"Apaan sih Om. Gue nggak mikirin apa-apa," elak Sandara. Dia berusaha keras menyembunyikan perasaan malu yang muncul tiba-tiba dengan memalingkan wajahnya.Sudut bibir Bima terangkat membentuk senyum tipis yang menggoda. "Banarkah? Tapi wajahmu memerah," ujarnya dengan nada penuh arti. Sandara merasakan panas membara di kedua pipinya, bisa-bisanya ia memikirkan hal yang tidak-tidak tentang pria di depannya ini.Merasa terpojok, Sandara berusaha menutupi kegelisahannya. "Gue mau ke kamar," ucapnya cepat sambil melangkah keluar dari ruangan Bima dengan langkah yang sedikit tergesa-gesa.Bima, yang tampaknya ingin menggoda lebih jauh, mengikuti langkah Sandara. "Apa sih Om!" protes Sandara, suaranya setengah berbisik. Bima hanya tersenyum lebar. "Apa, aku hanya mau mengganti pakaianku. Gerah," jawabnya acuh tak acuh, namun matanya tidak lepas dari sosok Sandara yang berjalan di depannya."Astaga!" batin Sandara, hatinya berdebar kencang. Dia tidak tahu harus berbuat apa. Di satu sisi, h
Sandara mengedarkan pandangannya di ruangan Bima yang sunyi, tidak ada tanda-tanda keberadaan Bima di sana. Dengan langkah gontai, ia turun dari ranjang yang masih mempertahankan aroma Bima. Sejak kembali dari pabrik di desa, Sandara belum sempat tidur di kamarnya sendiri, karena lampu di kamar tersebut rusak dan permintaan untuk perbaikan tampaknya diabaikan oleh petugas apartemen. Entah Bima memiliki alasan tertentu untuk mengizinkan Sandara menggunakan kamar miliknya atau memang petugas yang lalai."Om Bima kemana ya?" gumam Sandara pelan, seolah takut suaranya akan memecah keheningan apartemen yang sepi. Dia berjalan keluar dari kamar, langkahnya terasa berat dan gundah. Setiap sudut apartemen tampak begitu asing dan menakutkan tanpa keberadaan Bima yang selalu menjadi sumber kehangatan. Sandara merasa kehilangan, seakan bagian dari dirinya hilang bersama ketidakhadiran Bima. Dia berharap sekali bisa segera bertemu dan menanyakan banyak hal, termasuk mengapa lampu kamarnya bel
Sandara tiba di depan rumah mertuanya, ditemani Bima. Di sana, Bu Laras menyambutnya dengan hangat dan mengundangnya masuk. "Kenapa nggak masuk? Ayo masuk dulu," ujarnya sambil memandang Sandara dengan mata berbinar. Bima menyusul mereka berdua, mendekat dengan langkah lembut. "Aku berangkat ke kantor, kalau ada apa-apa telepon aku," ucap Bima. Pada momen perpisahan, Bima mengusap kepala Sandara dengan lembut, sebuah isyarat penuh kasih yang membuat Sandara menundukkan kepala, pipinya merona karena malu terlihat oleh Bu Laras. Namun, mertuanya hanya tersenyum melihat kemesraan itu. "Kamu berangkat saja, Bima. Dara aman sama mama," kata Bu Laras, suaranya mengandung kelembutan dan kepastian. Setelah Bima meninggalkan kediaman mewah itu, Bu Laras segera membawa Sandara untuk bersiap menuju ke tempat amal.Pada pagi yang cerah, Bu Laras menatap Sandara dengan senyum hangatnya, menggenggam tangan menantunya itu dengan lembut. "Nanti di hotel ada banyak teman yang ingin mama kenalkan
Ruang pertemuan hotel bintang lima itu tiba-tiba dipenuhi dengan suasana tegang saat seorang pria mendekati Bu Laras dengan wajah yang pucat pasi. Ia terengah-engah, seolah baru saja berlari menempuh jarak yang tidak sepele.Bu Laras, yang tadinya terlibat dalam obrolan ringan dengan para istri pengusaha, langsung mengalihkan perhatian. Kerutan di dahinya semakin dalam saat mendengar kabar yang disampaikan pria tersebut. "MC yang memandu acara mendadak sakit Bu, bagaimana ini, saya sudah hubungi yang lainnya tapi nggak bisa Bu," ucap pria itu dengan nada yang tergesa-gesa dan penuh kekhawatiran.Seketika itu juga, suasana menjadi semakin kacau. Para panitia berlarian kesana-kemari mencari solusi, beberapa di antaranya berbicara di telepon dengan nada suara tinggi mencoba menghubungi alternatif pengganti. Keresahan terpancar jelas dari wajah mereka, tangan-tangan yang bergerak lincah mencoba menenangkan para tamu yang mulai bertanya-tanya.Bu Laras, meski terlihat kaget dan bingung,
Reva melambaikan tangan, memanggil seorang pelayan yang berjalan dengan membawa tray. "Tolong bawakan ini ke Bu Sandara, dia mau pulang sebentar lagi," katanya seraya menunjuk ke arah Sandara yang tengah berbicara dengan Bu Laras. Di sisi lain, Sandara memandang Bu Laras dengan tatapan yang memohon izin. "Ma, Dara ke toilet sebentar ya sebelum kita pulang," katanya dengan suara tergesa-gesa. Ada rasa kebelet yang mendorongnya untuk segera pergi. "Tentu, sayang. Cepat saja. Kamu perlu ditemani?" Bu Laras menawarkan dengan nada penuh kelembutan. "Nggak usah, Ma. Dara sendiri aja," jawab Sandara sambil tersenyum tipis, mencoba menunjukkan bahwa dia bisa mengatasinya sendiri. Kemudian, ia berlalu cepat, melintasi lorong dengan langkah yang terburu menuju ke toilet.Di saat itulah, Reva yang telah memerintahkan pelayan hotel untuk membawakan minuman segar, menatap ke arah Sandara yang menjauh. Dia tersenyum menyeringai, berharap minuman itu dapat mengambil hati Bu Laras dan hubungan
Reva dengan langkah tergesa-gesa mendekati Bima yang berdiri tegak, menampilkan wajah tanpa ekspresi. "Bima! Tolong kamu percaya sama aku. Dara menyiramkan jus itu padaku," suara Reva bergetar, mencoba menahan air mata yang siap jatuh. Bima, yang berdiri bersama Sandara, menoleh sejenak ke arah Reva. Matanya tetap dingin, tak menunjukkan belas kasih. "Kalau itu pun benar, kamu pasti yang memulainya dulu. Tapi aku lebih percaya dengan istriku," ucapnya sambil menggenggam erat tangan Sandara yang berdiri di sampingnya dengan senyuman puas.Reva, dengan kepala tertunduk, merasakan malu yang membara. Pandangannya terpecah antara keinginan untuk membela diri dan rasa hancur karena dituduh. Dia melihat ke arah Bu Laras yang sedang berbincang dengan istri seorang pengusaha, berharap mendapatkan sedikit dukungan. Namun, sebelum Reva sempat berkata lebih banyak, Bu Laras, didampingi oleh dua bodyguard yang gagah, berjalan menghampiri Bima dan Sandara, meninggalkan Reva dalam keheningan dan k
"Berapa lama Om bima, akan di luar negeri?" tanya Sandara, suaranya terdengar lembut di tengah sunyi malam itu. "Belum ada kepastian, sayang," jawab Bima sambil menarik Sandara ke dalam pelukannya yang hangat. Dia merasakan Sandara membalas pelukan itu dengan erat. "Tapi aku janji, begitu tugas ini selesai, aku akan langsung pulang ke sini, ke pangkuanmu." Ada diam yang hangat di antara mereka, hening yang dipenuhi dengan getar perasaan yang sulit diucapkan. Sandara menghela napas, jantungnya bergemuruh dengan kekhawatiran. "Pasti akan sangat sepi di sini nggak ada Om Bima," bisiknya, hampir tak terdengar. Bima mengusap punggung Sandara dengan lembut. "Kalau ada apa-apa, Leo siap membantumu. Percayalah padanya selama aku belum ada di sini, ya?" Sandara mengangguk, matanya berkaca-kaca. "Ayo, kita istirahat," ajak Bima, menyuarakan kata-kata yang memberikan sedikit kelegaan, namun tak sepenuhnya mampu mengusir kerinduan yang akan datang.Di bawah remang cahaya lampu kamar, Sa
Mata Sandara mengantuk, berat memandangi deretan lukisan yang tampak samar dalam penglihatannya. Ia mengikuti langkah Bu Laras yang bersemangat, menelisik setiap detail karya seni yang dipajang. Sandara berusaha keras untuk menyembunyikan kebosanannya, memaksakan senyum setiap kali Bu Laras menunjuk lukisan dan memberikan komentar.Sesekali, Sandara melirik jam tangan, berharap waktu berlalu lebih cepat. Ia memandang sekeliling, mencari kursi atau bangku untuk duduk sejenak, namun sayang, galeri itu tidak menyediakannya. Kaki Sandara mulai terasa pegal, namun ia tetap berjalan di samping Bu Laras yang kini tengah asyik berbincang dengan kurator galeri.Saat Bu Laras menyapa kurator, Sandara memanfaatkan kesempatan itu untuk menghela napas lega dan mengusap keningnya yang mulai berpeluh. Ia berdiri di sudut, mencoba mengalihkan perhatiannya ke lukisan abstrak di depannya, namun pikirannya melayang ke sofa empuk di apartemennya.Ketika Bu Laras kembali dan berkata, "Kita ke sana dulu ya