Share

Bab 89

Penulis: Syaard86
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Sandara merasakan getaran marah menyelimuti seluruh tubuhnya. Bibirnya terasa kebas, dan hatinya seperti disayat-sayat oleh ulah Bima yang tiba-tiba menciumnya dengan kasar.

"Huh! Dasar orang tua yang suka semena-mena!" gerutu Sandara dengan nada penuh kekesalan.

Dengan gerakan cepat, ia menyambar tasnya yang tergeletak di atas meja kecil di pojok kamar hotel itu, dan tanpa menoleh lagi, ia bergegas keluar dari kamar tersebut.

Saat melintas di koridor hotel, ia bertemu dengan Leo yang tampak bingung melihat perubahan suasana hati Sandara. Leo hanya mengerutkan dahinya, heran dengan kontrasnya suasana yang terjadi dalam hitungan menit. Beberapa waktu lalu, Sandara dan Bima tampak begitu romantis, namun kini wajah Sandara tampak kesal dan marah.

Bima, seperti biasanya dengan ekspresi datar seperti tidak terpengaruh dengan suasana hati Sandara, keluar dari kamar dengan langkah yang pasti. Posturnya yang tegap dan penuh wibawa tidak mencerminkan kesalahan yang baru saja ia perbuat.
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Kontrak Cinta Dengan CEO Dingin   Bab 90

    Nirina dengan cepat menyembunyikan kekagetannya saat Sandara menuduhnya. Dengan senyum yang dipaksakan, dia mencoba menenangkan suasana. "Kak Dara, aku itu malah nyari Kakak dari tadi," ucap Nirina, suaranya bergetar sedikit menandakan ketidaknyamanannya. Sandara, dengan santainya, mengangkat satu alis dan tersenyum sinis. "Oh iya? Bukannya lo ngarep kalau gue nggak datang ke sini ya?" sindirnya, menatap Nirina dengan tatapan yang tajam. Kedua mata Nirina mulai berkaca-kaca, bibirnya bergetar seolah menahan tangis. "Kak Dara kok gitu sih? Kak Dara dari tadi nuduh aku terus. Emang apa yang aku lakuin sama Kakak?" ujarnya, suaranya lembut, penuh dengan kesedihan dan kebingungan. Sudut bibir Sandara terangkat, menampilkan senyum yang ambigu. Dia melihat kelemahan Nirina dan merasa memiliki kekuatan atasnya. "Lo boleh saja pura-pura polos, tapi gue tahu lo lebih licik dari yang kelihatan," ucap Sandara dengan nada mengejek, membuat Nirina semakin terpojok. Nirina menggigit bibirnya, m

  • Kontrak Cinta Dengan CEO Dingin   Bab 91

    Leo bingung apakah harus membantu Sandara menyiapkan keperluannya mendaki atau tidak karena Bima tak menyetujui kalau gadis itu menerima tantangan dari Nirina untuk mendaki gunung yang ada di desa itu. "Bagaimana Bos?" tanya Leo pada atasannya itu. "Bantu dia," jawab Bima pada akhirnya tak bisa mencegah Sandara yang menerima tantangan itu. Leo pun mengangguk patuh dan mengikuti Sandara pergi kembali ke hotel. Sedangkan Bima masuk ke pabrik untuk menyelesaikan pekerjaannya meninjau bahan baku yang akan di proses. "Dasar keras kepala!" gumam Bima dengan wajah suramnya. Pendirian Sandara tidak dapat goyah. Dengan tatapan yang sulit di artikan Bima segera menyelesaikan pekerjaannya. Namun sebelum itu ia mengambil ponselnya untuk menelpon seseorang. "Baik Pak, besok pagi-pagi sekali kami sudah ada di sana," jawab seseorang yang barada di seberang telepon dengan patuh. Bima kembali menyimpan ponselnya dengan hati yang sedikit tenang. Sandara bersama Leo telah tiba di kota, mata Sanda

  • Kontrak Cinta Dengan CEO Dingin   Bab 92

    Setelah melepas kepergian Sandara. Bima sama sekali tidak beranjak dari tempatnya. Ia terus menatap ke arah jalan yang di lalui Sandara. "Bos, Nona Dara pasti akan baik-baik saja. Sudah ada mereka yang akan menjaganya," ucap Leo yang berdiri di samping Bima.Bima tak menjawab. Tatapannya lurus ke depan. Tak berapa lama para tim sar datang. Bima sudah mempersiapkan semuanya. Mulai dari orang-orang yang ikut mendaki Sandara hingga mendatangkan tim sar jika di perlukan sewaktu-waktu.Mereka semua menunggu di basecamp hingga para pendaki yang belum berangkat pun di buat bertanya-tanya."Ada apa? Apa ada pendaki yang tersesat?" "Apa ada korban di atas?""Siapa pria itu? Kelihatannya dia orang yang sangat penting dan berkuasa?""Eh, dia itu pemilik pabrik sebelah. Dia orang kota yang tak tega dengan istrinya yang mendapat tantangan dari Nirina. Istrinya itu menyangka kalau Nirina berusaha mendekatinya bukan karena berteman melainkan untuk mendekati suaminya itu," ujar pemilik warung yang

  • Kontrak Cinta Dengan CEO Dingin   Bab 93

    Sinar mentari tengah hari mengikuti setiap langkah Jo, Tio dan Sandara saat mereka menapaki jalur gunung yang curam. "Apa kak Dara bisa bela diri?" Jo memecah keheningan dengan pertanyaan itu. Sandara menoleh dengan kepalanya yang digeleng lembut, "Nggak, gue nggak ahli dalam bela diri," ucapnya tenang. Sementara mata mereka terus tertuju ke depan. "Aku lihat Kak Dara melawan kucing besar itu," Jo masih penasaran. Ada nada kagum dalam suaranya. "Itu insting bertahan hidup, gue harus bisa melindungi diri," Sandara menjelaskan tanpa membiarkan wajahnya terlalu banyak mengungkap perasaan. Raut wajahnya tetap tenang namun mata tajamnya sedikit terlihat. Sejenak, percakapan berhenti. Langkah kaki mereka bergema pelan, namun terganggu oleh teriakan memilukan di kejauhan. "Aw, Kak Dara. Tolong!" suara perempuan kesakitan memanggil Sandara dari balik semak. Refleks, Sandara berhenti. Ia mendengarkan dengan seksama, sikapnya siap sedia. "Kak Dara, tolongin gue!" suara Nirina kembali men

  • Kontrak Cinta Dengan CEO Dingin   Bab 94

    Kilauan kembang api yang menerangi langit malam menandakan suatu keadaan mendesak di puncak gunung. Bima dengan cepat mengenakan jaket tebalnya, mata terfokus penuh ketegangan. "Bos, anda juga akan ikut mendaki?" tanya Leo, asisten Bima bersama satu anggota tim sar, dengan raut wajah yang penuh kekhawatiran."Aku tidak bisa menunggu, aku harus pastikan keadaan Dara," jawab Bima dengan suara tegas yang menunjukkan urgensi. Dengan langkah yang mantap, dia segera bergabung dengan barisan tim sar yang sudah siap dengan peralatan lengkap.Angin malam yang dingin menerpa, namun semangat Bima terasa membara. Setiap jejak yang dilewati, pikirannya hanya tertuju pada keselamatan Dara, istrinya yang menerima tantangan dari Nirina hanya untuk sebuah pembuktian, mencapai puncak gunung dan kini terjebak dalam bahaya yang tidak diketahui. Dengan lampu senter yang menyala terang, Bima memimpin tim mendaki melalui jalur yang terjal dan licin, setiap saat berkomunikasi melalui walkie-talkie untuk mem

  • Kontrak Cinta Dengan CEO Dingin   Bab 95

    Belum sempat tim penyelamat menegur Bima Aryasena, pengusaha muda itu sudah memutuskan untuk turun ke jurang dengan tali. Bima yang keras kepala hanya terfokus untuk menemukan Sandara. Tim sar berusaha mengikuti, menggunakan tali untuk mendekat ke tempat Bima. "Pak Bima, bisa dengar saya? Lebih baik naik ke atas, bahaya di bawah!" teriak salah satu anggota tim sar, matanya lekat pada sosok Bima yang semakin menjauh ke bawah. Namun, Bima seolah tak mendengar. Nafasnya memburu, tangannya erat menggenggam tali sambil terus memanggil nama Sandara. Hatinya berdetak kencang, tidak hanya karena risiko yang diambilnya, tetapi juga karena perasaan yang tumbuh sejak malam yang tak terlupakan dengan Sandara. Meski pernikahan mereka hanyalah sebuah kontrak, cinta yang tak terduga kini mendorongnya dalam setiap tarik tali.Udara dingin jurang membelit tubuhnya, tapi tak ada yang bisa menghentikan langkahnya. Dia harus menemukan Sandara, perempuan yang telah mengisi kekosongan di hatinya.Dengan

  • Kontrak Cinta Dengan CEO Dingin   Bab 96

    Bima menapakkan kakinya ke atas dengan langkah yang tegap, diikuti oleh Leo yang membawakan sebuah carrier berwarna cerah. "Bos, carrier ini milik Nona Dara, saya yakin sekali," kata Leo dengan nada yang berat dan penuh keyakinan. "Ini artinya Dara harusnya tidak jauh dari tempat tas ini ditemukan," ucapnya, suaranya menggema keberanian. Dengan gerakan tangan yang tegas, Bima memerintahkan Leo untuk membuka carrier berwarna merah cerah yang ada di hadapannya. Leo, dengan tatapan penuh konsentrasi, mengangguk sebelum mulai membuka ritsleting tas tersebut. Setelah dibuka, Bima dengan cepat menyelam ke dalam isi tas, memeriksa setiap barang yang terbungkus rapi."Semua ini barang-barang milik Sandara," kata Bima, sambil memegang sebuah buku catatan dengan sampul kulit yang sudah terlihat usang. Dia membalik-balik halaman buku itu, mencari tanda-tanda atau catatan yang mungkin ditinggalkan Sandara.Sesuai dugaan, isinya penuh dengan barang-barang yang dikenalinya sebagai milik Sandara

  • Kontrak Cinta Dengan CEO Dingin   Bab 97

    Bima, Leo dan beberapa anggota tim SAR mempercepat langkah kaki menyusuri hutan yang lebat, dengan sobekan kain biru sebagai petunjuk terakhir. Ranting-ranting patah dan jejak kaki yang samar menjadi tanda bahwa mereka berada di jalur yang benar. Bima, dengan raut muka tegang dan tangan yang terkepal, terus memanggil nama Dara, suaranya bergema di antara pepohonan tinggi. Leo, yang mengikuti di belakang, tidak kalah cemasnya; matanya terus bergerak mencari-cari sosok yang mungkin tersembunyi di balik semak atau batu besar. Keringat mengucur deras di dahi keduanya, pakaian mereka lembap terkena embun pagi yang masih tersisa di dedaunan. Setiap bunyi yang tidak biasa membuat Bima berhenti sejenak, menajamkan pendengaran, berharap itu adalah panggilan balasan dari Dara. Semakin dalam mereka menyusuri hutan, semakin berat pula beban di hati mereka. Bima sesekali menoleh ke belakang, memastikan bahwa Leo masih di sana, sebagai pendukung di saat hatinya mulai diliputi keputusasaan. Di k

