Share

Bab 4

Sandara memasuki kamarnya, ia berniat untuk mengemas beberapa pakaiannya untuk di bawanya ke apartemen Bima. Biar bagaimana pun sekarang ia telah menikah meski hanya pernikahan kontrak.

Di tempat lain, Leo yang mendapati Sandara yang ternyata pulang ke rumah pun segara meninggalkan tempat itu.

Baru saja Sandara selesai mengemas pakaiannya ke dalam koper, tiba-tiba pintu kamarnya terbuka lebar dan Ajeng, ibu tirinya, berdiri di ambang pintu dengan senyum sinis. Dalam sekejap, Ajeng mengambil tas kecil yang tergeletak di tempat tidur Sandara.

"Kembalikan tas gue! Itu uang buat bayar hutang!" seru Sandara dengan menatap tajam pada Ajeng, mencoba menahan amarah yang mulai memuncak.

Ajeng tertawa sinis, menggenggam erat tas itu di tangannya. "Nggak, ini uangku. Kamu saja yang jadi gantinya buat membayar hutang itu."

Wajah Sandara memerah, matanya berkaca-kaca karena merasa dipermainkan. "Kamu nggak punya hak untuk mengambil uang itu! Aku akan melunasi semua hutang-hutang papaku!" teriaknya, meluapkan emosinya.

Ajeng mengejek, "Ha! Kamu pikir aku peduli? Aku sudah cukup repot dengan urusan sendiri, sekarang giliran kamu yang merasakan bagaimana jadi anak yang tidak berguna!"

Sandara merasa hatinya tersayat mendengar ucapan ibu tirinya itu. Dengan air mata yang mengalir deras, ia mencoba merebut kembali tas itu, namun Ajeng dengan sigap menghindar dan mendorong Sandara hingga jatuh terduduk di lantai.

Ajeng dengan sigap keluar dari kamar Sandara dengan membawa uang milik anak tirinya dan menguncinya rapat-rapat.

"Buka pintunya!" teriak Sandara sambil menarik gagang pintu kamarnya yang telah di kunci dari luar oleh Ajeng. Wanita itu sama sekali tidak menghiraukan teriakan Sandara.

Namun tak berapa lama, pintu kamar Sandara kembali terbuka dan munculah Ajeng dengan wajahnya memerah kesal, menerobos masuk dan menarik lengan Sandara dengan brutal.

"Lepas!" teriak Sandara, meronta dan menepis tangan Ajeng. Rasa takut dan amarah terpancar di matanya. "Apa yang lo lakuin sama gue!"

Tapi Sandara tak berhasil melepaskan diri dari cengkeraman Ajeng yang terlalu kuat baginya.

"Diam, anak bodoh!" bentak Ajeng, wajahnya mengeras. Tak ingin melepaskan Sandara begitu saja, ia mengepalkan tangan, menyeret Sandara dengan sekuat tenaga.

"Saya tidak punya uang, bawa saja anak bodoh ini sebagai jaminan hutang saya!" ucap Ajeng dengan suara keras dan penuh amarah, sambil mendorong tubuh Sandara keluar rumah. Di luar, dua orang berbadan besar dan berwajah sangar sudah menunggu.

Salah satu pria, memandangi Sandara dari kepala hingga kaki. Dengan senyum sinis di bibirnya, pria itu berkata, "Wah, bos pasti senang banget dapet 'barang bagus' kayak gini."

"Uang itu sudah di bawa mama tiri gue, jadi kalian ambil saja darinya!" teriak Sandara sambil menunjuk Ajeng.

Ajeng mengerutkan dahi dan memandang Sandara dengan tatapan merendahkan. "Kamu itu kalau nggak punya uang nggak usah sok-sok an mau bayar hutang. Cepat bawa saja dia!" ucap Ajeng yang menyuruh debt collector itu untuk membawa Sandara sebagai pelunas hutang mereka.

"Lepas! Jangan sentuh gue!" teriak Sandara mencoba memberontak ingin melepaskan diri dari dua pria berbadan besar itu. Lengan kekar debt collector itu mengekang Sandara saat mencoba menyeretnya keluar rumah.

"Diam! Menurut saja kamu anak manis!" ucap pria itu dengan ekspresi dingin, tanpa melepaskan cengkramannya pada Sandara. Terus menyeretnya untuk keluar dari rumah, Sandara berjuang keras melawan perasaan takut yang kian membanjiri dadanya.

Sandara mengerahkan segenap tenaganya untuk mengarahkan tendangan ke bagian vital pria di depannya. "Bugh!" Kaki Sandara mendarat dengan sukses tepat sasaran, menciptakan benturan keras yang membuat pria itu melenguh kesakitan. Jeritan terhimpit yang terdengar membuat jantung Sandara berdegup kencang.

Salah satu pria panik karena temannya meraung kesakitan akibat tendangan Sandara.

Sementara itu, Sandara memanfaatkan kesempatan tersebut untuk melarikan diri secepat mungkin.

"Kejar dia!" teriak pria itu sambil meringis kesakitan, berusaha mengejar Sandara bersama temannya.

Sandara melarikan diri dengan cepat, menyusuri jalanan yang gelap dan sunyi. Nafasnya terengah-engah, keringat membanjiri wajahnya, tetapi tekad untuk kabur dari debt collector yang ingin membawanya sebagai pelunas hutang orang tuanya tetap membara.

Sandara, tak kuat lagi berlari, memilih bersembunyi di balik mobil yang terparkir di pinggir jalan gelap. "Semoga mereka nggak liat gue," gumam Sandara pelan sambil berusaha menenangkan nafasnya yang tersengal-sengal.

"Kemana dia? Tadi aku melihatnya lari ke arah sini," ujar salah satu debt collector, celingak-celinguk mencari keberadaan Sandara dengan sorot mata tajam. Kaki dua pria itu hampir menyentuh mobil tempat Sandara bersembunyi.

Di balik mobil itu, Sandara meringkuk dan sembunyi sambil menahan nafasnya, merasakan jantungnya berdebar begitu kencang hingga takut akan terdengar oleh pengejarnya. Jemari Sandara mencengkeram kuat pinggiran roknya, matanya terpejam, berharap untuk lolos dari cengkeraman kejam para debt collector itu.

"Kamu tak akan bisa lari dari kami!" Tiba-tiba saja para debt collector itu sudah berada di belakang Sandara yang bersembunyi, mereka kembali dapat menangkap Sandara.

Plak! Tangan si pria mendarat keras di pipi Sandara, membuat pipinya memerah dan sudut bibirnya berdarah. Dalam sekejap, Sandara merasakan sakit yang menjalar dari wajahnya hingga ke jantungnya. Ekspresi wajahnya mengejang, memegang pipinya yang terasa panas luar biasa, dan matanya mulai berkaca-kaca seakan menahan air mata.

"Seret dia ke mobil!" pria yang di tendang Sandara itu memerintahkan pada temannya untuk membawa Sandara ke dalam mobil.

Mobil melaju kencang, membawa Sandara menuju ke sebuah klub malam di tengah kota. Begitu sampai, seorang pria yang ternyata rentenir sekaligus pemilik klub langsung menatap Sandara dengan mesum.

"Wah, barang bagus nih. Cepat dandani gadis manis ini dan suruh melayani tamu!" ujarnya sambil meraba dagu Sandara.

Ketakutan membayangi wajah Sandara; ini adalah kali pertama dia berada di tempat seperti ini.

Beberapa saat kemudian, ia sudah terjebak di tengah-tengah pria hidung belang. Dalam kepanikan, Sandara berusaha meloloskan diri sambil berkata, "Jangan sentuh gue, gue mohon!" Namun, mereka tidak mengindahkannya dan malah semakin mendekat.

Tiba-tiba, terdengar teriakan keras dari kejauhan, "Lepaskan dia!" Sandara menoleh dan melihat seorang pria berlari mendekat, membuat para pria hidung belang bubar dan memberi ruang bernafas untuk Sandara.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status