Nirina melangkah maju, sambil memberikan rantang yang sudah ia bawa pada Bima. Leo, asisten Bima yang gesit segera menyambut rantang tersebut. "Terima kasih, Nona," ujarnya tanpa ekspresi. Nirina membalas dengan senyuman manisnya yang mencairkan suasana. "Semoga Pak Bima menikmati masakan saya. Silakan dicicipi," katanya penuh harap. Bima menggenggam erat tangan Sandara, hanya menjawab, "Nanti saya akan makan." Mata Nirina tidak lepas dari genggaman tangan itu. Dengan suara lirih yang hampir tak terdengar, Nirina mendesak, "Pak Bima, mungkin sebaiknya dicicipi sekarang, sebelum rasanya berubah karena dingin." Sandara memberi anggukan halus, menunjukkan bahwa dia tidak keberatan. Mereka kembali duduk. Leo dengan cekatan membuka rantang itu dan mencicipinya duluan, memastikan makanan itu aman untuk atasan. Nirina mengamat-amati setiap gerak Bima dan Sandara, hatinya berdebar mengharapkan pujian yang akan meluncur dari bibir Bima. Dengan tangan yang terampil, Nirina telah memp
Bima mengerutkan kening, suara dinginnya terputus-putus saat berkata, "Saya nggak mau foto dengan orang lain." Aura penolakannya seakan membekukan suasana sekitar. Sandara hanya bisa terpaku, bibirnya bergetar ingin berkata sesuatu, namun kata-kata tak kunjung terucap. Sementara itu, Nirina tercengang, matanya membulat tak percaya akan reaksi Bima. Dengan cepat, Leo meredakan ketegangan. "Nona Nirina, Pak Bima tidak nyaman dengan orang baru. Biar saya ambil fotomu," ucapnya sambil mengulurkan tangan untuk mengambil ponsel yang dipegang Nirina. "Nggak usah, Kak Leo. Aku bisa berselfie sendiri," balas Nirina dengan senyum yang terasa berat di wajahnya. Walaupun kecewa yang mendalam membayang karena ditolak Bima, dia bertekad untuk tidak menyerah memenangkan hatinya. Bima sama sekali tidak menghiraukan Nirina yang terus menatapnya. Ia menggandeng tangan Sandara saat gadis itu berpindah dari batu satu ke batu yang lainnya untuk bermain air. Sandara duduk di tepi sungai, kedua kaki m
Bima mengamati dokter setengah baya yang dengan cermat memeriksa Sandara. "Nona Sandara terkena racun dari tanaman liar, Pak," ujar sang dokter sambil menunjukkan bekas gigitan pada telapak tangan Sandara yang telah memerah dan membengkak. Dia mengambil jarum suntik, "Tapi tak perlu khawatir, saya sudah memberikan antiracunnya." Raut wajah Bima seolah terangkat sejenak tapi segera berubah cemas lagi. "Bagaimana dengan bengkak di tangannya itu?" tanyanya, suaranya gemetar. Dokter itu tersenyum, mencoba menenangkan, "Untuk itu, saya akan tuliskan resep obat," katanya sembari menyerahkan secarik kertas kepada Bima. Setelah dokter tersebut pamit, Bima dengan cepat mengarahkan Leo yang sudah bersiap, "Leo, tolong tebuskan resep ini segera," ucapnya, matanya masih menatap cemas Sandara yang terbaring lemah. "Baik Bos," jawab Leo patuh. Ia segera keluar dari kamar hotel tempat Sandara dan Bima menginap. Sandara terbaring lemah di tempat tidur hotel, wajahnya pucat pasi dan matanya
Malam itu, Sandara tergolek resah di ranjangnya, mata terpejam tapi jantung berdegup kencang. Sudah hampir tiga bulan lamanya dia terbebas dari mimpi buruk yang kerap menghantuinya. Namun entah kenapa, malam ini mimpi itu datang lagi, terasa nyata dan menakutkan. Dalam mimpi tersebut, dia kembali menjadi Sandara kecil yang sedang di gendong oleh ibunya, ketika tiba-tiba mereka dikejar oleh sekelompok pria berwajah tersamarkan oleh topeng. Suara nafas berat dan langkah kaki pria-pria itu bergema di telinganya, membuat hatinya berpacu dalam ketakutan. "Mama, tolong! Jangan bawa mamaku!" teriak Sandara histeris. Tangannya menggapai-gapai ke udara, berusaha menyentuh tangan sang mama yang tampak semakin menjauh di pelukan pria asing itu. Tiba-tiba, sebuah sentuhan lembut mendarat di pipinya. Sandara terbangun, napas tersengal. Matanya terbuka dan ia mendapati Bima duduk di samping ranjang, pandangannya penuh kecemasan. Di sampingnya Bima berusaha menenangkan, ia merasakan kehangatan
"Sudah sana cepat mandi. Dari kemarin kamu nggak mandi," ucap Bima yang duduk di tepi tempat tidur. Mengingat kemarin keadaan Sandara yang memprihatinkan akibat terkena racun dari tumbuhan liar. Sandara mencibir dengan bibir yang mengerucut saat Bima menyibakkan selimutnya. "Apa sih, Om? Bentar lagi kenapa?" ucapnya dengan nada yang sedikit kesal. Bima hanya memandangnya dengan tatapan yang ambigu. "Apa kamu mau aku yang mandikan kamu?" tantangnya sambil tersenyum nakal. Wajah Sandara memerah, matanya agak terbelalak. "Eh, apaan sih. Gue bisa mandi sendiri tau," jawabnya sambil tergopoh-gopoh bangun dari tempat tidurnya. Kenakalan Bima belum berhenti. "Kenapa? Kita kan belum pernah coba mandi bersama," lanjutnya semakin menggoda. Sandara semakin malu, pipinya merona merah. Dengan langkah cepat, dia melompat dari tempat tidur sambil berusaha mengabaikan godaan Bima yang terus bergema di kepalanya. Bima tersenyum nakal saat melihat ekspresi malu yang terlukis jelas di waj
Sandara merasakan getaran marah menyelimuti seluruh tubuhnya. Bibirnya terasa kebas, dan hatinya seperti disayat-sayat oleh ulah Bima yang tiba-tiba menciumnya dengan kasar. "Huh! Dasar orang tua yang suka semena-mena!" gerutu Sandara dengan nada penuh kekesalan. Dengan gerakan cepat, ia menyambar tasnya yang tergeletak di atas meja kecil di pojok kamar hotel itu, dan tanpa menoleh lagi, ia bergegas keluar dari kamar tersebut. Saat melintas di koridor hotel, ia bertemu dengan Leo yang tampak bingung melihat perubahan suasana hati Sandara. Leo hanya mengerutkan dahinya, heran dengan kontrasnya suasana yang terjadi dalam hitungan menit. Beberapa waktu lalu, Sandara dan Bima tampak begitu romantis, namun kini wajah Sandara tampak kesal dan marah. Bima, seperti biasanya dengan ekspresi datar seperti tidak terpengaruh dengan suasana hati Sandara, keluar dari kamar dengan langkah yang pasti. Posturnya yang tegap dan penuh wibawa tidak mencerminkan kesalahan yang baru saja ia perbuat.
Nirina dengan cepat menyembunyikan kekagetannya saat Sandara menuduhnya. Dengan senyum yang dipaksakan, dia mencoba menenangkan suasana. "Kak Dara, aku itu malah nyari Kakak dari tadi," ucap Nirina, suaranya bergetar sedikit menandakan ketidaknyamanannya. Sandara, dengan santainya, mengangkat satu alis dan tersenyum sinis. "Oh iya? Bukannya lo ngarep kalau gue nggak datang ke sini ya?" sindirnya, menatap Nirina dengan tatapan yang tajam. Kedua mata Nirina mulai berkaca-kaca, bibirnya bergetar seolah menahan tangis. "Kak Dara kok gitu sih? Kak Dara dari tadi nuduh aku terus. Emang apa yang aku lakuin sama Kakak?" ujarnya, suaranya lembut, penuh dengan kesedihan dan kebingungan. Sudut bibir Sandara terangkat, menampilkan senyum yang ambigu. Dia melihat kelemahan Nirina dan merasa memiliki kekuatan atasnya. "Lo boleh saja pura-pura polos, tapi gue tahu lo lebih licik dari yang kelihatan," ucap Sandara dengan nada mengejek, membuat Nirina semakin terpojok. Nirina menggigit bibirnya, m
Leo bingung apakah harus membantu Sandara menyiapkan keperluannya mendaki atau tidak karena Bima tak menyetujui kalau gadis itu menerima tantangan dari Nirina untuk mendaki gunung yang ada di desa itu. "Bagaimana Bos?" tanya Leo pada atasannya itu. "Bantu dia," jawab Bima pada akhirnya tak bisa mencegah Sandara yang menerima tantangan itu. Leo pun mengangguk patuh dan mengikuti Sandara pergi kembali ke hotel. Sedangkan Bima masuk ke pabrik untuk menyelesaikan pekerjaannya meninjau bahan baku yang akan di proses. "Dasar keras kepala!" gumam Bima dengan wajah suramnya. Pendirian Sandara tidak dapat goyah. Dengan tatapan yang sulit di artikan Bima segera menyelesaikan pekerjaannya. Namun sebelum itu ia mengambil ponselnya untuk menelpon seseorang. "Baik Pak, besok pagi-pagi sekali kami sudah ada di sana," jawab seseorang yang barada di seberang telepon dengan patuh. Bima kembali menyimpan ponselnya dengan hati yang sedikit tenang. Sandara bersama Leo telah tiba di kota, mata Sanda