Bab terbaru

  • Kontrak Cinta Dengan CEO Dingin   Bab 142

    Sandara menggigit bibirnya, ragu untuk melangkah dan membantu asisten yang sedang mengemas pakaian di dalam kamar. Bima, dengan tangan terbuka, menghalangi Sandara. "Sayang, duduk saja di sini, biarkan bibik yang menangani semuanya," ujarnya lembut, sambil menunjuk ke sofa empuk di sudut ruangan. Bu Laras menoleh, menghela nafas ringan, dan tersenyum mengerti. "Nggak apa, Dara, kamu cukup tunjukkan saja pakaian mana yang ingin kamu bawa. Biar bibik yang mempersiapkan semuanya," katanya, suaranya menyiratkan keinginan agar Sandara tidak terlalu memaksakan diri. Sandara menarik napas panjang dan kembali menempati tempatnya di samping sang mama mertua, yang sudah terlihat antusias dengan persiapan. "Ma, nanti perlengkapan buat di rumah sakit taruh di tas besar ini saja ya. Jadi kita nggak perlu repot cari-cari lagi saat waktunya tiba," saran Sandara, matanya berbinar memikirkan segala kemungkinan yang bisa terjadi. Bu Laras, mama mertuanya mengangguk, dan bibik kembali sibuk deng

  • Kontrak Cinta Dengan CEO Dingin   Bab 141

    Hari itu, Sandara bersiap dengan gaun pesta yang anggun tapi terhambat oleh perutnya yang membuncit karena kehamilan. Dia mendekati Bima yang tengah duduk termenung di tepi ranjang, penuh penantian. "Sayang, bisa tolong aku?" rayunya lembut, tangan mungilnya mencoba meraih resleting di bagian punggung bawah gaunnya namun sia-sia. Bima menoleh, matanya berbinar saat melihat punggung istrinya yang terbuka dari resleting yang belum tertutup. Dengan senyuman, dia bangkit dan perlahan menarik resleting itu sambil berbisik, "Kamu memikat sekali hari ini, sayang." Sementara Sandara tersenyum, merasa berbunga dengan pujian dan sentuhan penuh cinta dari Bima."Dan kamu terlihat begitu seksi." Bima berkata sambil tersenyum, segera membantu Sandara menaikkan resleting gaun yang elegan itu. Sandara merasa lega sekaligus tersipu, cintanya pada Bima semakin dalam. Dengan perlahan, Bima membantu Sandara berdiri dan membenarkan gaunnya.Mereka berdua kemudian berangkat ke tempat Alin dan Leo akan

  • Kontrak Cinta Dengan CEO Dingin   Bab 140

    Leo dan Alin, yang beberapa saat lalu masih terkurung dalam pelukan hangat, tiba-tiba terpisah seperti dua kutub yang terdorong oleh kekuatan magnet. Wajah mereka semakin memerah saat Bima, dengan ekspresi yang tidak terima, memberikan teguran yang tajam. "Nggak sengaja Bos," kata Leo, suaranya terdengar lembut dan berusaha menenangkan suasana. Namun, Bima hanya mencibir dengan tatapan yang skeptis. "Mana ada berpelukan tapi nggak sengaja," balasnya, nada suaranya meninggi penuh ketidakpercayaan. Sementara itu, Leo hanya bisa tersenyum kikuk, senyum yang tampak dipaksakan untuk menyembunyikan kebingungannya. Alin, di sisi lain, menunduk dalam-dalam, rasa malu menggelayuti dirinya. Hatinya berdebar, khawatir atas apa yang baru saja terjadi dan bagaimana persepsi Bima terhadap situasi tersebut. Ia bahkan tidak berani mengangkat kepala untuk menatap Bima atau Sandara, takut akan pandangan yang mungkin akan semakin menambah rasa bersalah di hatinya. Keduanya, meski tak terucap, sali

  • Kontrak Cinta Dengan CEO Dingin   Bab 139

    Sandara terdiam, duduk di kursi roda yang didorong oleh Bima di sepanjang jalur pemakaman yang dipenuhi oleh deretan batu nisan. Wajahnya yang pucat dan lelah semakin membuatnya terlihat rapuh. Pada tangannya yang satu, masih terpasang jarum infus yang meneteskan cairan ke dalam pembuluh darahnya, sebuah pengingat dari sakit yang dia derita tidak hanya secara fisik tetapi juga emosional.Mata Sandara memandang tanpa fokus ke arah makam ayahnya yang baru saja ditutupi tanah. Air mata terus menderas tanpa henti, menciptakan jalur basah di kedua pipinya. Alin dan Bu Laras, yang telah seperti keluarga sendiri, berdiri di sampingnya, memberikan dukungan.Bu Laras, dengan lembut, mengusap punggung Sandara, mencoba memberikan kenyamanan sebisa mungkin. "Sayang, kamu yang sabar. Ayah kamu sudah di tempat yang nyaman," katanya dengan suara yang bergetar, mencoba menahan emosi sendiri.Alin, dengan mata yang juga berkaca-kaca, merangkul bahu Sandara. "Sabar ya Dar. Lo masih punya gue," bisiknya

  • Kontrak Cinta Dengan CEO Dingin   Bab 138

    "Bos jangan membuat kami iri dong. Kasihanilah kami," ucap Leo dengan mendramatisi keadaan.Bima tak menghiraukan ucapan asistennya itu, ia bahkan mencium bibir Sandara sekilas. Ia begitu takut kehilangan Sandara. Dua kali sudah Reva telah mencoba membunuh wanita yang akan menjadi ibu dari anaknya itu.Bima menatap Leo dengan tatapan yang sinis. "Jangan pura-pura, Leo. Kenapa kamu nggak langsung nikahi Alin aja? Bukannya kamu naksir berat sama dia," ujarnya, dengan nada menyudutkan. Leo tergagap, pipinya memerah terbakar malu, hatinya dipelintir ketidakberdayaan saat dia berusaha menyembunyikan wajahnya dari Alin yang saat itu juga tak berani menatap mata mereka berdua. Ia malah menundukkan kepala, pipinya menyala seperti membara. Sandara, yang juga di situ, melirik Alin, tersenyum kecil melihat reaksi sahabatnya itu. "Ada apa nih? Kok kayak yang sedang dimabuk asmara?" candanya, suaranya perlahan tetapi cukup terdengar. Bima tertawa terbahak-bahak, menambahi ejekan. "Lihat tuh,

  • Kontrak Cinta Dengan CEO Dingin   Bab 137

    Sandara terbangun dengan tiba-tiba, matanya membulat ketakutan saat melihat sosok perawat yang berdiri di hadapannya dengan bantal di tangan. Nafasnya tercekat, tubuhnya bergetar hebat saat mendengar suara serak itu."Aku adalah malaikat yang akan mencabut nyawamu!" seru Reva dengan senyum menyeringai di balik maskernya. Sinar mata Reva memancarkan kegilaan, membuat jantung Sandara semakin berdegup kencang."Reva!" pekik Sandara dalam kepanikan. Namun, ia tak bisa berbuat banyak. Tangannya yang terinfus dan tubuhnya yang masih lemah membuatnya tak berdaya. Ia hanya bisa menggelengkan kepalanya, berharap ini hanya mimpi buruk."Tidak Reva, pergi!" teriak Sandara, suaranya bergetar, mengusir Reva yang semakin mendekat. Air mata mulai mengalir di pipinya, ketakutan menguasai setiap inci tubuhnya saat dia menyadari situasi mengerikan yang sedang dihadapinya.Di dalam kamar mandi, Alin menghentakkan tubuhnya ke pintu kamar mandi yang tertutup rapat. Keringat dingin mengucur deras di pelipi

  • Kontrak Cinta Dengan CEO Dingin   Bab 136

    Bima berdiri tegap, pandangannya tajam menembus jendela yang mengarah ke ruang bawah tanah. "Leo, perintahkan anak buahmu untuk mengejar Ajeng segera. Setelah meninggalkan Pak Sudiro di dermaga pasti ia kehilangan arah. Dan jangan lupa, Reva harus kita tangkap. Dia membahayakan keselamatan Sandara," katanya dengan suara yang penuh otoritas. Rasa kecewa dan amarah terhadap Reva, mantan kekasihnya yang berkhianat, jelas terlihat di wajahnya. Leo, dengan ekspresi serius, mengangguk penuh semangat. "Siap, Bos!" jawabnya sambil mengepalkan tangan, siap menjalankan tugas. Sementara itu, di ruangan bawah tanah yang pengap, Bima menatap dingin ke arah Erdo yang tergeletak lemah. "Biarkan dia membusuk di sini," ucapnya tanpa belas kasihan, lalu berlalu dengan langkah berat. Di sisi lain, di ruang VVIP rumah sakit, keheningan menyelimuti ruangan ketika Sandara terlelap, hanya terdengar suara nafasnya yang lemah. Alin, yang duduk di sofa dekat tempat tidur, terlihat bosan sambil memainkan

  • Kontrak Cinta Dengan CEO Dingin   Bab 135

    Setelah memastikan keadaan Sandara baik-baik saja, Bima berencana untuk meninggalkannya sebentar saja. Tapi ia takut kalau Sandara tak ada yang menjaganya."Ada apa Om?" tanya Sandara dengan mengerutkan dahinya melihat Bima yang tampak sedikit gelisah.Bima mengulas senyumnya. "Nggak apa-apa sayang. Nanti kamu mau makan apa?" tanya Bima untuk mengalihkan perhatian Sandara.Sandara terdiam sejenak. "Apa boleh gue makan daging?" tanya Sandara dengan sedikit ragu mengingat kamarin ia baru saja di operasi."Tentu saja boleh, asal nggak berlebihan," jawab Bima dengan lembut sambil mengusap kepalanya panuh kasih sayang.Tak lama pintu ruangan itu di ketuk. Alin dengan senyum lebar masuk dan menghampiri sahabatnya."Hai, Dara. Gue minta maaf karena nggak percaya sama lo kalau lo liat Erdo waktu itu," ucap Alin penuh penyesalan. Menghambur memeluk sahabatnya.Sandara tersenyum kecil. "Nggak apa-apa, gue baik-baik aja kok," jawab Sandara dengan membalas pelukan Alin."Alin, apa kamu nggak sibu

  • Kontrak Cinta Dengan CEO Dingin   Bab 134

    Sandara menunduk, bibir bawahnya terjepit antara giginya. Dia berada di persimpangan hati; sebentuk kebenaran mengetuk bibirnya—ia sedang mengandung. Bimbang menari di benaknya, rasa takut Bima takkan menerima ini menguar kuat. "Nggak ada Om, gue ***a bilang kangen doang," suaranya meredup, terdengar dari ujung bibir yang bergetar pelan. Bima, suaminya—meski hanya di atas kertas—menggenggam erat tangan Sandara. Raut mukanya memerah, peningkatan denyut jantungnya nyata sekali seakan ingin meluapkan kekesalan. Namun, pandangannya tertuju pada perban yang masih terlilit di lengan Sandara, sisa-sisa operasi yang belum lama. Napasnya dihela dalam-dalam, berusaha menenangkan amarahnya. Tanpa sadar oleh Sandara, saat dia pingsan sebelumnya, dokter telah memberi tahu Bima tentang kehamilannya. "Kamu yakin?" Bima mendorong sekali lagi, suaranya lebih halus, mendesak namun penuh pengertian, mencoba menggali kejujuran dari hati Sandara.Sandara menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulk

DMCA.com Protection Status