Share

Bab 3

Sandara terdiam duduk dengan lesu di ruang tamu apartemen milik Bima yang sepi. Wajahnya terlihat pucat dan matanya berkaca-kaca, mencoba mencerna apa yang baru saja diutarakan Bima. Benar apa yang dikatakannya, mereka hanya menikah pura-pura saja, dan Sandara melakukannya hanya demi uang.

"Tampan sih tampan tapi galak plus ngeselin banget!" gerutu Sandara kesal dengan sikap Bima padanya.

Di saat tengah rasa kesalnya pada Bima, tiba-tiba saja ponselnya bergetar. Sandara segera mengambil ponselnya yang tergeletak di meja samping, dan wajahnya semakin merah padam saat melihat nama 'mama tiri" yang tertera di layar ponselnya.

"Mau apa lagi dia nelpon? Apa uang kemarin belum cukup juga?" gumam Sandara kesal. Dengan ragu, Sandara mengangkat telepon tersebut.

Suara mama tirinya di ujung sana terdengar tajam, "Sandara, sekarang karena kamu sudah menikah dengan pria kaya itu, cepat minta uang darinya untuk membayar hutang kita!"

Sandara menelan ludah, wajahnya terlihat tegang, berusaha merangkai kata-kata yang tepat untuk menjawab mama tirinya itu.

Mama tirinya yang merasa tidak sabaran pun kembali bersuara dengan nada tajam, "Cepat pulang dan minta uang dari suamimu itu, anak bodoh! Atau kamu mau melihat papamu mati karena dikejar-kejar para debt collector?"

"Baik aku akan pulang!" Sandara langsung mematikan sambungan telepon dengan panik, hatinya berdegup kencang. Mama tirinya selalu saja mengancamnya, menggunakan papanya sebagai senjata yang paling ampuh untuk mengendalikannya.

Meskipun dirinya merasa tidak enak untuk meminta uang pada suami kontraknya. Namun, membayangkan wajah ayahnya yang akan dipukuli oleh para debt collector membuat Sandara menghela napas sejenak dan memberanikan diri untuk mengetuk pintu ruang kerja Bima.

"Om, boleh bicara sebentar?" ucap Sandara sambil menempelkan sebelah pipinya di daun pintu.

Mendengar suara Sandara, Bima langsung menghentikan pekerjaannya dan membuka pintu ruang kerja. Sandara yang tak menyangka pintu akan terbuka begitu cepat, terdorong maju dan kepalanya menabrak dada bidang Bima.

Bima terkejut dengan insiden tersebut, sementara Sandara merasa malu dan langsung menyengir menatap wajah Bima yang datar tanpa ekspresi.

"Om, gue ada urusan mendadak. Boleh nggak gue minta pembayaran kontrak di awal dulu? Cukup tiga puluh juta dulu malam ini" ucap Sandara dengan nada memelas.

Bima menatap Sandara dengan pandangan tajam, seolah mencoba membaca apa yang tersimpan di hati gadis itu. Setelah beberapa detik, Bima menghela napas panjang dan mengangguk pelan.

"Makasih Om" ucap Sandara setelah menerima bukti transfer uang dari Bima dan dengan segera meninggalkan Bima.

"Pasti uang itu untuk bersenang-senang, pantas saja dia menerima penawaran kontrak ini dengan mudah" gumam Bima dengan nada sinis setelah Sandara menutup pintu apartemennya.

Meskipun sebenarnya Bima acuh tak acuh dengan segala tindakan Sandara, istri kontraknya, ia tidak bisa menepis kekhawatiran tentang kemungkinan nama baik perusahaannya tercoreng. Dengan nada berat di hati, Bima menghubungi Leo, asistennya, untuk meminta bantuan agar mengawasi Sandara.

"Halo, Leo. Ikuti Sandara, dia baru keluar apartemen. Jaga-jaga kalau dia berbuat hal yang bisa merusak Reksasena. Dia tadi minta 30 juta, siapa tahu buat apa," perintah Bima dengan suara datar namun tegas.

"Baik, Bos. Saya akan mengikuti dan melaporkan pada Bos," jawab Leo patuh, dengan rasa was-was membayangi pikirannya.

Setelah memutuskan panggilan, Leo bergegas keluar dari apartemennya yang terletak di lantai bawah, mengatur strategi untuk mengawasi gerak-gerik Sandara. Melirik jam tangan, Leo memastikan waktu yang tepat untuk keluar dan melihat Sandara sedang menaiki sebuah taksi.

Dengan gesit dan penuh kehati-hatian, ia mengikuti mobil taksi itu, berusaha untuk selalu menjaga jarak agar tidak terlihat mencurigakan.

Di sisi lain, Sandara berbicara kepada sopir taksi, "Pak, tolong berhenti sebentar di ATM ya, saya ingin mengambil uang dulu." Setelah taksi berhenti, Sandara dengan langkah tegap segera melangkah ke mesin ATM. Matanya menatap layar, menunggu konfirmasi bahwa uang yang Bima transfer telah masuk ke rekeningnya.

Begitu selesai mengambil uang, senyuman lega menghiasi wajahnya. "Gue bisa langsung kasih nih uangnya ke debt collector biar nggak dikejar-kejar lagi," gumamnya sembari menggenggam erat uang tunai tersebut. Sandara lalu kembali menaiki taksi yang telah menunggunya, langkahnya lebih ringan karena beban terasa berkurang.

Begitu taksi berhenti di depan rumah, Sandara langsung membayar ongkosnya dan bergegas turun. Dia tidak menyadari bahwa ada seseorang yang mengikutinya dari jauh.

Begitu pintu rumah terbuka, Sandara disambut oleh Ajeng, ibu tirinya, yang sedang menatapnya dengan marah.

"Pulang juga kamu anak bodoh. Apa yang sudah kamu lakukan, Dara? Kamu bisanya hanya bikin malu saja. Masuk ke toilet pria, memalukan!" umpat Ajeng sambil menunjukkan layar ponsel yang memperlihatkan berita tentang insiden Sandara yang viral di media sosial. Wajah Ajeng tampak merah padam karena kekesalannya, meskipun berita tersebut sudah dihapus.

"Mana uangnya?" tanya Ajeng dengan wajah berang.

"Uang apa? Emangnya gue ini bisa nyetak uang?" jawab Sandara dengan santai, mencoba menyembunyikan perasaan sedih yang terpendam.

Ajeng semakin naik pitam, "Dasar anak bodoh! Aku kan sudah bilang minta saja sama suamimu yang kaya raya itu. Dasar anak tidak berguna!" umpatnya sambil menatap Sandara dengan kesal.

Namun, Sandara tidak menghiraukan mama tirinya itu. Ia berlalu pergi begitu saja menuju ke kamarnya.

"Lihat saja, anak bodoh! Kamu akan menyesal!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status