Sandara meremas-remas bantal, pipinya memerah seperti tomat matang. "Njiiir, kenapa gue malu-maluin gini sih. Asem emang!" bisiknya pada diri sendiri, menyembunyikan wajahnya di dalam selimut setelah melihat Bima tertawa kecil melihat tingkahnya yang tanpa sadar berteriak-tetiak dalam tidurnya. “Kenapa seperti itu?” tanya Bima, suaranya terdengar lembut namun cukup untuk membuat pipi Sandara semakin panas. "Udah nggak usah bahas itu lagi kenapa sih Om," sahut Sandara, semakin menyembunyikan wajahnya yang semakin memerah. Bima hanya tersenyum, lalu mengusap kepala Sandara dengan lembut.Bertepatan dengan itu, Leo masuk bersama Bu Laras. Cepat-cepat Sandara mengelak tangan Bima yang mengelus kepalanya. Malu saja ada mama mertua yang melihatnya.Pintu kamar terbuka pelan, dan Bu Laras, yang selama ini ia anggap sebagai ibunya sendiri, melangkah masuk dengan wajah penuh kekhawatiran. "Dara, kamu sudah sehat Nak?" tanyanya lembut, mendekati tempat tidur.Sandara mengangkat tubuhnya sedik
Sandara memutar bola matanya malas, jelas terlihat rasa tidak suka pada wajahnya. "Ya kan bekas makan gue, masa Om Bima nggak jijik sama sekali? Bukannya gue minta di suapi tapi di mana-mana orang sehat nggak ada yang minta di suapi sama pasien," keluhnya dengan nada yang tinggi.Bima, yang duduk tepat di sampingnya menarik nafas panjang sebelum mengepulkan udara dengan keras. "Apa kamu lupa kita sudah melakukannya dan kita sudah bertukar saliva, apa lagi yang membuatku jijik padamu!" sergahnya dengan nada kesal. Ia tampaknya benar-benar terganggu oleh sikap Sandara yang terus menerus merendahkannya.Sandara hanya bisa menghela nafas, merasa sangat malu. Tiba-tiba, tangan Bima terulur dengan santainya merebut sendok yang masih tergenggam di tangan Sandara. "Ya sudah, aku suapi kamu, biar sama seperti orang-orang yang kamu maksud itu," katanya, mencoba memecah kebekuan antara mereka.Dengan wajah yang masih merah merona tak berani menatap Bima, Sandara merasakan sendok mendekati bibirn
"Dara, kamu harus mengerti," suara Reva bergetar, penuh harap saat ia berbicara. Mata Reva memohon, memandang dalam ke arah Sandara seolah ingin menemukan sekutu di dalamnya. "Kalau posisi kamu seperti aku, kamu pasti akan merasakan yang aku rasakan. Mengertilah," tambahnya sambil tangannya tidak sadar terus mengelus-elus perutnya yang masih rata. Sisi lain dari ruangan, Bima duduk dengan sikap tenang namun dingin, yang hanya menambah ketegangan yang sudah terasa. "Apa bukti kalau aku yang harus bertanggung jawab?" ucap Bima, suara sarkastiknya meluncur tajam membelah udara, membuat Reva tersentak seakan terkena tusukan. Perubahan nada Bima padanya menunjukkan suatu kenyataan yang pahit. Reva menelan ludah, "Bi-Bima, kenapa kamu menanyakan itu padaku? Bukankah kita..." suaranya bergetar, tidak mampu menyelesaikan kalimat. Sementara itu, Sandara tampak terkejut, mulutnya membulat sempurna, tak percaya mendengar pengakuan Reva. Bima tetap tak bergeming, menatap tajam, "Kamu ya
Reva terdiam, kata-kata tak sanggup keluar dari bibirnya yang gemetar. Tangannya terkulai lemah ketika Bima menunjukkan deretan video dirinya yang tak seorang pun seharusnya lihat. "Semua yang kamu katakan tak ada artinya lagi. Pergilah," ucap Bima dengan nada datar, seolah membuang rasa sayang yang pernah ada. Di sisi lain ruangan, Bima mengusap kepala Sandara dengan lembut, memperlakukannya dengan kasih yang seolah hanya untuknya. Pandangan Reva menyala dengan api kebencian, menyaksikan perhatian Bima yang kini tercurah pada Sandara. Namun, kebenciannya hanya bisa terkurung dalam dada yang sesak oleh kehinaan. Leo yang berdiri di dekat pintu menyadari ketegangan yang membara. Dengan gerakan cepat dan pasti, ia membuka pintu ruangan tersebut, membebaskan Reva dari penjara emosi yang kian menguak. Langkah Reva keluar, diiringi rasa malu dan amarah yang merambat di setiap langkah kakinya.Reva merasakan setiap langkahnya terasa berat, kakinya seperti terpaku di lantai dingin rumah
Sandara baru saja menginjakkan kaki ke apartemennya setelah beberapa hari menjalani perawatan di rumah sakit. Udara panas Jakarta membuatnya langsung merindukan kesegaran minuman bersoda. Namun, keinginannya itu segera terbentur oleh kekhawatiran Bima, pria over protektif yang terus menerus mengingatkan soal kesehatan."Ya ampun Om, minuman soda aja nggak boleh. Gue itu hanya sakit luka luar bukan sakit jantung!" seru Sandara, bibirnya mengerucut, tanda kekesalan yang mendalam. Matanya menatap tajam ke arah Bima yang duduk di kursi seberang dengan ekspresi tenang dan tegas.Bima, dengan nada tegas yang tidak bisa ditawar lagi, menjawab, "Cuaca panas, nggak boleh minum minuman dingin dan bersoda."Sandara hanya bisa menghela napas panjang. Dengan perasaan frustrasi, ia memutar bola matanya dan malas duduk di sofa. Ruangan itu terasa lebih sumpek karena larangan-larangan yang seakan memenjarakannya. Ia mencoba mengalihkan perhatian dengan menyalakan televisi, menonton film anime kesu
"Mungkin dari paket ini?" Sandara bergumam lirih, hidungnya menarik bau asing yang tajam sambil dia memperlambat gerakan tangan yang tengah merobek pita paket besar di hadapannya. Paket itu anonim, tanpa petunjuk siapa pengirimnya. Hati Sandara berdetak cepat, rasa waspada dan ragu menguar di benaknya. Sandara terhenti sejenak, menghirup udara sebentar untuk memberanikan diri menelisik lebih dalam isi paket misterius tersebut. Alisnya berkerut, sementara bibirnya terkatup rapat, mencoba untuk tidak terpengaruh oleh aroma yang semakin kuat. Dengan hati-hati, jari-jarinya meraih isi paket tersebut, sebuah bungkusan yang terbungkus kertas koran lama dan tali rafia yang terikat kuat.Sambil memegang bungkusan itu, Sandara mulai mengurai tali rafia yang mengikat, bau menyengat semakin kuat membuatnya sesekali harus menahan nafas. Ketika kertas koran itu terlepas, sebuah kotak kecil berwarna gelap muncul. Jantungnya berdebar saat dia perlahan membuka tutup kotak itu, dan apa yang terpam
Bima berdiri tegang di ruang kerjanya, napasnya memburu. "Siapa yang mengirim paket itu? Cari tahu dan jangan berani-berani bikin aku marah!" bentaknya dengan nada tinggi pada sang asisten. Leo, dengan tatapan patuh, mengangguk seraya menjawab, "Tentu, Bos. Saya akan memerintahkan tim untuk segera bertindak." Tidak lama, Leo bergegas mengeluarkan ponselnya dan mulai memberikan instruksi tegas kepada timnya untuk mengusut keterlibatan beberapa pihak dalam pengiriman paket rahasia kepada Sandara. Dari balik meja kerjanya, Bima menekan pelipisnya, mencoba meredakan rasa sakit yang menghantui kepalanya. Sementara itu, terdengar ketukan di pintu. Sandara, dengan langkah ringan, berdiri di ambang pintu. "Om, gue buatkan kopi, boleh masuk?" tanyanya dengan lembut. Melihat Sandara, ekspresi tegang di wajah Bima perlahan melunak. "Masuklah," jawabnya, suaranya lebih halus. Sandara menghampiri dengan secangkir kopi di tangan. "Ini kopi buatan gue, rasanya pasti pas, nggak terlalu manis
"Apaan sih Om. Gue nggak mikirin apa-apa," elak Sandara. Dia berusaha keras menyembunyikan perasaan malu yang muncul tiba-tiba dengan memalingkan wajahnya.Sudut bibir Bima terangkat membentuk senyum tipis yang menggoda. "Banarkah? Tapi wajahmu memerah," ujarnya dengan nada penuh arti. Sandara merasakan panas membara di kedua pipinya, bisa-bisanya ia memikirkan hal yang tidak-tidak tentang pria di depannya ini.Merasa terpojok, Sandara berusaha menutupi kegelisahannya. "Gue mau ke kamar," ucapnya cepat sambil melangkah keluar dari ruangan Bima dengan langkah yang sedikit tergesa-gesa.Bima, yang tampaknya ingin menggoda lebih jauh, mengikuti langkah Sandara. "Apa sih Om!" protes Sandara, suaranya setengah berbisik. Bima hanya tersenyum lebar. "Apa, aku hanya mau mengganti pakaianku. Gerah," jawabnya acuh tak acuh, namun matanya tidak lepas dari sosok Sandara yang berjalan di depannya."Astaga!" batin Sandara, hatinya berdebar kencang. Dia tidak tahu harus berbuat apa. Di satu sisi, h
Sandara menggigit bibirnya, ragu untuk melangkah dan membantu asisten yang sedang mengemas pakaian di dalam kamar. Bima, dengan tangan terbuka, menghalangi Sandara. "Sayang, duduk saja di sini, biarkan bibik yang menangani semuanya," ujarnya lembut, sambil menunjuk ke sofa empuk di sudut ruangan. Bu Laras menoleh, menghela nafas ringan, dan tersenyum mengerti. "Nggak apa, Dara, kamu cukup tunjukkan saja pakaian mana yang ingin kamu bawa. Biar bibik yang mempersiapkan semuanya," katanya, suaranya menyiratkan keinginan agar Sandara tidak terlalu memaksakan diri. Sandara menarik napas panjang dan kembali menempati tempatnya di samping sang mama mertua, yang sudah terlihat antusias dengan persiapan. "Ma, nanti perlengkapan buat di rumah sakit taruh di tas besar ini saja ya. Jadi kita nggak perlu repot cari-cari lagi saat waktunya tiba," saran Sandara, matanya berbinar memikirkan segala kemungkinan yang bisa terjadi. Bu Laras, mama mertuanya mengangguk, dan bibik kembali sibuk deng
Hari itu, Sandara bersiap dengan gaun pesta yang anggun tapi terhambat oleh perutnya yang membuncit karena kehamilan. Dia mendekati Bima yang tengah duduk termenung di tepi ranjang, penuh penantian. "Sayang, bisa tolong aku?" rayunya lembut, tangan mungilnya mencoba meraih resleting di bagian punggung bawah gaunnya namun sia-sia. Bima menoleh, matanya berbinar saat melihat punggung istrinya yang terbuka dari resleting yang belum tertutup. Dengan senyuman, dia bangkit dan perlahan menarik resleting itu sambil berbisik, "Kamu memikat sekali hari ini, sayang." Sementara Sandara tersenyum, merasa berbunga dengan pujian dan sentuhan penuh cinta dari Bima."Dan kamu terlihat begitu seksi." Bima berkata sambil tersenyum, segera membantu Sandara menaikkan resleting gaun yang elegan itu. Sandara merasa lega sekaligus tersipu, cintanya pada Bima semakin dalam. Dengan perlahan, Bima membantu Sandara berdiri dan membenarkan gaunnya.Mereka berdua kemudian berangkat ke tempat Alin dan Leo akan
Leo dan Alin, yang beberapa saat lalu masih terkurung dalam pelukan hangat, tiba-tiba terpisah seperti dua kutub yang terdorong oleh kekuatan magnet. Wajah mereka semakin memerah saat Bima, dengan ekspresi yang tidak terima, memberikan teguran yang tajam. "Nggak sengaja Bos," kata Leo, suaranya terdengar lembut dan berusaha menenangkan suasana. Namun, Bima hanya mencibir dengan tatapan yang skeptis. "Mana ada berpelukan tapi nggak sengaja," balasnya, nada suaranya meninggi penuh ketidakpercayaan. Sementara itu, Leo hanya bisa tersenyum kikuk, senyum yang tampak dipaksakan untuk menyembunyikan kebingungannya. Alin, di sisi lain, menunduk dalam-dalam, rasa malu menggelayuti dirinya. Hatinya berdebar, khawatir atas apa yang baru saja terjadi dan bagaimana persepsi Bima terhadap situasi tersebut. Ia bahkan tidak berani mengangkat kepala untuk menatap Bima atau Sandara, takut akan pandangan yang mungkin akan semakin menambah rasa bersalah di hatinya. Keduanya, meski tak terucap, sali
Sandara terdiam, duduk di kursi roda yang didorong oleh Bima di sepanjang jalur pemakaman yang dipenuhi oleh deretan batu nisan. Wajahnya yang pucat dan lelah semakin membuatnya terlihat rapuh. Pada tangannya yang satu, masih terpasang jarum infus yang meneteskan cairan ke dalam pembuluh darahnya, sebuah pengingat dari sakit yang dia derita tidak hanya secara fisik tetapi juga emosional.Mata Sandara memandang tanpa fokus ke arah makam ayahnya yang baru saja ditutupi tanah. Air mata terus menderas tanpa henti, menciptakan jalur basah di kedua pipinya. Alin dan Bu Laras, yang telah seperti keluarga sendiri, berdiri di sampingnya, memberikan dukungan.Bu Laras, dengan lembut, mengusap punggung Sandara, mencoba memberikan kenyamanan sebisa mungkin. "Sayang, kamu yang sabar. Ayah kamu sudah di tempat yang nyaman," katanya dengan suara yang bergetar, mencoba menahan emosi sendiri.Alin, dengan mata yang juga berkaca-kaca, merangkul bahu Sandara. "Sabar ya Dar. Lo masih punya gue," bisiknya
"Bos jangan membuat kami iri dong. Kasihanilah kami," ucap Leo dengan mendramatisi keadaan.Bima tak menghiraukan ucapan asistennya itu, ia bahkan mencium bibir Sandara sekilas. Ia begitu takut kehilangan Sandara. Dua kali sudah Reva telah mencoba membunuh wanita yang akan menjadi ibu dari anaknya itu.Bima menatap Leo dengan tatapan yang sinis. "Jangan pura-pura, Leo. Kenapa kamu nggak langsung nikahi Alin aja? Bukannya kamu naksir berat sama dia," ujarnya, dengan nada menyudutkan. Leo tergagap, pipinya memerah terbakar malu, hatinya dipelintir ketidakberdayaan saat dia berusaha menyembunyikan wajahnya dari Alin yang saat itu juga tak berani menatap mata mereka berdua. Ia malah menundukkan kepala, pipinya menyala seperti membara. Sandara, yang juga di situ, melirik Alin, tersenyum kecil melihat reaksi sahabatnya itu. "Ada apa nih? Kok kayak yang sedang dimabuk asmara?" candanya, suaranya perlahan tetapi cukup terdengar. Bima tertawa terbahak-bahak, menambahi ejekan. "Lihat tuh,
Sandara terbangun dengan tiba-tiba, matanya membulat ketakutan saat melihat sosok perawat yang berdiri di hadapannya dengan bantal di tangan. Nafasnya tercekat, tubuhnya bergetar hebat saat mendengar suara serak itu."Aku adalah malaikat yang akan mencabut nyawamu!" seru Reva dengan senyum menyeringai di balik maskernya. Sinar mata Reva memancarkan kegilaan, membuat jantung Sandara semakin berdegup kencang."Reva!" pekik Sandara dalam kepanikan. Namun, ia tak bisa berbuat banyak. Tangannya yang terinfus dan tubuhnya yang masih lemah membuatnya tak berdaya. Ia hanya bisa menggelengkan kepalanya, berharap ini hanya mimpi buruk."Tidak Reva, pergi!" teriak Sandara, suaranya bergetar, mengusir Reva yang semakin mendekat. Air mata mulai mengalir di pipinya, ketakutan menguasai setiap inci tubuhnya saat dia menyadari situasi mengerikan yang sedang dihadapinya.Di dalam kamar mandi, Alin menghentakkan tubuhnya ke pintu kamar mandi yang tertutup rapat. Keringat dingin mengucur deras di pelipi
