Bu Laras menatap kesal pada putranya, suaranya memecah keheningan ruangan itu, "Kemana saja kamu, Bima? Istri sakit, tapi kamu malah meninggalkannya sendiri.Kamu lebih mementingkan pekerjaan!" Ucapnya, amarah bersemburat di wajahnya. Bima diam dengan wajah tanpa ekspresinya. Dia hanya mampu duduk di sofa, tanpa menjawab sepatah katapun. Ibunya itu menghela nafas kasar, rasa kesal terhadap sikap dingin putranya begitu nyata. Dari hospital bed-nya, suara lembut Sandara terdengar, "Om Bima nggak salah, Ma. Tadi aku hanya terharu melihat ketulusan mama. Aku bersyukur memiliki mama seperti dirimu." Sandara, dengan mata berkaca-kaca, menatap Bu Laras dengan penuh rasa terima kasih. Dara, yang tumbuh tanpa belaian kasih seorang ibu, menemukan hiburan dalam kelembutan dan ketulusan Bu Laras. Kehadirannya di dalam kehidupannya benar-benar memberi warna pada dunia yang sempat kelam.Setelah kedatangan Bima, Bu Laras memutuskan untuk segera pulang. Maksud hati memberikan ruang pada Bima dan S
''Isinya nggak aneh-aneh kan Om?'' Sandara tampak ragu untuk membukanya. Tapi ia juga penasaran. Ia membuka sedikit untuk mengintip apa isi di dalamnya. Bima menggelengkan kepalanya melihat tingkah Sandara. ''Buka saja, nggak akan meledak juga.'' Sandara meletakkan kembali hadiah pemberian dari Bima. Ia menatap lekat wajah suami kontraknya itu. Jelas saja ia ragu untuk membukanya. Tiba-tiba saja pria itu memberikannya hadiah. Maksudnya apa? ''Jangan-jangan Om Bima mau bunuh Dara biar cepat jadi duda?'' Sandara menyipitkan kedua matanya. Sontak saja Bima menoyor kepala Sandara dengan ujung jari telunjuknya. ''Sembarangan! Saya nggak sekejam yang kamu bayangkan. Kalau saya ingin kamu mati, sudah dari kemarin waktu kecelakaan itu saya biarkan kamu.'' Sandara menyengir kuda. ''Gue kan cuma asal nebak.'' Sandara mulai membukanya. Kedua bola matanya membulat. ''Wow,'' ia menoleh ke arah Bima yang masih duduk di samping ranjangnya. Bima memindahkan paper bag yang telah koso
"Aku tidak mungkin menceraikan Dara sekarang Reva! Mengertilah sedikit saja!" Bima mengeraskan rahangnya. "Andai saja kamu mau meninggalkan kariermu sebagai model, mungkin saat ini kita sudah menikah!" Suara Bima meninggi. Sandara yang mendengar hanya bisa tertegun duduk menyandarkan tubuhnya di dinding kamarnya. "Jadi kamu menyalahkan aku! Mamamu tidak setuju karena aku model dewasa begitu!" teriak Reva dengan berapi-api. Sandara baru mengetahui ternyata Bu Laras tidak menyetujui hubungan Bima dan Reva karena masalah karier Reva sebagai model dewasa. "Jadi mama sudah tahu hubungan mereka?" gumam Sandara dengan membekap mulutnya dengan sebelah tangannya. "Gue harus gimana?" tanya Sandara yang bingung. Ia menggigit bibir bawahnya. Setelah pertengkaran terjadi, tak terdengar suara apa-apa. Semua hening. Sandara keluar dari kamarnya. Dengan terpincang ia melangkah menuju ke dapur untuk mengambil minum. "Maaf Om. Karena gue, Om jadi nikah sama gue bukan sama Reva," ucap Sandar
"Dara! Kamu di mana? Jangan main-main sama saya!" Bima mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamar, tapi Sandara tak ada di dalamnya. Bima melangkah cepat ke kamar mandi, mengetuknya dan tak membukanya, Sandara juga tak ada di dalamnya. Bima melihat tempat tidur Sandara, bersih dan rapi yang artinya Dara tidak tidur di atasnya. Ia meraih ponsel yang tergeletak begitu saja di atas meja dan keluar dari kamar itu. "Kirim alamat temannya Dara sekarang!" seru Bima saat Leo mengangkat teleponnya. Belum sempat Leo bertanya ataupun menjawab sambungan telepon pun terputus. Begitu mendapatkan alamat Alin, Bima pun meluncur ke rumah gadis itu. Sebuah mobil mewah berhenti di depan rumah sederhana yang tampak nyaman untuk di tempati. Dengan langkah lebar Bima turun dari mobilnya. "Dara di dalam Pak," lirih Alin dengan menunduk. Ia sama sekali tidak berani menatap Bima yang tampak dingin. Sebenarnya Bima sangat tampan, tapi sayangnya ia terlihat dingin dan tak tersentuh.
Sandara semakin panik saat Bima memeluknya dengan erat dan tiba-tiba saja, suami kontraknya itu mencium bibirnya dengan sedikit kasar. Napas Sandara tercekat, matanya membelalak dalam kebingungan dan ketakutan. Bima melumat habis bibir Sandara dan mengabsen semua yang ada di dalamnya dengan rakus.Sandara berusaha melepaskannya, tangannya yang lemah memukul-mukul dada Bima yang bidang. Kekuatan Sandara tak sebanding, namun ia terus berusaha karena kehabisan napas.Bima pun melepaskannya untuk sesaat, menatapnya dengan nafas yang terengah-engah. Matanya yang meredup seakan menunjukkan rasa puas, namun saat ia ingin kembali mencium bibir Sandara lagi, gadis itu memekik kesakitan. "Aw, Om. Sakit!" Sandara meringis kesakitan saat tangannya mendorong Bima dengan lebih keras. Sontak, Bima terdorong mundur, ekspresi wajahnya berubah menjadi bingung dan terkejut atas reaksi Sandara.Sandara menatap Bima dengan rasa sakit yang memancar dari matanya yang berkaca-kaca, mencoba menahan rasa nyeri
"Pijat kepala saya, saya pusing Dara," ucap Bima yang membuat Sandara mendengus kesal. "Huh! pijit kipili siyi, siyi pising Diri." Bima mendongakkan kepalanya menatap tajam Sandara. Sandara hanya menyengir kuda lalu memijat kepala Bima dengan lembut. Semakin lama pijatan Sandara semakin keras. Mulutnya komat kamit seperti dukun yang sedang membaca mantra. "Sialan! Lo kira gue tukang pijat apa. Tadi aja nyosor gue sekarang lo nyuruh gue pijat memijat!" gerutu Sandara dalam hati. "Argh! Kamu mau membunuh saya!" seru Bima kesal. Kedua matanya mendelik menatap ke arah Sandara. "Hehe..sorry Om," ucap Sandara sambil cengengesan. Ia kembali memijat kepala Bima sambil misuh-misuh. Setelah beberapa saat, karena kelelahan Sandara pun tertidur dengan posisi duduk dan kepala Bima masih berada di pangkuannya. Bima mendongakkan kepalanya karena tangan Sandara menimpa wajahnya. Ia menggelengkan kepala melihat Sandara yang tertidur dengan mangap. Sandara membuka matanya, ia terkej
Bima berdiri tegak saat tiba-tiba terasa beban berat melompat ke punggungnya. Dia terhuyung-huyung, nyaris kehilangan keseimbangan. "Astaga, Dara!" teriaknya saat dia dengan cepat menggapai Sandara yang hampir terjatuh. Di tengah kekacauan itu, kaki dan tangan mereka saling bertautan, tubuh mereka saling menindih layaknya adegan romantis di layar televisi. Sandara yang panik buru-buru menutup matanya, tidak percaya akan terjerumus dalam situasi tak terduga seperti ini. Ketika akhirnya semuanya reda, Sandara menemukan dirinya berhadapan langsung dengan wajah Bima yang hanya beberapa inci dari miliknya. Napasnya tertahan, matanya membelalak menatap wajah yang selama ini hanya diimpikan. Dalam hening yang mencekam, keduanya saling terpaku, tanpa sadar memuji keindahan satu sama lain dalam diam. Masing-masing tenggelam dalam pujian akan keelokan yang mereka pandang."Kamu tidak apa-apa? Lain kali jangan ceroboh!" ujar Bima yang tersadar dari posisi mereka. Ia segera membantu Sandara u
Sandara melangkah pelan keluar dari kafe di ikuti Alin di belakangnya. Mereka berdua akan pulang setelah pergantian shift. "Gimana Dar, lo yakinkan kalau lo bisa dapetin hatinya Om Bima?" tanya Alin dengan menatap Sandara serius. "Dia itu cowok idaman tau? Ganteng, tajir pula," imbuhnya sambil menerawang membayangkan wajah tampan Bima.Sandara terdiam sejenak. "Gue sebenarnya nggak yakin, tapi ingat mamanya yang tulus sayang sama gue, gue jadi mikir kalau bisa milik mereka."Alin merangkul pundak sahabatnya. "Lo harus berjuang buat dapatkan itu semua. gue tau itu nggak mudah tapi lo udah punya modal. Mamanya Om Bima sayang sama lo," ucap Alin meyakinkan Sandara."Tapi Lin," ucap Sandara ragu."Udah nggak usah tapi-tapian. Gue yakin lama-lama Om Bima jatuh cinta sama lo," ujar Alin dengan menepuk-nepuk pundak Sandara. Memberi dukungan padanya untuk berjuang mendapatkan hati Bima.Sandara mengangguk pelan. "Gue akan coba."Setelah itu mereka pun berpisah dengan taksi yang mereka tumpa