Sandara memasuki kamarnya, ia berniat untuk mengemas beberapa pakaiannya untuk di bawanya ke apartemen Bima. Biar bagaimana pun sekarang ia telah menikah meski hanya pernikahan kontrak.
Di tempat lain, Leo yang mendapati Sandara yang ternyata pulang ke rumah pun segara meninggalkan tempat itu. Baru saja Sandara selesai mengemas pakaiannya ke dalam koper, tiba-tiba pintu kamarnya terbuka lebar dan Ajeng, ibu tirinya, berdiri di ambang pintu dengan senyum sinis. Dalam sekejap, Ajeng mengambil tas kecil yang tergeletak di tempat tidur Sandara. "Kembalikan tas gue! Itu uang buat bayar hutang!" seru Sandara dengan menatap tajam pada Ajeng, mencoba menahan amarah yang mulai memuncak. Ajeng tertawa sinis, menggenggam erat tas itu di tangannya. "Nggak, ini uangku. Kamu saja yang jadi gantinya buat membayar hutang itu." Wajah Sandara memerah, matanya berkaca-kaca karena merasa dipermainkan. "Kamu nggak punya hak untuk mengambil uang itu! Aku akan melunasi semua hutang-hutang papaku!" teriaknya, meluapkan emosinya. Ajeng mengejek, "Ha! Kamu pikir aku peduli? Aku sudah cukup repot dengan urusan sendiri, sekarang giliran kamu yang merasakan bagaimana jadi anak yang tidak berguna!" Sandara merasa hatinya tersayat mendengar ucapan ibu tirinya itu. Dengan air mata yang mengalir deras, ia mencoba merebut kembali tas itu, namun Ajeng dengan sigap menghindar dan mendorong Sandara hingga jatuh terduduk di lantai. Ajeng dengan sigap keluar dari kamar Sandara dengan membawa uang milik anak tirinya dan menguncinya rapat-rapat. "Buka pintunya!" teriak Sandara sambil menarik gagang pintu kamarnya yang telah di kunci dari luar oleh Ajeng. Wanita itu sama sekali tidak menghiraukan teriakan Sandara. Namun tak berapa lama, pintu kamar Sandara kembali terbuka dan munculah Ajeng dengan wajahnya memerah kesal, menerobos masuk dan menarik lengan Sandara dengan brutal. "Lepas!" teriak Sandara, meronta dan menepis tangan Ajeng. Rasa takut dan amarah terpancar di matanya. "Apa yang lo lakuin sama gue!" Tapi Sandara tak berhasil melepaskan diri dari cengkeraman Ajeng yang terlalu kuat baginya. "Diam, anak bodoh!" bentak Ajeng, wajahnya mengeras. Tak ingin melepaskan Sandara begitu saja, ia mengepalkan tangan, menyeret Sandara dengan sekuat tenaga. "Saya tidak punya uang, bawa saja anak bodoh ini sebagai jaminan hutang saya!" ucap Ajeng dengan suara keras dan penuh amarah, sambil mendorong tubuh Sandara keluar rumah. Di luar, dua orang berbadan besar dan berwajah sangar sudah menunggu. Salah satu pria, memandangi Sandara dari kepala hingga kaki. Dengan senyum sinis di bibirnya, pria itu berkata, "Wah, bos pasti senang banget dapet 'barang bagus' kayak gini." "Uang itu sudah di bawa mama tiri gue, jadi kalian ambil saja darinya!" teriak Sandara sambil menunjuk Ajeng. Ajeng mengerutkan dahi dan memandang Sandara dengan tatapan merendahkan. "Kamu itu kalau nggak punya uang nggak usah sok-sok an mau bayar hutang. Cepat bawa saja dia!" ucap Ajeng yang menyuruh debt collector itu untuk membawa Sandara sebagai pelunas hutang mereka. "Lepas! Jangan sentuh gue!" teriak Sandara mencoba memberontak ingin melepaskan diri dari dua pria berbadan besar itu. Lengan kekar debt collector itu mengekang Sandara saat mencoba menyeretnya keluar rumah. "Diam! Menurut saja kamu anak manis!" ucap pria itu dengan ekspresi dingin, tanpa melepaskan cengkramannya pada Sandara. Terus menyeretnya untuk keluar dari rumah, Sandara berjuang keras melawan perasaan takut yang kian membanjiri dadanya. Sandara mengerahkan segenap tenaganya untuk mengarahkan tendangan ke bagian vital pria di depannya. "Bugh!" Kaki Sandara mendarat dengan sukses tepat sasaran, menciptakan benturan keras yang membuat pria itu melenguh kesakitan. Jeritan terhimpit yang terdengar membuat jantung Sandara berdegup kencang. Salah satu pria panik karena temannya meraung kesakitan akibat tendangan Sandara. Sementara itu, Sandara memanfaatkan kesempatan tersebut untuk melarikan diri secepat mungkin. "Kejar dia!" teriak pria itu sambil meringis kesakitan, berusaha mengejar Sandara bersama temannya. Sandara melarikan diri dengan cepat, menyusuri jalanan yang gelap dan sunyi. Nafasnya terengah-engah, keringat membanjiri wajahnya, tetapi tekad untuk kabur dari debt collector yang ingin membawanya sebagai pelunas hutang orang tuanya tetap membara. Sandara, tak kuat lagi berlari, memilih bersembunyi di balik mobil yang terparkir di pinggir jalan gelap. "Semoga mereka nggak liat gue," gumam Sandara pelan sambil berusaha menenangkan nafasnya yang tersengal-sengal. "Kemana dia? Tadi aku melihatnya lari ke arah sini," ujar salah satu debt collector, celingak-celinguk mencari keberadaan Sandara dengan sorot mata tajam. Kaki dua pria itu hampir menyentuh mobil tempat Sandara bersembunyi. Di balik mobil itu, Sandara meringkuk dan sembunyi sambil menahan nafasnya, merasakan jantungnya berdebar begitu kencang hingga takut akan terdengar oleh pengejarnya. Jemari Sandara mencengkeram kuat pinggiran roknya, matanya terpejam, berharap untuk lolos dari cengkeraman kejam para debt collector itu. "Kamu tak akan bisa lari dari kami!" Tiba-tiba saja para debt collector itu sudah berada di belakang Sandara yang bersembunyi, mereka kembali dapat menangkap Sandara. Plak! Tangan si pria mendarat keras di pipi Sandara, membuat pipinya memerah dan sudut bibirnya berdarah. Dalam sekejap, Sandara merasakan sakit yang menjalar dari wajahnya hingga ke jantungnya. Ekspresi wajahnya mengejang, memegang pipinya yang terasa panas luar biasa, dan matanya mulai berkaca-kaca seakan menahan air mata. "Seret dia ke mobil!" pria yang di tendang Sandara itu memerintahkan pada temannya untuk membawa Sandara ke dalam mobil. Mobil melaju kencang, membawa Sandara menuju ke sebuah klub malam di tengah kota. Begitu sampai, seorang pria yang ternyata rentenir sekaligus pemilik klub langsung menatap Sandara dengan mesum. "Wah, barang bagus nih. Cepat dandani gadis manis ini dan suruh melayani tamu!" ujarnya sambil meraba dagu Sandara. Ketakutan membayangi wajah Sandara; ini adalah kali pertama dia berada di tempat seperti ini. Beberapa saat kemudian, ia sudah terjebak di tengah-tengah pria hidung belang. Dalam kepanikan, Sandara berusaha meloloskan diri sambil berkata, "Jangan sentuh gue, gue mohon!" Namun, mereka tidak mengindahkannya dan malah semakin mendekat. Tiba-tiba, terdengar teriakan keras dari kejauhan, "Lepaskan dia!" Sandara menoleh dan melihat seorang pria berlari mendekat, membuat para pria hidung belang bubar dan memberi ruang bernafas untuk Sandara."Lepaskan dia!" teriak Leo dengan suara menggelegar yang seketika membuat suasana hening. Wajahnya tegang dan matanya menyala penuh amarah. Sandara, yang sebelumnya terpojok oleh para pria hidung belang, menoleh dan bernafas lega melihat sosok Leo berdiri di dekat pintu masuk. Para pria hidung belang yang tadinya mengerumuni Sandara dengan tatapan penuh nafsu pun mundur teratur, mereka merasa takut dengan sosok Leo yang dikenal sebagai asisten Bima Aryasena, seorang pengusaha muda yang terkenal kejam dan tak segan untuk menutup perusahaan yang bermasalah dengannya. Mereka sadar bahwa mencoba melawan Leo hanya akan menimbulkan masalah yang lebih besar bagi diri mereka dan usaha mereka. Sandara berlari menuju Leo, air mata mengalir deras di pipinya, "Om, tolong bawa Dara pergi dari tempat ini," pinta Sandara dengan suara gemetar, memohon perlindungan dari Leo. Leo menatap tajam para pria yang semakin mundur, "Pergi kalian, atau usaha kalian akan gulung tikar!" ancam Leo dengan suara
Sandara menatap piring berisi makanan yang telah ia buat dengan susah payah di meja makan. Meskipun tak pandai memasak, namun ia berusaha membuatkan sarapan spesial untuk Bima. Dari kejauhan, terdengar suara langkah kaki Bima yang baru saja keluar dari kamarnya dengan setelan jas rapi yang menambah ketampanannya. "Om, kalau nggak mau sarapan, minum kopinya aja, Om. Ayolah Om, mau ya, please!" ucap Sandara dengan nada memelas sambil mengejar langkah Bima menuju pintu. Bima hanya melirik sejenak ke arah Sandara, kemudian melanjutkan langkahnya tanpa menggubris ajakan Sandara. Seolah tak peduli dengan perasaan Sandara yang telah bersusah payah membuatkan sarapan untuknya. "Om Bima wangi banget," ujar Sandara yang mencoba mengalihkan perhatian Bima dengan menghirup dalam-dalam aroma wangi parfum yang dipakai Bima. Ia berharap pujian itu akan membuat Bima berhenti sejenak dan mencicipi sarapan yang telah ia siapkan. Namun, Bima hanya melangkah datar dan tanpa ekspresi, seakan tak terpe
Sandara terkejut ketika pintu apartemen terbuka dan seorang wanita cantik berambut panjang lurus melangkah masuk dengan langkah cepat. Matanya melotot penuh emosi, seolah-olah sedang mencari mangsa. Sandara menelan ludah, merasa ada yang tidak beres. "Siapa kamu!" seru wanita itu, Reva, dengan menatap tajam padanya. "Gue?" Sandara menunjuk dirinya sendiri sambil celingukan. "Gue San.." Plak! Tamparan keras mendarat di pipi Sandara. Kepalanya terasa berputar, dan pandangannya kabur sejenak. Pipinya terasa panas dan perih, sementara hatinya merasa terhina dan marah. "Kenapa kamu ada di apartemen kekasihku!" Reva begitu marah melihat Sandara yang berada di dalam apartemen milik Bima. "Sayang, aku bisa jelaskan semuanya," Bima menarik tangan Reva yang masih terkepal. Wajahnya tampak pucat, dan keringat dingin bercucuran di keningnya. "Apa maksudnya Bima! Kamu selingkuh sama anak kecil ini!" Reva menuding Sandara dengan mata berkaca-kaca. Suaranya bergetar, seolah-olah dia hampi
Sandara mengusap pergelangan tangannya yang letih setelah mengantarkan pesanan demi pesanan di kafe tempatnya bekerja. Raut wajahnya berubah pucat ketika Alin, rekannya yang juga bekerja di kafe, membuka percakapan. "Dar, beneran lo udah nikah?" tanya Alin dengan rasa ingin tahu yang besar. Sandara cepat-cepat membekap mulut Alin, mata paniknya menelusuri sekeliling, takut ada yang mendengar. "Jangan keras-keras! Lo mau gue dipecat apa?!" bisik Sandara dengan suara tergesa-gesa.Peraturan di kafe adalah karyawan harus single, dan Sandara sangat membutuhkan pekerjaan ini, lebih lagi setelah bisnis ayahnya bangkrut dan utang menggunung. Alin menarik tangan Sandara yang menutup mulutnya, mengerucutkan bibirnya. "Gue cuma tanya," katanya dengan nada serius. "Iya, gue nikah. Tapi cuma pura-pura kok," balas Sandara dalam bisikan.Alin mengerutkan kening, kebingungan menerka apa yang sebenarnya terjadi. "Nikah pura-pura? Maksudnya gimana?" tanya Alin dengan nada yang penuh tanda tanya.
Sandara melangkah perlahan menuju meja Reva dengan nampan yang memikul cangkir kopi hangat pesanan model itu. Sesampainya di sana, matanya membulat melihat Bima, suaminya kontraknya, tersenyum manis di samping Reva. Dadanya sedikit terasa sesak, namun ia berusaha menyembunyikan perasaan itu. "Gue gak perlu kaget, kan? Mereka kan emang pasangan kekasih," batinnya sambil menyunggingkan senyum agar tetap terukir di wajah cantiknya. "Silahkan, ini pesanannya Kak," ujar Sandara dengan suara yang ramah, meski hatinya merasa kesal saat meletakkan kopi itu di hadapan Reva. Reva hanya menatapnya dengan sinis sebelum bermanja pada Bima. "Sayang, kamu mau pesan apa? Mumpung masih ada pelayan nih," goda Reva dengan suara manis, memeluk Bima dan menekankan kata 'pelayan' sambil memandang Sandara dengan tatapan yang menantang. Bima hanya menatap sekilas pada Sandara, dan Sandara terpaku, menahan emosi sambil menunggu Bima memesan. Jantungnya berdebar, tapi sebagai pegawai kafe, ia tahu haru
Reva tiba-tiba menghentikan langkahnya di tengah kafe, matanya melebar dalam kepanikan saat ia merogoh tasnya yang baru saja diambil kembali dari Sandara. Raut wajahnya cemas mempercepat detak jantung para pengunjung kafe yang kini memerhatikan sang model cantik tersebut. "Bima," panggilnya dengan suara bergetar, menginterupsi ketenangan yang tengah menaungi Bima yang asyik dengan tabletnya.Bima segera mendongak, dahi berkerut. "Ada apa?" tanyanya, suaranya pelan. Reva melahap udara, matanya berpindah-pindah dari wajah Bima ke Sandara yang berdiri dengan santainya beberapa langkah di belakang. "Cincin aku, Bima. Hilang," desisnya, sambil menahan bibir bawahnya yang gemetar. "Tadi aku titip tas ke Sandara." Ia mengarahkan jari gemetarnya ke arah Sandara yang menggeleng pelan. "Cincin apa? Kamu yakin, kamu tadi memakainya?" tanya Bima, masih dengan ketenangan yang terpelihara, sambil matanya mencuri pandang ke arah Sandara yang masih bersikap tenang."Aku yakin, aku memakainya, Bi
"Udah, Kak Reva! Laporin ke polisi saja, biar dia kapok!" teriak salah satu pengunjung, dengan jari menunjuk tajam ke arah Sandara. Suaranya memecah kesunyian yang mendadak. Reva mengangguk pelan, bibirnya tersenyum sinis ke arah Sandara. Menunjukkan kalau rencananya akan berjalan lancar. "Iya, laporin saja. Enak saja mengambil cincin Kakak," sahut pengunjung lain, suaranya penuh tuduhan dan tatapan matanya tidak lepas dari Sandara.Reva menarik napas dalam-dalam, berusaha menampilkan wajah yang tenang dan mengayakan tangan seakan ingin meredakan ketegangan. "Tenang, semua," katanya dengan suara yang dibuat-buat lembut. "Kita nggak perlu melibatkan polisi untuk hal seperti ini. Saya yakin ini bisa diselesaikan tanpa perlu membesar-besarkan masalah. Yang saya minta hanya Sandara mengakui kesalahannya saja."Sanjungan mengalir dari bibir pengunjung kafe, "Ya ampun, Kak Reva itu baik sekali." Tetapi, terdengar juga bisikan yang tajam, menghujat Sandara sang pelayan kafe tersebut, "It
Sandara tertawa geli, matanya berkilau menatap Alin yang tampak terkejut. "Dua ratus lima puluh juta?" Alin tergagap, matanya membulat tak percaya mendengar jumlah uang yang fantastis itu. Sandara mengangkat bahu, membalutkan tangan di pundak sahabatnya yang masih terpaku, menariknya keluar dari tempat mereka bekerja. "Duh, nggak usah kaget gitu, ayo pulang," ucap Sandara sambil menuntun langkah mereka beriringan. Ada senyum yang menggoda di sudut bibirnya. "Gila, uang sebanyak itu buat apaan, Dar?" tanya Alin, rasa penasarannya terpancar jelas. "Bayar utang," jawab Sandara, cepat dan tegas, mata tak lepas dari depan. Alin, mengerti akan lilitan masalah yang dihadapi keluarga Sandara, memilih diam dan tak lagi mengungkit hal tersebut. Dalam diam, mereka melanjutkan langkah menuju keramaian kota yang mulai berpendar di senja.Sebelum pulang, Sandara dan Alin berhenti di sebuah toko makanan. Dengan wajah yang tidak terlalu bersemangat, Sandara memilih makanan hanya untuk dirinya sen