Sandara mengedarkan pandangannya di ruangan Bima yang sunyi, tidak ada tanda-tanda keberadaan Bima di sana. Dengan langkah gontai, ia turun dari ranjang yang masih mempertahankan aroma Bima. Sejak kembali dari pabrik di desa, Sandara belum sempat tidur di kamarnya sendiri, karena lampu di kamar tersebut rusak dan permintaan untuk perbaikan tampaknya diabaikan oleh petugas apartemen. Entah Bima memiliki alasan tertentu untuk mengizinkan Sandara menggunakan kamar miliknya atau memang petugas yang lalai."Om Bima kemana ya?" gumam Sandara pelan, seolah takut suaranya akan memecah keheningan apartemen yang sepi. Dia berjalan keluar dari kamar, langkahnya terasa berat dan gundah. Setiap sudut apartemen tampak begitu asing dan menakutkan tanpa keberadaan Bima yang selalu menjadi sumber kehangatan. Sandara merasa kehilangan, seakan bagian dari dirinya hilang bersama ketidakhadiran Bima. Dia berharap sekali bisa segera bertemu dan menanyakan banyak hal, termasuk mengapa lampu kamarnya bel
Sandara tiba di depan rumah mertuanya, ditemani Bima. Di sana, Bu Laras menyambutnya dengan hangat dan mengundangnya masuk. "Kenapa nggak masuk? Ayo masuk dulu," ujarnya sambil memandang Sandara dengan mata berbinar. Bima menyusul mereka berdua, mendekat dengan langkah lembut. "Aku berangkat ke kantor, kalau ada apa-apa telepon aku," ucap Bima. Pada momen perpisahan, Bima mengusap kepala Sandara dengan lembut, sebuah isyarat penuh kasih yang membuat Sandara menundukkan kepala, pipinya merona karena malu terlihat oleh Bu Laras. Namun, mertuanya hanya tersenyum melihat kemesraan itu. "Kamu berangkat saja, Bima. Dara aman sama mama," kata Bu Laras, suaranya mengandung kelembutan dan kepastian. Setelah Bima meninggalkan kediaman mewah itu, Bu Laras segera membawa Sandara untuk bersiap menuju ke tempat amal.Pada pagi yang cerah, Bu Laras menatap Sandara dengan senyum hangatnya, menggenggam tangan menantunya itu dengan lembut. "Nanti di hotel ada banyak teman yang ingin mama kenalkan
Ruang pertemuan hotel bintang lima itu tiba-tiba dipenuhi dengan suasana tegang saat seorang pria mendekati Bu Laras dengan wajah yang pucat pasi. Ia terengah-engah, seolah baru saja berlari menempuh jarak yang tidak sepele.Bu Laras, yang tadinya terlibat dalam obrolan ringan dengan para istri pengusaha, langsung mengalihkan perhatian. Kerutan di dahinya semakin dalam saat mendengar kabar yang disampaikan pria tersebut. "MC yang memandu acara mendadak sakit Bu, bagaimana ini, saya sudah hubungi yang lainnya tapi nggak bisa Bu," ucap pria itu dengan nada yang tergesa-gesa dan penuh kekhawatiran.Seketika itu juga, suasana menjadi semakin kacau. Para panitia berlarian kesana-kemari mencari solusi, beberapa di antaranya berbicara di telepon dengan nada suara tinggi mencoba menghubungi alternatif pengganti. Keresahan terpancar jelas dari wajah mereka, tangan-tangan yang bergerak lincah mencoba menenangkan para tamu yang mulai bertanya-tanya.Bu Laras, meski terlihat kaget dan bingung,
Reva melambaikan tangan, memanggil seorang pelayan yang berjalan dengan membawa tray. "Tolong bawakan ini ke Bu Sandara, dia mau pulang sebentar lagi," katanya seraya menunjuk ke arah Sandara yang tengah berbicara dengan Bu Laras. Di sisi lain, Sandara memandang Bu Laras dengan tatapan yang memohon izin. "Ma, Dara ke toilet sebentar ya sebelum kita pulang," katanya dengan suara tergesa-gesa. Ada rasa kebelet yang mendorongnya untuk segera pergi. "Tentu, sayang. Cepat saja. Kamu perlu ditemani?" Bu Laras menawarkan dengan nada penuh kelembutan. "Nggak usah, Ma. Dara sendiri aja," jawab Sandara sambil tersenyum tipis, mencoba menunjukkan bahwa dia bisa mengatasinya sendiri. Kemudian, ia berlalu cepat, melintasi lorong dengan langkah yang terburu menuju ke toilet.Di saat itulah, Reva yang telah memerintahkan pelayan hotel untuk membawakan minuman segar, menatap ke arah Sandara yang menjauh. Dia tersenyum menyeringai, berharap minuman itu dapat mengambil hati Bu Laras dan hubungan
Reva dengan langkah tergesa-gesa mendekati Bima yang berdiri tegak, menampilkan wajah tanpa ekspresi. "Bima! Tolong kamu percaya sama aku. Dara menyiramkan jus itu padaku," suara Reva bergetar, mencoba menahan air mata yang siap jatuh. Bima, yang berdiri bersama Sandara, menoleh sejenak ke arah Reva. Matanya tetap dingin, tak menunjukkan belas kasih. "Kalau itu pun benar, kamu pasti yang memulainya dulu. Tapi aku lebih percaya dengan istriku," ucapnya sambil menggenggam erat tangan Sandara yang berdiri di sampingnya dengan senyuman puas.Reva, dengan kepala tertunduk, merasakan malu yang membara. Pandangannya terpecah antara keinginan untuk membela diri dan rasa hancur karena dituduh. Dia melihat ke arah Bu Laras yang sedang berbincang dengan istri seorang pengusaha, berharap mendapatkan sedikit dukungan. Namun, sebelum Reva sempat berkata lebih banyak, Bu Laras, didampingi oleh dua bodyguard yang gagah, berjalan menghampiri Bima dan Sandara, meninggalkan Reva dalam keheningan dan k
"Berapa lama Om bima, akan di luar negeri?" tanya Sandara, suaranya terdengar lembut di tengah sunyi malam itu. "Belum ada kepastian, sayang," jawab Bima sambil menarik Sandara ke dalam pelukannya yang hangat. Dia merasakan Sandara membalas pelukan itu dengan erat. "Tapi aku janji, begitu tugas ini selesai, aku akan langsung pulang ke sini, ke pangkuanmu." Ada diam yang hangat di antara mereka, hening yang dipenuhi dengan getar perasaan yang sulit diucapkan. Sandara menghela napas, jantungnya bergemuruh dengan kekhawatiran. "Pasti akan sangat sepi di sini nggak ada Om Bima," bisiknya, hampir tak terdengar. Bima mengusap punggung Sandara dengan lembut. "Kalau ada apa-apa, Leo siap membantumu. Percayalah padanya selama aku belum ada di sini, ya?" Sandara mengangguk, matanya berkaca-kaca. "Ayo, kita istirahat," ajak Bima, menyuarakan kata-kata yang memberikan sedikit kelegaan, namun tak sepenuhnya mampu mengusir kerinduan yang akan datang.Di bawah remang cahaya lampu kamar, Sa
Mata Sandara mengantuk, berat memandangi deretan lukisan yang tampak samar dalam penglihatannya. Ia mengikuti langkah Bu Laras yang bersemangat, menelisik setiap detail karya seni yang dipajang. Sandara berusaha keras untuk menyembunyikan kebosanannya, memaksakan senyum setiap kali Bu Laras menunjuk lukisan dan memberikan komentar.Sesekali, Sandara melirik jam tangan, berharap waktu berlalu lebih cepat. Ia memandang sekeliling, mencari kursi atau bangku untuk duduk sejenak, namun sayang, galeri itu tidak menyediakannya. Kaki Sandara mulai terasa pegal, namun ia tetap berjalan di samping Bu Laras yang kini tengah asyik berbincang dengan kurator galeri.Saat Bu Laras menyapa kurator, Sandara memanfaatkan kesempatan itu untuk menghela napas lega dan mengusap keningnya yang mulai berpeluh. Ia berdiri di sudut, mencoba mengalihkan perhatiannya ke lukisan abstrak di depannya, namun pikirannya melayang ke sofa empuk di apartemennya.Ketika Bu Laras kembali dan berkata, "Kita ke sana dulu ya
Sandara memperhatikan kotak besar di depan pintu apartemennya dengan tatapan bingung. Kotak itu dilapisi kertas cokelat, tertulis namanya dengan huruf cetak yang rapi, namun tidak ada pengirim yang tertera. Dia memiringkan kepalanya, mencoba memikirkan kemungkinan dari mana asal paket misterius ini."Om Bima kah?" gumam Sandara, namun suaranya lebih mencerminkan keraguan daripada keyakinan. Dia menyentuh kotak itu, rasanya berat. Isinya jelas bukan barang-barang ringan. Sandara menggigit bibir bawahnya, ketidakpastian memenuhi pikirannya.Dengan hati-hati, dia membuka pita perekat yang menempel kuat di permukaan kotak. Desis udara terdengar saat pita terlepas. Sandara menarik nafas dalam-dalam, mengumpulkan keberanian untuk melihat apa yang tersembunyi di dalam paket tersebut.Setelah membuka lapisan terakhir, matanya membelalak, tak percaya dengan apa yang dia lihat. Sebuah lukisan abstrak tergeletak di sana, lukisan yang siang tadi ia lihat di sebuah pameran bersama mama mertuanya.
Sandara menggigit bibirnya, ragu untuk melangkah dan membantu asisten yang sedang mengemas pakaian di dalam kamar. Bima, dengan tangan terbuka, menghalangi Sandara. "Sayang, duduk saja di sini, biarkan bibik yang menangani semuanya," ujarnya lembut, sambil menunjuk ke sofa empuk di sudut ruangan. Bu Laras menoleh, menghela nafas ringan, dan tersenyum mengerti. "Nggak apa, Dara, kamu cukup tunjukkan saja pakaian mana yang ingin kamu bawa. Biar bibik yang mempersiapkan semuanya," katanya, suaranya menyiratkan keinginan agar Sandara tidak terlalu memaksakan diri. Sandara menarik napas panjang dan kembali menempati tempatnya di samping sang mama mertua, yang sudah terlihat antusias dengan persiapan. "Ma, nanti perlengkapan buat di rumah sakit taruh di tas besar ini saja ya. Jadi kita nggak perlu repot cari-cari lagi saat waktunya tiba," saran Sandara, matanya berbinar memikirkan segala kemungkinan yang bisa terjadi. Bu Laras, mama mertuanya mengangguk, dan bibik kembali sibuk deng
Hari itu, Sandara bersiap dengan gaun pesta yang anggun tapi terhambat oleh perutnya yang membuncit karena kehamilan. Dia mendekati Bima yang tengah duduk termenung di tepi ranjang, penuh penantian. "Sayang, bisa tolong aku?" rayunya lembut, tangan mungilnya mencoba meraih resleting di bagian punggung bawah gaunnya namun sia-sia. Bima menoleh, matanya berbinar saat melihat punggung istrinya yang terbuka dari resleting yang belum tertutup. Dengan senyuman, dia bangkit dan perlahan menarik resleting itu sambil berbisik, "Kamu memikat sekali hari ini, sayang." Sementara Sandara tersenyum, merasa berbunga dengan pujian dan sentuhan penuh cinta dari Bima."Dan kamu terlihat begitu seksi." Bima berkata sambil tersenyum, segera membantu Sandara menaikkan resleting gaun yang elegan itu. Sandara merasa lega sekaligus tersipu, cintanya pada Bima semakin dalam. Dengan perlahan, Bima membantu Sandara berdiri dan membenarkan gaunnya.Mereka berdua kemudian berangkat ke tempat Alin dan Leo akan
Leo dan Alin, yang beberapa saat lalu masih terkurung dalam pelukan hangat, tiba-tiba terpisah seperti dua kutub yang terdorong oleh kekuatan magnet. Wajah mereka semakin memerah saat Bima, dengan ekspresi yang tidak terima, memberikan teguran yang tajam. "Nggak sengaja Bos," kata Leo, suaranya terdengar lembut dan berusaha menenangkan suasana. Namun, Bima hanya mencibir dengan tatapan yang skeptis. "Mana ada berpelukan tapi nggak sengaja," balasnya, nada suaranya meninggi penuh ketidakpercayaan. Sementara itu, Leo hanya bisa tersenyum kikuk, senyum yang tampak dipaksakan untuk menyembunyikan kebingungannya. Alin, di sisi lain, menunduk dalam-dalam, rasa malu menggelayuti dirinya. Hatinya berdebar, khawatir atas apa yang baru saja terjadi dan bagaimana persepsi Bima terhadap situasi tersebut. Ia bahkan tidak berani mengangkat kepala untuk menatap Bima atau Sandara, takut akan pandangan yang mungkin akan semakin menambah rasa bersalah di hatinya. Keduanya, meski tak terucap, sali
Sandara terdiam, duduk di kursi roda yang didorong oleh Bima di sepanjang jalur pemakaman yang dipenuhi oleh deretan batu nisan. Wajahnya yang pucat dan lelah semakin membuatnya terlihat rapuh. Pada tangannya yang satu, masih terpasang jarum infus yang meneteskan cairan ke dalam pembuluh darahnya, sebuah pengingat dari sakit yang dia derita tidak hanya secara fisik tetapi juga emosional.Mata Sandara memandang tanpa fokus ke arah makam ayahnya yang baru saja ditutupi tanah. Air mata terus menderas tanpa henti, menciptakan jalur basah di kedua pipinya. Alin dan Bu Laras, yang telah seperti keluarga sendiri, berdiri di sampingnya, memberikan dukungan.Bu Laras, dengan lembut, mengusap punggung Sandara, mencoba memberikan kenyamanan sebisa mungkin. "Sayang, kamu yang sabar. Ayah kamu sudah di tempat yang nyaman," katanya dengan suara yang bergetar, mencoba menahan emosi sendiri.Alin, dengan mata yang juga berkaca-kaca, merangkul bahu Sandara. "Sabar ya Dar. Lo masih punya gue," bisiknya
"Bos jangan membuat kami iri dong. Kasihanilah kami," ucap Leo dengan mendramatisi keadaan.Bima tak menghiraukan ucapan asistennya itu, ia bahkan mencium bibir Sandara sekilas. Ia begitu takut kehilangan Sandara. Dua kali sudah Reva telah mencoba membunuh wanita yang akan menjadi ibu dari anaknya itu.Bima menatap Leo dengan tatapan yang sinis. "Jangan pura-pura, Leo. Kenapa kamu nggak langsung nikahi Alin aja? Bukannya kamu naksir berat sama dia," ujarnya, dengan nada menyudutkan. Leo tergagap, pipinya memerah terbakar malu, hatinya dipelintir ketidakberdayaan saat dia berusaha menyembunyikan wajahnya dari Alin yang saat itu juga tak berani menatap mata mereka berdua. Ia malah menundukkan kepala, pipinya menyala seperti membara. Sandara, yang juga di situ, melirik Alin, tersenyum kecil melihat reaksi sahabatnya itu. "Ada apa nih? Kok kayak yang sedang dimabuk asmara?" candanya, suaranya perlahan tetapi cukup terdengar. Bima tertawa terbahak-bahak, menambahi ejekan. "Lihat tuh,
Sandara terbangun dengan tiba-tiba, matanya membulat ketakutan saat melihat sosok perawat yang berdiri di hadapannya dengan bantal di tangan. Nafasnya tercekat, tubuhnya bergetar hebat saat mendengar suara serak itu."Aku adalah malaikat yang akan mencabut nyawamu!" seru Reva dengan senyum menyeringai di balik maskernya. Sinar mata Reva memancarkan kegilaan, membuat jantung Sandara semakin berdegup kencang."Reva!" pekik Sandara dalam kepanikan. Namun, ia tak bisa berbuat banyak. Tangannya yang terinfus dan tubuhnya yang masih lemah membuatnya tak berdaya. Ia hanya bisa menggelengkan kepalanya, berharap ini hanya mimpi buruk."Tidak Reva, pergi!" teriak Sandara, suaranya bergetar, mengusir Reva yang semakin mendekat. Air mata mulai mengalir di pipinya, ketakutan menguasai setiap inci tubuhnya saat dia menyadari situasi mengerikan yang sedang dihadapinya.Di dalam kamar mandi, Alin menghentakkan tubuhnya ke pintu kamar mandi yang tertutup rapat. Keringat dingin mengucur deras di pelipi
Bima berdiri tegap, pandangannya tajam menembus jendela yang mengarah ke ruang bawah tanah. "Leo, perintahkan anak buahmu untuk mengejar Ajeng segera. Setelah meninggalkan Pak Sudiro di dermaga pasti ia kehilangan arah. Dan jangan lupa, Reva harus kita tangkap. Dia membahayakan keselamatan Sandara," katanya dengan suara yang penuh otoritas. Rasa kecewa dan amarah terhadap Reva, mantan kekasihnya yang berkhianat, jelas terlihat di wajahnya. Leo, dengan ekspresi serius, mengangguk penuh semangat. "Siap, Bos!" jawabnya sambil mengepalkan tangan, siap menjalankan tugas. Sementara itu, di ruangan bawah tanah yang pengap, Bima menatap dingin ke arah Erdo yang tergeletak lemah. "Biarkan dia membusuk di sini," ucapnya tanpa belas kasihan, lalu berlalu dengan langkah berat. Di sisi lain, di ruang VVIP rumah sakit, keheningan menyelimuti ruangan ketika Sandara terlelap, hanya terdengar suara nafasnya yang lemah. Alin, yang duduk di sofa dekat tempat tidur, terlihat bosan sambil memainkan
Setelah memastikan keadaan Sandara baik-baik saja, Bima berencana untuk meninggalkannya sebentar saja. Tapi ia takut kalau Sandara tak ada yang menjaganya."Ada apa Om?" tanya Sandara dengan mengerutkan dahinya melihat Bima yang tampak sedikit gelisah.Bima mengulas senyumnya. "Nggak apa-apa sayang. Nanti kamu mau makan apa?" tanya Bima untuk mengalihkan perhatian Sandara.Sandara terdiam sejenak. "Apa boleh gue makan daging?" tanya Sandara dengan sedikit ragu mengingat kamarin ia baru saja di operasi."Tentu saja boleh, asal nggak berlebihan," jawab Bima dengan lembut sambil mengusap kepalanya panuh kasih sayang.Tak lama pintu ruangan itu di ketuk. Alin dengan senyum lebar masuk dan menghampiri sahabatnya."Hai, Dara. Gue minta maaf karena nggak percaya sama lo kalau lo liat Erdo waktu itu," ucap Alin penuh penyesalan. Menghambur memeluk sahabatnya.Sandara tersenyum kecil. "Nggak apa-apa, gue baik-baik aja kok," jawab Sandara dengan membalas pelukan Alin."Alin, apa kamu nggak sibu
Sandara menunduk, bibir bawahnya terjepit antara giginya. Dia berada di persimpangan hati; sebentuk kebenaran mengetuk bibirnya—ia sedang mengandung. Bimbang menari di benaknya, rasa takut Bima takkan menerima ini menguar kuat. "Nggak ada Om, gue ***a bilang kangen doang," suaranya meredup, terdengar dari ujung bibir yang bergetar pelan. Bima, suaminya—meski hanya di atas kertas—menggenggam erat tangan Sandara. Raut mukanya memerah, peningkatan denyut jantungnya nyata sekali seakan ingin meluapkan kekesalan. Namun, pandangannya tertuju pada perban yang masih terlilit di lengan Sandara, sisa-sisa operasi yang belum lama. Napasnya dihela dalam-dalam, berusaha menenangkan amarahnya. Tanpa sadar oleh Sandara, saat dia pingsan sebelumnya, dokter telah memberi tahu Bima tentang kehamilannya. "Kamu yakin?" Bima mendorong sekali lagi, suaranya lebih halus, mendesak namun penuh pengertian, mencoba menggali kejujuran dari hati Sandara.Sandara menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulk