Sandara mengusap air matanya yang mengalir membasahi wajahnya. Sesekali sopir taksi mencuri pandang ke arahnya melalui spion yang ada di atasnya. "Kenapa Mbak? Putus cinta ya Mbak? Nggak usah di pikirin Mbak, masih banyak cowok yang lainnya," ujar sopir taksi yang sok tahu. Pria itu meraih tisu dan memberikannya pada Sandara. "Makasih Pak," ucap Sandara menerima tisu itu dan mengelap air matanya. Beberapa saat kemudian, taksi pun berhenti di kawasan apartemen yang di tempati Bima dan Sandara. Sandara turun setelah membayar ongkos dan kembali mengucapkan terima kasih pada sopir itu yang mau memberikan tisu padanya. Bertepatan dengan itu mobil Bima berhenti di lobi apartemen. Sandara menghentikan langkahnya dan berdiri mematung saat Bima dan Reva keluar dari dalam mobil masing-masing. "Pokoknya aku nggak mau tau kamu harus cepat ceraikan Dara!" ucap Reva dengan membanting pintu mobil. Sandara dapat mendengarnya dengan jelas kalau Reva menuntut Bima untu segera mencerai
Sandara terbangun dari tidurnya, merasakan sebuah sensasi yang begitu familiar dan menghangatkan. Dengan mata masih terpejam, ia menarik napas dalam-dalam, menghirup aroma maskulin yang sudah sangat ia kenal. Aroma itu membawa seribu kenangan, yang langsung membangkitkan serangkaian emosi di hatinya.Perlahan, ia membuka matanya, masih sedikit buram oleh sisa kantuk yang melekat. Di depannya, terpampang wajah Bima, pria yang pernah sangat dekat di hatinya. Wajah itu tersenyum manis, seolah-olah tidak ada ruang atau waktu yang pernah memisahkan mereka. Namun, senyum itu cepat berubah menjadi ekspresi kejutan saat Sandara tampak terkejut.Sandara menggumam tak percaya, "Gue mimpi atau apa?" suaranya bergetar, seraya menelan ludah dengan susah payah. Bima, dengan gerak cepat dan pasti, menarik Sandara ke dalam pelukannya yang hangat dan kuat. Pada momen itu, semua keraguan dan keheranan yang mungkin ada, seakan luluh oleh kehangatan dan keakraban yang mereka bagikan.Dalam pelukan itu, S
Pletak! Sebuah pulpen mendarat tepat di kepala Leo. "Keluar sana, ganggu saja!" usir Bima dengan mendengus kesal. Wajah yang tadinya tampak sumringah kini berganti dengan tatapan dingin dan datar. "Aduh, Bos. Kok saya di usir sih Bos. Saya mau menyerahkan laporan ini Bos," ucap Leo sambil mengusap kepalanya. "Letakkan saja di meja, dan kamu cepat kembali ke ruangan kamu!" perintahnya. "Baik Bos," jawab Leo dengan patuh. Pria berbadan tinggi besar itu dengan hormat dan patuh keluar dari ruangan itu. Setelah pintu ruangannya tertutup Bima kembali menatap ponselnya. Ia menggelengkan kepalanya melihat foto Sandara yang tengah mangap. "Astaga Dara! Bisa-bisanya kamu lucu seperti ini," gumam Bima dengan seringai tipis. Di sisi lainnya, Sandara tampak semangat melayani pengunjung kafe. Alin yang melihat sahabatnya itu pun mengerutkan dahinya. "Dara, kemarin aja lo keliatan sedih gitu. Tapi sekarang kok lo ceria banget. Jangan-jangan kemarin lo kesambet?" "Kesambet pala lo, gue seh
"Dasar perempuan jalang!" teriak Reva sambil mengayunkan tangannya keras, menampar pipi Sandara. Wajahnya memerah, matanya memancarkan api kebencian. Reva benar-benar kecewa dengan Bima karena telah lebih memilih Sandara, istri kontraknya, daripada dirinya yang telah lama berada di sisinya. Dia sudah menduga bahwa Bima akan datang ke kafe tempat Sandara bekerja, jadi dia diam-diam mengikutinya dan memendam niat untuk menghajar Sandara sejak awal. Reva melihat Bima duduk di sudut kafe, matanya tidak lepas dari Sandara yang sibuk melayani pelanggan. Itu saja sudah cukup membuat darahnya mendidih. "Reva! Apa-apan sih kamu!" seru Bima, bergegas mendekati Sandara yang terpaku sambil memegangi pipi yang telah ditampar. Raut wajah Bima berubah menjadi kombinasi kekhawatiran dan kemarahan saat ia menatap Reva. Sandara, dengan mata berkaca-kaca, menunduk seraya merasakan panas dan perih di pipi yang ditampar. Sementara itu, Reva, dengan napas yang masih tersengal-sengal, menatap mereka be
"Apa? Gue nggak ngomong apa-apa," ucap Sandara sambil menggelengkan kepalanya. Berpura-pura tak mengatakan sesuatu. Meski lirih namun Bima yakin kalau Sandara mengatakan sesuatu."Om Bima salah denger kali, gue dari tadi diam ngerasain sentuhan tangan Om Bima yang mengusap-usap pipi gue," ujar Sandara dengan lebaynya.Bima menggelengkan kepalanya. "Kompres sendiri, jangan manja! Saya yakin kok tadi kamu mengatakan sesuatu.""Yah, Om. Ini kan yang bikin pipi gue merah ceweknya Om. Om harus tanggung jawab dong. Minimal kasih perhatian atau maksimal kasih cium juga boleh," ujar Sandara dengan segala kekonyolannya mengalihkan perhatian Bima dari kata-kata absurdnya.Alin yang melihat tingkah sahabatnya hanya bisa menepuk jidatnya. "Parah lo Dar, suami lo, lo godain gitu.""Dara, Dara, kamu memang cewek yang unik. Pantas saja Bos Bima senyum-senyum sendiri. Tingkah kamu lucu dan bikin gemas," gumam Leo yang tak bisa menahan senyumnya melihat atasannya di godain oleh istrinya sendiri.Leo j
Sandara merasakan tubuhnya terhuyung ke depan secara tiba-tiba. Bima, dengan refleks cepat, merentangkan tangan dan menarik pinggangnya, menarik Sandara agar jatuh ke dalam pangkuannya dengan lembut. Sementara itu, Leo yang sedang mengemudi, mendadak mengerem ketika menyadari seekor anak kucing yang lucu melintas di tengah jalan. Melirik sekilas melalui spion, dia memutuskan untuk berpura-pura tidak menyadari kejadian di belakangnya, terutama posisi Sandara yang sekarang berada di atas pangkuan Bima. "Ya ampun, anak kucing itu menggemaskan!" gumamnya sambil mulai bersiul riang, perlahan menginjak pedal gas, berusaha menyembunyikan senyumnya. Dalam kebingungan dan sedikit keterkejutan, Sandara hanya bisa mengedipkan matanya beberapa kali, menyadari bahwa ia kini berada tepat di pangkuan suami kontraknya. Setelah menyadari bahwa tubuhnya kini berada di pangkuan Bima. Wajahnya memerah, jantungnya berdegup kencang, tidak mengetahui harus bersikap bagaimana. Bima, dengan refleks yang c
"Astaga! Kenapa sih kemana-mana ada aja ulat bulu. Heran deh!" gumam Sandara dengan mengepalkan kedua tangannya erat melihat Reva berlenggak lenggok di depan Bima menampilkan tubuhnya yang seksi. "Njirr, itu kelapa gede amat!" celetuk Sandara yang melihat bagian dada Reva menyembul ingin keluar dari tempatnya. Ia tertawa geli sekaligus iri, secara punyanya tak sebesar milik Reva yang seorang model. Reva melirik sinis ke arah Sandara dan dengan sengaja menggeser tempat Sandara berdiri. "Gimana sayang?" tanya Reva dengan suara mendayu-dayu. Sebelah matanya mengerling nakal. Sandara memutar bola matanya malas saat tubuhnya sedikit terhuyung. "Sayang, sayang pala lo peyang. Dia itu suami gue! Nggak tau malu banget!" gerutu Sandara dengan melirik sinis ke arah Reva. Tatapan Bima mengarah pada Sandara yang mengerucutkan bibirnya. Ia sama sekali tidak merespon pertanyaan Reva. "Ganti lainnya," ucapnya yang di angguki oleh Sandara. Dengan di bantu seorang karyawan butik Sandara mengg
Sandara menatap jengah pada Reva dan teman-temannya yang datang menghampirinya. Ia duduk santai tampa menghiraukan Reva yang tengah berbicara panjang lebar dengannya. "Yah, habis," keluh Sandara saat jus yang ada di gelasnya telah habis tak bersisa. Ia masih merasakan tengorokannya yang kering kerontang karena sejak tadi di kafe ia sama sekali belum minum di tambah lagi ia saat ini sedang kelaparan. Tiba-tiba seseorang menyodorkan segelas minuman dingin bersoda padanya. Sandara mendongak dan menatap orang yang ada di depannya. "Gue nggak minum begituan," tolaknya tak ingin basa basi. Sandara tak bisa mempercayai siapapun di sini. Ia tak mengenal siapa pun kecuali Bima dan Leo. Apalagi Reva, perempuan licik itu pandai bersilat lidah, seperti saat ini ia sedang mengoceh yang membuatnya merasa jengah. "Oh, aku ambilkan lainnya," ucap Mario namun segera di cegah oleh Sandara. "Nggak usah, gue bisa ambil nanti." "Bagaimana kalau kita ngobrol di sana?" tawar Mario sambil menunju
Sandara menggigit bibirnya, ragu untuk melangkah dan membantu asisten yang sedang mengemas pakaian di dalam kamar. Bima, dengan tangan terbuka, menghalangi Sandara. "Sayang, duduk saja di sini, biarkan bibik yang menangani semuanya," ujarnya lembut, sambil menunjuk ke sofa empuk di sudut ruangan. Bu Laras menoleh, menghela nafas ringan, dan tersenyum mengerti. "Nggak apa, Dara, kamu cukup tunjukkan saja pakaian mana yang ingin kamu bawa. Biar bibik yang mempersiapkan semuanya," katanya, suaranya menyiratkan keinginan agar Sandara tidak terlalu memaksakan diri. Sandara menarik napas panjang dan kembali menempati tempatnya di samping sang mama mertua, yang sudah terlihat antusias dengan persiapan. "Ma, nanti perlengkapan buat di rumah sakit taruh di tas besar ini saja ya. Jadi kita nggak perlu repot cari-cari lagi saat waktunya tiba," saran Sandara, matanya berbinar memikirkan segala kemungkinan yang bisa terjadi. Bu Laras, mama mertuanya mengangguk, dan bibik kembali sibuk deng
Hari itu, Sandara bersiap dengan gaun pesta yang anggun tapi terhambat oleh perutnya yang membuncit karena kehamilan. Dia mendekati Bima yang tengah duduk termenung di tepi ranjang, penuh penantian. "Sayang, bisa tolong aku?" rayunya lembut, tangan mungilnya mencoba meraih resleting di bagian punggung bawah gaunnya namun sia-sia. Bima menoleh, matanya berbinar saat melihat punggung istrinya yang terbuka dari resleting yang belum tertutup. Dengan senyuman, dia bangkit dan perlahan menarik resleting itu sambil berbisik, "Kamu memikat sekali hari ini, sayang." Sementara Sandara tersenyum, merasa berbunga dengan pujian dan sentuhan penuh cinta dari Bima."Dan kamu terlihat begitu seksi." Bima berkata sambil tersenyum, segera membantu Sandara menaikkan resleting gaun yang elegan itu. Sandara merasa lega sekaligus tersipu, cintanya pada Bima semakin dalam. Dengan perlahan, Bima membantu Sandara berdiri dan membenarkan gaunnya.Mereka berdua kemudian berangkat ke tempat Alin dan Leo akan
Leo dan Alin, yang beberapa saat lalu masih terkurung dalam pelukan hangat, tiba-tiba terpisah seperti dua kutub yang terdorong oleh kekuatan magnet. Wajah mereka semakin memerah saat Bima, dengan ekspresi yang tidak terima, memberikan teguran yang tajam. "Nggak sengaja Bos," kata Leo, suaranya terdengar lembut dan berusaha menenangkan suasana. Namun, Bima hanya mencibir dengan tatapan yang skeptis. "Mana ada berpelukan tapi nggak sengaja," balasnya, nada suaranya meninggi penuh ketidakpercayaan. Sementara itu, Leo hanya bisa tersenyum kikuk, senyum yang tampak dipaksakan untuk menyembunyikan kebingungannya. Alin, di sisi lain, menunduk dalam-dalam, rasa malu menggelayuti dirinya. Hatinya berdebar, khawatir atas apa yang baru saja terjadi dan bagaimana persepsi Bima terhadap situasi tersebut. Ia bahkan tidak berani mengangkat kepala untuk menatap Bima atau Sandara, takut akan pandangan yang mungkin akan semakin menambah rasa bersalah di hatinya. Keduanya, meski tak terucap, sali
Sandara terdiam, duduk di kursi roda yang didorong oleh Bima di sepanjang jalur pemakaman yang dipenuhi oleh deretan batu nisan. Wajahnya yang pucat dan lelah semakin membuatnya terlihat rapuh. Pada tangannya yang satu, masih terpasang jarum infus yang meneteskan cairan ke dalam pembuluh darahnya, sebuah pengingat dari sakit yang dia derita tidak hanya secara fisik tetapi juga emosional.Mata Sandara memandang tanpa fokus ke arah makam ayahnya yang baru saja ditutupi tanah. Air mata terus menderas tanpa henti, menciptakan jalur basah di kedua pipinya. Alin dan Bu Laras, yang telah seperti keluarga sendiri, berdiri di sampingnya, memberikan dukungan.Bu Laras, dengan lembut, mengusap punggung Sandara, mencoba memberikan kenyamanan sebisa mungkin. "Sayang, kamu yang sabar. Ayah kamu sudah di tempat yang nyaman," katanya dengan suara yang bergetar, mencoba menahan emosi sendiri.Alin, dengan mata yang juga berkaca-kaca, merangkul bahu Sandara. "Sabar ya Dar. Lo masih punya gue," bisiknya
"Bos jangan membuat kami iri dong. Kasihanilah kami," ucap Leo dengan mendramatisi keadaan.Bima tak menghiraukan ucapan asistennya itu, ia bahkan mencium bibir Sandara sekilas. Ia begitu takut kehilangan Sandara. Dua kali sudah Reva telah mencoba membunuh wanita yang akan menjadi ibu dari anaknya itu.Bima menatap Leo dengan tatapan yang sinis. "Jangan pura-pura, Leo. Kenapa kamu nggak langsung nikahi Alin aja? Bukannya kamu naksir berat sama dia," ujarnya, dengan nada menyudutkan. Leo tergagap, pipinya memerah terbakar malu, hatinya dipelintir ketidakberdayaan saat dia berusaha menyembunyikan wajahnya dari Alin yang saat itu juga tak berani menatap mata mereka berdua. Ia malah menundukkan kepala, pipinya menyala seperti membara. Sandara, yang juga di situ, melirik Alin, tersenyum kecil melihat reaksi sahabatnya itu. "Ada apa nih? Kok kayak yang sedang dimabuk asmara?" candanya, suaranya perlahan tetapi cukup terdengar. Bima tertawa terbahak-bahak, menambahi ejekan. "Lihat tuh,
Sandara terbangun dengan tiba-tiba, matanya membulat ketakutan saat melihat sosok perawat yang berdiri di hadapannya dengan bantal di tangan. Nafasnya tercekat, tubuhnya bergetar hebat saat mendengar suara serak itu."Aku adalah malaikat yang akan mencabut nyawamu!" seru Reva dengan senyum menyeringai di balik maskernya. Sinar mata Reva memancarkan kegilaan, membuat jantung Sandara semakin berdegup kencang."Reva!" pekik Sandara dalam kepanikan. Namun, ia tak bisa berbuat banyak. Tangannya yang terinfus dan tubuhnya yang masih lemah membuatnya tak berdaya. Ia hanya bisa menggelengkan kepalanya, berharap ini hanya mimpi buruk."Tidak Reva, pergi!" teriak Sandara, suaranya bergetar, mengusir Reva yang semakin mendekat. Air mata mulai mengalir di pipinya, ketakutan menguasai setiap inci tubuhnya saat dia menyadari situasi mengerikan yang sedang dihadapinya.Di dalam kamar mandi, Alin menghentakkan tubuhnya ke pintu kamar mandi yang tertutup rapat. Keringat dingin mengucur deras di pelipi
Bima berdiri tegap, pandangannya tajam menembus jendela yang mengarah ke ruang bawah tanah. "Leo, perintahkan anak buahmu untuk mengejar Ajeng segera. Setelah meninggalkan Pak Sudiro di dermaga pasti ia kehilangan arah. Dan jangan lupa, Reva harus kita tangkap. Dia membahayakan keselamatan Sandara," katanya dengan suara yang penuh otoritas. Rasa kecewa dan amarah terhadap Reva, mantan kekasihnya yang berkhianat, jelas terlihat di wajahnya. Leo, dengan ekspresi serius, mengangguk penuh semangat. "Siap, Bos!" jawabnya sambil mengepalkan tangan, siap menjalankan tugas. Sementara itu, di ruangan bawah tanah yang pengap, Bima menatap dingin ke arah Erdo yang tergeletak lemah. "Biarkan dia membusuk di sini," ucapnya tanpa belas kasihan, lalu berlalu dengan langkah berat. Di sisi lain, di ruang VVIP rumah sakit, keheningan menyelimuti ruangan ketika Sandara terlelap, hanya terdengar suara nafasnya yang lemah. Alin, yang duduk di sofa dekat tempat tidur, terlihat bosan sambil memainkan
Setelah memastikan keadaan Sandara baik-baik saja, Bima berencana untuk meninggalkannya sebentar saja. Tapi ia takut kalau Sandara tak ada yang menjaganya."Ada apa Om?" tanya Sandara dengan mengerutkan dahinya melihat Bima yang tampak sedikit gelisah.Bima mengulas senyumnya. "Nggak apa-apa sayang. Nanti kamu mau makan apa?" tanya Bima untuk mengalihkan perhatian Sandara.Sandara terdiam sejenak. "Apa boleh gue makan daging?" tanya Sandara dengan sedikit ragu mengingat kamarin ia baru saja di operasi."Tentu saja boleh, asal nggak berlebihan," jawab Bima dengan lembut sambil mengusap kepalanya panuh kasih sayang.Tak lama pintu ruangan itu di ketuk. Alin dengan senyum lebar masuk dan menghampiri sahabatnya."Hai, Dara. Gue minta maaf karena nggak percaya sama lo kalau lo liat Erdo waktu itu," ucap Alin penuh penyesalan. Menghambur memeluk sahabatnya.Sandara tersenyum kecil. "Nggak apa-apa, gue baik-baik aja kok," jawab Sandara dengan membalas pelukan Alin."Alin, apa kamu nggak sibu
Sandara menunduk, bibir bawahnya terjepit antara giginya. Dia berada di persimpangan hati; sebentuk kebenaran mengetuk bibirnya—ia sedang mengandung. Bimbang menari di benaknya, rasa takut Bima takkan menerima ini menguar kuat. "Nggak ada Om, gue ***a bilang kangen doang," suaranya meredup, terdengar dari ujung bibir yang bergetar pelan. Bima, suaminya—meski hanya di atas kertas—menggenggam erat tangan Sandara. Raut mukanya memerah, peningkatan denyut jantungnya nyata sekali seakan ingin meluapkan kekesalan. Namun, pandangannya tertuju pada perban yang masih terlilit di lengan Sandara, sisa-sisa operasi yang belum lama. Napasnya dihela dalam-dalam, berusaha menenangkan amarahnya. Tanpa sadar oleh Sandara, saat dia pingsan sebelumnya, dokter telah memberi tahu Bima tentang kehamilannya. "Kamu yakin?" Bima mendorong sekali lagi, suaranya lebih halus, mendesak namun penuh pengertian, mencoba menggali kejujuran dari hati Sandara.Sandara menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulk