Sandara menangis terisak dalam guyuran air shower yang dingin, tubuhnya gemetar tak hanya karena dingin tapi juga ketakutan yang membelenggu. Air matanya bercampur dengan air yang mengalir, tak terbedakan mana yang satu dan mana yang lain. Hatinya hancur, merasa terjebak dalam situasi yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Tiba-tiba terdengar suara keras memecah lamunan pahitnya, "Cepat bersihkan dirimu!" teriak seorang wanita dari luar kamar mandi. Sandara menarik napas dalam, mencoba mengumpulkan keberanian yang tersisa. Dia tahu harus segera keluar meskipun dengan berat hati. Setelah menghentikan air dan membungkus tubuhnya dengan handuk, Sandara melangkah keluar dari kamar mandi. Wanita itu sudah menunggunya dengan setelan baju yang sangat tidak pantas. "Pakai pakaian ini!" wanita itu menyodorkan baju tersebut dengan nada yang tidak memberikan ruang untuk penolakan. Sandara menatap baju itu, matanya memerah, "Gue nggak mau pakai pakaian ini!" ujarnya dengan suara yang bergeta
Bima merasakan kecemasan yang menyelimuti seluruh tubuhnya, namun wajahnya berusaha terlihat tenang saat menyampaikan bahwa asistennya, Leo, akan segera tiba. "Maaf, saya tidak bisa mengantar anda ke rumah sakit. Leo akan datang sebentar lagi," ujarnya, suaranya sedikit bergetar. Di sisi lain, Pak Sudiro, ayah Sandara, terlihat pucat dan suaranya melemah, namun masih bisa memberikan pengertian. "Tidak masalah, saya baik-baik saja. Terima kasih. Tolong selamatkan putriku," ucapnya dengan napas tersengal-sengal, mencoba tersenyum pahit. Bima segera meninggalkan ruangan itu, menghindari pandangan mata lemah Pak Sudiro. Begitu keluar, dia melompat ke mobilnya. Kecemasan dan ketakutannya membumbung saat pedal gas diinjaknya dalam-dalam, mobil berkelebatan meninggalkan rumah tua tempat tinggal ayah Sandara. Hatinya berdesir, pikiran tentang Sandara dan masalahnya dengan ibu dan saudara tirinya tak pernah ia ketahui sebelumnya. "Kenapa kamu tidak berbicara, Dara! Harusnya kamu bi
Penjaga yang berbicara tadi mengernyit, memandang Bima dari atas sampai bawah seakan mencoba membaca niatnya. “Tunggu di sini, saya akan tanyakan pada Bos,” katanya akhirnya sebelum berbalik memasuki ruangan. Bima mengepalkan tangannya dengan keras, mata membara penuh amarah saat ia melihat salah satu penjaga masuk ke ruangan Dery. Dengan gerakan lincah dan dipenuhi adrenalin, ia menyerang penjaga yang berdiri di depannya dengan pukulan cepat yang langsung menargetkan titik lemah di tubuh penjaga tersebut. Dalam sekejap, penjaga itu roboh tak berdaya. Tanpa memberi kesempatan pada dirinya untuk bernapas, Bima berlari menuju pintu yang akan segera dibuka oleh penjaga lain. Saat pintu terbuka, ia langsung menyambut penjaga tersebut dengan serangan bertubi-tubi. Tendangan dan pukulan Bima menghantam tubuh penjaga itu tanpa ampun. Di tengah kekacauan, suara lemah Sandara meminta tolong terdengar dari balik dinding, membuat Bima semakin beringas. Pertarungan itu berlangsung sengit.
Air dingin dari shower terus mengalir di atas kepala Sandara, mengguyur tubuhnya yang bergetar. Air itu seolah mencoba menghapus rasa jijik yang melekat erat di kulitnya, sisa-sisa sentuhan Dery yang tak diinginkan. Dengan mata sembab, ia menunduk, berusaha menghapus kenangan malam itu. “Arrgghh!” teriaknya, sambil terisak, tubuhnya berkerut di bawah semburan air. Dingin malam itu tak lagi terasa, yang ada hanya kekecewaan dan amarah yang membuncah. Di luar kamar mandi, Bima mendengarkan. Suara air yang bercampur dengan tangis Sandara memotongnya dalam. “Dara,” panggilnya lembut, sambil mengetuk pintu kamar mandi, rasa bersalah dan khawatir menggantung berat di hatinya. Dalam hati kecilnya, ia berharap bisa menghapus semua kesedihan yang menimpa gadis itu. Rasa khawatir dan pukulan keras pada pintu itu semakin keras. "Dara, buka pintunya! Aku di sini, kamu tidak sendirian." Tubuh mungil Sandara menggigil, hembusan napasnya berbaur dengan tetesan air yang memercik. Dengan langkah
Bima mendekat dan meraih Sandara, menariknya ke dalam pelukan hangatnya. Sandara yang terpuruk dan terpukul, mulai menangis semakin keras, dengan isak tangis yang memilukan hati. Wajahnya tertanam dalam kenyamanan perut Bima yang rata, dia menemukan suatu bentuk keamanan yang langka. Bima dengan lembut mengelus kepala Sandara, kata-katanya merayu dengan penuh ketulusan. "Kamu tidak sendiri, Dara. Aku di sini," ucapnya mencoba menenangkan. Mencoba mengalihkan perhatian dari kepedihan, Bima menawarkan, "Ayo sarapan, kamu belum makan dari semalam," sambil jemarinya yang besar dengan lembut menghapus butiran air mata yang mengalir di pipi Sandara. Namun, Sandara hanya menggelengkan kepalanya, enggan meninggalkan kesendirian kamar itu. Matanya, yang masih berkaca-kaca, kembali terpejam sambil memandang ke luar jendela dengan tatapan kosong. Bima menarik nafas dalam-dalam, berat hati menyaksikan penderitaan orang yang baru mengisi hatinya. Mencoba mencari cara lain untuk menghibur Sand
Dokter Ebid, seorang pria paruh baya, cepat-cepat mengetuk pintu apartemen Bima. Wajahnya memperlihatkan kekhawatiran. Saat pintu terbuka, ia langsung bertanya, "Siapa yang sedang sakit?" Bima yang tampak gelisah, memberikan jawaban yang tak terduga. "Istri saya, Dok. Sandara," ucapnya, membuat mata Dokter Ebid membulat terkejut. "Istri? Sejak kapan? Kenapa tidak ada kabar sama sekali tentang ini?" Hubungan Dokter Ebid dengan Bima selama ini begitu dekat, hingga ia merasa Bima bagaikan anaknya sendiri. Terlihat jelas kekecewaan di wajahnya saat ia menambahkan, "Sudah hampir tiga bulan," jawab Bima dengan suara rendah. Napas Dokter Ebid terdengar berat, lalu ia mendengus kesal. "Kenapa tidak bilang padaku? Apa kamu tidak menganggap aku sebagai keluarga lagi?" Dokter Ebid memandang Bima dengan tatapan yang tajam, mencoba menahan kekecewaan yang mendalam. Bima tampak tidak nyaman, dia menggaruk kepala yang tidak gatal sambil menundukkan pandangannya. "Maafkan saya, Dok. Saya ingin
Sore itu, setelah seharian berada di balik meja kasir kafe, Sandara merasa lega dapat menutup harinya dengan didampingi Bima yang dengan penuh perhatian menjemputnya usai kerja. Mobil melaju menuju rumah tua yang selama ini dipenuhi oleh ingatan-ingatan tentang ayahnya yang sangat dia cintai. "Ayah," suara Sandara bergetar saat mereka memasuki rumah. Langkahnya gontai menapaki kenangan yang terpatri di setiap sudut. Seorang pria paruh baya, Pak Sudiro, keluar dari ruang tengah dengan wajah yang menampakkan kerinduan. "Dara," suaranya serak dan hati-hati dia mendekat, kemudian memeluk putrinya erat-erat. "Kamu nggak apa-apa kan?" Pak Sudiro menelisik Sandara dari ujung kaki hingga ujung kepala, mencari tanda-tanda kecemasan. "Dara nggak apa-apa, Ayah," Sandara membalas dengan senyum yang terpaksa, sementara matanya tak kuasa menahan gumpalan air mata. Bima mengikuti di belakang dengan tatapan penuh perhatian. Dia mengerti betapa pentingnya momen ini bagi Sandara. Pak Sudi
Sandara terbangun dan kebingungan masih merajai pikirannya. Dia memeriksa sekitar kamarnya dan, dengan kaget, menyadari Bima terbaring di sampingnya. 'Ini benar-benar nyata,' pikirnya. Bukannya tadi malam dia tidur sendiri? Bima, suami kontraknya, seharusnya ada di kamarnya sendiri. Sementara dia tengah dilanda kebingungan, Bima, tanpa suara, menariknya lebih dekat dengan pelukan yang hangat. “Om, kenapa Om Bima tidur di sini? Kangen sama gue, ya?” tanya Sandara, suaranya bergetar pelan. Bima hanya menghela nafas, tetap dengan wajah tersembunyi dalam pelukan, meninggalkan pertanyaan itu menggantung di udara yang dingin. Seolah mencari perlindungan dari pertanyaan Sandara. Dengan napas berat, ia akhirnya bersuara dengan suara serak, "Maaf, Dara. Aku tidak tahu bagaimana aku bisa berakhir di sini. Aku... aku mungkin berjalan dalam tidurku." Sandara masih tidak percaya, matanya membulat seraya ia mencoba mengingat setiap detail semalam. Tapi memori itu kabur, tidak jelas. Rasa b
Sandara menggigit bibirnya, ragu untuk melangkah dan membantu asisten yang sedang mengemas pakaian di dalam kamar. Bima, dengan tangan terbuka, menghalangi Sandara. "Sayang, duduk saja di sini, biarkan bibik yang menangani semuanya," ujarnya lembut, sambil menunjuk ke sofa empuk di sudut ruangan. Bu Laras menoleh, menghela nafas ringan, dan tersenyum mengerti. "Nggak apa, Dara, kamu cukup tunjukkan saja pakaian mana yang ingin kamu bawa. Biar bibik yang mempersiapkan semuanya," katanya, suaranya menyiratkan keinginan agar Sandara tidak terlalu memaksakan diri. Sandara menarik napas panjang dan kembali menempati tempatnya di samping sang mama mertua, yang sudah terlihat antusias dengan persiapan. "Ma, nanti perlengkapan buat di rumah sakit taruh di tas besar ini saja ya. Jadi kita nggak perlu repot cari-cari lagi saat waktunya tiba," saran Sandara, matanya berbinar memikirkan segala kemungkinan yang bisa terjadi. Bu Laras, mama mertuanya mengangguk, dan bibik kembali sibuk deng
Hari itu, Sandara bersiap dengan gaun pesta yang anggun tapi terhambat oleh perutnya yang membuncit karena kehamilan. Dia mendekati Bima yang tengah duduk termenung di tepi ranjang, penuh penantian. "Sayang, bisa tolong aku?" rayunya lembut, tangan mungilnya mencoba meraih resleting di bagian punggung bawah gaunnya namun sia-sia. Bima menoleh, matanya berbinar saat melihat punggung istrinya yang terbuka dari resleting yang belum tertutup. Dengan senyuman, dia bangkit dan perlahan menarik resleting itu sambil berbisik, "Kamu memikat sekali hari ini, sayang." Sementara Sandara tersenyum, merasa berbunga dengan pujian dan sentuhan penuh cinta dari Bima."Dan kamu terlihat begitu seksi." Bima berkata sambil tersenyum, segera membantu Sandara menaikkan resleting gaun yang elegan itu. Sandara merasa lega sekaligus tersipu, cintanya pada Bima semakin dalam. Dengan perlahan, Bima membantu Sandara berdiri dan membenarkan gaunnya.Mereka berdua kemudian berangkat ke tempat Alin dan Leo akan
Leo dan Alin, yang beberapa saat lalu masih terkurung dalam pelukan hangat, tiba-tiba terpisah seperti dua kutub yang terdorong oleh kekuatan magnet. Wajah mereka semakin memerah saat Bima, dengan ekspresi yang tidak terima, memberikan teguran yang tajam. "Nggak sengaja Bos," kata Leo, suaranya terdengar lembut dan berusaha menenangkan suasana. Namun, Bima hanya mencibir dengan tatapan yang skeptis. "Mana ada berpelukan tapi nggak sengaja," balasnya, nada suaranya meninggi penuh ketidakpercayaan. Sementara itu, Leo hanya bisa tersenyum kikuk, senyum yang tampak dipaksakan untuk menyembunyikan kebingungannya. Alin, di sisi lain, menunduk dalam-dalam, rasa malu menggelayuti dirinya. Hatinya berdebar, khawatir atas apa yang baru saja terjadi dan bagaimana persepsi Bima terhadap situasi tersebut. Ia bahkan tidak berani mengangkat kepala untuk menatap Bima atau Sandara, takut akan pandangan yang mungkin akan semakin menambah rasa bersalah di hatinya. Keduanya, meski tak terucap, sali
Sandara terdiam, duduk di kursi roda yang didorong oleh Bima di sepanjang jalur pemakaman yang dipenuhi oleh deretan batu nisan. Wajahnya yang pucat dan lelah semakin membuatnya terlihat rapuh. Pada tangannya yang satu, masih terpasang jarum infus yang meneteskan cairan ke dalam pembuluh darahnya, sebuah pengingat dari sakit yang dia derita tidak hanya secara fisik tetapi juga emosional.Mata Sandara memandang tanpa fokus ke arah makam ayahnya yang baru saja ditutupi tanah. Air mata terus menderas tanpa henti, menciptakan jalur basah di kedua pipinya. Alin dan Bu Laras, yang telah seperti keluarga sendiri, berdiri di sampingnya, memberikan dukungan.Bu Laras, dengan lembut, mengusap punggung Sandara, mencoba memberikan kenyamanan sebisa mungkin. "Sayang, kamu yang sabar. Ayah kamu sudah di tempat yang nyaman," katanya dengan suara yang bergetar, mencoba menahan emosi sendiri.Alin, dengan mata yang juga berkaca-kaca, merangkul bahu Sandara. "Sabar ya Dar. Lo masih punya gue," bisiknya
"Bos jangan membuat kami iri dong. Kasihanilah kami," ucap Leo dengan mendramatisi keadaan.Bima tak menghiraukan ucapan asistennya itu, ia bahkan mencium bibir Sandara sekilas. Ia begitu takut kehilangan Sandara. Dua kali sudah Reva telah mencoba membunuh wanita yang akan menjadi ibu dari anaknya itu.Bima menatap Leo dengan tatapan yang sinis. "Jangan pura-pura, Leo. Kenapa kamu nggak langsung nikahi Alin aja? Bukannya kamu naksir berat sama dia," ujarnya, dengan nada menyudutkan. Leo tergagap, pipinya memerah terbakar malu, hatinya dipelintir ketidakberdayaan saat dia berusaha menyembunyikan wajahnya dari Alin yang saat itu juga tak berani menatap mata mereka berdua. Ia malah menundukkan kepala, pipinya menyala seperti membara. Sandara, yang juga di situ, melirik Alin, tersenyum kecil melihat reaksi sahabatnya itu. "Ada apa nih? Kok kayak yang sedang dimabuk asmara?" candanya, suaranya perlahan tetapi cukup terdengar. Bima tertawa terbahak-bahak, menambahi ejekan. "Lihat tuh,
Sandara terbangun dengan tiba-tiba, matanya membulat ketakutan saat melihat sosok perawat yang berdiri di hadapannya dengan bantal di tangan. Nafasnya tercekat, tubuhnya bergetar hebat saat mendengar suara serak itu."Aku adalah malaikat yang akan mencabut nyawamu!" seru Reva dengan senyum menyeringai di balik maskernya. Sinar mata Reva memancarkan kegilaan, membuat jantung Sandara semakin berdegup kencang."Reva!" pekik Sandara dalam kepanikan. Namun, ia tak bisa berbuat banyak. Tangannya yang terinfus dan tubuhnya yang masih lemah membuatnya tak berdaya. Ia hanya bisa menggelengkan kepalanya, berharap ini hanya mimpi buruk."Tidak Reva, pergi!" teriak Sandara, suaranya bergetar, mengusir Reva yang semakin mendekat. Air mata mulai mengalir di pipinya, ketakutan menguasai setiap inci tubuhnya saat dia menyadari situasi mengerikan yang sedang dihadapinya.Di dalam kamar mandi, Alin menghentakkan tubuhnya ke pintu kamar mandi yang tertutup rapat. Keringat dingin mengucur deras di pelipi
Bima berdiri tegap, pandangannya tajam menembus jendela yang mengarah ke ruang bawah tanah. "Leo, perintahkan anak buahmu untuk mengejar Ajeng segera. Setelah meninggalkan Pak Sudiro di dermaga pasti ia kehilangan arah. Dan jangan lupa, Reva harus kita tangkap. Dia membahayakan keselamatan Sandara," katanya dengan suara yang penuh otoritas. Rasa kecewa dan amarah terhadap Reva, mantan kekasihnya yang berkhianat, jelas terlihat di wajahnya. Leo, dengan ekspresi serius, mengangguk penuh semangat. "Siap, Bos!" jawabnya sambil mengepalkan tangan, siap menjalankan tugas. Sementara itu, di ruangan bawah tanah yang pengap, Bima menatap dingin ke arah Erdo yang tergeletak lemah. "Biarkan dia membusuk di sini," ucapnya tanpa belas kasihan, lalu berlalu dengan langkah berat. Di sisi lain, di ruang VVIP rumah sakit, keheningan menyelimuti ruangan ketika Sandara terlelap, hanya terdengar suara nafasnya yang lemah. Alin, yang duduk di sofa dekat tempat tidur, terlihat bosan sambil memainkan
Setelah memastikan keadaan Sandara baik-baik saja, Bima berencana untuk meninggalkannya sebentar saja. Tapi ia takut kalau Sandara tak ada yang menjaganya."Ada apa Om?" tanya Sandara dengan mengerutkan dahinya melihat Bima yang tampak sedikit gelisah.Bima mengulas senyumnya. "Nggak apa-apa sayang. Nanti kamu mau makan apa?" tanya Bima untuk mengalihkan perhatian Sandara.Sandara terdiam sejenak. "Apa boleh gue makan daging?" tanya Sandara dengan sedikit ragu mengingat kamarin ia baru saja di operasi."Tentu saja boleh, asal nggak berlebihan," jawab Bima dengan lembut sambil mengusap kepalanya panuh kasih sayang.Tak lama pintu ruangan itu di ketuk. Alin dengan senyum lebar masuk dan menghampiri sahabatnya."Hai, Dara. Gue minta maaf karena nggak percaya sama lo kalau lo liat Erdo waktu itu," ucap Alin penuh penyesalan. Menghambur memeluk sahabatnya.Sandara tersenyum kecil. "Nggak apa-apa, gue baik-baik aja kok," jawab Sandara dengan membalas pelukan Alin."Alin, apa kamu nggak sibu
Sandara menunduk, bibir bawahnya terjepit antara giginya. Dia berada di persimpangan hati; sebentuk kebenaran mengetuk bibirnya—ia sedang mengandung. Bimbang menari di benaknya, rasa takut Bima takkan menerima ini menguar kuat. "Nggak ada Om, gue ***a bilang kangen doang," suaranya meredup, terdengar dari ujung bibir yang bergetar pelan. Bima, suaminya—meski hanya di atas kertas—menggenggam erat tangan Sandara. Raut mukanya memerah, peningkatan denyut jantungnya nyata sekali seakan ingin meluapkan kekesalan. Namun, pandangannya tertuju pada perban yang masih terlilit di lengan Sandara, sisa-sisa operasi yang belum lama. Napasnya dihela dalam-dalam, berusaha menenangkan amarahnya. Tanpa sadar oleh Sandara, saat dia pingsan sebelumnya, dokter telah memberi tahu Bima tentang kehamilannya. "Kamu yakin?" Bima mendorong sekali lagi, suaranya lebih halus, mendesak namun penuh pengertian, mencoba menggali kejujuran dari hati Sandara.Sandara menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulk