"Lepaskan dia!" teriak Leo dengan suara menggelegar yang seketika membuat suasana hening. Wajahnya tegang dan matanya menyala penuh amarah. Sandara, yang sebelumnya terpojok oleh para pria hidung belang, menoleh dan bernafas lega melihat sosok Leo berdiri di dekat pintu masuk.
Para pria hidung belang yang tadinya mengerumuni Sandara dengan tatapan penuh nafsu pun mundur teratur, mereka merasa takut dengan sosok Leo yang dikenal sebagai asisten Bima Aryasena, seorang pengusaha muda yang terkenal kejam dan tak segan untuk menutup perusahaan yang bermasalah dengannya. Mereka sadar bahwa mencoba melawan Leo hanya akan menimbulkan masalah yang lebih besar bagi diri mereka dan usaha mereka. Sandara berlari menuju Leo, air mata mengalir deras di pipinya, "Om, tolong bawa Dara pergi dari tempat ini," pinta Sandara dengan suara gemetar, memohon perlindungan dari Leo. Leo menatap tajam para pria yang semakin mundur, "Pergi kalian, atau usaha kalian akan gulung tikar!" ancam Leo dengan suara keras dan dingin. Para pria yang kebanyakan pemilik bisnis di sekitar sana langsung bergegas pergi, takut akan ancaman yang diucapkan oleh Leo. Tanpa menunggu lama, Leo segera menggandeng tangan Sandara dan membawanya keluar dari tempat itu, menyelamatkannya dari bahaya yang mengancam. Sandara terus menangis, merasa bersyukur karena Leo datang tepat waktu untuk melindunginya. "Saya akan mengantarkan Nona Sandara pulang," ucap Leo dengan nada dingin dan datar, tak ada emosi yang terpancar dari wajah tampannya. Mereka berjalan menuju ke mobil yang sudah diparkir di depan club itu. Sandara mengangguk, hatinya berdegup kencang saat mengikuti langkah Leo, asisten suaminya yang selama ini dikenal sebagai sosok yang misterius. Di dalam mobil, suasana terasa sangat hening. Tak ada percakapan yang terjadi antara Sandara dan Leo. Sandara merasa canggung, tangannya bergerak gelisah di atas pahanya. Sementara itu, Leo terus fokus menyetir dengan ekspresi datar. Beberapa saat kemudian, mereka pun tiba di apartemen yang ditempati Bima, suami kontrak Sandara. Leo membuka pintu mobil untuk Sandara, lalu berkata dengan nada serius, "Nona Sandara, ini sudah sampai. Hati-hati di dalam." Sandara memasuki apartemen milik suami kontraknya dengan perasaan yang bercampur aduk. Ketika pintu terbuka, Bima sudah menunggu di ruang tamu dengan tatapan sinis yang menusuk. Sandara masih berdiri kaku di depan pintu, tidak berani melangkah lebih jauh lagi. Bima menatap Sandara dengan sinis, matanya menyala kesal. "Urusan penting! Urusan penting apa yang ada di club malam!" ujarnya dengan nada tinggi, sambil melipat kedua tangannya di depan dada. Sandara mengepalkan tangan dan menggelengkan kepalanya. "Gue nggak ke sana, tapi gue dijebak! Gue nggak ada niat macam-macam, Om!" ujarnya dengan nada memelas. "Di jebak! Omong kosong," sindir Bima dengan nada yang sangat merendahkan. "Pasti tiga puluh juta itu sudah habis buat bersenang-senang. Kamu pikir aku nggak tahu apa yang terjadi di club malam?" Tatapan Bima begitu mengejek Sandara, membuat gadis itu merasa terhina. Sandara kembali menggelengkan kepalanya, tak mampu menahan air mata yang mulai menggenang di matanya. "Uang itu... uang itu buat bayar hutang keluarga gue, Om! Kalau Om nggak tau, nggak usah sok tau!" teriaknya