, Pak Bima tidak nyaman dengan orang baru. Biar saya ambil fotomu," ucapnya sambil mengulurkan tangan untuk mengambil ponsel yang dipegang Nirina. "Nggak usah, Kak Leo. Aku bisa berselfie sendiri," balas Nirina dengan senyum yang terasa berat di wajahnya. Walaupun kecewa yang mendalam membayang karena ditolak Bima, dia bertekad untuk tidak menyerah memenangkan hatinya. Bima sama sekali tidak menghiraukan Nirina yang terus menatapnya. Ia menggandeng tangan Sandara saat gadis itu berpindah dari batu satu ke batu yang lainnya untuk bermain air. Sandara duduk di tepi sungai, kedua kaki m
Bima mengamati dokter setengah baya yang dengan cermat memeriksa Sandara. "Nona Sandara terkena racun dari tanaman liar, Pak," ujar sang dokter sambil menunjukkan bekas gigitan pada telapak tangan Sandara yang telah memerah dan membengkak. Dia mengambil jarum suntik, "Tapi tak perlu khawatir, saya sudah memberikan antiracunnya." Raut wajah Bima seolah terangkat sejenak tapi segera berubah cemas lagi. "Bagaimana dengan bengkak di tangannya itu?" tanyanya, suaranya gemetar. Dokter itu tersenyum, mencoba menenangkan, "Untuk itu, saya akan tuliskan resep obat," katanya sembari menyerahkan secarik kertas kepada Bima. Setelah dokter tersebut pamit, Bima dengan cepat mengarahkan Leo yang sudah bersiap, "Leo, tolong tebuskan resep ini segera," ucapnya, matanya masih menatap cemas Sandara yang terbaring lemah. "Baik Bos," jawab Leo patuh. Ia segera keluar dari kamar hotel tempat Sandara dan Bima menginap. Sandara terbaring lemah di tempat tidur hotel, wajahnya pucat pasi dan matanya