Sandara membuang napasnya dengan kasar melihat siapa yang datang. Pagi-pagi sudah membuatnya darting saja. Bikin esmosi. Begitu juga dengan Reva, senyum yang tadinya menghiasi wajah cantiknya pun memudar begitu melihat wajah Sandara. "Minggir!" bentak Reva pada Sandara dengan tatapan mata tajam seolah menembus dinding apartemen yang dingin. "Eh Mbak, jadi tamu itu yang sopan," tegur Sandara dengan sinis. Ia menyandarkan dirinya di daun pintu dengan melipat kedua tangannya di depan dada. Reva terlihat sangat kesal pada Sandara, mengepalkan kedua tangannya dan berjalan masuk begitu saja menyenggol bahu gadis itu. ''Sayang, lihat dia sangat menyebalkan. Dia sudah kurang ajar sama aku,'' rajuk Reva dengan manja pada Bima. Mengerucutkan bibirnya dan duduk dengan kasar di samping pria yang tengah menghabiskan sarapannya dengan tenang. Sandara hanya memutar bola matanya malas melihat perempuan yang tidak punya malu itu. ''Ada apa pgi-pagi datang? Aku akan ke kantor,'' ujar Bim
Sandara berjalan lambat keluar dari kafe, tubuhnya terasa berat. Matanya melirik ke perut yang masih terasa nyeri, mengingatkannya pada malam yang dihabiskan di ruang gawat darurat. Tanpa sengaja, wajahnya meringis ketika mengingat pil yang tertinggal karena pagi tadi terburu-buru karena kedatangan Reva di apartemen Bima, tempat dia tinggal bersama suaminya secara kontraktual. "Lo sakit lagi, Dar?" Alin menghampirinya, suaranya penuh kekhawatiran saat menyadari pucatnya wajah Sandara. "Iya, gue lupa bawa obat kemarin," Sandara menjawab dengan suara serak, berusaha menutupi rasa sakitnya. Alin merasa khawatir melihat kondisi Sandara. Mereka berdua kemudian berjalan menuju bangku taman yang ada di depan kafe, di mana cahaya sore yang hangat sedikit banyak menghibur. Sandara duduk lesu, memegang perutnya yang terasa seperti dipelintir. Alin, dengan sigapnya, membuka bungkus roti dan memberikannya kepada Sandara. "Sini, slow-slow makan dulu," ujar Alin sambil memperhatikan Sand
Bima duduk dengan gelisah di samping Leo yang dengan tegang mengemudikan mobil mereka. Matanya terus memantau ambulans yang membawa Sandara ke rumah sakit, lampu isyaratnya berkelip tergesa-gesa. "Bagaimana dia bisa kecelakaan tepat di depan kafe tempat dia bekerja?" desahnya, penuh kekhawatiran. Meskipun hubungan mereka hanya terikat kontrak, Bima tidak bisa menahan rasa tanggung jawab yang mendalam terhadap Sandara. Mobil melaju cepat, namun setiap detik terasa begitu lambat bagi Bima. Ketika ambulans tersebut akhirnya berhenti di depan pintu IGD, perawat dan dokter bergegas menurunkan tandu. Di sana, Alin, yang wajahnya pucat pasi, menangis histeris melihat kondisi Sandara. Rasa cemas memenuhi udara, menciptakan tekanan yang hampir terasa fisik di dada Bima. Mobil berhenti tepat di belakangnya. Bima dan Leo segera berlari keluar dari mobil, menyusul petugas yang membawa Sandara di atas tandu. Langkah mereka cepat dan tergesa-gesa. Bima memandang wajah pucat Sandara, tubuhnya y
Alin memainkan jemari tangannya dengan gugup saat Bima menantinya untuk berbicara tentang Sandara. Mata Alin bergantian memandang Bima dan lantai, raut wajahnya mengungkapkan keraguan yang mendalam. "Saya tahu semuanya tentang Dara dan keluarganya, Pak," katanya dengan suara yang hampir tak terdengar, mencoba menunjukkan kepercayaan pada Bima. Sebelum dia sempat melanjutkan, pintu ruangan tempat Sandara diperiksa terbuka dengan tiba-tiba. Seorang dokter melangkah keluar, dan Bima segera berdiri dengan ekspresi penuh harap. Alin ikut berdiri, hatinya berdebar menunggu kabar. "Bagaimana keadaan Sandara?" tanya Bima dengan cepat. Dengan senyum menenangkan, dokter menjelaskan, "Nona Sandara mengalami cidera di kaki dan tangannya. Untuk sementara, ia harus menggunakan kursi roda dan tangannya belum dapat digunakan untuk aktivitas." Setiap kata dokter seakan membawa sedikit keringanan pada ketegangan yang tercipta. "Apa saya boleh menemuinya?" tanyanya, suaranya tercekat. Dokter p
Sandara menahan nafasnya begitu Bima sedang mencepol rambutnya. Tentu saja hal itu membuat jantungnya berdebar tak karuan."Apa-apaan nih, rambut gue yang di ikat kenapa hati gue jadi jedag jedug nggak karuan," gumam Sandara dalam hati merasa resah dan gelisah.Sandara baru bisa bernafas lega setelah Bima selesai mencepol rambutnya yang berantakan. Meski tidak sempurna seperti saat ia mengikat rambutnya tapi paling tidak suami kontraknya itu mau membantunya. Bisa di bilang ini adalah keajaiban.Bima kembali duduk di tempatnya dan kembali menyuapi Sandara dengan buburnya. "Udah Om, gue udah kenyang," ucap Sandara dan Bima meletakkan mangkok itu di atas meja. Terdengar ketukan pintu ruangan itu dari luar. Bima menoleh dan Leo melangkah masuk dengan membawa sesuatu di tangannya."Pakaian ganti anda Pak dan juga sarapan," ucap Leo yang meletakkan dua paper bag di atas meja. Bima mengangguk dan mengambil satu paper bag berisi baju gantinya. Memasuki kamar mandi meninggalkan Sandara dan
Bu Laras menatap kesal pada putranya, suaranya memecah keheningan ruangan itu, "Kemana saja kamu, Bima? Istri sakit, tapi kamu malah meninggalkannya sendiri.Kamu lebih mementingkan pekerjaan!" Ucapnya, amarah bersemburat di wajahnya. Bima diam dengan wajah tanpa ekspresinya. Dia hanya mampu duduk di sofa, tanpa menjawab sepatah katapun. Ibunya itu menghela nafas kasar, rasa kesal terhadap sikap dingin putranya begitu nyata. Dari hospital bed-nya, suara lembut Sandara terdengar, "Om Bima nggak salah, Ma. Tadi aku hanya terharu melihat ketulusan mama. Aku bersyukur memiliki mama seperti dirimu." Sandara, dengan mata berkaca-kaca, menatap Bu Laras dengan penuh rasa terima kasih. Dara, yang tumbuh tanpa belaian kasih seorang ibu, menemukan hiburan dalam kelembutan dan ketulusan Bu Laras. Kehadirannya di dalam kehidupannya benar-benar memberi warna pada dunia yang sempat kelam.Setelah kedatangan Bima, Bu Laras memutuskan untuk segera pulang. Maksud hati memberikan ruang pada Bima dan S
''Isinya nggak aneh-aneh kan Om?'' Sandara tampak ragu untuk membukanya. Tapi ia juga penasaran. Ia membuka sedikit untuk mengintip apa isi di dalamnya. Bima menggelengkan kepalanya melihat tingkah Sandara. ''Buka saja, nggak akan meledak juga.'' Sandara meletakkan kembali hadiah pemberian dari Bima. Ia menatap lekat wajah suami kontraknya itu. Jelas saja ia ragu untuk membukanya. Tiba-tiba saja pria itu memberikannya hadiah. Maksudnya apa? ''Jangan-jangan Om Bima mau bunuh Dara biar cepat jadi duda?'' Sandara menyipitkan kedua matanya. Sontak saja Bima menoyor kepala Sandara dengan ujung jari telunjuknya. ''Sembarangan! Saya nggak sekejam yang kamu bayangkan. Kalau saya ingin kamu mati, sudah dari kemarin waktu kecelakaan itu saya biarkan kamu.'' Sandara menyengir kuda. ''Gue kan cuma asal nebak.'' Sandara mulai membukanya. Kedua bola matanya membulat. ''Wow,'' ia menoleh ke arah Bima yang masih duduk di samping ranjangnya. Bima memindahkan paper bag yang telah koso
"Aku tidak mungkin menceraikan Dara sekarang Reva! Mengertilah sedikit saja!" Bima mengeraskan rahangnya. "Andai saja kamu mau meninggalkan kariermu sebagai model, mungkin saat ini kita sudah menikah!" Suara Bima meninggi. Sandara yang mendengar hanya bisa tertegun duduk menyandarkan tubuhnya di dinding kamarnya. "Jadi kamu menyalahkan aku! Mamamu tidak setuju karena aku model dewasa begitu!" teriak Reva dengan berapi-api. Sandara baru mengetahui ternyata Bu Laras tidak menyetujui hubungan Bima dan Reva karena masalah karier Reva sebagai model dewasa. "Jadi mama sudah tahu hubungan mereka?" gumam Sandara dengan membekap mulutnya dengan sebelah tangannya. "Gue harus gimana?" tanya Sandara yang bingung. Ia menggigit bibir bawahnya. Setelah pertengkaran terjadi, tak terdengar suara apa-apa. Semua hening. Sandara keluar dari kamarnya. Dengan terpincang ia melangkah menuju ke dapur untuk mengambil minum. "Maaf Om. Karena gue, Om jadi nikah sama gue bukan sama Reva," ucap Sandar
Sandara menggigit bibirnya, ragu untuk melangkah dan membantu asisten yang sedang mengemas pakaian di dalam kamar. Bima, dengan tangan terbuka, menghalangi Sandara. "Sayang, duduk saja di sini, biarkan bibik yang menangani semuanya," ujarnya lembut, sambil menunjuk ke sofa empuk di sudut ruangan. Bu Laras menoleh, menghela nafas ringan, dan tersenyum mengerti. "Nggak apa, Dara, kamu cukup tunjukkan saja pakaian mana yang ingin kamu bawa. Biar bibik yang mempersiapkan semuanya," katanya, suaranya menyiratkan keinginan agar Sandara tidak terlalu memaksakan diri. Sandara menarik napas panjang dan kembali menempati tempatnya di samping sang mama mertua, yang sudah terlihat antusias dengan persiapan. "Ma, nanti perlengkapan buat di rumah sakit taruh di tas besar ini saja ya. Jadi kita nggak perlu repot cari-cari lagi saat waktunya tiba," saran Sandara, matanya berbinar memikirkan segala kemungkinan yang bisa terjadi. Bu Laras, mama mertuanya mengangguk, dan bibik kembali sibuk deng
Hari itu, Sandara bersiap dengan gaun pesta yang anggun tapi terhambat oleh perutnya yang membuncit karena kehamilan. Dia mendekati Bima yang tengah duduk termenung di tepi ranjang, penuh penantian. "Sayang, bisa tolong aku?" rayunya lembut, tangan mungilnya mencoba meraih resleting di bagian punggung bawah gaunnya namun sia-sia. Bima menoleh, matanya berbinar saat melihat punggung istrinya yang terbuka dari resleting yang belum tertutup. Dengan senyuman, dia bangkit dan perlahan menarik resleting itu sambil berbisik, "Kamu memikat sekali hari ini, sayang." Sementara Sandara tersenyum, merasa berbunga dengan pujian dan sentuhan penuh cinta dari Bima."Dan kamu terlihat begitu seksi." Bima berkata sambil tersenyum, segera membantu Sandara menaikkan resleting gaun yang elegan itu. Sandara merasa lega sekaligus tersipu, cintanya pada Bima semakin dalam. Dengan perlahan, Bima membantu Sandara berdiri dan membenarkan gaunnya.Mereka berdua kemudian berangkat ke tempat Alin dan Leo akan
Leo dan Alin, yang beberapa saat lalu masih terkurung dalam pelukan hangat, tiba-tiba terpisah seperti dua kutub yang terdorong oleh kekuatan magnet. Wajah mereka semakin memerah saat Bima, dengan ekspresi yang tidak terima, memberikan teguran yang tajam. "Nggak sengaja Bos," kata Leo, suaranya terdengar lembut dan berusaha menenangkan suasana. Namun, Bima hanya mencibir dengan tatapan yang skeptis. "Mana ada berpelukan tapi nggak sengaja," balasnya, nada suaranya meninggi penuh ketidakpercayaan. Sementara itu, Leo hanya bisa tersenyum kikuk, senyum yang tampak dipaksakan untuk menyembunyikan kebingungannya. Alin, di sisi lain, menunduk dalam-dalam, rasa malu menggelayuti dirinya. Hatinya berdebar, khawatir atas apa yang baru saja terjadi dan bagaimana persepsi Bima terhadap situasi tersebut. Ia bahkan tidak berani mengangkat kepala untuk menatap Bima atau Sandara, takut akan pandangan yang mungkin akan semakin menambah rasa bersalah di hatinya. Keduanya, meski tak terucap, sali
Sandara terdiam, duduk di kursi roda yang didorong oleh Bima di sepanjang jalur pemakaman yang dipenuhi oleh deretan batu nisan. Wajahnya yang pucat dan lelah semakin membuatnya terlihat rapuh. Pada tangannya yang satu, masih terpasang jarum infus yang meneteskan cairan ke dalam pembuluh darahnya, sebuah pengingat dari sakit yang dia derita tidak hanya secara fisik tetapi juga emosional.Mata Sandara memandang tanpa fokus ke arah makam ayahnya yang baru saja ditutupi tanah. Air mata terus menderas tanpa henti, menciptakan jalur basah di kedua pipinya. Alin dan Bu Laras, yang telah seperti keluarga sendiri, berdiri di sampingnya, memberikan dukungan.Bu Laras, dengan lembut, mengusap punggung Sandara, mencoba memberikan kenyamanan sebisa mungkin. "Sayang, kamu yang sabar. Ayah kamu sudah di tempat yang nyaman," katanya dengan suara yang bergetar, mencoba menahan emosi sendiri.Alin, dengan mata yang juga berkaca-kaca, merangkul bahu Sandara. "Sabar ya Dar. Lo masih punya gue," bisiknya
"Bos jangan membuat kami iri dong. Kasihanilah kami," ucap Leo dengan mendramatisi keadaan.Bima tak menghiraukan ucapan asistennya itu, ia bahkan mencium bibir Sandara sekilas. Ia begitu takut kehilangan Sandara. Dua kali sudah Reva telah mencoba membunuh wanita yang akan menjadi ibu dari anaknya itu.Bima menatap Leo dengan tatapan yang sinis. "Jangan pura-pura, Leo. Kenapa kamu nggak langsung nikahi Alin aja? Bukannya kamu naksir berat sama dia," ujarnya, dengan nada menyudutkan. Leo tergagap, pipinya memerah terbakar malu, hatinya dipelintir ketidakberdayaan saat dia berusaha menyembunyikan wajahnya dari Alin yang saat itu juga tak berani menatap mata mereka berdua. Ia malah menundukkan kepala, pipinya menyala seperti membara. Sandara, yang juga di situ, melirik Alin, tersenyum kecil melihat reaksi sahabatnya itu. "Ada apa nih? Kok kayak yang sedang dimabuk asmara?" candanya, suaranya perlahan tetapi cukup terdengar. Bima tertawa terbahak-bahak, menambahi ejekan. "Lihat tuh,
Sandara terbangun dengan tiba-tiba, matanya membulat ketakutan saat melihat sosok perawat yang berdiri di hadapannya dengan bantal di tangan. Nafasnya tercekat, tubuhnya bergetar hebat saat mendengar suara serak itu."Aku adalah malaikat yang akan mencabut nyawamu!" seru Reva dengan senyum menyeringai di balik maskernya. Sinar mata Reva memancarkan kegilaan, membuat jantung Sandara semakin berdegup kencang."Reva!" pekik Sandara dalam kepanikan. Namun, ia tak bisa berbuat banyak. Tangannya yang terinfus dan tubuhnya yang masih lemah membuatnya tak berdaya. Ia hanya bisa menggelengkan kepalanya, berharap ini hanya mimpi buruk."Tidak Reva, pergi!" teriak Sandara, suaranya bergetar, mengusir Reva yang semakin mendekat. Air mata mulai mengalir di pipinya, ketakutan menguasai setiap inci tubuhnya saat dia menyadari situasi mengerikan yang sedang dihadapinya.Di dalam kamar mandi, Alin menghentakkan tubuhnya ke pintu kamar mandi yang tertutup rapat. Keringat dingin mengucur deras di pelipi
Bima berdiri tegap, pandangannya tajam menembus jendela yang mengarah ke ruang bawah tanah. "Leo, perintahkan anak buahmu untuk mengejar Ajeng segera. Setelah meninggalkan Pak Sudiro di dermaga pasti ia kehilangan arah. Dan jangan lupa, Reva harus kita tangkap. Dia membahayakan keselamatan Sandara," katanya dengan suara yang penuh otoritas. Rasa kecewa dan amarah terhadap Reva, mantan kekasihnya yang berkhianat, jelas terlihat di wajahnya. Leo, dengan ekspresi serius, mengangguk penuh semangat. "Siap, Bos!" jawabnya sambil mengepalkan tangan, siap menjalankan tugas. Sementara itu, di ruangan bawah tanah yang pengap, Bima menatap dingin ke arah Erdo yang tergeletak lemah. "Biarkan dia membusuk di sini," ucapnya tanpa belas kasihan, lalu berlalu dengan langkah berat. Di sisi lain, di ruang VVIP rumah sakit, keheningan menyelimuti ruangan ketika Sandara terlelap, hanya terdengar suara nafasnya yang lemah. Alin, yang duduk di sofa dekat tempat tidur, terlihat bosan sambil memainkan
Setelah memastikan keadaan Sandara baik-baik saja, Bima berencana untuk meninggalkannya sebentar saja. Tapi ia takut kalau Sandara tak ada yang menjaganya."Ada apa Om?" tanya Sandara dengan mengerutkan dahinya melihat Bima yang tampak sedikit gelisah.Bima mengulas senyumnya. "Nggak apa-apa sayang. Nanti kamu mau makan apa?" tanya Bima untuk mengalihkan perhatian Sandara.Sandara terdiam sejenak. "Apa boleh gue makan daging?" tanya Sandara dengan sedikit ragu mengingat kamarin ia baru saja di operasi."Tentu saja boleh, asal nggak berlebihan," jawab Bima dengan lembut sambil mengusap kepalanya panuh kasih sayang.Tak lama pintu ruangan itu di ketuk. Alin dengan senyum lebar masuk dan menghampiri sahabatnya."Hai, Dara. Gue minta maaf karena nggak percaya sama lo kalau lo liat Erdo waktu itu," ucap Alin penuh penyesalan. Menghambur memeluk sahabatnya.Sandara tersenyum kecil. "Nggak apa-apa, gue baik-baik aja kok," jawab Sandara dengan membalas pelukan Alin."Alin, apa kamu nggak sibu
Sandara menunduk, bibir bawahnya terjepit antara giginya. Dia berada di persimpangan hati; sebentuk kebenaran mengetuk bibirnya—ia sedang mengandung. Bimbang menari di benaknya, rasa takut Bima takkan menerima ini menguar kuat. "Nggak ada Om, gue ***a bilang kangen doang," suaranya meredup, terdengar dari ujung bibir yang bergetar pelan. Bima, suaminya—meski hanya di atas kertas—menggenggam erat tangan Sandara. Raut mukanya memerah, peningkatan denyut jantungnya nyata sekali seakan ingin meluapkan kekesalan. Namun, pandangannya tertuju pada perban yang masih terlilit di lengan Sandara, sisa-sisa operasi yang belum lama. Napasnya dihela dalam-dalam, berusaha menenangkan amarahnya. Tanpa sadar oleh Sandara, saat dia pingsan sebelumnya, dokter telah memberi tahu Bima tentang kehamilannya. "Kamu yakin?" Bima mendorong sekali lagi, suaranya lebih halus, mendesak namun penuh pengertian, mencoba menggali kejujuran dari hati Sandara.Sandara menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulk