Bima menapakkan kakinya ke atas dengan langkah yang tegap, diikuti oleh Leo yang membawakan sebuah carrier berwarna cerah. "Bos, carrier ini milik Nona Dara, saya yakin sekali," kata Leo dengan nada yang berat dan penuh keyakinan. "Ini artinya Dara harusnya tidak jauh dari tempat tas ini ditemukan," ucapnya, suaranya menggema keberanian. Dengan gerakan tangan yang tegas, Bima memerintahkan Leo untuk membuka carrier berwarna merah cerah yang ada di hadapannya. Leo, dengan tatapan penuh konsentrasi, mengangguk sebelum mulai membuka ritsleting tas tersebut. Setelah dibuka, Bima dengan cepat menyelam ke dalam isi tas, memeriksa setiap barang yang terbungkus rapi."Semua ini barang-barang milik Sandara," kata Bima, sambil memegang sebuah buku catatan dengan sampul kulit yang sudah terlihat usang. Dia membalik-balik halaman buku itu, mencari tanda-tanda atau catatan yang mungkin ditinggalkan Sandara.Sesuai dugaan, isinya penuh dengan barang-barang yang dikenalinya sebagai milik Sandara
Bima, Leo dan beberapa anggota tim SAR mempercepat langkah kaki menyusuri hutan yang lebat, dengan sobekan kain biru sebagai petunjuk terakhir. Ranting-ranting patah dan jejak kaki yang samar menjadi tanda bahwa mereka berada di jalur yang benar. Bima, dengan raut muka tegang dan tangan yang terkepal, terus memanggil nama Dara, suaranya bergema di antara pepohonan tinggi. Leo, yang mengikuti di belakang, tidak kalah cemasnya; matanya terus bergerak mencari-cari sosok yang mungkin tersembunyi di balik semak atau batu besar. Keringat mengucur deras di dahi keduanya, pakaian mereka lembap terkena embun pagi yang masih tersisa di dedaunan. Setiap bunyi yang tidak biasa membuat Bima berhenti sejenak, menajamkan pendengaran, berharap itu adalah panggilan balasan dari Dara. Semakin dalam mereka menyusuri hutan, semakin berat pula beban di hati mereka. Bima sesekali menoleh ke belakang, memastikan bahwa Leo masih di sana, sebagai pendukung di saat hatinya mulai diliputi keputusasaan. Di k
Setelah turun dan sampai di basecamp, Sandara dibuat terperanjat oleh keramaian yang tak biasa. Suasana basecamp yang penuh sesak dengan para pendaki, tim SAR, dan dokter, mengindikasikan ada kejadian besar. Ternyata, istri dari pengusaha yang sempat hilang telah ditemukan dalam kondisi selamat, sementara seorang penantang lainnya jatuh ke jurang dan nasibnya masih belum diketahui."Wah, ini apa-apaan sih? Gue cuma luka kecil doang Om. Gue tau Om berkuasa tapi nggak gitu juga kali," gumam Sandara, bibirnya mengerucut sambil melihat sekeliling yang dipenuhi peralatan medis dan helikopter yang terparkir tak jauh dari situ.Bima, yang duduk lelah di sampingnya, hanya memejamkan mata dan mendengus pelan. Dia telah melewati malam tanpa tidur sejak Sandara menghilang, dan sekarang tampaknya emosi dan kelelahannya berbaur menjadi satu.Sandara mengamati wajah lelah suaminya itu, dan sejenak, keluh kesah tentang keramaian dan perhatian berlebihan itu terasa begitu kecil.Leo berjalan cepat ma
Bima, yang berdiri dengan postur tegap dan wajah tanpa ekspresi, memandang Sandara dengan tatapan yang sulit untuk diartikan. Sandara, dengan tenang, menghadapi suaminya itu, seakan tak terpengaruh oleh aura dingin yang Bima pancarkan. "Gue nggak ngelakuin apa-apa Om," kata Sandara, seolah merasakan pertanyaan yang tak terucap dari suaminya.Dalam hening yang merebak, kenangan tentang petualangan di puncak gunung menyelinap ke pikiran Sandara. Dia mengingat kegembiraan yang ia rasakan saat memetik bunga di sana. “Leo, carrier gue mana?” tanya Sandara, memecah keheningan, kepada asisten Bima yang berdiri tidak jauh dari mereka.Leo, dengan gerakan yang cekatan dan penuh hormat, segera membawakan tas carrier milik Sandara. "Ini Nyonya," ucapnya seraya menyerahkan tas tersebut. Sandara, dengan gerakan yang penuh antisipasi, membuka tas carrier tersebut dan mengeluarkan sesuatu dari dalamnya."Ini Om, gue lupa. Gue bisa petik bunga ini di puncak. Gue petik sendiri," ujar Sandara, sambil m
"Leo, tolong," bisik Sandara dengan suara datar, matanya memandang asistennya dan suaminya itu sambil memberikan ponselnya. Leo dengan cepat menerima ponsel dari tangan Sandara yang terlihat santai dan langsung membuka galeri. Tangannya yang cekatan menekan play dan mata beberapa pendaki yang hadir membelalak melihat apa yang terjadi. Di layar, Sandara tampak bersemangat merekam perjalanannya di puncak gunung. Tiba-tiba, langkah kakinya yang baru beberapa meter menuruni jalan licin terhenti. Sebuah sosok dengan penutup wajah mendadak muncul dari balik semak, mendorongnya keras. Ponselnya terlepas dari genggamannya, terbang menari di udara sebelum jatuh tepat di tepi jurang. Napas Sandara tercekat, ia berhasil menyelamatkan ponsel itu setelah melepaskan tas carrier-nya, berjuang menggapai dengan satu tangan sementara tangan lainnya berpegangan pada ****** pohon besar yang menghalangi jatuhnya ia ke dalam jurang. Leo, dengan segera, mengirim video itu ke ponsel Bima. Para pendaki d
Menerima tatapan menusuk dari Bima, Sandara merasakan denyut kegugupan seiring dengan tatapan tersebut. Dengan sigap, dia langsung membaringkan dirinya di atas kasur empuk rumah sakit, mengambil posisi seolah hendak tidur. "Gue ngantuk Om, mau tidur," kilahnya cepat, suaranya terdengar bergetar sedikit, menghindari terjebak dalam tatapan menuntut itu. Bima, meskipun jelas-jelas kesal, tetap memilih untuk tidak beradu argumen. Dia menghela napas berat sebelum perlahan-lahan menempatkan tangannya di kepala Sandara, mengusap dengan kelembutan yang bertolak belakang dengan wajahnya yang masih terselimuti kemarahan. "Tidurlah," bisiknya seraya matanya tak lepas dari raut wajah Sandara yang seakan menyembunyikan sesuatu. Tak lama kemudian, suara dengkuran halus terdengar, memecah kesunyian ruangan yang hanya diterangi lampu remang-remang. Bima menatap Sandara yang tampak lelap, senyum tipis menghiasi wajah dinginnya, pertanda lega namun tetap waspada. Pintu ruangan kemudian terbuka
Sandara meremas-remas bantal, pipinya memerah seperti tomat matang. "Njiiir, kenapa gue malu-maluin gini sih. Asem emang!" bisiknya pada diri sendiri, menyembunyikan wajahnya di dalam selimut setelah melihat Bima tertawa kecil melihat tingkahnya yang tanpa sadar berteriak-tetiak dalam tidurnya. “Kenapa seperti itu?” tanya Bima, suaranya terdengar lembut namun cukup untuk membuat pipi Sandara semakin panas. "Udah nggak usah bahas itu lagi kenapa sih Om," sahut Sandara, semakin menyembunyikan wajahnya yang semakin memerah. Bima hanya tersenyum, lalu mengusap kepala Sandara dengan lembut.Bertepatan dengan itu, Leo masuk bersama Bu Laras. Cepat-cepat Sandara mengelak tangan Bima yang mengelus kepalanya. Malu saja ada mama mertua yang melihatnya.Pintu kamar terbuka pelan, dan Bu Laras, yang selama ini ia anggap sebagai ibunya sendiri, melangkah masuk dengan wajah penuh kekhawatiran. "Dara, kamu sudah sehat Nak?" tanyanya lembut, mendekati tempat tidur.Sandara mengangkat tubuhnya sedik
Sandara memutar bola matanya malas, jelas terlihat rasa tidak suka pada wajahnya. "Ya kan bekas makan gue, masa Om Bima nggak jijik sama sekali? Bukannya gue minta di suapi tapi di mana-mana orang sehat nggak ada yang minta di suapi sama pasien," keluhnya dengan nada yang tinggi.Bima, yang duduk tepat di sampingnya menarik nafas panjang sebelum mengepulkan udara dengan keras. "Apa kamu lupa kita sudah melakukannya dan kita sudah bertukar saliva, apa lagi yang membuatku jijik padamu!" sergahnya dengan nada kesal. Ia tampaknya benar-benar terganggu oleh sikap Sandara yang terus menerus merendahkannya.Sandara hanya bisa menghela nafas, merasa sangat malu. Tiba-tiba, tangan Bima terulur dengan santainya merebut sendok yang masih tergenggam di tangan Sandara. "Ya sudah, aku suapi kamu, biar sama seperti orang-orang yang kamu maksud itu," katanya, mencoba memecah kebekuan antara mereka.Dengan wajah yang masih merah merona tak berani menatap Bima, Sandara merasakan sendok mendekati bibirn