Bima berdiri tegap, pandangannya tajam menembus jendela yang mengarah ke ruang bawah tanah. "Leo, perintahkan anak buahmu untuk mengejar Ajeng segera. Setelah meninggalkan Pak Sudiro di dermaga pasti ia kehilangan arah. Dan jangan lupa, Reva harus kita tangkap. Dia membahayakan keselamatan Sandara," katanya dengan suara yang penuh otoritas. Rasa kecewa dan amarah terhadap Reva, mantan kekasihnya yang berkhianat, jelas terlihat di wajahnya. Leo, dengan ekspresi serius, mengangguk penuh semangat. "Siap, Bos!" jawabnya sambil mengepalkan tangan, siap menjalankan tugas. Sementara itu, di ruangan bawah tanah yang pengap, Bima menatap dingin ke arah Erdo yang tergeletak lemah. "Biarkan dia membusuk di sini," ucapnya tanpa belas kasihan, lalu berlalu dengan langkah berat. Di sisi lain, di ruang VVIP rumah sakit, keheningan menyelimuti ruangan ketika Sandara terlelap, hanya terdengar suara nafasnya yang lemah. Alin, yang duduk di sofa dekat tempat tidur, terlihat bosan sambil memainkan
Setelah memastikan keadaan Sandara baik-baik saja, Bima berencana untuk meninggalkannya sebentar saja. Tapi ia takut kalau Sandara tak ada yang menjaganya."Ada apa Om?" tanya Sandara dengan mengerutkan dahinya melihat Bima yang tampak sedikit gelisah.Bima mengulas senyumnya. "Nggak apa-apa sayang. Nanti kamu mau makan apa?" tanya Bima untuk mengalihkan perhatian Sandara.Sandara terdiam sejenak. "Apa boleh gue makan daging?" tanya Sandara dengan sedikit ragu mengingat kamarin ia baru saja di operasi."Tentu saja boleh, asal nggak berlebihan," jawab Bima dengan lembut sambil mengusap kepalanya panuh kasih sayang.Tak lama pintu ruangan itu di ketuk. Alin dengan senyum lebar masuk dan menghampiri sahabatnya."Hai, Dara. Gue minta maaf karena nggak percaya sama lo kalau lo liat Erdo waktu itu," ucap Alin penuh penyesalan. Menghambur memeluk sahabatnya.Sandara tersenyum kecil. "Nggak apa-apa, gue baik-baik aja kok," jawab Sandara dengan membalas pelukan Alin."Alin, apa kamu nggak sibu
Sandara menunduk, bibir bawahnya terjepit antara giginya. Dia berada di persimpangan hati; sebentuk kebenaran mengetuk bibirnya—ia sedang mengandung. Bimbang menari di benaknya, rasa takut Bima takkan menerima ini menguar kuat. "Nggak ada Om, gue ***a bilang kangen doang," suaranya meredup, terdengar dari ujung bibir yang bergetar pelan. Bima, suaminya—meski hanya di atas kertas—menggenggam erat tangan Sandara. Raut mukanya memerah, peningkatan denyut jantungnya nyata sekali seakan ingin meluapkan kekesalan. Namun, pandangannya tertuju pada perban yang masih terlilit di lengan Sandara, sisa-sisa operasi yang belum lama. Napasnya dihela dalam-dalam, berusaha menenangkan amarahnya. Tanpa sadar oleh Sandara, saat dia pingsan sebelumnya, dokter telah memberi tahu Bima tentang kehamilannya. "Kamu yakin?" Bima mendorong sekali lagi, suaranya lebih halus, mendesak namun penuh pengertian, mencoba menggali kejujuran dari hati Sandara.Sandara menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulk