Dokter Ebid, seorang pria paruh baya, cepat-cepat mengetuk pintu apartemen Bima. Wajahnya memperlihatkan kekhawatiran. Saat pintu terbuka, ia langsung bertanya, "Siapa yang sedang sakit?" Bima yang tampak gelisah, memberikan jawaban yang tak terduga. "Istri saya, Dok. Sandara," ucapnya, membuat mata Dokter Ebid membulat terkejut. "Istri? Sejak kapan? Kenapa tidak ada kabar sama sekali tentang ini?" Hubungan Dokter Ebid dengan Bima selama ini begitu dekat, hingga ia merasa Bima bagaikan anaknya sendiri. Terlihat jelas kekecewaan di wajahnya saat ia menambahkan, "Sudah hampir tiga bulan," jawab Bima dengan suara rendah. Napas Dokter Ebid terdengar berat, lalu ia mendengus kesal. "Kenapa tidak bilang padaku? Apa kamu tidak menganggap aku sebagai keluarga lagi?" Dokter Ebid memandang Bima dengan tatapan yang tajam, mencoba menahan kekecewaan yang mendalam. Bima tampak tidak nyaman, dia menggaruk kepala yang tidak gatal sambil menundukkan pandangannya. "Maafkan saya, Dok. Saya ingin
Sore itu, setelah seharian berada di balik meja kasir kafe, Sandara merasa lega dapat menutup harinya dengan didampingi Bima yang dengan penuh perhatian menjemputnya usai kerja. Mobil melaju menuju rumah tua yang selama ini dipenuhi oleh ingatan-ingatan tentang ayahnya yang sangat dia cintai. "Ayah," suara Sandara bergetar saat mereka memasuki rumah. Langkahnya gontai menapaki kenangan yang terpatri di setiap sudut. Seorang pria paruh baya, Pak Sudiro, keluar dari ruang tengah dengan wajah yang menampakkan kerinduan. "Dara," suaranya serak dan hati-hati dia mendekat, kemudian memeluk putrinya erat-erat. "Kamu nggak apa-apa kan?" Pak Sudiro menelisik Sandara dari ujung kaki hingga ujung kepala, mencari tanda-tanda kecemasan. "Dara nggak apa-apa, Ayah," Sandara membalas dengan senyum yang terpaksa, sementara matanya tak kuasa menahan gumpalan air mata. Bima mengikuti di belakang dengan tatapan penuh perhatian. Dia mengerti betapa pentingnya momen ini bagi Sandara. Pak Sudi
Sandara terbangun dan kebingungan masih merajai pikirannya. Dia memeriksa sekitar kamarnya dan, dengan kaget, menyadari Bima terbaring di sampingnya. 'Ini benar-benar nyata,' pikirnya. Bukannya tadi malam dia tidur sendiri? Bima, suami kontraknya, seharusnya ada di kamarnya sendiri. Sementara dia tengah dilanda kebingungan, Bima, tanpa suara, menariknya lebih dekat dengan pelukan yang hangat. “Om, kenapa Om Bima tidur di sini? Kangen sama gue, ya?” tanya Sandara, suaranya bergetar pelan. Bima hanya menghela nafas, tetap dengan wajah tersembunyi dalam pelukan, meninggalkan pertanyaan itu menggantung di udara yang dingin. Seolah mencari perlindungan dari pertanyaan Sandara. Dengan napas berat, ia akhirnya bersuara dengan suara serak, "Maaf, Dara. Aku tidak tahu bagaimana aku bisa berakhir di sini. Aku... aku mungkin berjalan dalam tidurku." Sandara masih tidak percaya, matanya membulat seraya ia mencoba mengingat setiap detail semalam. Tapi memori itu kabur, tidak jelas. Rasa b
"Yuk Dara, hanya kali ini," Vino merayu sambil membukakan pintu mobilnya, berharap Sandara menerima ajakannya. Sandara, yang sedang mencoba menjaga jarak, merasa terpojok. Dia berpura-pura menggaruk kepalanya yang tidak gatal sebelum segera menarik Alin yang berdiri di dekatnya. "Saya bawa Alin juga, Pak," katanya, berusaha mencari alasan untuk tidak bersama Vino saja. Vino hanya mengangguk, tampaknya bersedia menerima kondisi apa pun asalkan bisa bersama dengan Sandara. Mereka bergerak menuju pasar malam di alun-alun kota. Cahaya lampu mobil yang remang-remang menerangi wajah Sandara, membuatnya tampak lebih menawan di mata Vino yang sesekali melirik lewat spion. "Kenapa sih harus ajak gue? Seharusnya bilang aja kalau enggak mau," bisik Alin kesal. Sandara menghela napas. "Gue enggak tega menolaknya langsung, makanya gue ajak lo, biar nggak cuma berdua dengan Vino!" balasnya dengan nada frustrasi, merasa sahabatnya itu kurang peka dengan situasi yang dia hadapi. Alin m
Saat mereka baru saja duduk di dalam mobil, Bima langsung menyalak, "Sudah aku katakan jangan pernah memiliki hubungan dengan pria lain. Kamu itu istriku, Dara!" Nada suaranya meninggi, vein di lehernya terlihat menonjol. Sandara memiringkan kepala, kedua alisnya bertaut. "Gue nggak punya hubungan apa-apa sama Vino, Om," katanya sambil berusaha menenangkan Bima dengan nada yang lembut. "Nggak ada hubungan? Omong kosong," desis Bima tanpa menatap wajah Sandara, matanya tetap fokus di depan saat mesin mobilnya hidup dengan deru. "Kalau nggak ada hubungan apa-apa, kenapa kamu sama dia bisa di pasar malam?" sarkasme menggantung di ucapannya, sudut bibirnya tersungging seolah meremehkan. Sandara mengerucutkan bibir, menelan ludah, "Ya kan nggak enak gue nolaknya," sahutnya coba menjustifikasi sikapnya tanpa mengundang amarah lebih jauh. Bima mendengus, frustrasi. "Apa susahnya bilang kalau kamu nggak mau? Kamu bisa menolaknya dengan bilang kamu sudah menikah," tuntutnya, matanya
Sandara melangkah riang menuju mobil yang terparkir, senyum mengembang di wajahnya. Di tangannya bergelantungan kresek penuh jajanan yang Bima belikan. "Dara, awas jalannya," Bima memperingatkan saat Sandara nyaris tersandung seorang pengunjung di pasar malam itu. Sandara hanya menimpali dengan senyum nakal tanpa mengalihkan pandangan dari bungkusan di tangannya. Tiba di mobil, dia tidak bisa menahan diri lagi. Segera membuka salah satu kantong plastik, wajahnya berseri-seri saat aroma telur gulung hangat menyapa hidung, hampir membuat air liurnya menetes karena tergoda. Dia membuka bungkusan itu dengan cekatan, dan segera menggigit satu dengan penuh selera. Bima, yang sedang membuka bagasi mobil, melirik ke arahnya dan tersenyum melihat betapa bahagianya Sandara. "Enak?" tanya Bima, sambil menutup bagasi dan berjalan mendekati Sandara yang masih asyik mengunyah. "Mmm, enak banget!" sahut Sandara dengan mata berbinar, sebelum mengambil gigitan lain. Ia kemudian menawarkan satu k
Sandara merasakan senyumnya yang sebelumnya mengembang seketika luntur saat matanya menangkap sosok Reva yang berdiri di dalam apartemen dengan tatapan tajam. Ia segera meluncur turun dari gendongan Bima, suami kontraknya, dengan wajah yang mulai pucat. Reva, dengan rambut tergerai dan mata menyala-nyala, melangkah mendekat dengan kemarahan yang jelas terpampang. "Dasar wanita jalang! Kenapa kamu merebut kekasihku!" teriak Reva, tangannya terangkat dengan kuku panjang yang siap mencakar wajah Sandara. Namun, sebelum tangan Reva sempat menyentuh kulit Sandara, Bima dengan sigap menepis tangan tersebut. Gerakan tegas Bima membuat Reva terhenti, matanya terbelalak tak percaya. "Cukup Reva!" bentak Bima dengan suara yang menggema di ruangan tersebut, membuat Reva terkesiap. "Kamu membentakku? Kamu lebih membela dia?" raut wajah Reva beralih dari marah menjadi sakit hati, matanya berkaca-kaca menatap Bima yang berdiri tegak melindungi Sandara. Bima menatap Reva dengan pandangan ya
Sandara meremas tangannya dengan kuat, saraf-sarafnya tegang, dan jantungnya berdetak kencang. Ia menatap Bima dengan tatapan penuh pertanyaan, mencoba memahami situasi yang sedang terjadi setelah Reva meninggalkan apartemen mereka. Ruangan itu terasa begitu sunyi, hanya suara deru napas mereka yang terdengar memecah keheningan. Akhirnya, dengan suara yang berat dan penuh keraguan, Sandara memutuskan untuk bertanya, "Om, apa benar gara-gara gue, Om Bima sama Reva putus?" Bima yang telah lama terdiam, memandang Sandara dengan tatapan yang sulit diartikan. Wajahnya tampak lesu dan matanya yang sayu menandakan bahwa dia telah lelah. Dengan suara yang serak, Bima menghela napas panjang seolah berat untuk mengungkapkan kata-kata. "Semua nggak ada hubungannya sama kamu," ujarnya pelan. Ada getaran emosi yang terpendam dalam setiap kata yang diucapkannya. Dia menundukkan kepala, seolah berusaha mengeja kata-kata yang pas untuk mengungkapkan hal yang lebih menyakitkan. "Dia telah seli