dengan lantang, berusaha meyakinkan suaminya. "Terserah, itu bukan urusan saya," balas Bima dengan nada dingin. "Jangan-jangan demi uang kamu juga menjebak saya agar saya menikah dengan kamu! Kamu kira saya nggak tahu siasatmu?" Sandara terkejut mendengar perkataan Bima, tak menyangka kalau suaminya bisa berpikiran seperti itu. Dia merasa sangat terluka, namun tak ada cara lain selain terus berusaha membuktikan kalau yang terjadi bukanlah rencananya. "Gue emang lagi butuh uang, tapi gue nggak ada pikiran buat jebak lo!" teriak Sandara emosi. Bima, yang diliputi amarah, meninggalkan Sandara yang masih terpaku di ruang tamu. Dia menghempaskan pintu ruang kerjanya dan berteriak, "Aargh!" tanda kekesalan. Ia kemudian duduk di kursi kerjanya, mengusap wajah dengan tangan yang gemetar. "Di jebak? Bilang saja kalau mau bersenang-senang, nggak usah cari alasan yang tak masuk akal!" gerutunya, teringat pesan Leo tentang perilaku Sandara yang sedang di kerubungi para lelaki hidung belang. "Kalau nggak ada Leo yang mengawasi, entah apa yang sudah kamu lakukan, mungkin kamu sudah membuat malu keluargaku, Dara!" tambahnya sambil meremas dokumen di atas meja. Sedangkan Sandara, di ruang tamu, mencoba menahan tangisnya. Tangannya gemetar dan air mata jatuh perlahan. Dia mencoba mencari kenyamanan dengan meringkuk di sofa sambil berisak kesedihan. Keesokan harinya, Sandara berusaha bangkit dan mempersiapkan sarapan untuk Bima. "Om tampan, ayo sarapan. Gue udah masak nih buat Om," ujarnya sambil tersenyum, berusaha untuk menyembunyikan beban di hatinya. Bima menatap Sandara dengan ekspresi datar. "Nggak usah sok peduli sama saya! Ingat, kamu menikah sama saya hanya karena uang!" ucapnya lalu bangkit dan pergi meninggalkan Sandara yang menahan perasaan sakit hati. "Siapa juga yang mau nikah sama lo. awalnya gue juga udah nolak tapi lo yang maksa dan bayar gue!"Sandara menatap piring berisi makanan yang telah ia buat dengan susah payah di meja makan. Meskipun tak pandai memasak, namun ia berusaha membuatkan sarapan spesial untuk Bima. Dari kejauhan, terdengar suara langkah kaki Bima yang baru saja keluar dari kamarnya dengan setelan jas rapi yang menambah ketampanannya. "Om, kalau nggak mau sarapan, minum kopinya aja, Om. Ayolah Om, mau ya, please!" ucap Sandara dengan nada memelas sambil mengejar langkah Bima menuju pintu. Bima hanya melirik sejenak ke arah Sandara, kemudian melanjutkan langkahnya tanpa menggubris ajakan Sandara. Seolah tak peduli dengan perasaan Sandara yang telah bersusah payah membuatkan sarapan untuknya. "Om Bima wangi banget," ujar Sandara yang mencoba mengalihkan perhatian Bima dengan menghirup dalam-dalam aroma wangi parfum yang dipakai Bima. Ia berharap pujian itu akan membuat Bima berhenti sejenak dan mencicipi sarapan yang telah ia siapkan. Namun, Bima hanya melangkah datar dan tanpa ekspresi, seakan tak terpe
Sandara terkejut ketika pintu apartemen terbuka dan seorang wanita cantik berambut panjang lurus melangkah masuk dengan langkah cepat. Matanya melotot penuh emosi, seolah-olah sedang mencari mangsa. Sandara menelan ludah, merasa ada yang tidak beres. "Siapa kamu!" seru wanita itu, Reva, dengan menatap tajam padanya. "Gue?" Sandara menunjuk dirinya sendiri sambil celingukan. "Gue San.." Plak! Tamparan keras mendarat di pipi Sandara. Kepalanya terasa berputar, dan pandangannya kabur sejenak. Pipinya terasa panas dan perih, sementara hatinya merasa terhina dan marah. "Kenapa kamu ada di apartemen kekasihku!" Reva begitu marah melihat Sandara yang berada di dalam apartemen milik Bima. "Sayang, aku bisa jelaskan semuanya," Bima menarik tangan Reva yang masih terkepal. Wajahnya tampak pucat, dan keringat dingin bercucuran di keningnya. "Apa maksudnya Bima! Kamu selingkuh sama anak kecil ini!" Reva menuding Sandara dengan mata berkaca-kaca. Suaranya bergetar, seolah-olah dia hampi
Sandara mengusap pergelangan tangannya yang letih setelah mengantarkan pesanan demi pesanan di kafe tempatnya bekerja. Raut wajahnya berubah pucat ketika Alin, rekannya yang juga bekerja di kafe, membuka percakapan. "Dar, beneran lo udah nikah?" tanya Alin dengan rasa ingin tahu yang besar. Sandara cepat-cepat membekap mulut Alin, mata paniknya menelusuri sekeliling, takut ada yang mendengar. "Jangan keras-keras! Lo mau gue dipecat apa?!" bisik Sandara dengan suara tergesa-gesa.Peraturan di kafe adalah karyawan harus single, dan Sandara sangat membutuhkan pekerjaan ini, lebih lagi setelah bisnis ayahnya bangkrut dan utang menggunung. Alin menarik tangan Sandara yang menutup mulutnya, mengerucutkan bibirnya. "Gue cuma tanya," katanya dengan nada serius. "Iya, gue nikah. Tapi cuma pura-pura kok," balas Sandara dalam bisikan.Alin mengerutkan kening, kebingungan menerka apa yang sebenarnya terjadi. "Nikah pura-pura? Maksudnya gimana?" tanya Alin dengan nada yang penuh tanda tanya.
Sandara melangkah perlahan menuju meja Reva dengan nampan yang memikul cangkir kopi hangat pesanan model itu. Sesampainya di sana, matanya membulat melihat Bima, suaminya kontraknya, tersenyum manis di samping Reva. Dadanya sedikit terasa sesak, namun ia berusaha menyembunyikan perasaan itu. "Gue gak perlu kaget, kan? Mereka kan emang pasangan kekasih," batinnya sambil menyunggingkan senyum agar tetap terukir di wajah cantiknya. "Silahkan, ini pesanannya Kak," ujar Sandara dengan suara yang ramah, meski hatinya merasa kesal saat meletakkan kopi itu di hadapan Reva. Reva hanya menatapnya dengan sinis sebelum bermanja pada Bima. "Sayang, kamu mau pesan apa? Mumpung masih ada pelayan nih," goda Reva dengan suara manis, memeluk Bima dan menekankan kata 'pelayan' sambil memandang Sandara dengan tatapan yang menantang. Bima hanya menatap sekilas pada Sandara, dan Sandara terpaku, menahan emosi sambil menunggu Bima memesan. Jantungnya berdebar, tapi sebagai pegawai kafe, ia tahu haru
Reva tiba-tiba menghentikan langkahnya di tengah kafe, matanya melebar dalam kepanikan saat ia merogoh tasnya yang baru saja diambil kembali dari Sandara. Raut wajahnya cemas mempercepat detak jantung para pengunjung kafe yang kini memerhatikan sang model cantik tersebut. "Bima," panggilnya dengan suara bergetar, menginterupsi ketenangan yang tengah menaungi Bima yang asyik dengan tabletnya.Bima segera mendongak, dahi berkerut. "Ada apa?" tanyanya, suaranya pelan. Reva melahap udara, matanya berpindah-pindah dari wajah Bima ke Sandara yang berdiri dengan santainya beberapa langkah di belakang. "Cincin aku, Bima. Hilang," desisnya, sambil menahan bibir bawahnya yang gemetar. "Tadi aku titip tas ke Sandara." Ia mengarahkan jari gemetarnya ke arah Sandara yang menggeleng pelan. "Cincin apa? Kamu yakin, kamu tadi memakainya?" tanya Bima, masih dengan ketenangan yang terpelihara, sambil matanya mencuri pandang ke arah Sandara yang masih bersikap tenang."Aku yakin, aku memakainya, Bi
"Udah, Kak Reva! Laporin ke polisi saja, biar dia kapok!" teriak salah satu pengunjung, dengan jari menunjuk tajam ke arah Sandara. Suaranya memecah kesunyian yang mendadak. Reva mengangguk pelan, bibirnya tersenyum sinis ke arah Sandara. Menunjukkan kalau rencananya akan berjalan lancar. "Iya, laporin saja. Enak saja mengambil cincin Kakak," sahut pengunjung lain, suaranya penuh tuduhan dan tatapan matanya tidak lepas dari Sandara.Reva menarik napas dalam-dalam, berusaha menampilkan wajah yang tenang dan mengayakan tangan seakan ingin meredakan ketegangan. "Tenang, semua," katanya dengan suara yang dibuat-buat lembut. "Kita nggak perlu melibatkan polisi untuk hal seperti ini. Saya yakin ini bisa diselesaikan tanpa perlu membesar-besarkan masalah. Yang saya minta hanya Sandara mengakui kesalahannya saja."Sanjungan mengalir dari bibir pengunjung kafe, "Ya ampun, Kak Reva itu baik sekali." Tetapi, terdengar juga bisikan yang tajam, menghujat Sandara sang pelayan kafe tersebut, "It
Sandara tertawa geli, matanya berkilau menatap Alin yang tampak terkejut. "Dua ratus lima puluh juta?" Alin tergagap, matanya membulat tak percaya mendengar jumlah uang yang fantastis itu. Sandara mengangkat bahu, membalutkan tangan di pundak sahabatnya yang masih terpaku, menariknya keluar dari tempat mereka bekerja. "Duh, nggak usah kaget gitu, ayo pulang," ucap Sandara sambil menuntun langkah mereka beriringan. Ada senyum yang menggoda di sudut bibirnya. "Gila, uang sebanyak itu buat apaan, Dar?" tanya Alin, rasa penasarannya terpancar jelas. "Bayar utang," jawab Sandara, cepat dan tegas, mata tak lepas dari depan. Alin, mengerti akan lilitan masalah yang dihadapi keluarga Sandara, memilih diam dan tak lagi mengungkit hal tersebut. Dalam diam, mereka melanjutkan langkah menuju keramaian kota yang mulai berpendar di senja.Sebelum pulang, Sandara dan Alin berhenti di sebuah toko makanan. Dengan wajah yang tidak terlalu bersemangat, Sandara memilih makanan hanya untuk dirinya sen
Bima berusaha keras menyembunyikan gugupnya di depan Sandara, sambil mengacak-acak rambutnya seolah tak peduli. "Siapa yang bilang saya makan? Hanya merapikan bekas makan kamu di atas meja!" katanya, nada suaranya meninggi seolah menyalahkan Sandara. Sandara memandang dengan mata yang membulat, seolah tidak percaya pada apa yang didengarnya. Tangan gemetar, dia berkata pada diri sendiri, "Ya ampun, masih nggak mau ngaku juga?" Napasnya terdengar berat, kecewa mengisi dadanya. Sejenak suasana hening, sebelum Bima memandang tajam, matanya menyiratkan tantangan. "Ih, aneh banget, yang beli makanan gue tapi gue juga yang kena imbasnya!" keluh Sandara dengan suara serak. Sandara mencibir, membalas dengan nada sinis. "Oh, begitu ya Om. Harusnya gue bilang makasih ya," sindirnya, mencoba menutupi rasa sakit hati. Bima hanya diam dengan wajah tanpa ekspresi sudah mirpi seperti bongkahan es di kutub utara. Sandara tercengang melihat sikap dinginnya. 'Apa dia benar-benar tidak punya hati?