Kilauan kembang api yang menerangi langit malam menandakan suatu keadaan mendesak di puncak gunung. Bima dengan cepat mengenakan jaket tebalnya, mata terfokus penuh ketegangan. "Bos, anda juga akan ikut mendaki?" tanya Leo, asisten Bima bersama satu anggota tim sar, dengan raut wajah yang penuh kekhawatiran."Aku tidak bisa menunggu, aku harus pastikan keadaan Dara," jawab Bima dengan suara tegas yang menunjukkan urgensi. Dengan langkah yang mantap, dia segera bergabung dengan barisan tim sar yang sudah siap dengan peralatan lengkap.Angin malam yang dingin menerpa, namun semangat Bima terasa membara. Setiap jejak yang dilewati, pikirannya hanya tertuju pada keselamatan Dara, istrinya yang menerima tantangan dari Nirina hanya untuk sebuah pembuktian, mencapai puncak gunung dan kini terjebak dalam bahaya yang tidak diketahui. Dengan lampu senter yang menyala terang, Bima memimpin tim mendaki melalui jalur yang terjal dan licin, setiap saat berkomunikasi melalui walkie-talkie untuk mem
Belum sempat tim penyelamat menegur Bima Aryasena, pengusaha muda itu sudah memutuskan untuk turun ke jurang dengan tali. Bima yang keras kepala hanya terfokus untuk menemukan Sandara. Tim sar berusaha mengikuti, menggunakan tali untuk mendekat ke tempat Bima. "Pak Bima, bisa dengar saya? Lebih baik naik ke atas, bahaya di bawah!" teriak salah satu anggota tim sar, matanya lekat pada sosok Bima yang semakin menjauh ke bawah. Namun, Bima seolah tak mendengar. Nafasnya memburu, tangannya erat menggenggam tali sambil terus memanggil nama Sandara. Hatinya berdetak kencang, tidak hanya karena risiko yang diambilnya, tetapi juga karena perasaan yang tumbuh sejak malam yang tak terlupakan dengan Sandara. Meski pernikahan mereka hanyalah sebuah kontrak, cinta yang tak terduga kini mendorongnya dalam setiap tarik tali.Udara dingin jurang membelit tubuhnya, tapi tak ada yang bisa menghentikan langkahnya. Dia harus menemukan Sandara, perempuan yang telah mengisi kekosongan di hatinya.Dengan
Bima menapakkan kakinya ke atas dengan langkah yang tegap, diikuti oleh Leo yang membawakan sebuah carrier berwarna cerah. "Bos, carrier ini milik Nona Dara, saya yakin sekali," kata Leo dengan nada yang berat dan penuh keyakinan. "Ini artinya Dara harusnya tidak jauh dari tempat tas ini ditemukan," ucapnya, suaranya menggema keberanian. Dengan gerakan tangan yang tegas, Bima memerintahkan Leo untuk membuka carrier berwarna merah cerah yang ada di hadapannya. Leo, dengan tatapan penuh konsentrasi, mengangguk sebelum mulai membuka ritsleting tas tersebut. Setelah dibuka, Bima dengan cepat menyelam ke dalam isi tas, memeriksa setiap barang yang terbungkus rapi."Semua ini barang-barang milik Sandara," kata Bima, sambil memegang sebuah buku catatan dengan sampul kulit yang sudah terlihat usang. Dia membalik-balik halaman buku itu, mencari tanda-tanda atau catatan yang mungkin ditinggalkan Sandara.Sesuai dugaan, isinya penuh dengan barang-barang yang dikenalinya sebagai milik Sandara
Bima, Leo dan beberapa anggota tim SAR mempercepat langkah kaki menyusuri hutan yang lebat, dengan sobekan kain biru sebagai petunjuk terakhir. Ranting-ranting patah dan jejak kaki yang samar menjadi tanda bahwa mereka berada di jalur yang benar. Bima, dengan raut muka tegang dan tangan yang terkepal, terus memanggil nama Dara, suaranya bergema di antara pepohonan tinggi. Leo, yang mengikuti di belakang, tidak kalah cemasnya; matanya terus bergerak mencari-cari sosok yang mungkin tersembunyi di balik semak atau batu besar. Keringat mengucur deras di dahi keduanya, pakaian mereka lembap terkena embun pagi yang masih tersisa di dedaunan. Setiap bunyi yang tidak biasa membuat Bima berhenti sejenak, menajamkan pendengaran, berharap itu adalah panggilan balasan dari Dara. Semakin dalam mereka menyusuri hutan, semakin berat pula beban di hati mereka. Bima sesekali menoleh ke belakang, memastikan bahwa Leo masih di sana, sebagai pendukung di saat hatinya mulai diliputi keputusasaan. Di k
Setelah turun dan sampai di basecamp, Sandara dibuat terperanjat oleh keramaian yang tak biasa. Suasana basecamp yang penuh sesak dengan para pendaki, tim SAR, dan dokter, mengindikasikan ada kejadian besar. Ternyata, istri dari pengusaha yang sempat hilang telah ditemukan dalam kondisi selamat, sementara seorang penantang lainnya jatuh ke jurang dan nasibnya masih belum diketahui."Wah, ini apa-apaan sih? Gue cuma luka kecil doang Om. Gue tau Om berkuasa tapi nggak gitu juga kali," gumam Sandara, bibirnya mengerucut sambil melihat sekeliling yang dipenuhi peralatan medis dan helikopter yang terparkir tak jauh dari situ.Bima, yang duduk lelah di sampingnya, hanya memejamkan mata dan mendengus pelan. Dia telah melewati malam tanpa tidur sejak Sandara menghilang, dan sekarang tampaknya emosi dan kelelahannya berbaur menjadi satu.Sandara mengamati wajah lelah suaminya itu, dan sejenak, keluh kesah tentang keramaian dan perhatian berlebihan itu terasa begitu kecil.Leo berjalan cepat ma
Bima, yang berdiri dengan postur tegap dan wajah tanpa ekspresi, memandang Sandara dengan tatapan yang sulit untuk diartikan. Sandara, dengan tenang, menghadapi suaminya itu, seakan tak terpengaruh oleh aura dingin yang Bima pancarkan. "Gue nggak ngelakuin apa-apa Om," kata Sandara, seolah merasakan pertanyaan yang tak terucap dari suaminya.Dalam hening yang merebak, kenangan tentang petualangan di puncak gunung menyelinap ke pikiran Sandara. Dia mengingat kegembiraan yang ia rasakan saat memetik bunga di sana. “Leo, carrier gue mana?” tanya Sandara, memecah keheningan, kepada asisten Bima yang berdiri tidak jauh dari mereka.Leo, dengan gerakan yang cekatan dan penuh hormat, segera membawakan tas carrier milik Sandara. "Ini Nyonya," ucapnya seraya menyerahkan tas tersebut. Sandara, dengan gerakan yang penuh antisipasi, membuka tas carrier tersebut dan mengeluarkan sesuatu dari dalamnya."Ini Om, gue lupa. Gue bisa petik bunga ini di puncak. Gue petik sendiri," ujar Sandara, sambil m
"Leo, tolong," bisik Sandara dengan suara datar, matanya memandang asistennya dan suaminya itu sambil memberikan ponselnya. Leo dengan cepat menerima ponsel dari tangan Sandara yang terlihat santai dan langsung membuka galeri. Tangannya yang cekatan menekan play dan mata beberapa pendaki yang hadir membelalak melihat apa yang terjadi. Di layar, Sandara tampak bersemangat merekam perjalanannya di puncak gunung. Tiba-tiba, langkah kakinya yang baru beberapa meter menuruni jalan licin terhenti. Sebuah sosok dengan penutup wajah mendadak muncul dari balik semak, mendorongnya keras. Ponselnya terlepas dari genggamannya, terbang menari di udara sebelum jatuh tepat di tepi jurang. Napas Sandara tercekat, ia berhasil menyelamatkan ponsel itu setelah melepaskan tas carrier-nya, berjuang menggapai dengan satu tangan sementara tangan lainnya berpegangan pada ****** pohon besar yang menghalangi jatuhnya ia ke dalam jurang. Leo, dengan segera, mengirim video itu ke ponsel Bima. Para pendaki d
Menerima tatapan menusuk dari Bima, Sandara merasakan denyut kegugupan seiring dengan tatapan tersebut. Dengan sigap, dia langsung membaringkan dirinya di atas kasur empuk rumah sakit, mengambil posisi seolah hendak tidur. "Gue ngantuk Om, mau tidur," kilahnya cepat, suaranya terdengar bergetar sedikit, menghindari terjebak dalam tatapan menuntut itu. Bima, meskipun jelas-jelas kesal, tetap memilih untuk tidak beradu argumen. Dia menghela napas berat sebelum perlahan-lahan menempatkan tangannya di kepala Sandara, mengusap dengan kelembutan yang bertolak belakang dengan wajahnya yang masih terselimuti kemarahan. "Tidurlah," bisiknya seraya matanya tak lepas dari raut wajah Sandara yang seakan menyembunyikan sesuatu. Tak lama kemudian, suara dengkuran halus terdengar, memecah kesunyian ruangan yang hanya diterangi lampu remang-remang. Bima menatap Sandara yang tampak lelap, senyum tipis menghiasi wajah dinginnya, pertanda lega namun tetap waspada. Pintu ruangan kemudian terbuka
Sandara menggigit bibirnya, ragu untuk melangkah dan membantu asisten yang sedang mengemas pakaian di dalam kamar. Bima, dengan tangan terbuka, menghalangi Sandara. "Sayang, duduk saja di sini, biarkan bibik yang menangani semuanya," ujarnya lembut, sambil menunjuk ke sofa empuk di sudut ruangan. Bu Laras menoleh, menghela nafas ringan, dan tersenyum mengerti. "Nggak apa, Dara, kamu cukup tunjukkan saja pakaian mana yang ingin kamu bawa. Biar bibik yang mempersiapkan semuanya," katanya, suaranya menyiratkan keinginan agar Sandara tidak terlalu memaksakan diri. Sandara menarik napas panjang dan kembali menempati tempatnya di samping sang mama mertua, yang sudah terlihat antusias dengan persiapan. "Ma, nanti perlengkapan buat di rumah sakit taruh di tas besar ini saja ya. Jadi kita nggak perlu repot cari-cari lagi saat waktunya tiba," saran Sandara, matanya berbinar memikirkan segala kemungkinan yang bisa terjadi. Bu Laras, mama mertuanya mengangguk, dan bibik kembali sibuk deng
Hari itu, Sandara bersiap dengan gaun pesta yang anggun tapi terhambat oleh perutnya yang membuncit karena kehamilan. Dia mendekati Bima yang tengah duduk termenung di tepi ranjang, penuh penantian. "Sayang, bisa tolong aku?" rayunya lembut, tangan mungilnya mencoba meraih resleting di bagian punggung bawah gaunnya namun sia-sia. Bima menoleh, matanya berbinar saat melihat punggung istrinya yang terbuka dari resleting yang belum tertutup. Dengan senyuman, dia bangkit dan perlahan menarik resleting itu sambil berbisik, "Kamu memikat sekali hari ini, sayang." Sementara Sandara tersenyum, merasa berbunga dengan pujian dan sentuhan penuh cinta dari Bima."Dan kamu terlihat begitu seksi." Bima berkata sambil tersenyum, segera membantu Sandara menaikkan resleting gaun yang elegan itu. Sandara merasa lega sekaligus tersipu, cintanya pada Bima semakin dalam. Dengan perlahan, Bima membantu Sandara berdiri dan membenarkan gaunnya.Mereka berdua kemudian berangkat ke tempat Alin dan Leo akan
Leo dan Alin, yang beberapa saat lalu masih terkurung dalam pelukan hangat, tiba-tiba terpisah seperti dua kutub yang terdorong oleh kekuatan magnet. Wajah mereka semakin memerah saat Bima, dengan ekspresi yang tidak terima, memberikan teguran yang tajam. "Nggak sengaja Bos," kata Leo, suaranya terdengar lembut dan berusaha menenangkan suasana. Namun, Bima hanya mencibir dengan tatapan yang skeptis. "Mana ada berpelukan tapi nggak sengaja," balasnya, nada suaranya meninggi penuh ketidakpercayaan. Sementara itu, Leo hanya bisa tersenyum kikuk, senyum yang tampak dipaksakan untuk menyembunyikan kebingungannya. Alin, di sisi lain, menunduk dalam-dalam, rasa malu menggelayuti dirinya. Hatinya berdebar, khawatir atas apa yang baru saja terjadi dan bagaimana persepsi Bima terhadap situasi tersebut. Ia bahkan tidak berani mengangkat kepala untuk menatap Bima atau Sandara, takut akan pandangan yang mungkin akan semakin menambah rasa bersalah di hatinya. Keduanya, meski tak terucap, sali
Sandara terdiam, duduk di kursi roda yang didorong oleh Bima di sepanjang jalur pemakaman yang dipenuhi oleh deretan batu nisan. Wajahnya yang pucat dan lelah semakin membuatnya terlihat rapuh. Pada tangannya yang satu, masih terpasang jarum infus yang meneteskan cairan ke dalam pembuluh darahnya, sebuah pengingat dari sakit yang dia derita tidak hanya secara fisik tetapi juga emosional.Mata Sandara memandang tanpa fokus ke arah makam ayahnya yang baru saja ditutupi tanah. Air mata terus menderas tanpa henti, menciptakan jalur basah di kedua pipinya. Alin dan Bu Laras, yang telah seperti keluarga sendiri, berdiri di sampingnya, memberikan dukungan.Bu Laras, dengan lembut, mengusap punggung Sandara, mencoba memberikan kenyamanan sebisa mungkin. "Sayang, kamu yang sabar. Ayah kamu sudah di tempat yang nyaman," katanya dengan suara yang bergetar, mencoba menahan emosi sendiri.Alin, dengan mata yang juga berkaca-kaca, merangkul bahu Sandara. "Sabar ya Dar. Lo masih punya gue," bisiknya
"Bos jangan membuat kami iri dong. Kasihanilah kami," ucap Leo dengan mendramatisi keadaan.Bima tak menghiraukan ucapan asistennya itu, ia bahkan mencium bibir Sandara sekilas. Ia begitu takut kehilangan Sandara. Dua kali sudah Reva telah mencoba membunuh wanita yang akan menjadi ibu dari anaknya itu.Bima menatap Leo dengan tatapan yang sinis. "Jangan pura-pura, Leo. Kenapa kamu nggak langsung nikahi Alin aja? Bukannya kamu naksir berat sama dia," ujarnya, dengan nada menyudutkan. Leo tergagap, pipinya memerah terbakar malu, hatinya dipelintir ketidakberdayaan saat dia berusaha menyembunyikan wajahnya dari Alin yang saat itu juga tak berani menatap mata mereka berdua. Ia malah menundukkan kepala, pipinya menyala seperti membara. Sandara, yang juga di situ, melirik Alin, tersenyum kecil melihat reaksi sahabatnya itu. "Ada apa nih? Kok kayak yang sedang dimabuk asmara?" candanya, suaranya perlahan tetapi cukup terdengar. Bima tertawa terbahak-bahak, menambahi ejekan. "Lihat tuh,
Sandara terbangun dengan tiba-tiba, matanya membulat ketakutan saat melihat sosok perawat yang berdiri di hadapannya dengan bantal di tangan. Nafasnya tercekat, tubuhnya bergetar hebat saat mendengar suara serak itu."Aku adalah malaikat yang akan mencabut nyawamu!" seru Reva dengan senyum menyeringai di balik maskernya. Sinar mata Reva memancarkan kegilaan, membuat jantung Sandara semakin berdegup kencang."Reva!" pekik Sandara dalam kepanikan. Namun, ia tak bisa berbuat banyak. Tangannya yang terinfus dan tubuhnya yang masih lemah membuatnya tak berdaya. Ia hanya bisa menggelengkan kepalanya, berharap ini hanya mimpi buruk."Tidak Reva, pergi!" teriak Sandara, suaranya bergetar, mengusir Reva yang semakin mendekat. Air mata mulai mengalir di pipinya, ketakutan menguasai setiap inci tubuhnya saat dia menyadari situasi mengerikan yang sedang dihadapinya.Di dalam kamar mandi, Alin menghentakkan tubuhnya ke pintu kamar mandi yang tertutup rapat. Keringat dingin mengucur deras di pelipi
Bima berdiri tegap, pandangannya tajam menembus jendela yang mengarah ke ruang bawah tanah. "Leo, perintahkan anak buahmu untuk mengejar Ajeng segera. Setelah meninggalkan Pak Sudiro di dermaga pasti ia kehilangan arah. Dan jangan lupa, Reva harus kita tangkap. Dia membahayakan keselamatan Sandara," katanya dengan suara yang penuh otoritas. Rasa kecewa dan amarah terhadap Reva, mantan kekasihnya yang berkhianat, jelas terlihat di wajahnya. Leo, dengan ekspresi serius, mengangguk penuh semangat. "Siap, Bos!" jawabnya sambil mengepalkan tangan, siap menjalankan tugas. Sementara itu, di ruangan bawah tanah yang pengap, Bima menatap dingin ke arah Erdo yang tergeletak lemah. "Biarkan dia membusuk di sini," ucapnya tanpa belas kasihan, lalu berlalu dengan langkah berat. Di sisi lain, di ruang VVIP rumah sakit, keheningan menyelimuti ruangan ketika Sandara terlelap, hanya terdengar suara nafasnya yang lemah. Alin, yang duduk di sofa dekat tempat tidur, terlihat bosan sambil memainkan
Setelah memastikan keadaan Sandara baik-baik saja, Bima berencana untuk meninggalkannya sebentar saja. Tapi ia takut kalau Sandara tak ada yang menjaganya."Ada apa Om?" tanya Sandara dengan mengerutkan dahinya melihat Bima yang tampak sedikit gelisah.Bima mengulas senyumnya. "Nggak apa-apa sayang. Nanti kamu mau makan apa?" tanya Bima untuk mengalihkan perhatian Sandara.Sandara terdiam sejenak. "Apa boleh gue makan daging?" tanya Sandara dengan sedikit ragu mengingat kamarin ia baru saja di operasi."Tentu saja boleh, asal nggak berlebihan," jawab Bima dengan lembut sambil mengusap kepalanya panuh kasih sayang.Tak lama pintu ruangan itu di ketuk. Alin dengan senyum lebar masuk dan menghampiri sahabatnya."Hai, Dara. Gue minta maaf karena nggak percaya sama lo kalau lo liat Erdo waktu itu," ucap Alin penuh penyesalan. Menghambur memeluk sahabatnya.Sandara tersenyum kecil. "Nggak apa-apa, gue baik-baik aja kok," jawab Sandara dengan membalas pelukan Alin."Alin, apa kamu nggak sibu
Sandara menunduk, bibir bawahnya terjepit antara giginya. Dia berada di persimpangan hati; sebentuk kebenaran mengetuk bibirnya—ia sedang mengandung. Bimbang menari di benaknya, rasa takut Bima takkan menerima ini menguar kuat. "Nggak ada Om, gue ***a bilang kangen doang," suaranya meredup, terdengar dari ujung bibir yang bergetar pelan. Bima, suaminya—meski hanya di atas kertas—menggenggam erat tangan Sandara. Raut mukanya memerah, peningkatan denyut jantungnya nyata sekali seakan ingin meluapkan kekesalan. Namun, pandangannya tertuju pada perban yang masih terlilit di lengan Sandara, sisa-sisa operasi yang belum lama. Napasnya dihela dalam-dalam, berusaha menenangkan amarahnya. Tanpa sadar oleh Sandara, saat dia pingsan sebelumnya, dokter telah memberi tahu Bima tentang kehamilannya. "Kamu yakin?" Bima mendorong sekali lagi, suaranya lebih halus, mendesak namun penuh pengertian, mencoba menggali kejujuran dari hati Sandara.Sandara menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulk