Sandara membuka matanya, kedipan yang berat mengiringi rasa kantuk yang masih tersisa. Ia tersadar bahwa semalam ponselnya tertinggal di meja dapur.Mau tak mau, pikirannya melayang pada sosok Bima dan Reva yang kemarin terlihat begitu dekat. Ia menghela napas, rasa cemburu membara di dada."Pasti banyak pesan dari Alin," gumam Sandara dengan suara serak saat beranjak menuju kamar mandi.Sambil mengusap-usap mata, Sandara mengambil ponselnya yang tergeletak di samping meja dapur. Dia ingin tersenyum melihat pesan dari Bima, tapi hatinya bertanya-tanya, takut semua hanya harapan kosong belaka."Apa maksudnya ini?" tanyanya bingung membaca pesan dari Bima yang ternyata telah makan makanan yang ia siapkan semalam.Ia meletakkan ponselnya penuh dengan kekesalan mengingat kejadian semalam. Jantungnya terasa diremas ketika membaca, "Mau di makan apa nggak terserah. Bodo amat!" Kesal bercampur dengan kecewa menyeruak, menyesakkan dada.Hubungannya dengan Bima, suami kontraknya itu, sepertiny
Seperti biasa Sandara dan Alin duduk di taman yang ada di dekat kafe tempat mereka bekerja setelah jam kerja mereka berakhir. "Lo semalam kenapa sih, tiba-tiba aja ngilang. Baru aja gue mau nanya gimana hasil masakan lo. Lo nggak balas pesan gue!" Alin terlihat kesal mengingat semalam Sandara tidak membalas pesannya setelah selesai masak makan malam. Wajah Sandara berubah masam. "Lo tau nggak?" "Nggak, gue nggak tau!" potong Alin cepat sebelum Sandara meneruskan ucapannya. "Gue belum tanya ogeb!" kesal Sandara sambil bibirnya yang maju lima senti. Alin tertawa terbahak melihat sahabatnya yang menekuk wajahnya dalam. "Iya, iya sorry. Apa?" Alin menopang dagunya menatap Sandara dengan rasa penasaran yang tinggi. Sandara menghirup napasnya dalam-dalam. "Semalam setelah gue masak, Om Bima pulang sama Reva. Mereka keliatan mesra banget.," ungkap Sandara dengan sendu. "Gue udah nggak punya harapan lagi sama Om Bima. Om Bima itu nggak mungkin ngelirik gue. Gue harus sadar di
Sandara memandang Bima dengan tatapan datar, seolah-olah kehadirannya tidak lebih dari bayang-bayang semu. Bima, yang baru saja keluar dari kamarnya dengan rambut masih basah, mencoba menghadirkan suasana ceria. Dia duduk di samping Sandara dan tanpa berkata apa-apa, ia mengambilkan piring berisi sarapan dan menaruhnya di depan Sandara."Wajah kamu tambah jelek kalau marah!" canda Bima, mencoba memecah kebekuan. Raut wajah Sandara yang semula datar berubah menjadi kerut seribu, kedua alisnya bertemu di tengah."Biarin! Om Bima nggak usah liat Dara!" balas Sandara dengan nada kesal, bibirnya mengerucut, menunjukkan rasa tidak puas yang mendalam. Bima hanya tersenyum samar, tidak terpengaruh oleh ketusnya Sandara."Saya saja yang tampan nggak marah," sahut Bima lagi, sambil menyisir rambutnya yang masih lembap dengan jari-jarinya, sikapnya percaya diri memancar."Percaya diri sekali anda! Narsis!" Sandara semakin kesal, suaranya meninggi sedikit, namun di sudut hatinya, ia tahu bahwa ap
"Siapa bilang kalau dia cowok gue? Dia bukan.." "Selera kamu benar-benar hancur!" cibir Bima dengan nada mengejek. Memotong kata-kata Sandara. Sontak saja Sandara membulatkan kedua matanya dan bibirnya mengerucut. Merasa tak terima dengan perkataan Bima yang menuduhnya pacaran dengan Erdo. "Dia itu bukan cowok gue! Dia itu kakak tiri gue!" sahut Sandara cepat dengan kesal. Dada Sandara bergemuruh, ingin sekali memukul kepala Bima karena di otaknya itu penuh dengan prasangka buruk mengenai dirinya. Tapi sayang, dia sudah menolongnya. "Kalau udah nggak ada yang di bicarain lagi gue keluar. Gue mau kerja. Habis duit gue gara-gara cowok brengsek itu!" Sandara keluar dari dalam mobil dengan misuh-misuh. Harusnya suami kontraknya itu tanya baik-baik bukannya menuduh dengan tuduhan yang tak mendasar. Sandara menghentak-hentakkan kakinya berjalan meninggalkan mobil Bima yang masih terparkir di sana. Bima yang melihat kekesalan Sandara tersenyum samar. Gadis itu sangat mengge
Sandara masih duduk termangu di depan kafe, melirik jendela yang dipukul oleh hujan deras. Di antara gelegar suara gemuruh, dia mendengar detik jam yang berbunyi menyatakan jam kerjanya telah usai, namun hujan memaksanya untuk bertahan lebih lama di sana. Baru saja Alin meninggalkan tempat tersebut sepuluh menit lalu ketika Vino muncul, duduk disampingnya. "Lo belum pulang Dar?" tanyanya dengan nada ringan. "Lo nggak lihat itu hujan," Sandara menjawab dingin, tanpa menoleh pada Vino, manajer kafe tempatnya bekerja. Mendengar itu, Vino hanya tertawa kecil. "Lo masih sama kayak dulu ya, suka jutek." Sandara tersenyum pahit, memori lama kembali menari di pikirannya. "Gue emang nggak berubah dari dulu. Lo aja yang udah pergi ninggalin gue tanpa kepastian," jawabnya. Meski kata-katanya terdengar gurau, ada getir yang tersembunyi. Mereka dulu dekat sekali, sekarang seolah jarak antara mereka semakin melebar bagai jari kaki dan tangan.Sandara melirik ke arah Vino dengan tatapan da
Sandara terpental ke dinding yang dingin, napasnya tercekat ketika Bima menekannya dengan keras. "Apa yang sudah kamu lakukan, Dara!" raung Bima, suaranya menggelegar menyeruak kesunyian. Sandara gemetar, matanya berkaca-kaca. "Dara nggak ngelakuin apa-apa, Om," suaranya serak, sambil meronta mencoba melepaskan diri. Bima, dengan tatapan yang menerawang kekecewaan, menarik Sandara lebih dekat lagi. "Apa ini yang kamu mau!" desisnya sebelum bibirnya yang kasar merebut ciuman dari bibir merah Sandara. Dengan kekuatan yang tersisa, Sandara mendorong Bima, berusaha menolak dan menjauh. Namun upaya itu sia-sia, Bima tak bergeming, semakin mendekapnya dengan erat."Lepasin gue!" Sandara mendorong tubuh Bima namun pria itu terlalu kuat untuk Sandara. Dengan mata yang terbakar emosi, Bima menatap Sandara dengan tatapan yang membuat gadis itu merasa gentar. Sandara berusaha keras untuk menenangkan detak jantungnya yang berdebar kencang, menahan rasa takut yang mengalir dalam darahnya."Dia
Sandara menatap Bima dengan mata berkaca-kaca, penuh amarah. Bima hanya diam, selimut menutupi bagian tubuhnya yang terbuka. "Gue benci lo, Om Bima!" seru Sandara dengan suara parau, tangannya gemetar saat ia berusaha mengambil baju yang berserakan di lantai. Air mata jatuh membasahi pipinya, meninggalkan jejak keperihan yang mendalam. "Sssttt," bisiknya, mencoba menahan rasa sakit yang melanda. Ketika Bima berusaha mendekat, Sandara menepis tangannya dengan keras. "Om Bima jahat!" pekiknya seraya terisak, sebelum akhirnya ia berjalan terhuyung keluar dari kamar, meninggalkan Bima dalam keheningan yang mencekam. Bima berdiri di depan cermin, memandang refleksi dirinya yang penuh kebencian dan penyesalan. Keringat dingin mengucur deras di dahinya, tangan kanannya masih gemetar ketika dia mengingat apa yang baru saja terjadi. Cemburu yang membara telah mendorongnya melakukan sesuatu yang tak termaafkan. "Aku seharusnya tidak melakukan itu," gumamnya dengan suara serak, seraya mem
Sandara mengusap air matanya yang mengalir membasahi wajahnya. Sesekali sopir taksi mencuri pandang ke arahnya melalui spion yang ada di atasnya. "Kenapa Mbak? Putus cinta ya Mbak? Nggak usah di pikirin Mbak, masih banyak cowok yang lainnya," ujar sopir taksi yang sok tahu. Pria itu meraih tisu dan memberikannya pada Sandara. "Makasih Pak," ucap Sandara menerima tisu itu dan mengelap air matanya. Beberapa saat kemudian, taksi pun berhenti di kawasan apartemen yang di tempati Bima dan Sandara. Sandara turun setelah membayar ongkos dan kembali mengucapkan terima kasih pada sopir itu yang mau memberikan tisu padanya. Bertepatan dengan itu mobil Bima berhenti di lobi apartemen. Sandara menghentikan langkahnya dan berdiri mematung saat Bima dan Reva keluar dari dalam mobil masing-masing. "Pokoknya aku nggak mau tau kamu harus cepat ceraikan Dara!" ucap Reva dengan membanting pintu mobil. Sandara dapat mendengarnya dengan jelas kalau Reva menuntut Bima untu segera mencerai
Sandara menggigit bibirnya, ragu untuk melangkah dan membantu asisten yang sedang mengemas pakaian di dalam kamar. Bima, dengan tangan terbuka, menghalangi Sandara. "Sayang, duduk saja di sini, biarkan bibik yang menangani semuanya," ujarnya lembut, sambil menunjuk ke sofa empuk di sudut ruangan. Bu Laras menoleh, menghela nafas ringan, dan tersenyum mengerti. "Nggak apa, Dara, kamu cukup tunjukkan saja pakaian mana yang ingin kamu bawa. Biar bibik yang mempersiapkan semuanya," katanya, suaranya menyiratkan keinginan agar Sandara tidak terlalu memaksakan diri. Sandara menarik napas panjang dan kembali menempati tempatnya di samping sang mama mertua, yang sudah terlihat antusias dengan persiapan. "Ma, nanti perlengkapan buat di rumah sakit taruh di tas besar ini saja ya. Jadi kita nggak perlu repot cari-cari lagi saat waktunya tiba," saran Sandara, matanya berbinar memikirkan segala kemungkinan yang bisa terjadi. Bu Laras, mama mertuanya mengangguk, dan bibik kembali sibuk deng
Hari itu, Sandara bersiap dengan gaun pesta yang anggun tapi terhambat oleh perutnya yang membuncit karena kehamilan. Dia mendekati Bima yang tengah duduk termenung di tepi ranjang, penuh penantian. "Sayang, bisa tolong aku?" rayunya lembut, tangan mungilnya mencoba meraih resleting di bagian punggung bawah gaunnya namun sia-sia. Bima menoleh, matanya berbinar saat melihat punggung istrinya yang terbuka dari resleting yang belum tertutup. Dengan senyuman, dia bangkit dan perlahan menarik resleting itu sambil berbisik, "Kamu memikat sekali hari ini, sayang." Sementara Sandara tersenyum, merasa berbunga dengan pujian dan sentuhan penuh cinta dari Bima."Dan kamu terlihat begitu seksi." Bima berkata sambil tersenyum, segera membantu Sandara menaikkan resleting gaun yang elegan itu. Sandara merasa lega sekaligus tersipu, cintanya pada Bima semakin dalam. Dengan perlahan, Bima membantu Sandara berdiri dan membenarkan gaunnya.Mereka berdua kemudian berangkat ke tempat Alin dan Leo akan
Leo dan Alin, yang beberapa saat lalu masih terkurung dalam pelukan hangat, tiba-tiba terpisah seperti dua kutub yang terdorong oleh kekuatan magnet. Wajah mereka semakin memerah saat Bima, dengan ekspresi yang tidak terima, memberikan teguran yang tajam. "Nggak sengaja Bos," kata Leo, suaranya terdengar lembut dan berusaha menenangkan suasana. Namun, Bima hanya mencibir dengan tatapan yang skeptis. "Mana ada berpelukan tapi nggak sengaja," balasnya, nada suaranya meninggi penuh ketidakpercayaan. Sementara itu, Leo hanya bisa tersenyum kikuk, senyum yang tampak dipaksakan untuk menyembunyikan kebingungannya. Alin, di sisi lain, menunduk dalam-dalam, rasa malu menggelayuti dirinya. Hatinya berdebar, khawatir atas apa yang baru saja terjadi dan bagaimana persepsi Bima terhadap situasi tersebut. Ia bahkan tidak berani mengangkat kepala untuk menatap Bima atau Sandara, takut akan pandangan yang mungkin akan semakin menambah rasa bersalah di hatinya. Keduanya, meski tak terucap, sali
Sandara terdiam, duduk di kursi roda yang didorong oleh Bima di sepanjang jalur pemakaman yang dipenuhi oleh deretan batu nisan. Wajahnya yang pucat dan lelah semakin membuatnya terlihat rapuh. Pada tangannya yang satu, masih terpasang jarum infus yang meneteskan cairan ke dalam pembuluh darahnya, sebuah pengingat dari sakit yang dia derita tidak hanya secara fisik tetapi juga emosional.Mata Sandara memandang tanpa fokus ke arah makam ayahnya yang baru saja ditutupi tanah. Air mata terus menderas tanpa henti, menciptakan jalur basah di kedua pipinya. Alin dan Bu Laras, yang telah seperti keluarga sendiri, berdiri di sampingnya, memberikan dukungan.Bu Laras, dengan lembut, mengusap punggung Sandara, mencoba memberikan kenyamanan sebisa mungkin. "Sayang, kamu yang sabar. Ayah kamu sudah di tempat yang nyaman," katanya dengan suara yang bergetar, mencoba menahan emosi sendiri.Alin, dengan mata yang juga berkaca-kaca, merangkul bahu Sandara. "Sabar ya Dar. Lo masih punya gue," bisiknya
"Bos jangan membuat kami iri dong. Kasihanilah kami," ucap Leo dengan mendramatisi keadaan.Bima tak menghiraukan ucapan asistennya itu, ia bahkan mencium bibir Sandara sekilas. Ia begitu takut kehilangan Sandara. Dua kali sudah Reva telah mencoba membunuh wanita yang akan menjadi ibu dari anaknya itu.Bima menatap Leo dengan tatapan yang sinis. "Jangan pura-pura, Leo. Kenapa kamu nggak langsung nikahi Alin aja? Bukannya kamu naksir berat sama dia," ujarnya, dengan nada menyudutkan. Leo tergagap, pipinya memerah terbakar malu, hatinya dipelintir ketidakberdayaan saat dia berusaha menyembunyikan wajahnya dari Alin yang saat itu juga tak berani menatap mata mereka berdua. Ia malah menundukkan kepala, pipinya menyala seperti membara. Sandara, yang juga di situ, melirik Alin, tersenyum kecil melihat reaksi sahabatnya itu. "Ada apa nih? Kok kayak yang sedang dimabuk asmara?" candanya, suaranya perlahan tetapi cukup terdengar. Bima tertawa terbahak-bahak, menambahi ejekan. "Lihat tuh,
Sandara terbangun dengan tiba-tiba, matanya membulat ketakutan saat melihat sosok perawat yang berdiri di hadapannya dengan bantal di tangan. Nafasnya tercekat, tubuhnya bergetar hebat saat mendengar suara serak itu."Aku adalah malaikat yang akan mencabut nyawamu!" seru Reva dengan senyum menyeringai di balik maskernya. Sinar mata Reva memancarkan kegilaan, membuat jantung Sandara semakin berdegup kencang."Reva!" pekik Sandara dalam kepanikan. Namun, ia tak bisa berbuat banyak. Tangannya yang terinfus dan tubuhnya yang masih lemah membuatnya tak berdaya. Ia hanya bisa menggelengkan kepalanya, berharap ini hanya mimpi buruk."Tidak Reva, pergi!" teriak Sandara, suaranya bergetar, mengusir Reva yang semakin mendekat. Air mata mulai mengalir di pipinya, ketakutan menguasai setiap inci tubuhnya saat dia menyadari situasi mengerikan yang sedang dihadapinya.Di dalam kamar mandi, Alin menghentakkan tubuhnya ke pintu kamar mandi yang tertutup rapat. Keringat dingin mengucur deras di pelipi
Bima berdiri tegap, pandangannya tajam menembus jendela yang mengarah ke ruang bawah tanah. "Leo, perintahkan anak buahmu untuk mengejar Ajeng segera. Setelah meninggalkan Pak Sudiro di dermaga pasti ia kehilangan arah. Dan jangan lupa, Reva harus kita tangkap. Dia membahayakan keselamatan Sandara," katanya dengan suara yang penuh otoritas. Rasa kecewa dan amarah terhadap Reva, mantan kekasihnya yang berkhianat, jelas terlihat di wajahnya. Leo, dengan ekspresi serius, mengangguk penuh semangat. "Siap, Bos!" jawabnya sambil mengepalkan tangan, siap menjalankan tugas. Sementara itu, di ruangan bawah tanah yang pengap, Bima menatap dingin ke arah Erdo yang tergeletak lemah. "Biarkan dia membusuk di sini," ucapnya tanpa belas kasihan, lalu berlalu dengan langkah berat. Di sisi lain, di ruang VVIP rumah sakit, keheningan menyelimuti ruangan ketika Sandara terlelap, hanya terdengar suara nafasnya yang lemah. Alin, yang duduk di sofa dekat tempat tidur, terlihat bosan sambil memainkan
Setelah memastikan keadaan Sandara baik-baik saja, Bima berencana untuk meninggalkannya sebentar saja. Tapi ia takut kalau Sandara tak ada yang menjaganya."Ada apa Om?" tanya Sandara dengan mengerutkan dahinya melihat Bima yang tampak sedikit gelisah.Bima mengulas senyumnya. "Nggak apa-apa sayang. Nanti kamu mau makan apa?" tanya Bima untuk mengalihkan perhatian Sandara.Sandara terdiam sejenak. "Apa boleh gue makan daging?" tanya Sandara dengan sedikit ragu mengingat kamarin ia baru saja di operasi."Tentu saja boleh, asal nggak berlebihan," jawab Bima dengan lembut sambil mengusap kepalanya panuh kasih sayang.Tak lama pintu ruangan itu di ketuk. Alin dengan senyum lebar masuk dan menghampiri sahabatnya."Hai, Dara. Gue minta maaf karena nggak percaya sama lo kalau lo liat Erdo waktu itu," ucap Alin penuh penyesalan. Menghambur memeluk sahabatnya.Sandara tersenyum kecil. "Nggak apa-apa, gue baik-baik aja kok," jawab Sandara dengan membalas pelukan Alin."Alin, apa kamu nggak sibu
Sandara menunduk, bibir bawahnya terjepit antara giginya. Dia berada di persimpangan hati; sebentuk kebenaran mengetuk bibirnya—ia sedang mengandung. Bimbang menari di benaknya, rasa takut Bima takkan menerima ini menguar kuat. "Nggak ada Om, gue ***a bilang kangen doang," suaranya meredup, terdengar dari ujung bibir yang bergetar pelan. Bima, suaminya—meski hanya di atas kertas—menggenggam erat tangan Sandara. Raut mukanya memerah, peningkatan denyut jantungnya nyata sekali seakan ingin meluapkan kekesalan. Namun, pandangannya tertuju pada perban yang masih terlilit di lengan Sandara, sisa-sisa operasi yang belum lama. Napasnya dihela dalam-dalam, berusaha menenangkan amarahnya. Tanpa sadar oleh Sandara, saat dia pingsan sebelumnya, dokter telah memberi tahu Bima tentang kehamilannya. "Kamu yakin?" Bima mendorong sekali lagi, suaranya lebih halus, mendesak namun penuh pengertian, mencoba menggali kejujuran dari hati Sandara.Sandara menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulk